Tepat pukul 12 siang aku, Mamih, Papih, dan Theo keluar dari dalam Gereja, kami langsung menuju sebuah mall yang tak jauh dari sini. Biasa, belanja bulanan Mamih.
"Sandra sama Papih ya, biar Theo sama Mamih." ucap Mamih. Aku segera menggandeng Papih lalu menarik troli belanjaan.
"Gimana sekolah kamu dek?" tanya Papih saat aku sedang mencari beberapa barang perawatan untuk ku.
"Baik pih, tapi kayanya Jepang aku gak ada peningkatan deh." aku mengadu. Ku masukan shampo, sabun mandi, scrub dan barang-barang lainnya ke dalam troli.
"Kok gitu?" tanya Papih sambil melihat barang yang aku masukan ke dalam troli.
"Kemarin kan abis ngerjain soal Jepang, ada kali 100 soal terus pas udah selesai, aku cek lagi kan ke buku paket. Terus ternyata salahnya hampir 40 soal." jelas ku pada Papih yang kini mulai memasukan beberapa barang keperluan Papih ke dalam troli.
Papih hanya tertawa renyah, aku mendorong troli memasuki area makanan ringan, bagian favorit ku.
"Apa aku les aja ya pih?" tanya ku.
"Kalo masih bisa belajar sendiri mendingan kamu belajar sendiri aja, dari pada les, kamu jadi kecapean." Papih menyarankan.
"Gitu ya pih?"
"Menurut Papih sih, kemampuan bahasa Jepang kamu udah bagus kok, tinggal belajar lebih giat lagi. Tapi kalo emang mau les, nanti Papih suruh Mamih kamu cariin. Pikir-pikir dulu, kamu bener-bener butuh les atau enggak." Papih menasehati.
Benar juga sih kata Papih, mungkin akunya aja yang lebay sampai minta les segala.
Aku memasukan lumayan banyak ke dalam troli, ada jajanan Papih juga sih, tapi sepertinya jajanan aku lebih dominan. Setelah lebih dari setengah jam berkeliling, aku dan Papih memutuskan mencari Mamih dan Theo yang kemungkinan ada di tempat sayur.
Saat sedang asik mendorong-dorong troli, Papih mendadak berhenti. "Pak Raharjo?" sapa Papih pada seorang pria paruh baya yang kira-kira lebih tua sedikit dari Papih. Dia sedang bersama wanita yang wajahnya sangat muda, mungkin sekitar 30an akhir.
"Pak Marten," pria itu terlihat begitu terkejut. "Wah, kebetulan sekali bertemu disini." mereka berdua berjabat tangan.
"Sedang belanja pak?" tanya Papih sopan.
"Iya, nemenin istri." jawabnya, memperkenalkan istrinya.
"Diana," ucap wanita itu.
"Ini yang cantik ini siapa?" pria paruh baya itu menatap ku.
"Cassandra, om." aku mencium tangannya.
"Anak saya yang paling kecil," jelas Papih.
"Wah, sudah gadis ya? Sudah kelas berapa?" tanyanya pada ku.
"Kelas 2 SMA om." jawab ku dengan nada yang ku buat semanis mungkin. Dia tersenyum lebar sambil menepuk-nepuk bahu ku.
"Ini partner kerja Papih, rumahnya dekat dengan kita loh." jelas Papih pada ku.
Mereka setelahnya mengobrol membahas sesuatu yang terdengar seperti urusan pekerjaan. Ku lihat Mamih dan Theo berjalan ke arah kami, aku melambai-lambaikan tangan ku pada mereka.
"Pih," panggil Mamih saat sudah sampai.
"Pak, kenalkan, istri saya." Papih memperkenalkan Mamih.
"Christine," Mamih menjabat tangan om Raharjo dan tante Diana.
"Nah ini yang paling besar, kakaknya Sandra." kini Papih mengenalkan Theo.
"Theodore, om."
"Sudah mau lulus SMA." tambah Papih.
"Mau lanjutin kuliah dimana?" tanya om Raharjo.
