Titik Temu.

Dan akhirnya, ribuan detik yang Adira habiskan untuk diam-diam meluruhkan perasaannya, seketika hancur, lebur, rata dengan satu hal yang mungkin bisa disebut... titik temu.

Ribuan pertanyaan mengenai di mana Adiel sekarang, ribuan pertanyaan mengenai mengapa laki-laki itu pergi tanpa memberitahunya, serta ribuan alasan lagi mengapa Adira hanya diam dan memendam.

Bahwa jawaban dari semua itu ternyata begitu menyesakkan.

Adiel pergi jauh karenanya.

Sore itu, di sebuah cafè kecil yang biasa dia kunjungi dengan Melodi—temannya, sebuah halaman profil sosial media seseorang mencuri perhatiannya. Jemarinya terus-menerus menggulir postingan yang hanya berjumlah 12 itu, tetapi sukses membuat kesadaran Adira terluluhlantakkan.

Nama yang terpajang, dan foto itu...

"this place took us, this place brought us, this place made us. there, you and i were really meant to be us."

Bahkan tanpa perlu merenung apalagi berpikir panjang, ingatannya jelas tahu dimana tempat itu. Tempat yang—seperti kata Adiel, membawa serta mereka, menyisakan jutaan keping memori, menjadikan keduanya bersama, atas nama kita.

Salah satu tempat di Warsawa, yang kala itu mereka kunjungi di hari yang sama dengan pendaftaran Universitas.

Matanya beberapa kali mengerjap, helaan napas terdengar setelahnya. Tidak tahu sudah berapa lama Adira terus-menerus memandang layar pipih itu, hingga panggilan dari Melodi diabaikannya.

Satu hal yang dia inginkan saat itu juga, adalah...

Bagaimana kabar Adiel di sana?

Apa saja yang terjadi pada laki-laki itu selama hampir satu tahun berlalu?

Adakah perempuan lain yang begitu dia sayangi saat ini?

Atau mungkin...

Haruskah Adira menemuinya?

***

"Aditya udah terlalu sakit, Ra,"

Gadis itu memutuskan untuk menceritakan semuanya kepada Irama, teman dekat Aditya sekaligus pacar dari sahabatnya sendiri, Melodi.

"Meskipun dulu dia yang salah, tapi bukan berarti lo bisa balik nyakitin dia sekarang. Lo juga tau, kan, alasan di balik semuanya."

"Gue tahu, lo labil. Secara, Adiel yang selalu ada buat lo ketika patah hati, tapi Aditya juga jauh lebih sakit di sini selama lo pergi."

"Dia kaya orang gila, selalu nyalahin diri sendiri, selalu bilang kalau dia udah gagal pertahanin lo untuk tetap di sini, karena kesalahan yang bahkan dia sendiri gak tahu gimana cara selesaiinnya."

Irama memperbaiki tali sepatu futsalnya. "Dia pengen selalu ada buat lo, dia pengen egois untuk gak akan pernah ngelepasin lo lagi seperti kemarin, Ra."

Setelah mengatakan itu, Irama meraih tas ransel berisi pakaiannya. Tubuhnya menegak, kemudian beranjak meninggalkan bangku di tepi lapangan sore itu.

Sedangkan Adira masih terdiam di tempatnya, mencerna kata demi kata yang Irama luapkan barusan. Menusuk, sangat sakit sekali, mendengar seberapa mengecewakannya dirimu di mata orang lain.