Chapter 4

Mama melotot ketika aku bilang Felix mendapat juara umum dikelas 2.

'Yang benar, Sha?" Tanya mama. Aku mengangguk. Aku tidak mungkin berbohong karena waktu upacara pemberian penghargaan kemarin pak Kepsek memanggilnya untuk menerima penghargaan predikat juara umum. Semester lalu-pun Felix mendapat predikat itu, kata Rani.

"Benar-benar diluar dugaan," kata mama. Sebenarnya aku tahu mama kecewa karena aku hanya mendapatkan peringkat 11 dan Felix, si cowok nakal itu mendapat peringkat 1.

"Dikelas 3 nanti, kamu harus lebih giat belajar yah, Sha. Kamu harus bisa menandingi anak itu," kata mama. Aku mengangguk. "Tekanan lagi," batinku.

***

Hari ini adalah hari pertama dikelas 3 setelah 2 minggu liburan. Aku masih belum tau akan masuk kelas mana di semester ini. Untung saja aku menemukan Rani yang sedang asik mengobrol dengan Riyan di koridor sekolah.

"Ran," aku memanggilnya. Rani menoleh dan melambaikan tangannya.

"Hai Sha." Sini, katanya. Aku menghampirinya.

"Udah tau belom masuk kelas mana?" tanyaku.

"Udah. Gue dikelas 3-C. Elo di kelas 3-A," kata Rani. Aku memandangnya kecewa.

"Kita pisah kelas dong," keluhku. Nanti siapa yang akan membantuku belajar.

"Tenang aja. Kan jam istirahat kita masih bisa ketemu," katanya menepuk pundakku.

"Oh ya, gue kasih tahu hal menarik. Lo sekelas sama Felix," bisiknya membuatku terlonjak.

"Sekelas sama dia?" tanyaku tidak percaya. Rani mengangguk-angguk sambil menatapku jenaka. Wajahku meredup.

"Kok lo muram gitu? Bukan harusnya lo seneng sekelas sama dia?" Tanya Rani heran.

"Kenapa gue mesti seneng sekelas sama dia?" tanyaku.

"Karena gue tahu kalo lo naksir sama dia," kata Rani yang kemudian tertawa.

Aku melotot. "Gue ga naksir sama dia," kataku sebal.

"Iya... iya," meskipun berkata begitu tapi Rani masih saja tertawa terbahak. Ingin rasanya ku sumpal mulutnya yang menjengkelkan itu.

"Sori..sori," kata Rani. Aku memasang wajah cemberut dan segera pergi dari situ.

"Benar-benar. Dasar menyebalkan," gerutuku dalam hati.

Aku berpapasan dengan Felix didepan pintu kelas. Tumben sekali cowok itu sudah datang. Dan tidak dihukum. Mungkin karena ini adalah hari pertama masuk sekolah.

Meskipun cowok itu melihatku, dia tidak berusaha menyapaku sama sekali.

Aku mendengus. "Gue juga ga berharap disapa sama elo," kataku dalam hati.

Wali kelasku yang baru adalah Miss Jenny, guru bahasa inggrisku waktu aku di kelas 2.

"Hello everybody," sapa Miss Jenny.

"Hello miss," balas kami. Miss Jenny tersenyum lebar.

"Hmmm, biar miss lihat siapa saja murid-murid dikelas miss ini," katanya sambil melihat daftar absen. Rata-rata adalah murid yang pasti miss Jenny kenal karena sudah diajar olehnya sejak kelas 1.

"Wah, ada Felix," mata Miss Jenny membesar saat melihat nama itu. Miss Jenny mengangkat wajahnya dari buku absen dan mencari sosok Felix di antara kerumunan anak kelas 3-A. Sepertinya Felix adalah murid favoritnya sebab Miss Jenny tampak sangat senang melihat Felix ada diantara murid-murid kelasnya. Biarpun cowok itu pintar tapi tuh cowokkan siswa bermasalah.

