Chapter 6

Sesuai janji Rani, gadis itu mengajakku untuk makan di tempat yang kupilih sendiri. Dan dia yang akan mentraktirnya.

"Inget yah, Sha. Jangan makan yang mahal-mahal," kata Rani mengingatkanku sepanjang perjalanan dari sekolah menuju salah satu mall yang berada di pusat kota Bandung. Nih anak bawel banget sih, aku juga ga setega itu memintanya traktir makan yang mahal karena aku tahu berapa sih uang jajan anak SMA.

"Iya bawel," kataku kesal. Kata-kata Rani bikin gerah banget, udah udara di angkot gerah, dia malah tambah bikin gerah. Nih anak ikhlas ga sih mau traktir.

Setelah aku ketusin, akhirnya Rani berhenti juga berkicau dan diam menatap jalan. Angkot yang kami tumpangi jalan dengan kecepatan pelan karena memang lalu lintas sedang padat merayap.

Setelah 30 menit berlalu, akhirnya kami tiba di mall yang dituju. Suasana mall cukup ramai meskipun ini adalah hari kerja.

"Mau makan dimana?" Tanya Rani. Aku berdiri dan mataku memandang berkeliling. Sejujurnya aku sendiri bingung mau makan apa. Karena aku sedang tidak ingin makan.

"Sha?" Rani menepuk bahuku. Aku menoleh dengan kaget. "Apa sih?"

"Lo mau makan dimana?" ulangnya.

"Tau nih, gue juga bingung," kataku.

"Kalo gitu gue yang pilih yah tempatnya," kata Rani.

"Terserah," aku mengangkat bahu.

"Gimana kalo kita ke KFC aja? Kebetulan ada temen gue yang lagi disitu juga," kata Rani.

"Temen lo? Siapa?" tanyaku heran. Si Rani ini sebenarnya sedang janjian sama aku apa sama temannya. Kenapa kami mesti ke tempat makan yang ada temannya Rani? Nanti mereka asik mengobrol, aku di cuekin lagi.

"Tenang aja, elo ga bakal gue cuekin," kata Rani seperti tau apa yang ada di pikiranku. Dia kemudian menarik tanganku. "Elo juga kenal kok sama orangnya, lo pasti sering lihat dia," kata Rani.

Aku menghela napas dan mengikuti langkahnya yang lebar. Memangnya siapa sih teman Rani yang ada di KFC itu. Bisa-bisanya kami ketemu disini atau mereka memang sudah janjian?

Ternyata yang dimaksud teman oleh Rani itu adalah Fandy, ketua klub majalah sekolah dan 3 orang lain anak klub majalah sekolah. Rupanya si Fandy ini tadi siang mengajak Rani untuk ikut makan-makan di KFC merayakan keberhasilan majalah sekolah yang sold out dengan rekor 10 menit. Tapi karena Rani sudah aku booking terlebih dulu, jadilah mereka pergi tanpa Rani. Tidak tahu ini memang kebetulan atau Rani memang sengaja mengajakku ke mall ini.

"Lo sengaja yah ngajak gue kesini?" bisikku pada Rani. Rani tersenyum kecut.

"Kaga, gue ga tau kalo mereka ke KFC mall ini," balas Rani sambil berbisik.

"Terus lo tau darimana kalo temen-temen lo ini ada di KFC ini?" tanyaku tidak mau kalah. Ini si Rani masih aja beralasan.

"Tadi Fandy sms gue, bilang kalo urusan sama elo udah selesai gue disuruh nyusul ke KFC sini," kata Rani. Aku menghela napas. Tau gitu tadi saja aku minta ditraktir makan di kantin sekolah.

Bukan karena aku tidak mau makan di KFC, tetapi ini karena aku tidak mengenal teman-teman Rani ini meski aku sering melihat mereka.

"Kebetulan banget yah, ternyata kalian kesini juga," kata Fandy dengan senyumnya yang berkilau. Fandy ini kebalikannya dari Felix. Kalau Fandy sangat murah hati untuk tersenyum, Felix justru sangat pelit tersenyum. Oh ya, Fandy juga tidak kalah populer dengan Felix. Tampang oke, keluarga mapan dan otaknya juga encer. Waktu kenaikan kelas semester kemarin Fandy dapat peringkat 14. 3 peringkat dibawahku.

