Chapter 5

Margaretha menatap putra dan putrinya bergantian. Mereka sedang makan malam di sebuah restoran. Hal yang sudah beberapa tahun ini tidak mereka lakukan karena Margaretha sibuk bekerja. Biasanya-pun Felix dan Eli hanya makan berdua saja karena Margaretha selalu pulang malam. Namun kali ini berbeda, Margaretha tiba-tiba mengajak mereka untuk makan diluar.

Selama makan malam berlangsung, wajah Felix tampak tidak tersenyum sama sekali. Dia tampak tidak bergairah mengikuti acara makan malam ini. Selain itu berkali-kali dia melihat kearah jam tangannya. Sudah waktunya untuk pergi bekerja tapi mamanya itu menahan dia untuk tetap berada di restoran. Sedangkan Eli, gadis itu tampak senang duduk bersama keluarganya dan makan malam bersama. Dia memang sangat merindukan saat-saat seperti ini.

"Ehm, Felix, bagaimana sekolahmu?" Tanya Margaretha perlahan.

Felix hanya diam sembari tangannya mengaduk-aduk gelas yang berisi es krim sebagai dessert.

"Baik," jawabnya pendek. Margaretha menghela napas. Dia tampak kehilangan akal menghadapi sikap Felix. Putranya itu semakin menjauh darinya. Memang dia mengakui dirinya bukanlah orang tua yang baik. Putranya itu pernah sekali kabur dari rumah saat masih duduk dibangku SMP kelas 3. Itu terjadi menjelang UAN yang diadakan sekitar sebulan lagi. Setelah dibujuk-bujuk akhirnya Felix mau pulang kembali dengan catatan mamanya tidak boleh mencampuri urusan kehidupan pribadinya. Untung saja, putrinya Eli tidak seperti itu.

Meskipun masih kecil, Eli mempunyai pemikiran yang kritis dan dewasa, sesungguhnya Margaretha beruntung memiliki anak sebaik Eli, setidaknya Eli membantunya untuk mengawasi Felix sementara dia bekerja.

"Kalau Eli, bagaimana sekolahmu?" Tanya Margaretha.

"Baik, ma," katanya senang.

"Syukurlah. Kamu masih rajin ikut bimbelkan? Maaf, mama tidak bisa mengawasi dan membantumu belajar. Kalau kamu kurang mengerti dalam pelajaran kamu bisa bertanya pada Felix," kata Margaretha.

Elia mengangguk-angguk mengerti.

"Sebenarnya ada yang mau mama sampaikan pada kalian," kata Margaretha dengan raut wajah serius. Felix masih sibuk dengan gelas es krimnya sedang Eli menyimak baik-baik apa yang akan dikatakan oleh mamanya.

"Mama akan pergi keluar kota selama 2 bulan. Ke Jakarta tepatnya. Memang mendadak tapi ini karena urusan kantor. Tapi mama akan sering pulang seminggu sekali," kata Margaretha.

Eli diam, kali ini raut wajahnya berubah sedih. Mamanya akan pergi selama 2 bulan. Itu bukan waktu yang sebentar walaupun mamanya akan sering pulang.

"Tidak pulang-pulang juga tidak masalah," sahut Felix. Eli melirik kakaknya. Sekalinya kakaknya itu buka suara, malah kata-kata tidak sopan yang diucapkannya. Margaretha tertegun. Dia tahu, sampai sekarang Felix masih belum bisa memaafkannya.

***

Akhirnya Margaretha pergi keesokan paginya. Eli melambaikan tangannya kearah mobil yang membawa mamanya ke Jakarta. Mobil itu semakin lama semakin hilang dari pandangan. Aku sedang bersiap-siap untuk berangkat kesekolah ketika tante Margaretha pergi. Felix dan Eli sendiri bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Raut wajah Felix tampak lebih dingin dan masam dari biasanya, sedangkan Eli tampak sedih.

Aku bertanya-tanya apa yang terjadi?

"Oh, bu Margaretha jadi pergi juga," kata mama ketika mengantarku dan papa berangkat sekolah dan bekerja.

"Pergi?" aku memandang mama keheranan.