Felix duduk di pojok ruangan dengan wajah malas. Matanya menerawang ke luar kelas.

"Felix," panggil Miss Jenny lembut dengan suara merdu. Tidak ada jawaban. Miss Jenny lalu mencoba memanggilnya lagi. "Felix."

Tetapi cowok itu tidak juga menoleh. Anak-anak melirik Felix.

"Hei, elo dipanggil tuh," kata Riko, murid cowok yang duduk didepannya.

"Sama siapa?" Tanya Felix yang lalu menoleh dan matanya beradu pandang dengan Miss Jenny. Miss Jenny tersenyum dikulum nampak tidak sabar.

"Apa?" Tanya Felix. Wajahnya tetap tanpa ekspresi.

Kulihat beberapa gadis dikelasku menahan napas melihat wajah innocent Felix. Melihat itu aku malah mau muntah.

"Kamu kenapa melihat keluar terus? Apa ada yang menarik diluar sana?" Tanya Miss Jenny. Raut wajahnya dibuat semanis mungkin, padahal sepertinya Miss Jenny mati-matian menahan rasa kesalnya karena di cuekin oleh Felix.

"Tidak. Saya hanya merindukan saat-saat menyapu halaman dan mengepel koridor," katanya cuek. Jawabannya itu membuat seisi kelas menahan tawa. Meskipun Felix bukan orang yang pendendam apabila ditertawakan seisi kelas, tapi anak-anak yang lain terutama para gadis mati-matian menahan tawa. Mungkin itu supaya dicap baik oleh Felix.

***

Rani terbahak-bahak ketika kuceritakan bagaimana Felix dikelas tadi.

"Udah gue duga. Dia emang orang yang kocak banget," katanya. Tangannya mengelap air mata yang menetes karena terlalu banyak tertawa.

"Jahat banget lo ngetawain orang sampai begitu," kataku. Kami sedang berada dikantin untuk menghabiskan istirahat siang. Rani menjemputku begitu bel istirahat berbunyi, meski masih sebal padanya tetapi aku mengiyakan ajakannya untuk ke kantin.

Aku menggulung mie dan memakannya dengan lahap. Sementara Rani hanya memesan siomay.

"Tapi, wajar sih Felix bilang begitu. Dia kan hampir tiap hari dihukum ngebersihin halaman. Makanya dia pasti bakal kangen. Soalnya dia udah ga bakal kena hukum lagi," kata Rani.

Aku mengangkat alis. "Kenapa?" tanyaku.

"Loh. Elo ga tahu?" Rani mengerutkan kening. Aku menggeleng.

"Pelaku yang suka memfitnah Felix'kan udah tertangkap basah sama pak Yudi," kata Rani enteng. Aku memandangnya tidak percaya.

Kelas 3 baru saja dimulai tetapi kok aku bisa ketinggalan informasi seperti itu.

"Itu cerita lama, non. Waktu pulang dari upacara pemberian penghargaan pak Yudi mergokin mereka lagi nyoret-nyoret bangku sama meja dikelas Felix pake pilox," kata Rani. Aku diam mendengarkan baik-baik cerita Rani.

"Nah akhirnya setelah diinterogasi mereka ngaku kalau selama ini mereka yang bikin onar tapi memfitnah Felix supaya Felix dihukum karena mereka tidak suka Felix yang cukup terkenal disekolah ini," lanjut Rani. "Makanya kan tadi pagi Felix dipanggil keruang guru. Disana pak Yudi minta maaf karena selama ini udah salah paham. Itu sih waktu lo belom dateng," kata Rani.

"Tapi kok gue ga tahu kalau mereka akhirnya tertangkap basah?" tanyaku. "Elo kenapa ga cerita ke gue?"

"Elo kan buru-buru pulang waktu itu abis upacara penghargaan karena mau liburan ke rumah nenek elo di Jakarta," kata Rani.

