Secangkir Kopi Pahit (Bab II)

Selama perjalanan pulang, Laudir terus saja menatap arah luar dari jendela mobilnya.

"Hari ini aku ingin tidur di hotel" ucap Laudir sambil menatap kearah luar melalui jendela samping tempat ia duduk.

Sopir mobil itu hanya mengangguk pelan.

"Tapi nona" ujar pak sopir dan mengubah pandangan Laudir dari arah jendela menatap kedepan.

"Saya harus ke kedai kopi Senja"sambung sopir itu.

"Untuk?" tanya Laudir dengan nada dingin.

"Mengambil pesanan tuan besar" jawab pak sopir itu.

"Ayah?"

Sopir mobil itu mengangguk.

"Baiklah" ujar Laudir, lalu berbalik melihat arah luar.

Sesampainya di kedai itu, Laudir enggan untuk turun.

"Nona ngak turun?" tanya pak sopir itu.

"Ngak, cepatlah aku lelah" tukas Laudir lalu menyandarkan kepalanya di bangku mobil.

"Nah kan, apa gue bilang nongol juga" ujar Davin saat melihat sopir itu masuk.

Verga pun langsung bangun dari baringnya.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Verga dengan ramah.

"Saya mau mengambil pesanan saya" jawab sopir itu.

"Pesanan?" ucap Verga bingung.

"Awas lo, gue yang tau" Davin mendorong Verga dengan nakal.

Davin pun memberikan pesannya itu.

"Makasih mas" tukas sopir itu ramah.

Sopir itu pun pergi dari kedai itu. Namun, saat dia hendak keluar Davin mencegahnya.

"Tunggu pak" cegah Davin.

"Iya ada apa?" tanya sopir itu bingung.

"Bapak sopir gadis yang sering kesini kan?" Davin mulai mencari tau.

Sopir itu hanya mengangguk.

"Kalau saya boleh tau, namanya siapa ya pak?" ucap Davin sambil cengengesan.

Sopir itu tampak ragu-ragu untuk menjawab, namun Davin terus saja memaksa.

"Sebenarnya, nona muda sangat benci akan hal ini, tapi saya sangat ingin nona muda mempunyai banyak teman" tukas sopir itu dengan nada sedikit ragu.

"Nona muda?" rintih Verga.

"Iya, semua pekerja yang berkerja dengan tuan besar memanggilnya nona muda" jelas sopir itu panjang lebar.

Verga pun mengangguk paham.

"Jadi namanya siapa pak?" Verga bertanya lagi.

"Laudir mas" ujar sopir itu dengan pelan.

Verga pun tersenyum lebar saat mendengar nama itu.

"Dia sekolah dimana ya pak" tanya Davin lagi.

"Di sekolah dekat kedai ini mas"

"Ah! Sekolah terkenal itu?" ucap Davin tak percaya.

Sopir itu mengangguk lagi.

"Gila itukan mahal banget" bisik Verga.

"Namanya juga orang kaya mas, yah pasti bisa" tukas sopir itu dengan sedikit tertawa.

Verga sempat kaget karna sopir itu bisa mendengar apa yang baru saja ia katakan.

"Kalau gitu, saya permisi"

Laudir pun membaringkan tubuhnya di kasur hotel itu, malam ini ia enggan untuk pulang ke rumahnya. Bagaimana, ia baru saja beradu mulu dengan lawannya dan semua siswa menyaksikan itu, tentu saja orang tuanya tau akan hal itu.

"Hah, sampai kapan seperti ini?" desah Laudir sambil menatap langit-langit kamar hotel itu.

Namun, saat Laudir sedang berbaring-baring tiba-tiba ponselnya berdering.

"Nomor tak di kenal?" ucapnya saat melihat layar ponsel.

Karna tak kenal ia pun mematikannya. Namun, lama-lama orang itu terus saja memanggil dan membuat Laudir kesal.

"Hallo?" jawabnya dingin.

"Kenapa kau tak angkat telepon ku!" ucap Verton kesal.

"Kau siapa?" ujarnya dingin.

"Kau tak kenal suaraku?" tanya Verton.

"Ngak"

"Yak! Kau ini" tukas Verton kesal.

Laudir tak menjawab, ia hanya diam saja.

"Hallo?" ujar Verton saat tak mendengar suara Laudir.

"Hem"

Verton menghela nafas saat Laudir masih menjawab.

"Kenapa kau tak pulang ke rumah?" tanya Verton.

"Bukan urusanmu" jawab Laudir dengan nada dingin.

"Turunlah" perintah Verton.

"Hem?"

"Aku ada di lobi, cepat turun" tukas Verton.

"B-bagaimana kau bisa tau?" ujar Laudir sedikit terkejut.

"Udah, cepat turun" ucap Verton lalu memutuskan panggilan.

"Bagaimana dia tau aku ada disini?" batin Laudir.

Setelah berpikir lama, akhirnya Laudir pun turun untuk menemui Verton.

"Ada apa?" tanya Laudir dengan nada dingin.

Bukannya menjawab, Verton malah menarik tangan Laudir untuk keluar dari hotel itu dan membuat Laudir terkejut.

"Kau mau bawa aku kemana?" Ucap Laudir dengan nada kesal.

"udah, diam aja" ujar Verton sambil menyalakan mobil.

Setelah beberapa jam, mereka pun sampai tepian laut.

