Lima tahun yang lalu aku adalah anak pindahan di kompleks Griya Harapan Lestari. Rumah nya masih terlalu kecil dibanding sekarang, masih belum ada pagar dan halaman tanah merah, fairial ?
Rumahnya sudah berdiri kokoh didepan sana mirip rotterdam, jauh sebelum aku pindah. Mungkin ketika jaman prasejarah dia pindahnya.
Suatu ketika di usiaku yang menginjak tujuh tahun. Ibu mengajakku pergi berbelanja ke pasar.
Kebetulan hari itu adalah H-1 sebelum lebaran, hari banyaknya orang memilih lokasi ini sebagai tempat tujuan.
Tiba tiba tanganku terlepas dari tangan ibu. Sesaknya lalu lalang membuat ibu tak sadar sudah kehilangan jejak anaknya. Aku bingung . Tiap kali melihat ibuku tidak ada aku menangis.
"Ibu."
"Ibu kemana, ibu.''
Aku duduk tertelungkup diatas tanah merah. Ketakutan. Aku tak tahu kemana jalan pulang. Ini pertama kalinya aku diajak keluar rumah.
Aku terus menangis dengan wajah yang separuh tenggelam dalam dekapan tangan.
Aku tak tahu harus berbuat apa sekarang. Sampai kalanya ramai orang semakin bertambah, aku tetap pada posisiku yang memalang jalan mereka.
" Duuh anak siapa sih ni "
" Dek jangan dijalan "
Mereka hanya terusik, tapi tidak membantuku. Aku tetap menelungkup seperti itu. Tangisanku makin membesar, tak ada satupun orang yang memperdulikanku. Selain mendesah dan pergi. Mereka sibuk dengan tujuannya.
Tapi tiba tiba saja ada seorang anak laki-laki yang memakai topi kebesaran menghampiriku, ia membawa sekantung belanjaan.
"Kamu kenapa ? '' Ia agak membungkukkan badan.
Anak laki-laki itu meneliti ujung kepala sampai ujung kakiku, sepertinya ia sedang memastikan, dan kukira ia terlihat seperti mengenalku.
"Ibu, ibu kemana '' Isakku
Anak laki-laki ini langsung menggamit tanganku dan membawaku pergi
"Ikut aku."
Hal yang tidak sama sekali kumengerti. Ia membawaku keluar dari keasingan didalam sana. Menjemputku yang masih membutuhkan penunjuk arah.
Aku hanya menangis, dan terus menangis. Sepanjang itu ia kerap menghiburku dengan senyuman, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
Hingga akhirnya aku merasa nyaman. Seolah percaya bahwa ialah sosok yang diciptakan tuhan untuk mengantarkanku pulang.
Dulu aku memang tak begitu mengenalnya dan skenario Allah yang masih berlalu rahasia, tapi seiring berputar nya waktu.
Aku mulai memahami siapa sosok itu, semua sikap yang kulalui dekat, ternyata ia selalu berada didepanku.
Lama berselang, aku makin mengenalnya.
Bahkan aku sering mengaitkan dia dengan kompas. Aneh ya? Aku bingung, sejak kapan aku mulai menganggapnya sebegitu penting .
Aku ingat waktu itu dia juga pernah memberiku kompas. Katanya sih agar aku tidak nyasar lagi. Memangnya aku digunung? Tapi aku tak pernah memakainya lagi.
Alasannya aku mengatakan itu rusak. Padahal sebenarnya aku menyimpannya tanpa sepengetahuan dia.
Bagiku, fairial memang menyebalkan tapi entah mengapa aku selalu mengandalkan dia. Aku tak tahu jika dunia harus berputar tanpa ada dia disisiku. Aku selalu bergantung padanya setiap waktu.
Pemilik seragam putih biru ini tiba tiba menepikan sepedanya didekat perempatan jalan. Aku bingung ketika dihadapkan dengan jalan raya yang menyilang dihadapan mataku. Rasanya aku sudah agak lupa jalanan kesana.
Fairial tiba tiba menyusul dari belakang . Dia memunggungiku
"Kenapa berhenti? ''
"Sepertinya aku lupa.''
" Beuh, dasar belet. Baru aja beberapa bulan kita gak kesini''
" Habisnya jalanannya banyak yang berubah ...''
" Ck, yaudah ikutin aku ''
Entah sampai kapan....
Ia selalu berdiri tegak didepanku, memanduku layaknya nahkoda kapal.
Ia didepan, memunggungiku, setiap saat ketika aku dihadapkan pada posisi yang sulit. Ia mengajarkanku banyak hal tentang dunia. Dari balik sosok nya. Aku mengerti kemana kaki ini harus melangkah.
" Sejak kecil tuh kamu sering lupaan gitu sama jalanan, kenapa sih ? dan kukira kebiasaan itu udah berubah ehh ternyata belom'' Seloroh Fairial.
Aku mendesis " Secara gak langsung kamu ngatain aku pikun kan ? ".
"Ya ya, aku memang pikun, belet, payah"
"Hahaha bukan tapi bolot, nenek-nenek bolot !''
Aku mendesis lagi dan duluan menendang kaki fairial meski nyatanya kami berdua sedang mengendarai sepeda.
Sepedanya hampir mau terjatuh. Dimanapun kapanpun kami selalu berkelahi, bahkan ibu dan ayah sudah pasrah lebih dulu ketika menghadapi kami
###
''Kamu mau kemana?'' Tanya fairial.
''Maksudnya? '' Tanyaku
''Setelah lulus smp."