Aku nyengir. Memang sih waktu itu aku buru-buru karena sudah dijemput oleh papa untuk diantar ke Jakarta dan menghabiskan liburan sekolah disana. Sekaligus bisa bertemu kembali dengan beberapa teman sekolah lamaku.

Kok aku bisa melewatkan cerita menarik seperti ini. Tapi untunglah pelaku sebenarnya udah ketahuan sama pak Yudi. Biar dihukum seberat-beratnya mereka karena udah fitnah si Felix dan bikin cowok itu menanggung hukuman hampir setiap hari.

"Tapi gue salut loh sama si Felix," kata Rani kemudian.

"Salut kenapa?" tanyaku.

"Waktu dia di panggil ke ruang guru, guru-guru kan nanya ke dia, pelakunya itu mau diapakan. Apakah mesti di skors atau dikeluarkan, eh, dia malah berterima kasih ke kedua orang itu karena udah bikin hari-harinya disekolah ngga ngebosenin. Berkat jasa mereka, si Felix bisa bolos jam pelajaran karena harus ngejalanin hukuman," kata Rani.

Aku melongo mendengar ceritanya.

"Aish. Dia benar-benar cowok sinting," kataku. Rani terkekeh.

"Dia cowok baik loh, Sha," kata Rani. "Sayangnya dia cuek dan dingin sama orang lain. Makanya dia tidak punya teman sampai sekarang."

"Gue kan ga bilang dia jahat," kataku. Dalam hati aku membenarkan ucapan Rani tentang Felix. Padahal aku ingin berteman dengan cowok itu, karena aku lihat dia orang yang kesepian, tiap istirahat siang hanya menyendiri di taman sekolah. Tapi sampai sekarang aku masih belum berhasil menjadi temannya. Aku akhirnya jadi malas untuk berusaha mendekati Felix karena cowok itu membangun dinding yang sangat kuat sehingga orang lain tidak bisa masuk kedalam kehidupannya.

***

Hari minggu itu mama mengajakku main ke salah satu mall yang ada di kota Bandung. Aku tidak menolak karena mama menjanjikan akan membelikanku sepatu baru. Hampir setahun aku tinggal disini aku belum pernah menginjakkan kaki di mall di kota ini.

Mall disini hampir sama seperti mall-mall kebanyakan di Jakarta. Tapi memang semua mall isinya hampir samakan.

Mama sedang masuk ke dalam sebuah butik yang berisi kemeja-kemeja batik sementara aku memilih untuk berkeliling karena apabila mama sudah masuk kedalam satu toko, bisa berjam-jam lamanya disana. Padahal ketika keluar dari toko itu mama hanya menenteng satu kantung belanjaan saja.

Aku berhenti di sebuah kios crepes. Tergiur oleh crepes-crepes yang dijual aku memesan beberapa buah sekaligus. Sambil menunggu aku mengedarkan pandangan ke sekeliling dan mataku tertumbuk pada sosok gadis kecil yang sedang memandang kue dari balik kaca etalase.

Gadis kecil itu aku kenal. Dia Elia.

Eli berkali-kali menghitung dengan jari dan menatap papan harga kue tart yang dijual.

"Eli," sapaku. Eli terlonjak lalu menoleh dan mendapatiku yang sedang memandangnya dengan crepes di tanganku.

***

"Kau mau satu?" tanyaku. Aku mengangsurkan crepes rasa pisang pada Eli yang duduk termangu-mangu disebelahku. Aku mengajaknya untuk duduk didekat bangku taman buatan yang terdapat di dalam mall itu.

Eli menggeleng. "Tidak, kak. Terima kasih," kata Eli menolak dengan halus.

"Gak apa-apa. Ayo ambil satu. Aku masih punya banyak," kataku. Akhirnya setelah setengah ku paksa Eli menerima crepesku dan mulai menggigitinya sedikit demi sedikit.

"Kau sedang apa didepan toko kue itu?" tanyaku. Beberapa orang yang hilir mudik didepanku memperhatikan kami.

