WebNovelKEI78.95%

SOMETHING OFF

Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah, kini aku sudah berdiri di depan gerbang rumah ku.

"Mau masuk dulu gak?" tanya ku basa-basi.

"Gausah, gue masih ada urusan." jawabnya, suara mesin motor terdengar cukup keras.

"Makasih ya." motornya langsung melaju kencang, aku menghitung sampai sepuluh sebelum masuk ke rumah, yah, mungkin aja dia balik lagi.

Saat sudah masuk kerumah, aku melihat Theo di ruang tengah sedang menonton tv.

"Loh, kok lo udah dirumah sih?" tanya ku.

"karena gue udah balik, apalagi. Gak liat mobil di depan?" bodohnya aku tidak menyadari itu.

"Bukannya ada kelas tambahan?"

"Gak jadi, gurunya pada rapat." jawabnya, aku tak terlalu memperhatikan.

Aku masih mencoba mencerna pernyataan Theo, kalo kelas tambahan gajadi, harusnya kan Theo ke kelas.

Ku lihat bahan presentasi yang tergeletak di meja kamar, berarti Tyo ketemu sama Theo di lantai 3 kali ya, terus nitipin, tapi kenapa gak bilang?

Aku mengambil ponsel yang ada di dalam tas, mengetik sebuah nama pada layar.

"Halo," ucap ku saat panggilannya sudah tersambung.

"Kenapa?" tanyanya, tak sengaja aku mendengar suara benda-benda terlempar dan pecah.

"Sibuk ya?" tanya ku, sedikit ragu untuk melanjutkan percakapan karena suara pecahan yang semakin banyak.

"Gapapa, kenapa?" tanyanya lagi, jelas sekali dia menjauh dari tempat terdengarnya suara pecahan itu.

Aku mengurungkan niat ku untuk menanyakan soal Theo, "Udah sampai rumah?" hanya itu yang bisa ku ucapkan.

"Udah, baru aja." jawabnya, aku mendengar suara hempasan disana.

"Sekarang lagi apa?" aku duduk di kursi gantung pada teras kamar ku.

"Tiduran, dikamar." dengan jelas aku mendengar suara nafasnya.

Aku kehabisan pertanyaan.

"Minggu kosong gak?" dia bertanya.

"Abis pulang gereja kosong kok."

"Sore gue jemput, ya?" DATE! OMG

"Mau kemana?"

"Belom tau, tapi mau ya?"

"Iya,"

Sore ini adalah momen terbahagia bagi ku, aku tak bisa berhenti tersenyum, sampai-sampai orang rumah terus saja menanyakan.

Paginya saat aku tiba di kelas, dia sudah duduk dimejanya sambil membawa novel. Aku baru sadar kalau sudah lama bangat aku gak baca novel lagi.

Sepertinya sudah jadi kebiasaan ku menggunakan sticky notes saat bicara dengannya di kelas.

"Pagi :)" tulis ku, ku tempelkan kertas itu di lengannya.

"Baca apa?" tulis ku lagi, lalu menempelkannya di tempat yang sama. Dia menunjukan judulnya pada ku, 'A Room With A View'.

"Udah pernah baca?" tanyanya langsung pada ku.

"Udah 7 kali." jawab ku, dia menatap ku dengan wajah tidak percaya. Ku respon dengan mengangkat kedua bahu ku.

Kelas bahasa Jepang pun di mulai, sensei memberi kami 100 soal untuk di kerjakan.

"Kei, kantin gak?" tanya Disa saat pelajaran telah usai.

"Enggak deh, gue mau ngecek jawaban gue yang tadi."

Aku memfokuskan diri pada buku paket, memastikan jawaban ku tadi. Pelajaran yang paling sulit menurut ku ya ini, bahasa Jepang, aku selalu pusing saat membaca hiragana dan katakana, apalagi kanji. Aku angkat tangan.

Tiba-tiba seseorang mengetuk meja ku, aku mendongak untuk melihat si pelaku. "Gak makan?" tanyanya. Dia Tyo.

"Masih ngecek jawaban yang tadi." jawab ku lalu kembali ke buku paket ku.

"Gausah dibawa serius, lo masih SMA." ucapnya, dia meletakan kotak makan berisi omlete di hadapan ku. "Abisin."

"Bukannya masih SMA, tapi udah SMA, udah waktunya serius, apalagi soal masa depan." celoteh ku yang terdengar seperti menceramahi.

"Terus kapan lo mau seriusin gue, Cassandra?" ucap seseorang yang tiba-tiba muncul, Anjas.