"Ini sih bukan kebetulan namanya," kataku dalam hati. Aku melirik Rani yang tampak enjoy berkumpul dengan teman-temannya yang satu klub majalah sekolah. Sedangkan aku? Aku tidak akrab satu-pun dari mereka kecuali Rani tentunya, meski aku mengenal mereka, ada Fandy si ketua klub, Bayu editor majalah, Tanti bendahara merangkap sekretaris, Thamrin dokumentasi atau lebih kerennya fotografer sekaligus pemasaran dan Rani tentunya yang bertugas sebagai reporter sekaligus penyusun ide majalah.

"Mau pesan apa, Sha?" Tanya Rani.

"Ga tahu. Tiba-tiba ga laper gue," kataku. Rani melongo. "Gimana bisa elo ga laper. Padahal tadi disekolah lo yang paling semangat nyeret gue cari makan karena udah ga tahan buat di traktir," celoteh Rani membuatku malu setengah mati.

"Nih anak kalau mau ngocehin orang liat sikon, kek. Kan gue jadi malu begini didepan teman-temannya," umpatku dalam hati. Fandy dan yang lain mendengar celotehan Rani hanya mesem-mesem.

***

Makan siang itu kami habiskan sambil mengobrol. Walaupun masih sedikit canggung karena aku baru mengenal teman-teman Rani tetapi mereka cukup asik diajak ngobrol.

Kami kemudian berpisah didepan KFC, Fandy dan yang lainnya pergi kearah lainnya sedangkan aku dan Rani memutuskan untuk pulang.

"Auwww," Rani mengaduh. "Kenapa lo injek kaki gue? Sakit tahu."

"Abis lo nyebelin. Kan gue jadi ga enak masa di traktir sama Fandy bukan sama elo," kataku. Memang yang mentraktir makan di KFC ini Fandy dan dia bilang ini sebagai bentuk ucapan terima kasihnya kepada tim majalah yang telah membantunya membuat penerbitan majalah kali ini sukses, dan juga dia berterima kasih padaku karena telah membantu memberikan informasi tentang Felix.

"Yaelah. Sama aja kali, mau gue yang traktir atau si Fandy juga," kata Rani.

"Bedalah. Pokoknya besok gue minta traktiran sama elo dikantin," kataku.

"Lha, dobel dong traktiran elo," kata Rani. Kami berjalan kearah lobby mall hendak menyetop angkot yang banyak berlalu lalang di jalan depan mall.

"Ga dobel dong. Kan yang traktir tadi Fandy. Ini kan sebagai imbalan atas bantuan gue," kataku. Kami masuk kedalam angkot dan duduk berdesakan bersama penumpang yang lain.

Rani tertawa. "Yaudah, besok gue traktir siomay kantin," katanya mengalah.

"Mie juga yah," aku meliriknya.

"Jangan banyak-banyak dong minta traktirannya," kata Rani.

Aku terkikik. Dalam hati aku berpikir besok aku tidak akan sarapan biar bisa makan banyak saat istirahat siang.

***

Akhir-akhir ini Fandy sering sekali bergabung saat istirahat siang ketika aku dan Rani sedang makan di kantin. Biasanya dia selalu terlihat bersama Merry, pacarnya yang anak kelas 3-B.

"Lo putus?!" teriakku bersamaan dengan Rani. Ternyata Rani juga tidak tahu kalau Fandy dan Merry putus. Fandy tersenyum masam. "Biasa aja kali ngomongnya. Ga usah pake teriak begitu. Nanti seisi sekolah tahu."

Kami nyengir.

"Lo putus kenapa?" Tanya Rani sembari mencomot sepotong gorengan tahu yang tampak masih panas, gorengan itu dibeli oleh Fandy. Yang aku suka dari Fandy adalah, dia selalu membawa banyak makanan ketika duduk bergabung bersama kami dikantin.

