Tiba tiba pekikan nyaring keluar dari mulut santriwati di malam itu. Della
''PENCURI !''
Pukul 23.00 seluruh santriwati penghuni kamar yang dilewatinya langsung terperanjat bangun dari tidurnya.
Della berlomba lari dengan si pencuri. Gadis ini terus mengikuti kemana gadis berkerudung coklat itu berlari.
''Hey berhenti !'' Teriaknya
Ditengah keheningan malam. Seluruh kamar dan anak tangga mereka terjang. Hanya berdua. Jarak lari mereka semakin dekat, sang pencuri semakin diujung tanduk, ia ketakutan kalau-kalau ia disusul olehnya.
Tiba tiba ketika pencuri itu berbelok ke deretan kamar sepuluh, ia bertabrakan dengan seorang gadis yang secara penampilan pun mirip dengannya. Itu adalah shafiyya yang juga memakai kerudung coklat dan syifa. Mereka baru saja berniat melaksanakan shalat hajat.
Sang pencuri yang kelihatannya senior ini lantas menyerahkan tas berisi uang curiannya kepada shafiyya. Sontak gadis itu pun terkejut, dan makin heran lagi ketika ia sudah menghilang. Dia sembunyi ke dalam kamar sepuluh.
Della langsung menghentikan kakinya tepat dihadapan mereka berdua. Dia melihat shafiyya dengan tatapan serigala bahkan ia terus mendengus seperti harimau yang ingin menyergap.
Itu semua terjadi karna ia melihat tas yang shafiyya pegang. ia tiba tiba mencengkeram tangan shafiyya. Keras. Menyakitkan. Ia menuduhnya yang membawa uangnya. Ia menuduh shafiyya pencurinya.
''PENCURI ! TOLONG PENCURI !''
Sederet kamar yang memanjang sampai ke ujung itu tiba tiba dikejutkan oleh satu teriakan yang mengagetkan, gadis itu membuat semua orang ribut dan berhambur keluar. Shafiyya dan syifa hanya tercengang ditempat. Tanpa sedikit pun berubah posisi kaki
Sampai akhirnya mereka semua mengumpul didepan wajah shafiyya. Mencecar, menyelubunginya dengan tatapan hina dan tidak enak. Bahkan ia merasa seperti sebuah kotoran ditengah-tengah kumpulan itu. Keramaian yang selama ini ia hindari ketika bersama dengan fairial, mendadak mulai memburunya dan menyalahkan keberadaannya.
Kenapa jadi begini ya Allah ...
###
Shafiyya POV
Didepan kelima ustadzah dan beberapa santriwati kelas enam, aku disidang. Pembicaraan berlangsung alot, sepanjang penyidangan aku tidak mau mengakui dan memang bukanlah aku pelakunya.
Ada beberapa ustadzah dan santriwati yang beda pendapat dengan ketidak-akuanku
Ada yang mengira kalau itu cuma akal bulusku saja agar tidak dituduh dan ada juga yang masih membutuhkan beberapa kepastian untuk menunjukkan kalau aku adalah pelaku pencurinya .
Yah, meski aku sudah menjelaskan semua itu secara lugas. Tapi tetap saja. Mereka belum bisa menelan jawabanku secara rasional. Pasalnya saat itu tak ada satupun orang yang melihat kejadian itu selain, si korban dan pencuri .
Tapi bagaimana dengan syifa ?
Ketika syifa sedang hangat-hangatnya dibicarakan, ia tiba tiba datang. Wajahnya tertunduk dan takut-takut untuk melihat wajahku.
Hey...tidakkah dia mengenaliku ?
Entah kenapa kita seperti bukan orang yang saling kenal. Ada apa dengannya ?
Mengetahui kedatangan syifa yang seakan mukjizat dari Allah, lantas membuatku senang luar biasa.
Secercah harapan tiba tiba menyelusup dari pintu yang terbuka. Aku yakin sahabatku itu ingin membebaskanku dari jeratan penuduhan ini.