Eli diam. Tampaknya dia ingin mengatakan sesuatu tapi diurungkannya.

"Hei, jawab aja, sih. Tidak usah malu begitu," kataku menepuk pundaknya.

"Sebenarnya aku sedang melihat-lihat harga kue, kak," kata Eli pelan. Suaranya hampir tidak terdengar.

"Oh. Kamu mau beli kue?" tanyaku sedikit bodoh. Tentu saja dia ingin membeli kue makanya berdiri didepan toko kue.

Eli mengangguk.

"Lalu, kau mau beli kue untuk siapa?" tanyaku.

"Untuk kak Felix. Ini hari ulang tahunnya," kata Eli membuatku tertegun.

"Hari ini ulang tahun Felix?" Aku tidak pernah tahu ulang tahun cowok itu sampai Eli yang bilang. Walaupun sebenarnya tidak sengaja bilang.

"Oh ya, jadi kau mau membelikan Felix kue ulang tahun?" tanyaku. Eli mengangguk-angguk. Oh, my, gadis kecil ini sangat manis dan baik. Dia bahkan mau membelikan kue ultah untuk kakaknya yang cuek itu.

"Lalu kenapa kamu tidak jadi beli?" tanyaku lagi. Kali ini Eli yang sedari tadi menunduk mendongak dan menatapku.

"Uang Eli kurang, kak. Padahal Eli sudah menabung uang jajan selama sebulan ini," kata Eli. Matanya tampak sedih. Dia betul-betul kecewa karena tidak bisa membelikan Felix kue ulang tahun. Padahal aku yakin cowok itu sendiri mungkin tidak ingat ulang tahunnya.

Aku pura-pura berpikir. "Memang harga kue itu berapa?" Tanyaku.

"Seratus ribu," Eli menunduk lagi.

"Lalu uangmu ada berapa?" tanyaku.

"Entah kak, sepertinya kurang banyak," kata Eli.

"Bagaimana kalau kita hitung sama-sama uangmu. Siapa tahu cukup untuk membeli kue," kataku.

Eli mengangguk. Dia pun mengeluarkan dompet kecil dan menuang isinya. Uangnya kebanyakan recehan kecil dan beberapa lembar uang lima ribuan.

"Ini sih kurang banyak, batinku." Eli tampak menghitung uangnya sementara aku berpikir bagaimana menolong gadis ini. Kalau aku terang-terangan memberikan tambahan uang dia pasti akan menolak. Meski masih kecil aku tahu Eli punya harga diri yang besar dan kedewasaan melebihi anak-anak seumurannya.

"Ehem, Eli, begini. Kalau membeli kue biasanya mereka tidak menerima uang receh seperti ini," kataku.

Eli mendongak, "Benarkah?" tanyanya.

"Betul. Makanya bagaimana kalau kau tukar uangmu dengan uang kakak," kataku lagi.

Eli memandangku sembari berpikir.

"Ayo, gimana? Kalau kamu beri uang receh seperti ini mereka tidak akan mau menjual kue mereka padamu," kataku dengan pede. Padahal itu salah besar, belum pernah aku dengar ada toko kue yang menolak menerima recehan.

"Baiklah. Eli akan tukar dengan uang kakak. Tapi kakak mau menerima uang receh seperti ini?" Tanya Eli ragu.

"Tentu saja mau. Itu bisa kakak pakai untuk ongkos pulang nanti," kataku.

Karena aku yakinkan seperti itu, akhirnya Eli mau juga menukar uang recehnya dengan uangku. Uangnya yang sejumlah 58 ribu itu aku tukar dengan selembar uang seratus ribuan.

"Nih uangnya," kataku. Eli menerimanya dengan mata melotot tidak percaya.

"Kok bisa seratus ribu, kak? Uang Elikan hanya lima puluh ribu lebih," kata Eli.

