Pio kembali duduk dan hendak membaca buku yang tadi ia baca, dia memperhatikan buku yang sedang Viel baca. Pio berpikir itu pasti buku hal yang selalu ia baca. "Tentang penyembuhan lagi?"
"Ya. Aku sedang mencari sihir penyembuhan yang bisa mengembalikan benda yang sudah hancur, bahkan berkeping-keping," jawab Viel.
"Benda? Bukan makhluk hidup?"
"Makhluk hidup itu juga termasuk benda, benar? Jadi pada intinya ini bisa digunakan pada benda hidup dan benda mati."
"Viel bilang makhluk hidup juga bisa. Kenapa benda hidup dan benda mati?"
"Apa maksudmu?"
"Maksudnya, benda hidup itu seperti... kipas angin?"
"Itu benda mati, Pio," jengkel Viel.
"Eeh? Lalu bagaimana dengan sepeda motor?"
"Ya, sepeda motor, mobil, pesawat terbang, kapal air, dan sepeda juga adalah benda hidup. Sebentar, sepeda bukan benda hidup. Eh, tapi iya deh... apanya?! Meskipun begitu, itu tetap benda mati karena tidak punya nyawa!"
"Oh, begitu ya?" Pio lalu terdiam memikirkan itu. Dan setelah beberapa saat, dia pun tersenyum senang setelah paham maksud Viel.
Mungkin kalian merasa aneh atau bingung dengan panggilan yang dilakukan Viel terhadap Pio, yang mana Viel memanggil nama Pio langsung tanpa ada awalan seperti Kak, Teh, atau Bang. Eh, jangan Bang deh, Pio 'kan gadis lo- uhum, seorang gadis. Begitu juga dengan Viel, dia juga... seorang gadis... ya, seorang gadis, hanya gadis, tanpa ada tambahan.
Oh ya, alasan kenapa Viel memanggil Pio dengan nama sebenarnya cukup sederhana, mereka sudah terbiasa dengan itu. Lagian mereka berdua berumur tidak jauh berbeda juga, Pio 12 tahun dan Viel 12 tahun. Sama saja jadinya. Mereka berdua adalah saudari kembar dan terlihat sama secara penampilan. Walau mereka terlihat sama, tentu saja pasti ada perbedaan pasti di antara mereka.
Pio lalu bertanya, "Viel bisa menggunakan sihir itu?"
"Mini heal saja aku masih harus mengeluarkan banyak mana," jawab Viel. "Aku perlu latihan lagi."
"Ya, maksudnya mini heal." Setelah beberapa saat, Pio menyadari sesuatu. "Oh ya, kenapa ya nama sihir itu dikatakan dalam bahasa inggris?"
"Biar keren saja sih kata penulis."
"Kok bisa?"
"Coba saja kalau mini heal disebut dalam bahasa Indonesia, sembuh mini." Viel menyebutkan arti sihir itu sambil menahan tawa dengan usaha keras.
Setelah beberapa saat karena mengumpulkan energi untuk tertawa, mereka pun tertawa dengan lepas. Tapi sesaat pun petugas perpustakaan menghampiri mereka berdua dan memperingatinya untuk tidak berisik. "Kalian berdua, jangan berisik! Ssst!" Karena teguran itu, Pio dan Viel jadi terdiam dan kemudian saling menatap.
"Lalu?" tanya Pio.
"Black light," kata Viel.
"Apa itu?"
"Bohlam ***** (sensor)."
"Pfft. Pfft." Pio dan Viel berusaha menahan tawanya agar tidak dimarahi penjaga perpustakaan itu lagi. Mereka berdua perlahan mengambil dan mengeluarkan napas berulang, berusaha menghentikan tawanya. Usaha yang Pio lakukan hanya membuat itu lebih parah karena Pio dengan refleksnya menggebrak meja berkali-kali dengan berisiknya.
Hal itu membuat Viel kaget. "Eh! Pio! Pio! Pio!" Viel berusaha menegur Pio berkali-kali dengan suara bisik.
Dengan teguran itu, Pio pun tersadar dengan apa yang barusan ia perbuat. Itu adalah refleks yang dilakukan Pio dan benar-benar ia lakukan tanpa sadar. Setelah itu, Pio pun menurunkan tangannya dari meja perlahan.
"Pio?" tegur Viel.
"Ya?" timpal Pio.
"Omong-omong, ini mengenai sihirmu itu, kau sendiri yang memberinya nama wind cutter, benar?"
"Ya, ada apa dengan itu?"
"Jadi kau sendiri yang menciptakan teknik sihir itu, ya?"
Dengan bangganya Pio menjawab, "Tentu saja. Bagaimana, Pio ini jenius, 'kan?"
"Ya, memang begitu adanya. Tapi... wind cutter? Angin manis?"
Sejenak Pio pun berpikir dengan maksud Viel. Dan setelah beberapa saat, Pio pun mengerti jika itu adalah lawakan lanjutan Viel. Pio pun tertawa dengan cukup lepas disambung Viel.