"Dia ! dia sedang bersama ku waktu itu, waktu itu kita ingin sholat hajat, iya kan syifa? dan tak sengaja aku berpapasan dengan seorang pencuri, pakaiannya persis sama denganku dan ia menyerahkanku sebuah tas kecil dan aku tidak tahu itu isinya uang sampai kakak itu datang, dia malah meneriakiku pencuri, padahal itu bukan aku, tapi kakak-kakak yang berpapasan denganku lah pencurinya." Jelasku panjang , yang lantas membuat para makhluk disana mulai memusatkan matanya ke arah gadis pemalu itu.
Sejak tadi syifa merasa tidak enak dan hanya melengos.
Ia ketakutan. Sepasang mata mengintainya dari depan jendela. Melotot dan menusuk. Aku tak sadar, ternyata ia terus memburu syifa saat itu.
''Syifa, apakah itu benar ?'' Tanya salah satu ustadzah.
Ia menggigil, gemetar, dan.... Ingin menangis .
''Syifa.'' aku menggumami namanya, seakan-akan akulah yang paling khawatir tentang semua beban yang ada diatas kepalanya. Tapi apa ? kenapa rasanya berat sekali, kenapa dia?
''D-dia lah pelakunya ...ustadzah ''
Tunjuknya mengarahku.
Petir serasa menggelegar ke ubun-ubunku. Semua orang dikamar yang dihiasi jejeran lemari itu sudah tak menapikan lagi hal itu.
Mereka sudah menduga-duga pasti inilah jawaban akhirnya. Semua kesaksian ini sudah cukup meyakinkan, bahwa hasil final dari persidangan ini adalah... aku resmi pencurinya.
Pendakwahan berjalan sesuai aturan awal, bahwa yang mencuri harus berdiri didepan lapangan santri putra. Sendiri. Memakai sebuah karton yang menggantung didada .
Dan bertuliskan kata-kata yang tak sama sekali kuridhoi seumur hidup.
''Akulah si pencuri pendanaan masjid, akulah yang bertanggung jawab atas hilangnya uang receh kalian "
Malu. dan lebih memalukan lagi ketika mereka coba mendekati tubuhku dan mengejek tulisan yang terpampang jelas pada karton yang menggantung didadaku.
Aku mendengus, bukan aku pelakunya. Aku ingin menangis
Panas terik dan guratan cahaya mentari semakin naik dan menyakitkan mata. Berjam-jam aku terus berkutat dengan gelombang panas ini, seakan teman lama.
Tanpa ada siapapun yang mengerti, perduli dan bahkan makin banyak yang menyorakiku ketika aku sudah dipindahkan kelapangan santri putri. Telingaku tebal mendengar semua cibiran pedas para santriwati yang sengaja lewat.
Ini hari ketiga. Tatapan keji itu seakan menandakanku sebagai orang hina. Malah terkadang jauh didasar hati ini berteriak. Frontal
Kenapa mereka tidak urus saja diri mereka sendiri ?!
Bibirku kian memucat, sejak kemarin aku belum makan apapun kecuali roti. Perutku keroncongan dari tadi subuh. Namun aku tidak memiliki cukup keberanian untuk mengambil makanan, karna rasa maluku.
Benar, kemana-mana aku harus memakai kertas karton bertulisan memalukan itu sebagai kalung . kemana-mana aku harus menanggung malu, dari perbuatan yang sama sekali tak aku lakukan.
Ini konyol...
Apalagi bagi para mu'allimah kelas enam. Namaku melejit bak roket yang meluncur keangkasa. Aku buah bibir mereka semua yang ada dipondok. Kemana-mana aku selalu menemukan mereka yang membicarakanku, aku dicap artis secara tak sengaja.
Terkadang aku suka menangisi hal ini dan melampiaskan semuanya pada alqur-an dan tak tahu harus kemana lagi berpegang. Aku tak punya apa-apa. Aku tak punya siapa-siapa disini.
Mereka semua total menjauhiku dengan sengaja, dan syifa? gadis itu sudah tak diperdulikan lagi olehku. Entah dikelas atau dikamar pun aku benar-benar muak melihat wajah sok polosnya. Dia memang cukup licik dari yang kukira, dia jadi memiliki banyak teman setelah menjerumuskanku ke dalam penjara menyedihkan ini.
