Sisi Kelam

Di penghujung kelas tiga SMP aku melihat Fairial semakin berubah jadi dewasa. Dia berbalik sering membantuku. Contohnya sekarang.

"Rial cepetan. Waktunya bentar lagi." Ucapku yang sedang dipakaikan kacu oleh lelaki itu.

"Iya sabar." Dia tarik dan masukkan Kacunya dengan cepat. Lalu selesai. Dia juga bantu membenarkan kerudungku yang sedikit bengkok.

"Kamu ini sudah besar masih aja dipakein. Kerudung ini juga ibumu kan yang pakai."

"Emang kenapa?"

"Ya masa mau selamanya dipakein. Belajarlah."

"Iye iye." Ucapku.

"Udah sana."

"Makasih ya."

Aku kembali ke barisan anak perempuan yang tengah berbaris di lapangan. Saat ini sedang ada Pramuka. Laki laki dan perempuan barisannya dipisah.

Tiap kacu itu copot aku menghampiri Fairial untuk dipakaikan. Padahal sudah beberapa kali dia mengajarkanku tapi mungkin karena aku rada sedikit belet. Sampai sekarang aku belum bisa memakainya.

Aku sering dibantu olehnya belakangan ini meski satu hal tentangnya itu masih ada. Yaitu sifat menyebalkannya. Perkataan mengguruinya itu mirip seperti ibuku saja. Dia bawel.

Aku memperhatikan Fairial yang sedang dijadikan ketua regu Pramuka. Gerakan PBB-nya sangat bagus, dia berulang kali ditepuk tangani oleh banyak siswi yang sibuk menontonnya. Itulah dia. Selalu menjadi pusat perhatian semua orang.

Dia juga sering dijadikan pengganti kakak pembina ketika dia tak masuk.

''Serius amat.'' Lelaki itu menaikkan kacamatanya yang turun. Ekspresinya datar seperti biasa.

Dia duduk didepan kursiku sekarang. Aku mendongak, ternyata fairial sudah melengos sok keren, ia lanjut kembali .

''Kalo aku gak begini aku gak bakalan masuk SMAN 5. Emangnya otak aku kayak kamu''

''Percuma, udah deh nyerah aja." Fairial mengibas-ngibas.

Aku menaboknya dengan buku.

"Bukannya disemangatin temennya lagi gini !''

"Kita teman? Sejak kapan?"

"Ishh!"

Aku tiba tiba teringat sesuatu

"Oh iya, ini." Aku mengambil salah satu bekalku dari dalam tas

"Makan dulu, takut nunggu lama.''

''Kamu nggak ?''

''Nggak, tulisan sebegitu banyaknya gimana sempet makan?''

Tiba tiba saja ada sekelompok gadis yang melihat kami berdua didalam kelas.

Aku tak mengenalnya, itu teman fairial. Seingatku mereka selalu meminta fairial mengajari mereka. Padahal kakak kelas

''Ciye ciye, fairial pacarnya.''

''Ehem, ehemm''

''Ra lo punya saingan tuh"

"Hush!"

Sesaat mereka berlalu berbicara dua tuyul ini saling menatap muka satu sama lain dan langsung muntah.

''Amit amit cabang orok ...''

''Siapa juga yang mau pacaran sama kamu, siapa sih mereka? kayaknya kenal banget sama kamu''

''Udahlah gak penting ..''

Aku menurut dan balik menulis. Memang iya nggak penting, tapi entah mengapa akhir-akhir ini orang banyak yang menyangka bahwa kita pacaran. Mungkin karna sekarang zaman-zamannya anak seumuran kita pacaran. Atau mungkin karna kita terlalu sering bersama, sampai-sampai makan, pulang dan berangkat pun selalu bersama.

Padahal diantara kita itu tidak ada apa-apa. Selain ikatan saudara. Aku akhirnya pulang. Dia dibelakangku. "Assalamualaikum." Ucap kami berdua. Ibu berjalan mendekati kami.

"Waalaikumsalam, eh anak ibu udah pada pulang."

Kami berdua saling mencium tangan ibu.

"Bu tadi rial ulangannya dapat nilai seratus loh."

"Waah yang bener? Hebat kamu rial. Ibu bangga sama kamu." Sanjung ibu, hampir menerbangkan Fairial ke langit seperti balon. Dia tersanjung. Senyum malu malu.

Ibu lalu berbisik ke telinganya.

"Jangan kayak fiya, belajar pas mau ulangan doang." Bisik ibu. Aku mendengarnya dan langsung cemberut.

"Kenapa sih tayang?" Tanya ibu langsung mengelus pundakku. Aku menolak tangannya.

"Tauk!"

Aku langsung berlari kedalam kamar. Menutup telinga dengan headset dan menyetel lagu-lagu Inggris. Satu dua kata aku mulai menulis sesuatu di lembaran diary biruku.

Aku curhat mengenai Fairial lagi. Dia menyebalkan. Dia pasti senang ibu telah menyanjungnya tadi. Kehadirannya selalu merebut segala hal dariku. Itulah kenapa aku selalu mendeklarasikan perang padanya.

###

Satu dua kali kucoba mengetuk pintu bercat coklat itu. Lalu menyebut namanya.

''Rial."

Padahal bilangnya kesal dan ngambek sama orang ini. Tapi nyatanya aku masih terlalu perduli dengan teman dekatku itu. Aku rela membawakannya nampan makanan lagi. Kak risky yang baru pulang kuliah tak sengaja melihatku.

''Kamu ngapain fi...''

''Nih."

Aku mengangkat nampan makanan. Kelihatannya kak risky sudah tahu tanpa harus diberi tahu panjang lebar.