Dan beberapa saat pun, Pio berhenti tertawa dan menyadari ada yang aneh dengan lawakan Viel. "Tunggu, wind cutter? Angin manis? Maksud Viel wind cuter?"
"Tidak apa, biar lucu," jawab Viel.
Mereka berdua pun melanjutkan tawa mereka, bahkan lebih lepas lagi. Tapi karena kelakuan mereka itu, mereka pun ditendang keluar dari perpustakaan oleh petugas, benar-benar ditendang secara harfiah. Mereka berdua meluncur 25 meter ke depan perpustakaan, kebetulan di depan perpustakaan itu terdapat sungai dengan aliran tenang. Mereka berdua tercebur ke sungai itu.
Setelah tercebur, Viel teriak pada perpustakaan itu, "Kasar sekali, kau pikir kami ini bola yang ditendang begitu saja!"
Pio dengan menundukkan kepalanya berkata, "Mungkin kita keterlaluan juga terlalu berisik di sana."
"Tapi caranya terlalu kasar, aku tidak suka." Viel lalu pergi ke tepi.
Dan saat Viel mendekati tepi sungai, Pio memanggil, "Viel mau ke mana?"
"Kau pikir aku akan berada di sini seharian? Tentu saja aku pergi. Aku mau pergi ke lapangan untuk mempelajari sihir baruku, kau mau ikut?"
"Tapi pakaian Viel..." Pio menadahkan tangannya menggambarkan dia bingung dengan apa yang dilakukan Viel.
"Ada yang salah dengan-" Viel melihat pakaiannya. "Oh ya, aku tidak ingin masuk angin."
---000---
Setelah berjalan beberapa meter dari sungai dengan pakaian yang basah kuyup, mereka pun sampai di depan rumah mereka, rumah dua lantai namun sederhana. Tapi sebelum mereka masuk, atau lebih tepatnya mengetuk pintu, Viel tiba-tiba teringat lagi dan langsung saja merasa sedih terhadap keadaan Pio. Pio terlihat seperti biasanya, polos dan kadang ceria pada suatu hal, tapi justru itulah yang membuat Viel khawatir. "Pio?"
Pio terhenti saat hendak mengetuk pintu. "Hmm?"
"Kau tetap melakukan ini?"
"Maksud Viel?" Pio terheran dengan jawaban yang terheran terlihat di wajahnya.
Viel terdiam sejenak setelah mendengar permintaan penjelasan dari Pio. Tapi Viel tidak menjawab pertanyaan itu. Kemudian Viel langsung membuka pintu. "Bukan apa-apa, cepat, kita masuk!"
Mengetuk pintu sebelum membuka pintu sangat penting dilakukan walau itu rumah sendiri. Selain untuk menjaga kesopanan, tidak dipungkiri juga ada seseorang yang sedang berdiri di balik pintunya. Itu pun terjadi pada ibu mereka. "Ah!" Dia terbentur pintu karena sedang berada di sana waktu itu.
Viel membuka pintunya cukup keras hingga membenturkannya pada kepala ibunya. Pio pun jadi panik, dia menghampirinya dan mengangkat sedikit kepalanya. "Heh, Ibu, Ibu baik-baik saja?" Pio melihat kepala ibunya yang benjol. "Viel, ini gawat, di kepala Ibu tumbuh tumor!"
"Pi- Pio, tenang, kurasa itu hanya benjol biasa!" Viel jadi ikut panik. "Kok bisa pikiran pertama yang terlintas begitu?"
"Bagaimana ini? Pio akan panggil ambulans!" Pio lalu berjalan menuju telepon untuk menelepon ambulans. Pio melepaskan kepala ibunya begitu saja hingga kepalanya terbentur lagi ke lantai.
"Aduh!" Setelah ibunya terbentur untuk kedua kalinya, dia lalu perlahan mengambil posisi duduk. "Pio, Ibu tidak apa-apa, tidak perlu panggil ambulans."
"Ibu yakin?" tanya Pio pada ibunya.
"Ibu tidak apa-apa kok." Ibunya tersenyum senang, memberitahukan dia baik-baik saja. "Pio terlalu paranoid, tidak seperti Viel."
Pio menengok dan mencoba menyemangati Viel dengan mengepalkan kedua tangannya. "Lebih berusaha lagi ya, Viel!"
"Itu bukan pujian," jengkel Viel.
Ibunya bertanya pada mereka berdua, "Oh ya, kok kalian basah?"
Setelah itu, Pio dan Viel pun mengganti baju mereka dengan baju yang ada di lemari mereka masing-masing. Sebenarnya lemari milik mereka berdua berada di ruangan yang sama, di kamar tidur mereka yang berada di satu ruangan, di lantai dua.
Saat itu, Viel jadi terpikirkan sesuatu, ini mengenai dirinya dan Pio yang mengalami kejadian itu, kejadian yang tidak mungkin mereka lupakan seumur hidupnya.
"Andai parasit itu tidak pernah ada, Pio pasti..." batin Viel.