Suatu ketika aku baru selesai mandi, sudah rapih dan berganti pakaian. Tapi ketika aku mau keluar. Tiba tiba saja tidak bisa. Ada yang mengunci kamar mandinya dari luar. Digembok pula.
Sampai berjam-jam aku terkurung didalam kamar mandi. Sendirian. Aku baru bisa keluar dari kamar mandi setelah ustadzah illa menyelamatkanku. Beliau adalah anak dari pimpinan ponpes ini.
Diantara yang lain. Ustadzah illa adalah sosok paling netral, karna beliaulah yang selama ini ku anggap sebagai ibu angkat, dan bukan hanya karna ia wali kelasku. Ia adalah ibu yang kupunya saat itu.
Esok hari, ketika aku sedang berjalan melewati sekumpulan kakak kelas. Aku kembali dilecutkan oleh lontaran panah yang keluar dari mulut mereka . ''Eh eh liat.''
''Melas banget hahaha''
''Eh eh sst... pencurinya ngeliat.''
''Masih kecil udah jadi pencuri."
''Gimana udah dewasa ya.''
''Udah ketahuan nyuri tapi gak mau ngaku !"
"Heh nyoret nama pesantren!"
Telingaku sakit serasa tertusuk oleh benda tajam. Mungkin ada belasan jarum yang menancap.
Mereka dari kelas lima. Aku tahu itu, mereka adalah teman dari gadis yang kecurian itu.
Dan lihat, apa mau mereka? bahkan mereka terlalu berani untuk mengatakan semua itu didepanku.
Aku hanya melengos pergi dan membiarkan muka-muka kasar itu seperti kehilangan mainan.
Entah mengapa aku jadi teringat dengan ayat ini. Ayat yang selalu menjadi penghibur hatiku tak ada lagi yang menganggapku sebagai teman. Almuzammil ayat 10
"Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik."
Tiba tiba aku didorong masuk ke dalam kamar mandi lagi. Bayangan tubuh kelima orang itu seakan menjadi penanda waktu ashar mulai masuk. Orang-orang ini adalah kakak kelas yang kemarin menghina ku. Dan sekarang. Mungkin mereka berniat menuntut balas kepadaku, bukan hanya lewat kata-kata lagi
''Gak usah sok keren deh lo !''
Aku tidak mengerti maksudnya
Ia menjatuhkan tubuhku ke lantai, sampai bahuku sendiri terbentur dinding kamar mandi. Aku berkali-kali mengerang. Mereka berlima terlalu hebat untuk ku lawan, seolah kopasus berpangkat lima. Seolah tak ada hak untukku melawan.
Aku hanya terdiam dibawah bayang -bayang mereka. Aku sangat membenci diriku yang seperti ini. hanya bisa menunduk bersalah meski mulut ketus itu terus menerus merajamku.
Kini tangan mereka mulai bermain, kerudung katun ku terlepas sengaja oleh tangan mereka. Dan yang lebih parahnya mereka membuangnya ke aliran sungai. Aku tercengang melihat ini, mahkota ku hilang.
''Lo tuh gak pantes pake kerudung ! Dasar anak kota nggak berpendidikan! Nyoret nama pesantren ini tau gak!"
"Karna kamu pesantren kita jadi nggak aman!"
"Pihak luar sudah banyak yang tahu tentang ini! mau taruh dimana muka kita!"
‘’Gak tau diri !”
Tangan mereka terus bermain dan menjambak rambutku.
Aku menyerah, aku sudah terlalu banyak melawan. Kurasa tak perlu lagi untukku merencanakan perlawanan. Mereka semakin bengis.
Berjam jam kulalui didalam ruangan lembab dan gelap itu seorang diri. Wajahku memerah, berantakan, air mataku masih tak hentinya bersusutan meski sudah tiga jam ini keluar tanpa jeda.
Lagi lagi aku dikunci didalam kamar mandi. Aku harus berulang kali berurusan dengan tempat bersemayam para iblis ini, tanpa ada seorang pun yang tahu.
###
Sampai malam menjelang aku pasrah untuk memukul-mukul pintu, yang bodohnya aku berharap ada orang yang sadar dan mendengar. Dan rela membukakan pintunya untuk gadis pencuri ini .