"Merry yang putusin gue. Gue juga ga ngerti kenapa. Dia ga ngasih alasan yang spesifik ke gue," kata Fandy. Fandy dan Merry pacaran sejak kelas 1 SMA, terbilang cukup lama, entah apa yang membuat hubungan mereka berakhir, tetapi selalu ada pelajaran yang bisa dipetik walaupun patah hati.

"Yaudah lo yang tabah aja. Nanti juga bisa dapet lagi," kataku lalu menepuk-nepuk pundaknya.

Fandy menatapku tampak berterima kasih.

"Cuma mungkin ga segampang itu buat nyari penggantinya," kata Fandy. Mencintai seseorang itu ternyata sangat menyakitkan, apalagi kalau orang yang kita cintai sepenuh hati menolak kita dan bahkan mencampakkan kita.

***

Fandy memberhentikan motornya didepanku yang sedang berdiri menunggu angkot didepan sekolah. Rani sudah pulang sejak tadi karena ada keperluan mendadak. Jadinya aku harus pulang sendiri.

"Mau pulang, Sha?" Tanya Fandy. Matanya menatapku dari balik helm.

Aku mengangguk.

"Mau gue anter?" Tanyanya. Aku menggeleng.

"Ga usah, Fan. Nanti gue ngerepotin," kataku. Fandy tertawa.

"Lo ga ngerepotin, kok," katanya. Aku menatap Fandy ragu-ragu.

"Rumah gue jauh loh," kataku menolak.

"Memang rumah lo dimana?" Tanya Fandy.

"Perumahan Nusa Indah," jawabku.

"Oh, deket itu mah. Gue juga kebetulan mau kearah sana," kata Fandy.

"Nih cowok maksa banget," pikirku. Tapi sedetik kemudian aku mengangguk. Aku menaiki motornya dan Fandy segera melesat menuju rumahku.

Ketika aku sampai rumah, mama sedang duduk diteras sambil membaca setumpuk majalah. Mama mengawasiku yang sedang turun dari motor Fandy.

"Mau mampir?" tanyaku berbasa-basi. Dalam hati aku berharap Fandy menolak dan akan segera pulang tapi ternyata cowok itu mengangguk mau tidak mau aku mengajaknya masuk dan memperkenalkannya pada mama.

Mama tampak sumringah menerima Fandy dirumah.

"Itu pacar kamu, Sha?" Tanya mama saat mengikutiku kedapur untuk mengambilkan minum buat Fandy.

Aku menggeleng. "Kami hanya teman, ma."

"Wah, sayang sekali yah. Kelihatannya dia anak baik-baik. Mama suka sama dia," kata mama kecewa. Aku melirik mama. Giliran Felix yang mengantarku pulang, mama marah setengah mati, tapi Fandy yang mengantarku pulang mama senang sekali. Dasar pilih-pilih.

Fandy memperhatikan halaman rumahku ketika dia menangkap sosok cowok yang dia kenal. "Felix?" batinnya.

Fandy berjalan menghampiri Felix yang baru saja turun dari sepedanya.

"Lix," sapanya. Felix menoleh.

"Oh, elo," gumam Felix.

"Lo ngapain disini?" Tanya Fandy. Fandy sampai sekarang tidak tahu kalau Felix dan Sasha adalah tetangga. Dia hanya diberitahu Rani kalau Sasha bisa membantunya untuk mencari informasi tentang Felix karena mereka cukup dekat.

"Ini rumah gue," kata Felix. "Lo sendiri ngapain disini?" Felix balik bertanya.

Fandy masih diam saat Felix bertanya. Dia cukup kaget mendengar kalau Felix adalah tetangga Sasha.

Felix menatap Fandy sejenak dan menatap motor Fandy yang terparkir didepan rumah Sasha dan dia langsung mengerti. Tanpa menunggu jawaban dari Fandy, cowok itu masuk kedalam rumahnya.

"Lo mau mampir?" Tanya Felix kemudian.

Fandy menggeleng. "Gue lagi main kerumah Sasha."

Felix terdiam lalu masuk kedalam rumahnya dan meninggalkan Fandy yang masih termenung-menung didepan gerbang rumahnya.

"Pantas saja mereka dekat, rupanya mereka tetangga," pikir Fandy sambil berjalan kembali kerumah Sasha.