Aku hanya bisa tertawa, tidak mau terlalu menanggapi. "Bikin sendiri?" tanya ku, lalu memasukan satu sendok besar omlete.

Aku tak mendapatkan respon apapun darinya, dia hanya terus saja memperhatikan ku menghabiskan makan siangnya. Anak-anak pun kembali ke kelas satu persatu karena jam istirahat yang hampir habis. Tyo kemudian segera duduk di kursinya dengan benar.

"Apaan tuh, Kei?" tanya Dimas saat melewati ku.

"Gak boleh minta."

Disa menghampiri ku lalu menggebrak meja cukup keras, "So, salah berapa?" tanyanya penasaran.

"Kayanya tiga puluh tujuh deh." aku menunduk lesu.

"Semangat, lain kali pasti bisa kurang dari tujuh belas." Disa menyemangati, dia tahu sekali bahwa aku ingin mengatasi kelemahan ku dalam bahasa Jepang. "Segitu juga udah bagus Kei, belum tentu yang lain bisa kaya lo."

Benar juga yang Disa bilang, "Iya sih," aku mengakui.

Disa mencubit gemas pipi ku, "Nih anak udah pinter tapi masih aja kurang, untung aja gak sombong atau pelit." dia masih terus saja gemes.

"Gak perlu muji segala, lo bakal selalu dapet sesi belajar bareng gue tiap mau ujian." canda ku.

"Cakep banget dah."

Pelajaran bahasa Prancis kali ini kami akan menonton sebuah film bersama, sungguh ini yang paling ku tunggu setiap pelajaran bahasa. Kami memindahkan kursi-kursi lalu menyusunnya berbaris dengan rapih, seperti biasa kami membuatnya menjadi 3 baris. Aku mengusahakan semampu ku duduk di samping Tyo tanpa terlihat oleh siapapun, yah, kecuali Dimas dan Disa.

Terima kasih pada wajah flat Tyo yang tidak bereaksi apapun saat aku duduk disampingnya. Kali ini film yang di putar adalah tentang biografi Marie Antoinette, untungnya aku sudah membaca novelnya jadi tidak perlu terlalu pusing untuk mengerti apa yang mereka bicarakan karena tidak ada subtittle .

"Udah pernah belajar bahasa Prancis belom?" tulis ku pada sticky notes lalu meletakannya di hadapan Tyo.

Aku melihat dia mengeluarkan sticky notesnya juga, mengambil lembar baru lalu menuliskan sesuatu, "Udah." tulisnya.

"Kapan?" ku tulis pada bagian bawah.

"Minggu lalu," tulisnya lagi pada lembar baru. Sial, aku kira beneran.

"\\°A°//" tambah ku, ku tulis dengan jengkel.

Ku lihat tubuhnya sedikit bergetar seperti sedang tertawa, aku menoleh padanya untuk memastikan bahwa dia benar-benar tertawa, dan itu benar, dia tertawa.

"Besok mau kemana?" tulis ku, lalu ku letakan di hadapannya. "Tempatnya kaya gimana?" ku tambahkan, lalu meletakannya lagi di hadapannya. "Biar bisa nyesuaiin sama dresscode." tambah ku satu lagi, kini ada tiga sticky notes menumpuk di hadapannya.

Ku lihat dia hanya terus saja menatap tulisan-tulisan ku, tidak tahu kenapa, mungkin memikirkan jawabannya. Aku memutuskan untuk melirik film, sudah sampai dimana mereka.

Baru sebentar saja aku memperhatikan, kepala ku langsung sakit, ku lirik teman-teman ku. Sayang sekali aku duduk di paling belakang, jadi tidak bisa melihat ekspresi mereka semua. Tapi yang jelas Siska dan yang lainnya sibuk dengan kaca sedangkan Anjas dan geng ricuh sudah tertidur pulas, dari kita-kita hanya Disa saja yang serius menonton.

Akhirnya pesan balasan Tyo muncul, aku melirik ke bawah dan membaca tulisan di sticky notes itu dan betapa terkejutnya aku saat membacanya. "Lo pake baju apa aja cantik." GILA!

Detik itu juga jantung ku berdegup kencang dengan tempo tak beraturan. Aku menoleh padanya, memastikan orang disamping ku adalah dia, bukan Anjas atau salah satu dari mereka, bukan juga Bram, dan benar, dia Stefano Prasetyo si balok es.

Jantung ku yang tadi berdetak tak karuan tiba-tiba berhenti, dia menatap lurus ke mata ku, bukan dengan tatapan dingin yang selama ini ku lihat. Tatapannya kali ini lebih hangat, ada rasa nyaman yang ku rasakan, hari ini aku melihat sisi lain dirinya.