"Kata siapa? Uangmu itu seratus ribu. Mungkin tadi kamu salah hitung," kataku berkilah. "Nih bocah pinter juga," pikirku.

"Iya kali yah, kak," kata Eli. Dia terlihat gembira dan matanya berbinar. Kemudian matanya yang bulat itu menatapku.

"Kakak mau mengantarku membeli kue ulang tahunnya?" Tanya Eli. Aku mengangkat alis.

"Boleh saja," kataku mengiyakan.

Kami-pun berjalan berdua menuju toko kue tempat Eli tadi melihat-lihat. Eli membeli kue yang tadi dilihatnya. Kue blackforest berukuran medium dengan hiasan buah strawberry diatasnya.

Selesai membeli kue, aku mengantarnya sampai ke lobby depan mall.

"Kakak tidak mau ikut pulang bersama Eli dan merayakan ulang tahun kak Felix bersama?" Tanya Eli tiba-tiba.

"Eh," aku terdiam. Tampak berpikir. Sebenarnya aku juga sudah tidak ada kerjaan di mall ini dan bingung mau kemana, mungkin memang lebih baik aku pulang bersama Eli dan akan menelepon mama nanti untuk memberitahu kalau aku pulang duluan.

"Ayo, deh," ajakku. Aku menenteng plastik berisi kue tart di tangan kiri dan tangan kananku menggandeng tangan Eli yang mungil.

***

Kami tiba dirumah Eli sekitar setengah jam kemudian dengan menaiki angkot dan berjalan kaki sampai kedalam komplek sekitar 100 meter. Seperti dugaanku, mama menelepon dan menanyakan keberadaanku, aku cuma bilang kalau aku pulang duluan dan aku tahu kalau mama akan marah karena aku langsung pulang begitu saja.

"Kakakmu ada dirumahkan?" tanyaku. Masa mau memberikan kue kejutan, orang yang berulang tahunnya tidak ada dirumah.

Eli mengangguk. "Kalau hari minggu kakak selalu ada dirumah."

"Memangnya dia tidak kerja?" tanyaku.

"Nanti malam, selesai main basket dilapangan, kakak biasanya pulang dulu lalu makan mandi baru berangkat lagi ke warnet," kata Eli.

Aku mengerutkan kening.

"Lalu kapan waktu dia belajar?" tanyaku, aku menemukan keganjilan dari cerita Eli. Eli tertawa. "Kakak tidak pernah belajar."

Tidak pernah belajar? What? gimana bisa si Felix itu tidak pernah belajar tapi dia bisa meraih peringkat juara umum begitu. Aku saja yang belajar mati-matian hanya mendapatkan peringkat 11. Jangan-jangan dia nyontek.

"Kak Felix itu cerdas. Dia hanya perlu di ajari sekali dan langsung paham. Makanya dia tidak perlu belajar susah-susah untuk mendapat ranking. Tidak seperti Eli. Eli harus ikut bimbel supaya bisa mempertahankan ranking," kata Eli.

Aku terdiam. Padahal mereka kakak adik tapi kenapa kecerdasan mereka berbeda jauh. Mungkin semua kecerdasan otak sudah diserap oleh Felix sewaktu masih di kandungan mamanya makanya Eli tidak kebagian otak yang cerdas. Lagi-lagi pikiranku ngawur.

***

Eli mengajakku masuk kedalam rumahnya yang tampak lengang. Rumahnya masih sama, bercat biru dan cat itu sudah terkelupas sebagian. Ini ketiga kalinya aku main kerumah Felix. Terakhir kali aku kesini, aku malah sakit hati karena Felix menolak niat baikku yang mengajaknya untuk belajar bersama, memang sih aku datang tanpa persetujuannya, tetapi harusnya dia tahu kalau aku hanya ingin membantunya walaupun aku tahu bantuanku tidak akan ada gunanya karena Felix tidak butuh bantuan dalam belajar. Aku berdoa dalam hati, semoga kali ini Felix tidak menolak kedatanganku kerumahnya.