Aku heran melihat Fandy yang berjalan dari luar.

"Darimana dia?" pikirku dalam hati tapi aku mengurungkan niat untuk bertanya.

"Minum dulu Fan," kataku. Fandy mengangguk, setelah berbincang-bincang sejenak, Fandy mohon diri untuk pulang. Mama berpesan padanya untuk sering-sering main kerumah. Aku menyikut mama. Tidak tahu kenapa aku tidak suka apabila mama menyuruh Fandy untuk sering main kesini.

***

"Hai, Sha," sapa Fandy ketika aku sedang duduk sendirian di kantin sambil menikmati semangkuk mie ayam. Rani tidak masuk hari ini karena sakit, dia bilang sih masuk angin.

"Sendirian aja?" Tanya Fandy yang lalu duduk didepanku. Aku mengangguk.

"Rani sakit," kataku.

"Sakit apa dia?" Tanya Fandy. Dia kemudian memesan semangkuk soto mie.

Aku mengangkat bahu. "Katanya sih masuk angin."

Fandy mengangguk-angguk.

"Oh ya, Sha," Fandy tampak ragu-ragu.

"Ada apa?" tanyaku.

"Minggu ini lo ada acara?" Tanya Fandy pelan.

"Minggu? Kayaknya gue ga ada acara. Memang kenapa?" tanyaku. Tidak biasa-biasanya Fandy menanyakan jadwal acaraku dihari minggu.

Fandy kelihatan gelisah. Dia berkali-kali meremas tangannya.

"Kenapa, sih?" Tanyaku heran.

"Ehemm, begini," Fandy berdehem untuk meredakan rasa gugup yang tiba-tiba menyerangnya. Aku menatapnya, Fandy balas menatapku.

"Begini, minggu ini gue mau ajak elo nonton. Kebetulan ada film baru. Lo mau ga?" Tanya Fandy akhirnya, meski suaranya sedikit pelan tetapi aku masih bisa mendengarnya.

Aku tertawa. "Ya ampun. Elo mau ajak gue nonton aja susah banget ngomongnya," kataku. Fandy ini lucu banget.

Fandy menatapku. "Jadi elo mau?"

"Tentu aja gue mau. Kebetulan gue lagi bingung mau ngapain minggu ini. Nanti gue ajak Rani juga deh, dia juga kayaknya mau nonton tuh," kataku.

Fandy menggeleng. "Gue cuma mau ajak elo. Kita nonton berdua aja."

Aku terdiam. "Nonton berdua?" batinku. Rasanya agak aneh Fandy mengajakku nonton berdua saja. Kenapa Rani tidak boleh ikut? Meskipun kami mengenal sejak beberapa minggu lalu, dan kami sudah cukup akrab, tapi dia tidak seakrab dengan Rani. Dan kami juga tidak pernah pergi berdua.

Fandy memandangku. Menunggu jawabanku.

Aku berpikir sejenak. Sebenarnya tingkah Fandy akhir-akhir ini memang sedikit aneh. Dia selalu tampak salah tingkah apabila didekatku. Tidak tahu kenapa.

"Sha, panggilnya." Aku memandang dia.

"Baiklah," kataku akhirnya.

Senyum mengembang diwajah Fandy. Dia kelihatan senang sekali.

"Minggu gue jemput jam setengah 1 yah," katanya.

Aku menggeleng. "Ga usah. Nanti kita ketemu di bioskop aja," kataku menolak.

Wajah Fandy kelihatan kecewa tapi dia kemudian mengangguk.

"Sudahlah, tidak apa-apa. Yang penting Sasha mau pergi bersamaku," pikirnya.

***

Aku menunggu Fandy yang masih belum juga tiba di mall. Sesekali kulirik jam tangan. Masih pukul 12.35. Rasanya aku datang terlalu cepat.

Sambil menunggu Fandy, aku membeli es krim dan duduk dibangku panjang dekat food court. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada panggilan masuk dari Fandy.

"Halo," jawabku. Suara diseberang telepon terdengar berisik dan bising.

"Sha, gue kejebak macet nih. Boleh minta tolong beliin tiketnya dulu ga?" suara Fandy terdengar samar-samar karena disekitarnya terlalu ramai.