"Iya. Kemarin mama bertemu bu Margaretha waktu sedang belanja sayur dipasar. Dia lalu cerita kalau hari ini akan berangkat ke Jakarta karena urusan kantor. Denger-denger sih sampai 2 bulan," kata mama.

"2 bulan?" aku terbelalak. Itu bukan waktu yang singkat. Selama 2 bulan itu bagaimana dengan kakak beradik itu.

L Bukankah mereka hanya tinggal berdua jadinya. Meski selama ini tante Margaretha sering pulang malam setiap hari, tetapi setidaknya ada orang dewasa yang mengawasi mereka.

Pantas saja Eli tampak sedih, rupanya dia akan ditinggal mamanya selama 2 bulan, tapi kenapa Felix tidak tampak sedih? Aku memang pernah dengar cerita Eli yang mengatakan kalau Felix dan mamanya itu tidak akur, dan panggilan Felix ke mamanya adalah nenek sihir. Kedengarannya keterlaluan, tapi aku yakin ada alasan dibalik itu.

***

Rani melongokkan kepalanya dari balik pintu depan kelas 3-A. Matanya kemudian jelalatan mencari sosok gadis yang dikenalnya.

"Sasha!" teriak Rani ketika gadis itu menemukannya sedang duduk di pojokan sambil mengobrol bersama Ayu.

Aku menoleh dan mendapati Rani yang sedang melambai-lambaikan tangannya menyuruhku untuk keluar. Memang jam istirahat sudah tiba, tetapi tidak tahu kenapa rasanya aku sangat malas untuk keluar dari kelas. Aku yakin Rani pasti memintaku untuk menemaninya ke kantin.

"Sini deh," Rani menarikku untuk mengikutinya duduk di bangku panjang didepan kelas.

"Ada apa?" tanyaku bingung.

Rani garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal kemudian menatapku. "Gue bingung ngomongnya."

Aku malah tambah bingung melihat Rani ragu-ragu bicara.

Rani menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. "Jadi gini gue mau nanya ke elo, kira-kira gue boleh ngga main kerumah elo?" tanyanya.

"Pffftt," aku tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan Rani.

"Kok elo ketawa sih," kata Rani bête.

"Yah elo lagian. Mau main kerumah gue aja pake nanya segala. Jelas bolehlah. Kan kita temen. Elo juga belom pernah main kerumah gue kan?" tanyaku masih setengah tertawa. Wajah Rani memerah, Nampak malu.

"Iya sih. Cuma kan gue mau mastiin aja kalo gue boleh main. Entar gue udah datang ke rumah elo, elonya pura-pura ga kenal sama gue lagi," kata Rani. Aku terkikik mendengar alasannya yang tidak masuk akal namun kedengaran lucu.

"Bisa jadi, sih," kataku sambil menaik-naikan alis jenaka. "Tapi tumben elo tiba-tiba mau main, kita temenan udah setengah tahun lebih, tapi elo baru mau main kerumah guenya sekarang."

Rani terkekeh. "Iya, kemarin-kemarin'kan gue sibuk."

Aku mencibir. "Yaudah, nanti siang ketemu di depan gerbang yah. Kita pulang bareng," kataku. Rani mengangguk.

***

Aku dan Rani berjalan beriringan memasuki komplek perumahan Nusa Indah. Cuaca siang itu cukup panas dan membuat kulit terbakar.

"Masih jauh ga nih, Sha?" Tanya Rani yang berhenti sebentar untuk duduk. Dia duduk ditrotoar jalan sambil menselonjorkan kakinya.

"Ya ampun Ran, udah deket nih. Ayo bangun," kataku. Rani ini payah banget, masa jalan baru 15 menit dari depan komplek udah kecapean.

Setengah terhuyung, Rani kembali mengikutiku. Rumahku memang tinggal beberapa rumah lagi.

"Nih udah sampai," kataku sambil membuka pintu gerbang dan menyuruh Rani untuk masuk tetapi gadis itu malah menatap kearah depan rumahku. Felix baru saja pulang. Dia sedang membuka pintu gerbang rumahnya dan menuntun sepedanya masuk.

"Itu si Felix'kan?" Tanya Rani heran.

Aku mengangguk. "Iya. Emang kenapa?"

"Itu rumahnya?" Tanya Rani lagi tanpa berkedip memandang rumah Felix.