"Ayo turun" tukas Verton mengulurkan tangannya.

Namun Laudir masih diam menatap kearah depan.

"Ah, lama" Verton menarik Laudir untuk keluar dari mobil itu, dan membuat Laudir tersentak kaget.

"untuk apa kita kesini?" tanyanya dingin.

"Kalau kau ingin menangis, lebih baik disini kan keren" ucap Verton dengan nada menggoda.

Laudir hanya menatap dingin pria di sebelahnya itu.

"Aku hanya bercanda"

"Kenapa kau tidak pulang ke rumah?" Sambung Verton.

"tidak ada, aku hanya bosan" jawab Laudir sambil menatap laut.

Verton sempat tersenyum mendengar jawab dari Laudir.

"benarkah kau bosan?" tanya Verton sambil menatap dalam Laudir.

Laudir sempat membuang wajah saat Verton menatapnya.

"apa menurutmu dunia ini adil?" ujar Laudir dengan nada dingin.

"Kenapa kau bertanya seperti itu?" jawab Verton dengan raut wajah kebingungan.

"kau tak tau kehidupan ku, maka berhentilah ikut campur" tukas Laudir lalu bangkit dari duduknya dan pernah meninggalkan Verton.

"Aku sangat tau kehidupanmu, maka itu sebabnya aku ada disini menemuimu" batin Verton sambil melihat punggung Laudir yang sudah mulai menjauh.

Dalam kamar. Laudir terus saja menangis, ia tak tau harus berbuat apa, hatinya sudah cukup hancur menjalani kehidupan pahit ini. Rasanya sudah tak ada harapan untuk bertahan menjalani kehidupan yang miris itu.

"lo ngak boleh nangis Laudir, lo itu kuat" rintih Laudir sambil berusaha menghentikan tangisnya.

Ia pun bangun dari baringnya dan menuju balkon jendela kamar hotel itu.

Dan, lagi-lagi air mata itu membasahi pipinya.

"ah sial! Kenapa harus lupa bawa kunci sih" gerutu Verga saat melihat kocek celananya tak ada satupun benda.

Namun, saat Laudir sedang merenung tiba-tiba ponsel miliknya berdering.

"Ah, mau apa lagi mereka?" rintih Laudir menghela nafas saat melihat layar panggilan adalah ayah yang memanggilnya.

"Di mana kamu?"tanya ayah dengan nada sedikit tegas.

Namun, Laudir tetap diam.

"Laudir!" bentak pria tua itu.

"aku akan pulang besok" tukasnya dingin, lalu mematikan panggilan.

Karna hatinya merasa panas, Laudir memutuskan untuk keluar sebentar mencari udara segar.

"Apa ngak ada kunci cadangannya mbak?" tanya Verga kepada receptiolist.

"sebentar pak, kami cek dulu" ucap receptionist hotel itu dengan ramah.

Saat Laudir turun dan berniat ingin keluar, tiba-tiba receptiolist itu memanggil Laudir.

"Mbak" panggilnya.

Laudir pun menatap heran.

Receptionist itu pun menghampiri Laudir.

"saya boleh pinjam kuncinya?" tanya receptionist itu ramah.

"Untuk?" jawabnya dingin.

"Kebetulan bapak ini ketinggalan kunci dan kunci mbak cocok dengan kunci kamar bapak ini" jelas orang itu panjang lebar.

Laudir menatap dingin Verga dan membuat pria berkacamata manis itu menjadi salah tingkah.

"Ini"

"Terimakasih mbak, nanti akan saya kembali kan" tukas receptionist itu sembari tersenyum.

Laudir hanya mengangguk, kemudian pergi dari tempat itu untuk mencari udara segar.

"ini pak udah saya buka" ujar receptionist itu setelah membuka pintu kamar Verga.

"Makasih mbak"

"Oh iya mbak, kalau saya boleh tau wanita itu tadi tinggal disini ya?" tanya Verga.

"oh mbak yang tadi ya?"

Verga pun mengangguk.

"dia hanya menginap sebentar saja pak" jelas receptionist itu.

Verga pun mengangguk paham dan berterima kasih pada receptionist itu.

Angin berhembus sangat kencang dan langit-langit pun tampak lebih gelap.

"mau hujan lebat nih" ucap Verga sambil melihat arah luar dari jendela kamarnya.

Verga pun pergi menuju dapur untuk menyeduh secangkir kopi, sejak SMA pria yang memiliki lesung pipi itu sangat suka dengan hal-hal yang berbau minuman berwarna hitam itu.

Namun, saat sedang meracik, tiba-tiba ia teringat akan wanita yang selalu datang ke kedainya itu.

"apa gue bikini dia juga ya?" inisiatif Verga.

"yah udahlah bikin aja"

Verga pun menyeduh secangkir kopi pahit untuk Laudir.

"pasti dia suka" tukas Verga bangga.

Verga pun keluar dari kamarnya, namun saat ingin mengetok pintu Laudir, Verga sempat heran dengan pintu kamar yang tak tertutup itu.

"kok pintunya terbuka?"

Ia pun mencoba untuk mengintip dan, betapa terkejutnya ia saat melihat seorang gadis yang ingin menggantung diri.

"mbak jangan!" teriak Verga lalu menarik Laudir hingga terjatuh.

"mbak ngak kenapa-kenapa kan?" tanyanya dengan panik.