"Apa?" aku bertanya dengan suara cukup keras membuat beberapa orang yang lewat disekelilingku menatapku keheranan.

"Boleh minta tolong beliin tiketnya dulu ga?!" teriak Fandy.

"Oo oke-oke. Nanti kita ketemu didalam bioskop yah," kataku. Setelah kututup telepon dari Fandy, aku bergegas menuju bioskop yang berada dilantai atas.

Bioskop cukup penuh dan antrian pengunjung cukup panjang dan mengular.

Aku memperhatikan papan film yang sedang diputar dibioskop. Beberapa film diantaranya memang belum aku tonton. Sejak pindah ke Bandung aku jarang nonton dibioskop. Terakhir kali aku pergi bersama Rani untuk menonton film romantis di-mix dengan unsur komedi yang menjadi film kesukaan Rani.

Meskipun aku tidak menyukai genrenya, tapi karena Rani yang menraktirku nonton jadi aku ikut saja. Aku lebih suka film horror dan film-film yang mengandung unsur fantasy, film bergenre sci-fi juga bagus apalagi dipadukan dengan tokoh hero.

Ada beberapa film yang diputar saat ini yang termasuk film kesukaanku. Akhirnya aku masuk kedalam antrian pengunjung yang bertambah panjang untuk membeli tiket film sci-fi action.

Ketika asik mengantri, kulihat seorang cowok berdiri beberapa baris didepanku.

Dari gerak-geriknya seperti aku kenal. Aku mengerutkan kening. Cowok itu melirik kanan kiri kemudian menengok ke belakang. Itu Felix. Ternyata cowok itu menonton film yang sama denganku. Kebetulan sekali. Felix lalu menatapku sebentar dan melengos.

"Sombong banget sih tuh bocah," umpatku. Tiba-tiba terlintas dipikiranku untuk meminta tolong padanya untuk membelikan tiket film. Kebetulan film yang akan kami tonton sama, kenapa kami tidak nonton bersama-sama saja.

Aku keluar dari antrian dan menghampirinya. Meski kesal padanya, tapi aku tetap akan minta tolong karena aku tidak mau repot-repot mengantri lagi.

"Lix," aku mencolek pundaknya. Felix menoleh.

"Kenapa?" tanyanya.

"Gue boleh minta tolong?" tanyaku. Karena Felix tidak kunjung menjawab pertanyaanku, aku mendekatinya dan berbisik ditelinganya.

"Lo bukannya udah ngantri?" Tanyanya.

"Antriannya panjang banget. Gue takut ga kebagian tiket," kataku berkilah.

Felix tidak menjawab. Felix ini sepertinya tipe orang yang sangat susah untuk dimintai tolong. Kalau Felix tidak mau, mau tidak mau aku mengantri lagi dari awal.

"Mau berapa tiket?" tanyanya tanpa menatapku. Aku memandangnya lalu tersenyum.

"Untuk 2 orang," kataku. Felix tidak menjawab tapi aku tahu kalau dia akan menolongku.

Ketika tiba gilirannya, dia membeli 3 tiket sekaligus.

"Nih punya elo," katanya padaku. Dia memberikan 2 tiket padaku yang kemudian aku bayarkan padanya.

Waktu nonton sudah hampir tiba. Aku memutuskan untuk menunggu Fandy yang belum kunjung menampakkan batang hidungnya.

Suara operator mulai membahana memberitahukan bahwa studio 1 tempat film yang akan aku tonton sudah dibuka.

Felix sedang membeli popcorn dan segelas cola.

"Lo nunggu siapa?" tanyanya ketika melihatku tidak juga beranjak masuk kedalam studio.

"Fandy. Gue janjian sama dia," kataku. Felix mengerutkan keningnya. Dia mengira bahwa Sasha janjian dengan Rani.

Kemudian dari arah luar pintu masuk bioskop muncul Fandy yang tampak terengah-engah karena habis berlari.

"Sha, maaf yah buat kamu lama menunggu," kata Fandy yang melihatku duduk menunggunya. Aku hanya mengangguk tapi kata 'kamu' yang keluar dari mulut Fandy terdengar ganjil ditelingaku.