Aku masuk kembali keruang keluarganya. Sepertinya tante Margaretha tidak ada dirumah. Lalu ku lihat Felix sedang tiduran di sofa sambil menonton televisi.

Beruntung cowok itu tampak asik hingga tidak sadar akan kedatangan kami. Kami-pun mempersiapkan kue dan lilinnya, lalu mendekati sofa dimana Felix sedang tiduran.

Eli menatapku dan memberikan aba-aba. Aku mengangguk.

"Happy birthday to you happy birthday to you," kami mulai bernyanyi dan itu sukses membuat Felix yang sedang asik menonton terlonjak. Aku belum pernah melihatnya sekaget itu karena biasanya ekspresinya datar. Dan tidak tahu kenapa aku senang sekali berhasil membuatnya kaget.

Felix berdiri dan memandang kami seakan kami ini alien.

"Kalian ngapain? Memangnya siapa yang ulang tahun?" lagi-lagi pertanyaan bodoh dilontarkannya. Memang siapa lagi yang ulang tahun kalau bukan dia. Felix boleh saja cerdas dalam pelajaran, tetapi dia kurang peka dalam hal beginian.

"Tentu saja elo, emang siapa lagi?" kataku geli.

Felix garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ekspresinya lucu sekali. Dia memang imut tapi menyebalkan.

"Selamat ulang tahun, kak," kata Eli. Dia memberi instruksi supaya Felix meniup lilinnya. Tetapi cowok itu tidak meniupnya. Dia malah menatap Eli tajam.

"Siapa yang menyuruhmu untuk membeli kue ini?" tanyanya dingin.

Wajah Eli tampak pucat.

"Kakak tidak suka kau menghambur-hamburkan uang tabunganmu hanya untuk membeli ini," kata Felix lagi.

Aku menatapnya tidak percaya dan tiba-tiba aku merasa kesal karena kata-katanya, harusnya cowok itu berterima kasih pada adiknya ini karena masih mau ingat ulang tahunnya dan repot-repot menabung hanya untuk membelikannya kue. Tetapi apa yang dikatakan cowok ini sungguh tidak berperasaan. Bisa kulihat mata Eli yang berkaca-kaca dan hampir menangis. Dia betul-betul tahu bagaimana perjuangan gadis kecil itu untuk menabung dan bagaimana perasaan Eli saat tahu kalau uangnya kurang untuk membeli kue, dan sekarang Felix dengan seenak jidatnya malah memarahi Eli.

"Heh, cowok bodoh," kataku setengah berteriak. Mau tidak mau Felix yang sedang fokus pada Eli menoleh dan menatapku. Tatapannya itu sedingin salju.

"Siapa yang lo panggil cowok bodoh?" tanyanya. Tuhkan, dia memang bodoh.

"Tentu saja elo. Memang siapa lagi cowok yang ada disini," kataku.

Felix melotot. Dia hendak membalas kata-kataku tapi dengan cepat ku potong. Aku ingin dia mendengar apa yang akan ku katakan tentangnya.

"Lo itu benar-benar ga berperasaan yah sebagai cowok. Adik lo ini, udah berusaha nabung mati-matian dari uang jajannya hanya untuk membelikan elo kue ulang tahun. Dia bahkan sedih saat tahu uangnya kurang. Padahal dia pengen banget ngasih elo kejutan kue di hari ulang tahun elo yang bahkan elo sendiri ga inget. Dia adik elo, dia tuh sayang sama elo makanya sampai berkorban begini, tapi elo malah ngecewain dia dengan marah-marah. Lo tuh marah ga pada tempatnya tahu," kataku kesal.

Felix terdiam, dia bergantian menatapku dan menatap Eli yang masih menunduk. Setelah meresapi tiap kata-kata yang ku lontarkan, perlahan ekspresi wajahnya berubah kembali, meskipun datar seperti biasa tetapi aku bisa melihat raut wajah penyesalan disana.

