"Thalia Cassandra! Bangun dong sayang, sudah setengah enam!" suara teriakan Mamih terdengar begitu menusuk di telinga ku. "Sandra, ayo bangun. Tidur jam berapa sih tadi malam?"
Aku mencoba mendudukan tubuh ku, dan menyadarkan diri ini, "Mih, air mih." pinta ku pada Mamih.
"Udah, buruan mandi." ucap Mamih lalu beranjak pergi keluar kamar.
Nama ku Thalia Cassandra, semester 4 di SMA Internasional Mandiri Jakarta Selatan. Kalau yang tadi Mamih ku, galak sih tapi aku udah telanjur sayang, Papih ku seorang arsitek dan Mamih bekerja di perusahaan asuransi. Aku punya kakak laki-laki, namanya Theodore Frizzi, sekolahnya bareng sama aku, tapi dia udah semester 6, udah mau lulus. Akhirnya!
"Dek, buruan turun, di panggil Papih." Theo berteriak dari pintu depan kamar ku, kamar kami bersebelahan.
"Iya, bentar kak." jawab ku sambil berlarian mengambil tas dan sepatu ku, Theo berdiri di depan pintu, menunggu ku.
"Buset dah, wangi banget mbaknya." ucapnya sambil menutup hidung.
"Ih, emang iya apa? Wangi banget gitu?" aku mendadak panik.
"Becanda." Theo mengacak pelan puncak kepala ku. "Ini masih batas normal kok, santai aja." jawabnya lagi setelah menghirup wangi tubuh ku.
Aku berjalan menuruni tangga mengekori Theo menuju meja makan. Papih sudah duduk rapih menghabiskan omletenya, "Kenapa Pih, kata kakak tadi manggil aku." tanya ku pada Papih setelah mengecup pipinya lalu duduk di sebelah Theo.
"Tentuin tanggal buat bikin KTP ya dek, biar Papih bisa sesuaikan sama jadwal Papih." ucap Papih lalu meneguk habis kopinya, bersiap untuk berangkat. "Papih langsung berangkat ya." Papih mencium pipi Mamih lalu memeluk ku sekilas dan membisikan "Papih tansfer buat bulan ini, jangan boros."
"Siap boss, hati-hati papi." ucap ku sambil melambaikan tangan girang.
"Kalian buruan abisin rotinya, udah siang." Mamih mengingatkan.
"Ini udah kok mih, berangkat dulu ya."
Aku dan Theo bergegas berangkat sekolah, "Hati-hati bawanya ya kak." ucap Mamih setelah kami di dalam mobil.
Jarak rumah dan sekolah tidak terlalu jauh, hanya sekitar setengah jam dan ini masih jam 6 lewat sedikit. Bell sekolah berbunyi tepat pukul setengah delapan, kami selalu berangkat awal karena banyak destinasi tujuan sebelum sampai sekolah.
Seperti sekarang, kami sedang menunggu ice cappuccino dan tiramisu milik ku di sebuah cafe 24jam di depan kompleks. Setelah ini menjemput pacar Theo, Klarise, rumahnya tidak jauh sebelum sekolah. Biasanya Klarise menunggu di minimarket sambil memakan sarapannya.
Akhirnya mobil menepi dan muncul lah wajah Klarise yang putih pucat berlari dari minimarket sambil menenteng sebuah plastik besar.
"Kamu udah dari tadi, nunggunya?" Theo memulai percakapan saat Klarise sudah duduk di kursi belakang.
"Engga kok, baru. Nih Kei, susu sama makanan favorit, kripik jagung." Klarise menyodorkan 2 kaleng susu dan bungkusan besar.
"Waduh, sogokan buat apa nih?" ucap ku becanda.
"Kali ini bukan sogokan, cuma lagi pengen beliin aja." jawab Klarise riang. Aku mencium bau-bau mencurigakan sebenarnya, namun Theo segera menghapus semua teori-teori di kepala ku.
"Gajinya itu, dek."
Setelah sampai di sekolah dan Theo memarkirkan mobilnya, aku segera turun meninggalkan mereka. Sekitar tujuh menit lagi sebelum bell dan kelas ku ada di lantai dua. Aku ingin sekali berlari, namun gelas berukuran besar berisi kopi dan kue ku ini bisa-bisa sudah acak-acakan saat sampai kelas.
Saat sampai di tengah lapangan, aku melihat Disa sahabat ku sedang mengobrol dengan beberapa senior, temannya Theo.
"Disa!" teriak ku sekencang mungkin, Disa dan beberapa orang itu menoleh ke bawah, melihat ku.
"Kei, buruan lari. Bentar lagi Suripto masuk." teriak Disa. Aku segera melepaskan tas punggung hologram LV ku dan berancang-ancang untuk melemparnya.
"Dek, peganging bentar." pinta ku pada seseorang yang wajahnya asing, sudah pasti junior, lalu memberikannya kopi dan kue ku.