Fandy mengalihkan pandangannya pada Felix.

"Kok elo disini?" Tanya Fandy bingung.

"Mau nontonlah," sahut Felix ketus. Dia lalu beranjak pergi dan masuk kedalam bioskop.

Fandy lalu menatapku. "Kamu yang ajak dia?"

"Udah. Ayo kita masuk," kataku tidak menjawab pertanyaannya. Aku tidak memberitahunya kalau aku dan Felix hanya kebetulan bertemu. Biar saja Fandy berasumsi kalau aku sengaja mengajak Felix.

Fandy kesal setengah mati saat melihat Felix duduk dibangku bioskop. Pasalnya cowok itu menempati bangku nomor H11 dan tidak mau pindah dengan alasan angka 11 adalah angka kesukaannya. Sedangkan tiket ditanganku bernomor 10 dan 12, jadilah aku duduk disebelah kiri Felix dan Fandy dikanan Felix. Padahal Fandy bilang kalau dia ingin duduk disebelahku.

Aku tahu kalau sepanjang film diputar Fandy menahan rasa kesalnya dan tidak berkonsentrasi menonton, sedangkan Felix, cowok tidak berperasaan itu tampak asik menikmati film yang diputar dan berkali-kali menawarkan popcornnya padaku meski aku yakin itu hanya basa-basi. Sejujurnya aku merasa tidak enak hati pada Fandy karena nonton ini adalah ide dia. Tapi mau bagaimana lagi, aku juga tadi minta tolong pada Felix untuk membelikan tiket, jadi aku juga tidak bisa protes mengenai tempat duduk kami. Akhirnya daripada aku pusing, aku memilih berkonsentrasi nonton karena filmnya cukup bagus dan menegangkan.

***

"Lo habis ini mau kemana?" Tanyaku berbasa basi pada Felix ketika kami bertiga keluar dari bioskop 2 jam kemudian. Fandy tampak masih kesal karena dia memasang tampang masam.

"Makan," jawabnya pendek lalu ngeloyor sendirian meninggalkan aku dan Fandy. Tak tahu kenapa aku malah mengikuti cowok itu dan meninggalkan Fandy. Melihat Sasha mengikuti Felix, mau tidak mau Fandy mengikutinya. Padahal dia sangat ingin jalan-jalan bersama Sasha berdua saja.

Kami bertiga duduk disatu meja dalam sebuah restoran. Restoran itu menyediakan berbagai jenis makanan.

"Kamu mau pesan apa?" Tanya Fandy sambil melihat buku menu. Aku membalik-balikkan buku menu tersebut. Tidak ada yang membuatku berselera makan. Mungkin karena aku belum lapar.

Felix memanggil waiter yang sedang membersihkan meja didekat kami dan memesan nasi goreng.

"Lo berdua ga pesan?" tanyanya. Waiter masih berdiri didekat kami menunggu kami memesan.

"Gue nasi bakar aja. Kamu apa, Sha?" Tanya Fandy.

"Gue minum aja. Jus strawberry," kataku. Waiter tersebut pergi setelah selesai mencatat pesanan kami.

Sambil menunggu pesanan datang aku dan Fandy mengobrol sementara Felix hanya diam sambil melihat keluar jendela. Kelihatannya dia tidak terlalu suka mengobrol dengan orang lain.

"Anu, Sha," Fandy menatapku ragu-ragu. Tampaknya dia ingin berbicara sesuatu yang penting.

"Apa?" tanyaku.

"Sebenarnya aku mau bicara padamu. Ini sesuatu yang penting," kata Fandy. "Tapi, aku malu bicara disini," Fandy mengerling kearah Felix. Yang dilirik rupanya sadar.

"Mau ngomong, ngomong aja. Ngapain lo pikirin gue," kata Felix kesal seolah-olah dia adalah pengganggu padahal aku dan Fandy-lah yang menjadi pengganggu makan siang Felix karena aku yang bersikeras mengikutinya. Entah kenapa kalau bersama Felix aku merasa lebih aman dibandingkan berdua saja dengan Fandy. Walaupun aku tahu Fandy bukanlah cowok jahat dan tidak berniat buruk padaku.

