WebNovelSomeday...100.00%

Menemukan Tujuannya.

Hampir setiap pagi, kudengar teriakan manis itu di kamar sebelah, memanggilku dengan begitu gemasnya sampai aku benar-benar tidak bisa untuk tidak beranjak.

Dari kamar mungil dengan pintu kayu berwarna putih, di sana tertulis sebuah nama yang begitu indahnya, ATHLANA.

Kubuka pintu itu, dan dari sana dapat kulihat, wajah kecil nan manis bermata bulat tengah memandangiku, tentu dengan ekspresi khas bangun tidurnya.

Dia menyebutku, Mama.

Dia baru berusia satu setengah tahun ketika kami memutuskan untuk kembali ke Indonesia, setelah beberapa tahun lamanya tinggal di negeri seberang.

Benar, aku memilih untuk bersamanya.

Detik demi detik, tanpa harus kuberpikir terlalu panjang, kuputuskan untuk menggenggam tangannya, mengikutinya, dan menerima permintaan sehidup sematinya.

Kupikir itu berat, dan akan sangat menyesakkan. Tetapi, janjinya untuk tidak lagi meninggalkanku, janjinya untuk tidak lagi membuatku ragu, dia mewujudkannya.

Satu tahun setelah kami menikah, malaikat kecil ini terlahir, dengan begitu bahagianya, dia kecup keningku berkali-kali, berterimakasih telah mempercayainya, tanpa tahu bahwa aku jauh lebih bersyukur dengan keputusanku kala itu, untuk bersamanya.

Keduanya kini begitu berharga, sangat berharga sampai-sampai, kurasa, deru demi deru napasku hanyalah untuk melihat keduanya tersenyum.

Setiap pagi, ketika mataku terbuka, selalu ada alasan mengapa aku harus berterimakasih kepada Tuhan, telah memberikanku begitu banyak hal yang sangat berharga, jauh lebih berharga dari apapun.

Kupeluk Athlana hangat, tangannya mencengkeram lenganku. "Mama, lana lapal..."

Dan kalimat sederhana itu... menyihirku. Aku membalasnya dengan senyuman, lalu kubawa gadis kecil itu ke ruang makan. Kulihat, dia, sudah duduk dengan begitu manisnya di sana.

Dia, yang membuatku bersyukur tentang segala hal kecil di dunia ini, menyambutku dengan senyum hangat dan pelukan singkat.

"Papa, Papa!" Diraihnya Athlana ke pangkuan, membiarkanku menyiapkan beberapa hidangan untuk sarapan pagi ini. Kudengar keduanya tengah mengobrol—entah dengan bahasa apa, namun satu hal yang pasti, tawa mereka selalu berhasil membuatku mengulum senyum tipis.

Pagi ini, rencananya kami akan pergi ke sebuah baby spa yang tidak jauh dari rumah. Kupakaikan bando kecil di kepalanya, pipi gembul itu membuatku sangat ingin mencubitnya sekarang.

"Mama, Mama, mau temana?" tanyanya.

"Kita mau ketemu tante cantik kaya kemarin," jawabku dengan perlahan, kini kupasangkan dua kaos kaki berwarna biru muda di kaki mungilnya.

"Lana nyusul papa di luar, ya." kataku, kemudian membiarkannya berlari kecil meninggalkan kamar.

Kulihat tubuhnya perlahan menghilang, tergantikan dengan suara tawa renyah dari pria yang kutahu adalah papanya.

Athlana, gadis itu, berteriak dengan begitu gemas, beberapa kali menyebut nama sang papa.

Athlana, putri kecilku.

Dan untuk kamu, alasan mengapa aku begitu bersyukur memilikinya.

Alasan mengapa aku tidak akan pernah menyesal menggenggam tanganmu enam tahun lalu, mengiyakan permintaan terbesar yang belum pernah kudengar dari laki-laki manapun.

Untuk kamu, Aditya Hartadi, bahagiaku.