Seletah selesai merangkum BAB 1 pelajaran olahraga, malam ini aku menyususn strategi panjang lebar untuk mendapatkan perhatian si balok es, mencari beberapa referensi dari novel yang bercerita tentang pria super dingin. Aku sudah bertekat, minimal aku sudah punya IGnya atau Linenya atau nomer telfonnya, at least.
Misi pertama adalah meminjamkan catatan, apa saja, aku gak masalah, mumpung aku doyan nyatet. Aku sudah memberitahu Theo bahwa kita harus berangkat lebih pagi lagi, untungnya kata Theo dia semester ini jam masuknya lebih awal untuk semester 6. Perfect!
Paginya kami mampir dulu di kafe depan kompleks, seperti biasa, dan menjemput Klarise, bedanya saat tiba di sekokah jam menunjukan pukul tujuh lewat lima, masih sangat jauh dari bell masuk sekolah.
Aku berjalan setengah mengantuk, bangun terlalu pagi ternyata tidak enak. Padahal ini aku sudah minum Americano yang rasanya luar biasa pahit, tapi tetap saja kantuk ku tak kunjung hilang.
Aku berjalan menaiki tangga dengan sempoyongan sambil tak henti-hentinya menguap. "Sumpah, ngantuk banget, astaga!" gerutu ku pada diri sendiri, sekolah sudah ramai, banyak manusia berseragam yang berkeliaran.
Awalnya kukira bakalan kaya kuburan ini sekolah, maklum deh, aku belum pernah dateng pagi, selalu aja mepet jam masuk. Saat sampai di depan pintu kelas, aku bersandar sebentar disana memejamkan mata ku sampai tiba-tiba,
"Woy, bangun Kei." Diky menepuk keras bahu ku dan berteriak. Kalian tahu? Rasanya seperti arwah dalam tubuh ku mendadak terangkat sejenak.
Aku menyedot sedotan kopi di tangan ku dengan kencang, lalu rasa pahit itu mulai berpesta di dalam mulut ku. "Ah... Pait." kata ku saat berhasil menelannya.
"Kalo gitu jangan diminum." ucap seseorang lagi yang melewati ku. Tyo.
Dia menaruh tasnya di meja lalu berjalan keluar kelas menenteng sebuah novel. Aku segera saja menaruh tas ku juga lalu mengikutinya keluar, ku temukan dia sedang terduduk di beton pembatas. Aku terdiam di pintu kelas menatap lurus ke mata itu, aku merutuki cahaya matahari yang bersinar di balik tubuhnya, menciptakan siluet sempurna dirinya.
"Kenapa?" ucapnya menghancurkan fantasi ku, matanya masih tertuju pada bacaan di hadapannya.
"Kenapa, apanya?" tanya ku lagi, bodoh.
"Lo," ucapnya, aku sungguh menantikan kata selanjutnya. "Kenapa?" kali ini matanya menatap ku.
What? "Gue ga kenapa kenapa." dasar balok es.
"Trus ngapain lo disitu?" kini dia menutup bukunya.
"Ini... em," aku tergagap, mencari alasan. "Nih," aku menyodorkan Ice Americano di tangan ku.
Dia terdiam, menatap ku dengan tatapan bertanya. Aku melangkah maju mendekatinya, lalu menyodorkan cup di tangan ku ini hingga sedotannya masuk kemulutnya. "Ga sanggup gue, pait banget."
Tangannya memegang cup itu, lalu aku segera masuk kedalam kelas. Menutup wajah ku dengan boneka, menahan malu. Untungnya dia tetap di luar kelas sampai bell masuk.
"Kei, tumben dateng pagi?" Disa bertanya.
Diky menyahuti, "Jam 7 udah sampe, gila ga?"
Yang lain bersahut-sahutan keheranan, "Akhirnya, ada perubahan." ucap Dimas bersyukur.
Dasar mereka, kebongkar deh aib di depan Tyo.