Felix meraih gelas minumannya dan meminumnya perlahan.

"Iya, lo ngomong aja lagi. Anggap aja Felix ga ada," kataku nyengir. Felix mendengus tambah kesal.

Fandy meremas tangannya lagi, itu biasa dia lakukan ketika dia sedang gugup.

"Kalau begitu Felix kujadikan sebagai saksi," kata Fandy. Aku menatap bingung, begitu juga Felix, tapi cowok itu tetap memasang wajah innocent.

"Aku... aku sebenarnya suka sama kamu, Sha," kata Fandy pelan, wajahnya terlihat memerah.

Felix berhenti minum sejenak. Hampir dia tersedak mendengar pengakuan cinta Fandy yang begitu terang-terangan didepannya. Seharusnya untuk pengakuan cinta begini mereka sebaiknya ngomong berdua saja.

"Kamu mau ga jadi pacar aku?" Tanya Fandy mantap.

Tiba-tiba aku merasa malu dan aku yakin wajahku sekarang semerah tomat. Aku menunduk untuk menyembunyikan wajahku.

Jujur saja, sebenarnya aku kurang berpengalaman dalam hal berpacaran dan jarang sekali di tembak oleh seorang cowok. Aku hanya pernah berpacaran satu kali itu pun sewaktu aku masih dikelas 1 SMA di Jakarta. Pacar pertamaku Ronald, dia teman sekelasku dan dia adalah cowok yang baik. Kami hanya pacaran selama 4 bulan, dan selama itu aku terus berusaha untuk menyayanginya tapi itu sangat sulit. Aku merasa menerima dia hanya karena aku tidak sampai hati menolaknya. Ketika Ronald tahu kenyataan itu, rasa sakitnya jauh lebih dalam daripada aku menolaknya dari awal. Karena itu aku trauma untuk berpacaran lagi, karena aku tidak ingin menyakiti orang lain.

Aku menatap Fandy. Hatiku mengatakan aku tidak bisa menerima Fandy. Meskipun dia baik dan selama beberapa minggu belakangan ini kami dekat, tapi aku tidak merasakan getaran apapun ketika didekatnya. Nenekku pernah mengatakan, ketika kamu sudah menemukan orang yang benar-benar kau cintai, hatimu pasti akan merasakan getaran-getaran yang hebat dan bisa membuatmu melakukan apa saja untuknya.

Setelah lama terdiam. Aku mengangkat wajahku dan berani menatap Fandy.

Fandy menanti dengan tak sabar, sementara Felix yang duduk disebelah Fandy memilih diam dan menghabiskan minumannya.

"Sori, gue ga bisa," kataku perlahan.

Wajah Fandy yang tadinya penuh harap tampak kecewa.

"Kenapa?" tanyanya. Aku terdiam. Inilah, aku paling bingung ketika ditanya kenapa? Kenapa kau menolakku? Apa alasannya?

"Gue udah punya pacar," kataku pelan sambil melirik Felix. Felix meski tampak tenang tapi aku tahu kalau dia mendengarkan pembicaraan kami.

"Pacar?" Fandy bertanya-tanya. "Siapa? Setahu aku, kamu tidak punya pacar."

"Tentu saja lo tidak tahu. Karena selama ini gue dan pacar gue berpura-pura tidak pacaran. Jadi tidak ada orang yang curiga kalau kami sebenarnya pacaran," kataku. Duh, aku ngarang cerita apalagi ini.

"Siapa pacar kamu?" Tanya Fandy tidak sabar. Kenapa sih nih cowok penasaran banget?

"Lo ga perlu tahu," kataku.

"Aku harus tahu. Karena aku sudah ditolak oleh kamu, jadi biarkan aku tahu," Fandy setengah memaksa.

"Nih cowok kepo banget, sih," batinku sebal.

"Jadi lo tetap mau tahu siapa cowok gue?" tanyaku makin membuatnya penasaran. Fandy mengangguk. "Siapa?"

"Felix," kataku akhirnya.

Fandy melongo kaget dan Felix benar-benar tersedak sekarang.