"Dis, tangkep ya." segera saja aku melemparkan tas ku melambung tinggi yang untungnya tertangkap oleh Disa.
Disa segera masuk sembari membawa tas ku.
"Makasi ya dek." ucap ku pada junior yang wajahnya begitu terheran melihat aksi heroik tadi.
Saat sampai di depan pintu kelas 11 IPA 2, aku melihat Suripto sedang duduk sambil mengabsen. Ku ketuk pelan pintu untuk mengalihkan perhatiannya, "Misi pak." ucap ku lalu melangkah masuk, menghadap Suripto.
"Kamu terlambat, ya?" tanyanya.
"Engga pak, saya tadi beli sarapan dulu." jelas ku.
"Alesan aja kamu."
"Bener pak, itu tas saya udah ada di meja pak." Suripto menoleh kearah meja yang ku tunjuk.
"Yasudah, duduk kamu." Suripto memberi izin, aku mengulurkan tangan untuk menyalim wali kelas ku ini.
"Makasih ya pak, ganteng deh." canda ku.
Disa mencubit pelan tangan ku saat melewatinya, Suripto melanjutkan kegiatan mengabsennya. Aku meletakan gelas kopi ku pada lubang berukuran sedang di ujung meja yang biasa digunakan untuk tempat alat tulis, lalu menggantungkan tas di samping meja.
Biasanya minggu pertama awal semester hanya diisi dengan mencatat materi bab 1, saat sedang mencatat, aku mendengar suara getaran ponsel ku dari dalam tas. Benar saja, ada chat masuk dari Disa. Aku menoleh pada pelaku yang duduk di sebelah ku, matanya memberi isyarat untuk membaca chatnya.
Diss. Udah liat ranking belom? Lo urutan pertama lagi.
Aku. Hmmm...
Diss. Katanya ada anak baru, BTW. gantiin Bram.
Aku terdiam sesaat, Bram adalah mantan ku. Dia pindah ikut keluarganya ke Singapore, aku yang ingin mengakhiri karena tahu tidak mungkin sanggup LDR. Aku menatap kursi kosong di depan ku, kembali mengingat panggung seseorang yang dulu duduk disana.
KRRIIINGG
Bel istirahat berbunyi, Suripto segera meninggalkan kelas. Aku meletakan boneka berbentuk wajah koala pink yang sedari tadi di pangkuan ku ke atas meja dan meletakan ponsel ku di atasnya.
"Kei, uang kas." pinta Jenny, bendahara kelas ku.
"Besok ya shay, gue ga ada cash." jawab ku memelas. Jenny hanya merespon dengan acungan jempol.
"Gila apa lo Kei, ngelempar tas dari lapangan ke lantai dua" ungkap Diyon. Diky dan Anjas hanya tertawa.
"Dasar nekat, temen lo tuh Dis." Bastian menambahkan.
"Ya dari pada gue telat, mending nekat." jawab ku asal. Mereka tertawa sambil geleng-geleng kepala.
"Kantin gak?" ajak Diky, dia terduduk di meja ku.
"Gak ada cash, bro."
"Ngutang lah, susah amat." jawab Anjas, sial.
"Dis, kantin ya." pamit mereka semua pada Disa, Disa hanya merespon dengan acungan jempol.
Aku mengeluarkan kripik jagung dan susu, untuk mengganjal perut. "Wess, makan gratisss." ucap Disa girang lalu memindahkan kursinya ke samping meja ku.
"Di beliin Klarise, abis gajian katanya Theo." jawab ku. Aku mencoba membuka bungkusan besar ini tapi lumayan susah, aku mencoba mencari pertolongan dan menemukan Dimas dan Rangga sedang duduk berduaan di belakang bermain video games.
Segera aku menghampiri mereka berdua, membawa bungkusan ku. "Bukain dong, tolong." pinta ku memelas. "Rangga."
"Bentar Kei, bentar." ucapnya, terlalu fokus pada gamenya. "Mana sini," Rangga menggigit ujung bungkusnya lalu dengan sekali tarik, bungkus kripik jagung ku terbuka sangat lebar.
"Ett dah, pake gigi." ucap ku sedikit jengkel.
"Bagus gue bantuin." Rangga tertawa.
Aku dan Disa ikut tertawa.
"Rambut ngapa jadi lurus banget kaya iklan sampo, btw." tanya Disa.
"Tahun Baru, rambut juga baru dong." jawab ku mencoba meyakinkan.
"Bilang aja depresi abis putus, segala bawa-bawa Tahun Baru." Disa tertawa.
"Malah di perjelas, si ibu." aku ikut tertawa, "Eh tadi gerombolan pada ngapain?" tanya ku, mengingat beberapa senior yang bersama Disa pagi tadi.
"Minta IG, ada yang minta IG lo juga." jelasnya.
"Gak di kasih kan, tapi?"
"Yakali deh, ngapain juga." Kami berdua kembali tertawa.