"Yap," jawabku pendek.

"Kalian tetanggaan?" kali ini Rani menoleh padaku.

Aku mengangguk. Rani menatapku, "Kok elo ga pernah cerita?"

Aku balas menatapnya lalu melengos, "Elo ga pernah nanya."

Kami berjalan masuk ke halaman. Aku menyuruh Rani untuk masuk tetapi gadis itu memilih untuk duduk diteras. Lebih adem katanya, padahal aku tahu kalau dia sedang memperhatikan rumah Felix dan memata-matainya.

Mama sedang tidak ada dirumah. Sepertinya sedang pergi belanja.

Aku keluar setelah selesai berganti pakaian dan membawakan Rani beberapa cemilan dan minuman dingin.

"Nih, minum," kataku. Rani masih asik mengintai rumah Felix. Padahal orangnya tidak juga muncul dari rumah. Yang aku tahu, jam segini Felix memang masih dirumah.

"Woi, asik amat ngintipin rumah orang. Nih diminum dulu, tadi katanya haus," kataku. Rani menoleh dengan tampang kikuk. "Eh, iya. Thanks buat minumannya."

Setelah meneguk habis minumannya, Rani kembali memperhatikan rumah Felix yang tampak sepi.

Aku berpikir, memang apa asiknya memperhatikan rumah orang lain.

Tidak lama kemudian, Felix keluar dari rumah bersama Eli. Sepertinya cowok itu mau mengantar Eli bimbel.

"Itu siapa?" Tanya Rani tanpa menoleh.

"Adiknya," jawabku. Jujur aku jadi kesal, ini si Rani datang mau main kerumahku apa mau mengintai rumah si Felix.

"Dia punya adik?" Rani bicara sendiri. "Ini bisa jadi berita besar."

Aku meliriknya bertanya-tanya dalam hati, apa yang dia maksud dengan berita besar.

Sepeninggal Felix, Rani beralih menatapku. Dia tampak merasa tidak enak karena dari tadi tidak menghiraukan aku.

"Eh, sori yah Sha, gue malah jadi nyuekin elo," katanya nyengir.

Aku mendengus. "Nyadar juga lo."

"Habis gue penasaran. Selama ini kan ga ada yang tau dimana rumah Felix, eh kebetulan banget pas gue main kerumah elo ini, ternyata si Felix tetanggaan sama elo," katanya. Jiwa ingin tahu Rani memang sangat besar, makanya dia bertugas menjadi reporter majalah, tapi aku sering merasa risih apabila Rani mulai berapi-api dalam mencari berita untuk majalah sekolah, soalnya Rani itu sering sekali melanggar privasi orang lain dan menghalalkan segala cara. Dan tidak tahu kenapa perasaanku tidak enak mengenai ini.

"Kebetulan banget gue lagi bingung mau ulas profil siapa bulan ini. Gue udah lama cari berita tentang Felix, tapi tuh cowok susah banget di wawancarainnya. Ini ibarat pucuk dicinta ulam-pun tiba," kata Rani berperibahasa.

"Maksud lo?" tanyaku penasaran.

"Jadi kebetulan elo tetanggaan sama dia. Gimana kalo lo bantuin gue cari informasi tentang Felix? Ini bisa jadi berita besar dan majalah sekolah bisa laris," kata Rani.

Memang selama beberapa bulan ini majalah sekolah sepi pembeli. Kebanyakan murid-murid tidak berniat membeli majalah karena menurut mereka isinya sangat membosankan. Bayangin aja, dibulan lalu, majalah sekolah membahas profil pak Yudi, si guru BP yang killer dan menyebalkan, makin tambah tidak laku-lah itu majalah. Karena sebagian besar murid tidak suka dengan pak Yudi, dan mereka tidak mau repot-repot mengeluarkan uang untuk membeli majalah dan membaca profil pak Yudi. Tapi kata Rani sih, bulan lalu ada beberapa orang yang membeli majalah mereka, meski sebagian besar adalah para guru yang kasihan dengan majalah sekolah yang tidak laku, sekaligus karena merasa tidak enak hati pada pak Yudi tapi ada juga murid yang membeli majalah itu dan dia adalah Felix. Cowok itu membeli beberapa majalah sekaligus dan membagi-bagikannya pada gadis-gadis yang menjadi penggemarnya. Para gadis itu dengan senang hati menerima majalah itu walaupun mereka tidak tertarik dengan isi majalahnya.