''Jangan malem-malem pulangnya nanti diculik sundel bolong lho..''

''Ah kakak mahh.''

Kak risky terlihat cekikikan sampai kalanya ia masuk terbenam ke dalam pintu. Tahu saja aku penakut.

''Rial." Kembali aku memanggil nama itu lagi. Dari depan pintu. Sepi.

Lampu monyet itu bergeming melihatku. Semua yang berwarna disana jadi kuning. Termasuk warna bajuku.

Terlalu lama tak dijawab, aku pun inisiatif mengintip fairial dari kaca jendela. Aku harus memastikan kalau fairial ada disana. Kalau tidak ya mungkin aku akan kebingungan sendiri.

Akhirnya aku mengintip lewat jendela kamarnya. Aku melihat seseorang yang sedang termenung diatas meja belajar.

Dibawah naungan lampu pijar bermerk Philips itu, riak wajahnya terlihat serius menatap sebuah buku. Dia kembali menulis. Dan berfikir, pulpennya diketukkan beberapa kali ke kepalanya .

Jadi itu cara orang pintar sedang berfikir. Pikirku

Ia terlihat sangat fokus dan sendiri. Ia seperti berada di dunia parallel, yang dengan itu ia seperti tenggelam dalam keindahannya.

Ia selalu sendiri, memecahkan segalanya.

Apakah ia memang terlahir untuk menjadi seperti itu?

Aku tak pernah tahu...

Dan satu hal yang baru kusadari. Pantang menyerah dan belajar. Itu adalah kunci kemenangannya selama ini.

Ahh benar

Ternyata aku salah ! Aku salah tentangnya yang selalu berpikiran kalau dia terlahir untuk memiliki otak sejenius Einstein, atau sekedar bakat lahiriah saja tanpa usaha apa-apa.

Ternyata aku benar-benar salah bisa beranggapan seperti itu. Padahal dia selalu belajar sampai larut begini.

Mestinya aku berhenti memikirkan hal buruk tentangnya.

Malam sudah semakin larut, aku masih menunggu laki-laki itu keluar dari pintunya. Dan menyadari kehadiranku.

Tapi lama. Ahh terlalu banyak nyamuk disini. Bahkan tangan dan kakiku dijadikan candlelight dinner puluhan nyamuk sekaligus.

Yah itung-itung amal

Fairial keluarlah.

Dua jam berselang fairial pun keluar dari dunia tak terjamanya. Dia terkejut ketika melihat gadis familiar ini tidur dengan mulut menganga dikursi depan.

Baru saja laki-laki berkacamata ini hendak membangunkanku, tapi nyatanya aku sudah terbangun dengan tiba tiba. Aku tersedak nyamuk.

Fairial menahan tawa. Bahkan ketika aku terbatuk dan muntah-muntah ia malah sibuk menggeleng sambil melipat tangan didada.

''Makanya kalo tidur tuh jangan mangap !'' Fairial hanya membantu menepuk-nepuk punggungku. Ketika aku jongkok.

Sial ! nyamuknya tidak mau keluar !

Batukku meradang, ''Kamu lagian lama !''

''Emang nggak ketuk pintu dulu?''

''Udah ribuan kali aku ngetok ngetok !'' jawabku panas

"O,oh maaf ...''

Hanya itu ?

Tiba tiba muncul sebuah mobil sedan didepan rumah fairial. Sesosok pria paruh baya pun keluar dari mobil dan berjalan ke arah kami dengan langkah gontai dan tak seimbang. Ia mabuk.

Aku merasa tak asing dengannya, Ia berpakaian sama seperti yang dulu-dulu aku lihat, ia memakai jas kantoran dan celana hitam.

Aku ingat, dia yang waktu itu hampir membocorkan kepala fairial. Dia kah ayah fairial? dan apakah sekarang ia berniat melakukan hal yang sama lagi?

Fairial masih terbelalak didepan pintu. Seakan berjumpa dengan sesosok monster yang cukup lama tak ia lihat. Aku lantas memajukan tubuh ke depan fairial. Lalu kedua tanganku direntangkan . ''Jangan ganggu dia!"

''Tolong jangan pukul fairial lagi!''

Ia tersenyum menyeringai seolah coba membuatku gentar. Aku masih menghadangnya. Aku ketakutan. Tiba tiba tangan pria itu keluar, Pria itu langsung menghempaskan tubuhku ke lantai. Kepalaku membentur meja.

Fairial terkejut, aku kesakitan. Dia mendengus dilingkupi amarah, dan ketika mau melawan. Dia malah ditampar.

''MASUK !''

''CEPAT MASUK !''

Fairial diseret masuk oleh pemabuk berjas itu, meskipun tak ada hati untuknya menurut pada sosok yang sudah lama tak dikenalinya manusia. Ia meninggalkanku yang sedang berjibaku dengan rasa sakit.

Tatapan penuh luka yang dilayangkan pandang fairial padaku makin membuatku tak bisa mengontrol emosi. Air mataku mengucur deras.

Jadilah kesedihanku saat itu berpusat pada kekhawatiranku terhadap fairial lagi.

Dari balik benaman pintu suara teriakan, rintihan, perlawanan dan pukulan baku hantam terus menghiasi malam yang semakin gelap itu. Aku menangis dan terus meluberkan dua pipiku dengan terjangan air mata.

Ya Allah tolonglah rial....selamatkanlah dia.

Aku coba meraih pegangan pintu sambil tetap menangis, memaksa, menggedornya dan mendorongnya sekali lagi. Meski hasilnya nol untuk terbuka