Aku masih menyempatkan diri membaca buku bimbel sambil berjalan.
''SMAN 5 lah ''
"Kalo gak lulus tes? ''
Aku meliriknya sinis ''Kok gitu sih."
''Yaa maksudnya masuk situ nilai rata-rata nya harus delapan ke atas ya ada kemungkinan masuk gak nya kan.''
''Aku tau rial kamu tuh pinter, populer, murid teladan, multi talent kamu bisa seenak jidatnya masuk situ tanpa ngeluarin keringat."
''Tunggu, tunggu. Udah deh nggak usah ngomongin itu."
"Maksud aku kan kalo''
Mataku mengerjap dan balik lagi ke buku . ''Mungkin pesantren.''
''Pfft.''
''Apa nya yang lucu ? '' Aku memicing
''Nggak, ohh jadi sekarang kamu mau jadi ustadzah.'' Sindirnya
''Emang lulusan pesantren terkenalnya tuh dengan gelar ustadzah doang ? Aku hanya kepengen ngebenerin diri aja yal. Barang kali darisana aku bisa jadi lebih baik lagi."
''Maksudnya direparasi ?'' selorohnya
''Apaan sih emang aku motor apa!'' Ucapku langsung meninju bahunya.
Pandangku berbinar ke arah lain. Aku tiba tiba berlari kecil meninggalkan fairial dibelakang, menuju tukang mainan. ''Rial ! '' Aku melambai-lambaikan tangan pada fairial yang masih ada diujung sana. Aahh ia memang lamban seperti siput.
''Ada-ada aja.'' Fairial mendumel sambil geleng-geleng, ia segera berlari menyusulku. Ia paling tahu aku mau ngapain.
Tampak beberapa anak kecil sedang bermain kelereng didepan mata kami. Mereka terlihat serius dan asyik dengan permainan itu, yang bahkan aku sendiri ingin ikut main seperti waktu kecil dulu. Bersama fairial dan kak rizky .
''Dulu kita sering main kelereng bareng ya rial, haha aku selalu kalah.''
"Udah kalah nangis lagi."
Kami saling mempertontonkan kelima bocah dihadapan yang sedang sibuknya berkonsentrasi saat main kelereng. Rusuh ketika salah satu kelerengnya masuk. Ada yang tertawa dan ada yang mendesah.
Yah , meski dari awal kita hanyalah penonton atau supporter disana .sejak tadi kita berdua terus melahap agar-agar dan rambut nenek-nenek yang warnanya hampir mencolok mata. Enak menurutku.
''Haha rasanya masih sama ...''
Fairial jadi anak paling pendiam disana. Dingin . ia mirip kulkas . Ia hanya memakan , ngangguk-ngangguk, melengos sok keren , duduk manis dan menanti kapan saat-saat sang tuan putri mulai bosan. Haha aku tuan putri
"Kalau aku lulus tes nanti, aku pasti akan bertemu denganmu lagi rial dan kita akan terus bersama hingga waktu yang cukup lama." aku tersenyum sepintas . mengajak matanya berbicara
Fairial melengos sok keren lagi sambil makan. Gak selera
''Tapi kalau sekiranya aku nggak lulus tes, aku akan ke pesantren, yang disana aku dapat menemukan petualangan, kisah baru, tangis dan tawa, tanpa kamu. Kita menyusur jalan masing-masing" Fairial terdiam, aku tak terlalu memperhatikannya jadi aku terus nyerocos hingga berhenti di titik yang kuinginkan
"Hmm gimana yaa hidup ku tanpa fairial, enak kali ya. Nggak ada fairial Nggak ada yang isengin lagi. Nggak ada yang bikin aku ngambek lagi dipojokan. Nggak ada yang bikin aku hipertensi dadakan lagi haha."
Tiba tiba suasana menyepi. Aku masih memandangi keceriaan anak-anak didepanku lalu tertawa melihat gaya candaan mereka, sementara fairial terlihat memendam sesuatu.
Entah kenapa ia jadi ingin cepat-cepat mengakhirinya . ''Ayo pulang." Usulnya.
Fairial bangkit dari tempat duduk beramplaskan semen itu dan menaruh mangkuk agar-agarnya disana. Ia sudah lebih tak selera dengan semua.
Mungkin menurutnya itu mirip anak kecil. Kadang itulah yang sering aku sebalkan dari dirinya yang sekarang, tingkahku selalu kekanak-kanakan dimatanya ...
"Ih ntar dulu."
''Ditinggal. '' Ejeknya sambil pergi."
''Ihh tunggu. Kalo nyasar lagi gimana."
''Nggak mungkin lah ... masa selamanya harus nyasar.''
''Rial tunggu !''
Aku bergegas membayar dan ikutan pergi membayangi tubuh yang lumayan jangkung itu, laki-laki itu memang selalu resek, paling nggak mudah ditebak, aku sering kerepotan sendiri jika sedang bersamanya.
Di satu sisi mungkin aku cukup kesal dengannya semaunya!
Apalagi dulu dia selalu melecutkan telingaku dengan ejekan-ejekan mautnya, yang gak jarang suka membuatku jadi kuda lumping, makanin beling, debus, nelen golok atau semacamnya.
Tapi disisi lain ia adalah orang yang setia dan baik hatinya. Dia selalu ada ketika kubutuhkan. Dia adalah buku diary keduaku selama ini. Disisi ini aku cukup menyukainya. Menderetkannya pada derajat keluarga yang sangat aku cintai.