Aku kedinginan. Tempat ini semakin menakutkan. Apalagi tidak ada lampu disini. Aku terduduk memeluk diri. Gelap-gelapan. Berusaha meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja, seperti yang biasa fairial katakan. Senyuman ngeselinnya.
Aku terus mengingat-ingatnya. Gambaran ibu ketika tersenyum, ayah, kak risky. yang hadirnya seperti memantikkan api semangat didalam jiwa terdalamku
Mereka terlalu indah untuk kuabadikan.
Dan inikah yang fairial rasakan selama ini .... ?
Dimana tak ada seorang pun yang dimiliki sepi, sunyi, gelap, menakutkan, sendiri!
Bodoh, aku baru sadar...kenapa selama ini aku membuatnya begitu kesusahan ... padahal dibanding aku kehidupannya lebih sulit... dan kenapa aku terus menyalahkan diri agar bisa menjadi seperti dirinya ?
Kenapa aku iri dengan semua yang ia punya sampai-sampai rasanya aku ingin pergi saja dari hadapannya....kenapa aku terlalu kufur nikmat .... dan egois ?
Dan ingin selalu dimengerti olehnya ?!
Astagfirullah .... Fairial ....
Maafkan aku ...
###
Tiba tiba seseorang mengetuk-ngetuk pintu kamar ustadzah illa, panik ''Assalamu'alaikum ustadzah'' Sampai wanita sholehah yang masih berpakaian mukena ini keluar ''iya ... ada apa ?''
Gadis familiar ini ....Syifa ?
"M-maaf..maaf ustadzah ...shafi ...shafiyya ... nggak ada dikamar ustadzah ! dia dikunci dikamar mandi tua lagi !''
''Apa ? astagfirullah ...''
###
Kedua mataku perlahan membuka. Berbarengan dengan pintu yang juga terbuka. Cahaya lampu dari luar masuk, menyilaukan.
Ustadzah illa ?
Air mataku yang sempat mengering kembali terluapkan. Mataku dipaksa berkaca-kaca lagi. Ulu hatiku serasa teriris oleh kelembutan senyumannya. Ia membuatku semakin kagum.
Aku berguguran air mata. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya ingin melampiaskan semuanya dengan pelukan, menangis parah diatas bahunya. Ustadzah illa menerima pelukanku dengan sangat baik. Aku tak pernah menyangka, dalam keadaan sebegini kotornya, masih ada orang yang mau menerima pelukanku... padahal-aku merasa sangat --- tidak pantas...
Dear fairial yang jauh disana, ternyata ada yang salah dengan yang selama ini terlintas dikepalaku, aku terlalu merasa hebat. Berusaha menjauhimu atau hal semacamnya. Didepanmu aku selalu beranggapan bahwa akulah yang selalu dirugikan padahal menurutku Allah tak berniat merugikan siapapun, Rial bagiku Dia itu adil...Dia sangat adil dalam masalah penentuan.
Dia mempertemukanku denganmu yang selalu merasa kosong dan membutuhkan kasih sayang, sedang aku sendiri yang selalu dilingkupi oleh kasih sayang justru selalu ingin lebih dan merasa paling punya hak.
Itulah mengapa Allah adalah Maha Mengetahui... Dia ingin memberi kita pelajaran dengan kasih sayangNya. Membuat kita lebih banyak bersyukur tentang hidup, membuat kita lebih tersadar, bahwa didunia ini kita memiliki sebenar-benarnya tempat bergantung.
Perempuan berusia dua puluh lima tahun ini lantas membaluti tubuhku dengan handuk. Baju gamisku basah semua. Jemari dan bibirku membiru. Wajahku pucat.
"Kenapa ustadzah nolongin shafiyya ? bukankah shafiyya ini orang yang hina... shafiyya malu-maluin nama pondok, shafiyya bahkan nggak pantes pake kerudung."
Tiba tiba ustadzah illa langsung memegang kedua bahuku. Senyumannya teduh.