"Di Bandung om, mau lanjutin Informatika."
"Hebat, hebat. Harus ke terima ya."
"Mamih ke kasir ya pih," pamit Mamih, "Kapan-kapan mampir kerumah." ucap Mamih pada tante Diana.
"Iya bu, nanti saya berkunjung."
Aku ikut Mamih ke kasir meninggalkan Theo dan Papih, "Mih, kata Papih yang tadi rumahnya deket sama kita masa."
"Ohya?"
"Iya, tapi gatau deh dimana, aku gak nanya."
Aku dan Mamih menunggu Papih dan Theo, untungnya mereka gak lama ngobrolnya. Setelahnya kami segera masuk ke mobil dan pulang.
"Yang tadi itu siapa pih?" tanya Mamih saat kami di perjalanan.
"Pak Raharjo itu pengusaha properti, Papih punya proyek besar sama beliau. Usahanya sukses besar di Jawa Tengah, sekarang lagi mau menjajakan Jakarta."
"Kata Sandra rumahnya deket sama kita."
"Itu loh, yang waktu itu Mamih ceritain, yang baru di bangun di blok B. Minggu lalu Papih meeting disana, itu rumahnya pak Raharjo."
"Astaga, yang itu rumahnya? Besar banget ya kan pih."
"Ternyata anaknya pak Raharjo satu sekolah sama Sandra dan Theo loh mih."
"Ohya? Kalian kenal?"
"Gatau deh mih," jawab ku, Mamih gimana sih, mana aku tahu siapa anaknya.
"Namanya Stefano, kamu gak pernah denger dek?" tanya Papih.
Tentu saja aku kaget sejadi-jadinya, "Stefano Prasetyo?" ungkap ku.
"Kenal?" tanya Mamih penasaran.
"Tyo mih, yang waktu itu makan malem di rumah." Theo menginfokan.
"Yaampun, dunia kecil banget ya." ungkap Mamih terkaget juga.
Aku masih tak menyangka jika yang tadi adalah calon mertua.
"Udah pernah kerumah kita?" tanya Papih, ikut penasaran sama anak partner kerjanya.
"Teman sekelas Sandra pih, waktu itu kerumah, mereka ada kerja kelompok." jelas Mamih.
"Kapan-kapan kita undang ke rumah kalau begitu." Papih bersemangat, "Mungkin aja Papih bisa terus kerja sama beliau."
Dunia emang sempit ternyata, gimana bisa coba banyak banget kebetulan kaya gini, dianya lagi gue taksir berat, ayahnya ternyata partner berharga Papih, terus rumahnya cuma beda 1 blok lagi, gini-gini biasanya cuma ada di novel nih.
"Siap-siap di jodohin lo." bisik Theo pada ku.
Di jodohin? Aku sih bersyukur, tapi tau deh Tyo mau atau enggak. Semacem takdir, tapi aku belum yakin.
Kami tiba di rumah pukul 3 sore, setelah berganti baju, aku segera membantu Mamih dan bibi merapihkan belanjaan tadi. Banyak sekali.
"Dek, hape bunyi!" Theo berteriak dari atas.
Aku segera naik ke kamar ku, sebuah panggilan dari Theo, astaga, aku lupa.
"Halo," ucap ku setelah menerima panggilan itu.
"Kira-kira satu jam lagi gue jemput ya." ucapnya di sebrang sana, ku lirik jam, sudah hampir setengah empat.
"Iya," jawab ku, aku penasaran dia tadi ada di mall juga bersama ayah dan ibunya atau ada di rumah.
"Dirumah?" tanyanya.
"Iya," jawab ku lagi.
"Kenapa lama banget angkat telfonnya?" aku bisa mendengar suara pintu mobil ditutup.
"Tadi bantuin Mamih sama bibi di bawah." aku menjelaskan.
"Terus, handphonenya di kamar?"
"Iya,"
"yaudah, gue matiin ya." kemudian sambungan terputus. Aku segera masuk kamar mandi, bersiap-siap.