Rani mengerjap-ngerjapkan matanya dengan wajah memohon.

"Ayolah bantu gue, sekali ini aja," katanya.

"Gue bisa bantu apa. Guekan ga ngerti info apa aja yang lo butuhin," kataku mengelak.

"Yah, contoh misalnya kayak apa makanan favoritnya si Felix, lalu hobi dia apa. Kayak gitu. Masa elo ga tahu info-info apa aja yang biasa di tampilin di profil orang," kata Rani gemas.

"Iya-iya. Tapi gue ga janji bisa dapet info yang banyak," kataku malas. Tuhkan, Rani menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan informasi termasuk memintaku untuk mencari info tentang Felix.

"Sippp. Gue minta tolong banget nih yah," kata Rani kesenangan. Aku mengeluh dalam hati. Bakal ribet nih urusannya. Aku'kan tidak dekat dengan si Felix meski kami tetanggaan.

"Terus apa imbalan buat gue?" tanyaku sambil melirik Rani.

"Yaelah. Masa minta dibayar, sih," keluh Rani.

"Iya dong. Gue mana mau kerja tanpa dibayar," kataku. "Sekarang ini bukan lagi jaman gratisan. Pipis di wc umum aja bayar."

"Yaudah, nanti gue traktir makan deh, dimana aja elo mau," kata Rani pasrah. Aku tampak berpikir-pikir.

"Oke deh. Kalo gini kan gue semangat cari infonya," kataku.

"Gue aja ga dibayar buat nyari info," cibir Rani. Dia sedang memutar otak bagaimana nanti kalau Sasha memintanya untuk traktir di restoran yang mahal. "Bisa abis nih duit jajan gue," keluhnya dalam hati.

***

Seperti yang sudah bisa diduga, majalah sekolah laris manis ketika para gadis melihat cover dan profil majalah. Foto Felix dengan pose cool dan wajahnya yang excited berhasil membuat majalah sekolah yang dicetak sebanyak 500 eksemplar ludes hanya dalam waktu 10 menit sejak diterbitkan. Harganya-pun dinaikan 2 kali lipat dari harga normal majalah yang biasanya 5 ribu.

Rani berkilah itu untuk mengembalikan biaya cetak majalah yang sudah semakin mahal. Padahal aku tahu itu untuk menutupi biaya cetak majalah bulan lalu yang tidak laku dan mereka mengambil untung sedikit dari penjualan majalah itu. Banyak gadis yang menangis karena tidak berhasil mendapat majalah edisi terbatas itu.

Aku sendiri mendapat satu majalah gratis dari Rani sebagai hadiah katanya. Aku menilai foto Felix yang menjadi cover majalah, fotonya dengan pose cool sedang menunduk mengambil sepeda itu tampak bagus, sudut pengambilan gambarnya juga baik. Padahal aku yakin si Felix tidak akan mau di foto. Fotografernya pasti sangatlah jenius karena bisa mengambil momennya dengan tepat.

Sejak diterbitkannya majalah itu, semakin banyak gadis yang memuja dan mengejar-ngejar Felix. Beberapa poin dari profil yang ditulis Rani tampaknya membuat para gadis-gadis tambah klepek-klepek. Disitu ditulis kalau Felix hobi bermain basket, basket adalah salah satu olahraga yang sangat populer dimainkan oleh para cowok yang menjadi idola sekolah. Bagi gadis-gadis itu Felix benar-benar memenuhi kriteria semua cowok idola. Dan juga aku sering melihat banyak dari mereka yang membawakan Felix makanan kesukaannya yang ditulis di majalah.

Sebenarnya dalam hati aku merasa bersalah karena kulihat Felix tampak risih karena mendadak populer. Felix sendiri tidak membeli majalah sekolah. Saat para gadis itu bertanya kenapa, Felix hanya menjawab kalau dia tidak mau membaca profil tentang dirinya sendiri.