''Bukan dilandaskan rasa pantas atau tidaknya shaf-- siapapun yang mengaku sebagai muslimah itu wajib memakai kerudung. Karna itu adalah identitas kedua mu didunia ini, jadi jika ada yang berusaha melepas kerudungmu. Itu artinya ia masih belum terlalu mengerti tentang arti berkerudung. Kerudung adalah bentengmu dari segala fitnah ....hakmu adalah mempertahankannya''
''Lalu mengapa mereka ingin aku melepasnya ? ''
''Karna mereka sedang dikalahkan oleh emosinya....''
Aku melengos, aku masih merasa diriku sebagai sosok yang hina. Yang pantas dilempari dengan batu atau semacamnya. Tapi entah mengapa air mataku perlahan menyurut . seolah ada kekuatan magis tersendiri dari perkataan ustadzah illa
''Aku ingin menelfon ibu ... bisakan ustadzah ?''
Ustadzah illa kembali tersenyum lembut, seraya mengangguk.
###
‘’Bu, aku kangen sama ibu, sama ayah, kak rizky dan fairial. Sejak dari berbulan-bulan yang lalu aku sudah mulai membiasakan diriku dengan segala keberbedaan ini. Kukira aku bisa bertahan hingga akhir. Tapi nyatanya aku masih terlalu rapuh untuk mengerti luas orang-orang disini.
Aku sudah mencobanya bu, yah. Mencoba untuk menjadi lebih baik dan lebih dekat denganNya. Tapi sesuatu terjadi, sesuatu yang sangat amat menyakitkan dan tidak bisa membuatku tetap bertahan… aku dituduh mencuri bu, yah aku takut. Semuanya menuduhku, teman-teman sekelasku hingga teman terdekatku bahkan menjauhiku,aku nggak tahu harus bersikap apa ke mereka. Tak ada yang bisa membelaku. Tidak ada selain ustadzah illa yang coba menenangkanku… bu… Aku benar-benar tidak melakukannya….tolong percayalah padaku…aku ingin pulang…. Aku takut …."
Sejak percakapan lamaku dengan ibu lewat telpon usai, ibu langsung menyuruhku berkemas pakaian dan siap-siap. Aku benar-benar tak menyangka, hari ini juga ibu dan ayah akan langsung menjemputku ke pesantren. Ibu membuat hatiku melonjak kegirangan.
Mereka termasuk Syifa menontonku. Aku tak perduli lagi dengan tatapan penasaran mereka. Aku yakin syifa, kakak mualimah dan beberapa ustadzah pasti sudah menunggu-nunggu kepergianku. Mereka pasti bahagia aku sang penista nama pondok segera keluar.
‘’Tapi kamu harus janji sama ustadzah. Diluar sana kamu harus bisa menjaga dirimu…ingat! jangan terbawa sama pergaulan-pergaulan gak jelas oke?…kamu itu wanita … harus bisa menjaga kehormatan …seperti halnya seorang ratu …’’
Belum selesai bicara, aku langsung mendahului.
‘’Elizabeth ‘’ lanjutku,sambil tertawa.
‘’Iya, jadikan itu semua perisaimu ‘’
‘’Oke kapten ..’’
Aku menghormat.
Aku dan ibu lantas bersalaman dengan ustadzah illa dan pergi .
Baru sampai lima langkah menuruni tangga, aku kembali menoleh ke arah ustadzah illa . ‘’Ustadzah! Kapan-kapan aku akan telfon ustadzah, diangkat yah ‘’
Ustadzah melesungkan pipinya dengan senyum simpul. Ia mengangguk. ‘’Kapanpun…’’
Meskipun banyak orang diluar sana menuduhku, mencecar atau mencaci maki aku dengan tuduhan tak berdasar. Namun ustadzah illa cukup berbeda dibanding yang lain. Beliau adalah sosok ibu kedua ku di tempat ini.
Syukurlah Allah menjadikannya wali kelasku.
Beliau selalu mengajarkanku banyak hal diluar materi belajar. Tentang hidup, tentang Allah, tentang kasih sayangNya. Beliau selalu percaya bahwa aku bukanlah pelakunya. Padahal ia tak memiliki bukti apa-apa dariku. Beliau seolah bisa membaca hati dan pikiranku yang sering menyangkal semua penuduhan itu.
Di akhir, rasanya aku tidak tega jika harus meninggalkan orang sebaik dirinya.