Felix mengambil kue ulang tahun yang masih dipegang Eli dan menaruhnya di atas meja lalu dia berjongkok dan menatap Eli yang tampaknya sudah menangis.

"Benar apa yang dia katakan?" Tanya Felix.

Eli tidak menjawab. Badan mungil itu bergetar karena menangis.

Aku juga merasa akan menangis melihat Eli begitu sedih.

"Eli jawab kakak. Benar apa yang dia katakan?" Tanya Felix. Eli mengangguk. Felix menghela napas lalu meraih tubuh Eli kedalam pelukannya. Di usapnya rambut adik kecil kesayangannya itu. Dan bisa kulihat Eli menangis semakin keras.

"Maafkan kakak," bisik Felix. Bisikannya terasa hangat dan aku bisa merasakan kasih sayang Felix dari kata-katanya itu.

Tanpa terasa air mataku pun menitik. Sial, aku paling tidak bisa disuguhkan pemandangan sedih, aku pasti akan menangis.

Selama beberapa saat mereka berpelukan sampai Felix melepaskan pelukannya. Aku bisa lihat sekilas mata Felix merah, mungkinkah dia menangis juga? Pikirku. Felix buru-buru ke kamar mandi sesudah itu sehingga aku tidak bisa melihatnya lebih jelas.

Aku sendiri sibuk menghapus air mataku dengan tisu. Bisa gawat kalau si Felix melihatku ikut-ikutan menangis juga.

Sesudah itu, kami bertiga duduk mengitari meja makan, Eli kembali menyalakan lilin dan kami menyanyikan lagi lagu Happy Birthday, kali ini kulihat untuk pertama kalinya senyum mengembang dari bibir Felix.

"Ayo make a wish dulu sebelum ditiup," kataku pada Felix. Cowok itu memejamkan matanya dan tampak khusuk. Aku tidak tahu apa yang diminta oleh cowok itu, tetapi aku ikut berdoa, semoga harapan Felix bisa dikabulkan, dan aku yakin itu bisa menjadi kado yang indah dari Tuhan.

Selesai meniup lilinnya, Felix memotong kue itu dan dia memberikan potongan pertama pada Eli, dan potongan kedua padaku. Surprised banget. Padahal aku tidak berharap mendapatkan kue kedua dari dia. Tapi, mungkin karena memang tidak ada orang lain lagi selain kami bertiga makanya mau tidak mau Felix memberikan kuenya padaku. Tapi tidak apa-apa, setidaknya dia punya itikad baik untuk memberikan kue padaku.

"Selamat ulang tahun, ya," kataku. Felix cuma mengangguk-angguk.

Entah dia malu atau apa, setidaknya aku harap setelah ini dia tidak lagi sedingin dan secuek dulu padaku.

Tapi kemudian dia menatapku dan menanyakan satu hal yang membuatku ingin sekali menjitak kepalanya.

"Oh ya nama lo siapa?" tanyanya.

Baru saja berharap bisa berteman dengannya, tapi ternyata dia sama sekali tidak mengenalku, bahkan tahu namaku saja tidak. Memangnya isi kepalanya itu apa sih sampai-sampai dia tidak hafal nama orang-orang disekitarnya.

"Kakak ini gimana, sih? Ini kak Sasha yang tinggal di depan rumah kita," kata Eli.

"Oh, yaya," dia garuk-garuk kepalanya lagi.

"Maafkan kak Felix yah, kak," kata Eli padaku. Aku bingung, untuk apa dia minta maaf. "Karena kak Felix tidak tahu nama kakak." Mendengar itu aku hanya tersenyum kecut.

Tapi kemudian tangan Eli memegang tanganku. "Makasih yah kak," katanya.

Aku kembali bertanya-tanya. "Karena kakak membantuku membeli kue ini," katanya lagi.

Oh, my, rupanya gadis kecil ini tahu.

Aku hanya nyengir menanggapinya.