***

"Ini majalah sekolahnya, Li," kataku ketika siang itu aku main kerumahnya. Eli bilang kalau dia mau melihat majalah yang ada profil kakaknya. Sejujurnya, aku tidak benar-benar minta informasi dari Felix karena aku yakin cowok itu akan menolak. Jadi aku bertanya pada Eli. Gadis kecil itu dengan senang hati menjawab semua pertanyaanku apalagi ketika kubilang kalau ini untuk keperluan majalah sekolah dan membutuhkan biodata Felix untuk dijadikan profil majalah.

Aku masih ingat betul ketika itu aku sedang meminta info tentang makanan kesukaan Felix dan aku hampir ketahuan sedang mencari info tentangnya.

(Flashback)

'"Oh ya, makanan kesukaan Felix apa sih, Li?" tanyaku. Saat itu Eli sudah pulang bimbel dan Felix sudah pergi untuk bermain basket.

"Apa yah kak. Aku juga bingung. Kak Felix suka semua makanan, kok. Dia ga neko-neko untuk urusan makan," kata Eli.

"Masa tidak ada yang dia benar-benar suka sama sekali?" kataku.

"Sebenarnya sih ada satu," kata Eli setelah lama berpikir.

"Apa? Apa?" tanyaku dengan rasa penasaran.

"Cokelat," kata Eli. Aku melongo mendengarnya.

Cokelat? Yang benar? Felix si cowok dingin itu suka cokelat?

"Masa sih Felix suka cokelat," kataku sangsi.

Eli mengangguk-angguk. Rasanya tidak mungkin gadis ini berbohong.

"Kak Felix suka makanan manis," katanya.

"Kedengarannya aneh kalau Felix suka cokelat," gumamku.

"Apanya yang aneh?" terdengar suara Felix. Aku menoleh dan mendapati Felix sedang menatapku dengan wajah tanpa ekspresi. Kok aku tidak tahu cowok ini datang dan kenapa dia pulang cepat sekali. Padahal rasanya baru beberapa menit yang lalu dia pergi untuk bermain basket. Apa mungkin karena aku yang keasikan mengorek info dari Eli sehingga tidak sadar kalau hari ternyata sudah semakin sore.

Mendengar pertanyaan Felix, aku tergagap, bingung mau menjawab apa. Untungnya mama memanggilku untuk pulang sehingga aku bisa terlepas dari situasi itu.' (End Flashback)

"Lo disini," kata Felix yang muncul sambil menuntun sepedanya masuk kedalam rumah. Aku menoleh, cowok itu baru saja pulang.

"Hai," sapaku canggung. Sepertinya sampai sekarang Felix tidak tahu kalau akulah yang menjadi informan tentang dirinya untuk majalah sekolah karena sikapnya tampak biasa saja. Sejak ulang tahunnya, Felix jadi sering menyapaku walaupun hanya sekedar basa-basi. Padahal aku tahu dia bukan orang yang suka berbasa-basi.

Untungnya Felix tidak tahu, kalau dia tahu mungkin sikapnya yang sudah mulai melunak dan menerima kehadiranku dirumahnya akan kembali cuek dan jutek.

"Kamu ga pergi bimbel, Li?" Tanya Felix sambil masuk kedalam rumah.

"Sebentar lagi, kak," kata Eli. "Eli sedang melihat majalah sekolah. Ini ada foto kakak," katanya.

Felix berhenti sejenak. Lalu kata-katanya membuatku membeku.

"Lain kali, kalau mau menulis artikel tentang seseorang, nanya informasinya ke narasumbernya langsung," katanya yang lalu melangkah masuk kedalam rumah.

Sepeninggal Felix, aku menatap Eli.

"Memangnya Felix tahu kalau kakak minta info tentangnya?" tanyaku gugup.

"Iya. Aku cerita ke kak Felix waktu kakak pulang dari sini," kata Eli polos.

(Flashback)

'"Dia ngapain kesini?" Tanya Felix setelah Sasha pulang.

"Minta informasi tentang kakak," kata Eli.

"Buat?" Felix mengerutkan kening.

"Kata kak Sasha buat majalah sekolah, kak,"'

(End Flashback)

Aku menepuk jidat mendengar cerita Eli.

Ya ampun, nih bocah polos banget. Padahal aku udah bilang jangan cerita-cerita ke Felix.