Chapter 7

Senin pagi...

Sesuai dugaanku. Berita tentang aku dan Felix yang berpacaran menyebar dengan cepat disekolah bak virus flu burung. Kini semua orang membicarakan tentang aku dan Felix yang diam-diam saja merahasiakan hubungan kami selama ini. Para gadis selalu memelototiku tidak suka tiap aku lewat dikoridor dan sering membicarakan aku di wc. Rani yang mengatakan hal itu ketika dia mendengarkan aku sedang dibicarakan oleh beberapa cewek kelas 1 ketika dia sedang ke wc untuk pipis.

Kami sedang makan siang di kantin, jam istirahat telah lama berbunyi. Jam makan siang itu-pun aku merasa tidak tenang karena banyak mata yang memperhatikan aku dan mereka berbisik-bisik serta memasang tampang sinis. Aku memilih untuk tidak peduli, biar saja mereka membicarakan aku.

Lo diomongin tuh, bisik Rani. Sekarang dia selalu berbisik apabila sedang bicara padaku.

"Biarin," kataku kesal. Meski aku tidak mau peduli apa omongan orang tapi tetap saja aku kesal karena mereka sepertinya tidak hentinya membicarakan aku. Ada yang bilang kalau aku tidak cocok dengan Felix, ada pula yang bilang kalau aku itu tidak cantik, tidak pintar juga. Lalu? So What? Memang kenapa kalau aku jelek dan rankingku dibawah Felix? Kalian semua juga tidak cantik dan cerdas. Bukannya kalian itu hanya iri karena tidak bisa menjadi pacar Felix.

"Omongan mereka itu bikin kuping panas tahu," kata Rani.

"Kan gue yang diomongin kok kuping elo yang panas?" kataku heran.

"Yah, karena secara ga langsung mereka ikut ngomongin gue karena gue deket-deket sama elo," kata Rani cekikikan.

"Jadi elo mau bilang kalo elo ga mau temenan sama gue lagi?" tanyaku sebal.

Rani tertawa. "Yah, bukan gitu juga, Sha. Cuma elo kenapa ga pernah cerita ke gue kalo elo jadian sama Felix?" Tanya Rani. Raut wajahnya berubah serius.

Aku tahu kalau Rani pasti kesal karena aku tidak pernah memberitahunya kalau aku pacaran dengan Felix. Yah, buat apa juga aku memberitahukan pada Rani, toh aku dan Felix tidak pernah benar-benar berpacaran.

Kami hanya berpura-pura. Ingat!

Meski sebenarnya Felix menolak mentah-mentah permohonanku untuk pura-pura pacaran.

"Namanya juga pacaran diem-diem. Masa gue cerita ke elo juga," kataku beralasan.

"Mata Rani menyipit. Gue tau alasan lo nyembunyiin hal ini dari gue," katanya.

Deg...

"Pasti karena lo takut gue olok-olok kan?" lanjut Rani membuatku menghembuskan napas lega. Aku kira dia tau hal yang sebenarnya.

Karena aku tidak menjawab, Rani meneruskan analisisnya yang benar-benar menyimpang jauh dari kenyataan.

"Siapa yang dulu teriak-teriak ga naksir sama Felix?" ada nada sindiran dari suara Rani.

"Makanya kalo ngomong tuh hati-hati, sekarang lo kemakan omongan lo sendiri kan," lanjut Rani. "Kan udah gue bilang kalo benci itu beda tipis sama cinta."

Aku tertawa dalam hati. "Terserah lo lah mau ngomong apa. Kenyataannya kan ga gitu," kataku dalam hati. Biarlah dia berpikir seperti itu.

"Tapi, siapa yang nyebarin berita kalo lo pacaran sama Felix yah?" Rani memasang wajah berpikir. Dia sendiri baru tau kalau Sasha pacaran dengan Felix setelah gadis-gadis dikelasnya ribut membicarakan kabar itu. Awalnya Rani sendiri tidak percaya karena Sasha selalu bilang tidak suka dengan Felix, bahkan benci malah. Hingga akhirnya dia menginterogasi Sasha langsung, dan gadis itu mengaku kalau mereka berdua memang berpacaran. Aku cuma diam mendengarkan tiap ocehannya daripada nanti aku keceplosan.

Sementara dalam hati aku geram. Ini semua karena Fandy. Cowok itu yang membuat keadaan menjadi runyam begini. Aku yakin kalau Fandy yang menyebarkan rumor aku berpacaran dengan Felix. Siapa lagi pelakunya kalau bukan dia?

(Flashback)

Fandy berjalan dengan perasaan kecewa yang amat sangat ketika dia tahu kalau Sasha sudah punya pacar dan pacarnya itu Felix. Dia tidak mungkin bisa menandingi Felix meski dia juga tidak kalah ganteng.

Niatnya untuk mencari kekasih baru pupus seketika dan perasaannya langsung hancur berkeping-keping untuk kedua kalinya.

"Kenapa elo bohong sama dia?" Tanya Felix ketika kami dalam perjalanan pulang. Kami berdua menaiki bis yang sama yang menuju halte dekat kompleks perumahan Nusa Indah.

"Abis gue bingung mau kasih alasan apa," kataku. Jujur saja aku merasa bersalah pada Felix dan Fandy dalam waktu yang bersamaan.

"Lo kan tinggal bilang kalo lo ga bisa pacaran sama dia atau elo ga suka sama dia," kata Felix. Dia benar-benar tidak habis pikir, Sasha ini bodoh atau apa.

"Maaf," kataku. "Tapi gue mohon banget sama elo. Elo maukan pura-pura pacaran sama gue?"

Felix mendelik. Raut wajahnya tampak tidak suka.

"Gue ga mau," katanya ketus.

Gimana nih? Felix tidak mau diajak pura-pura pacaran. Bagaimana kalau anak-anak menganggapku hanya membual dan berangan-angan menjadi pacar Felix?

Aku menunduk. Aku tidak bisa membayangkan besok aku akan menjadi hot topic disekolah.

(End Flashback)

Aku menghela napas.

Memang benar kata pepatah, Mulutmu harimaumu. Gara-gara aku tidak bisa mengatakan tidak pada Fandy, aku malah jadi membuat kebohongan baru yang membuat semua orang geger. Dan bisa kutebak. Aku dan Felix adalah orang paling populer satu sekolah sekarang.

Meski Felix sudah biasa jadi orang populer tapi kali ini dia tampak tidak suka dengan situasi ini. Dia jadi sering menghilang saat jam pelajaran dan memilih membolos untuk bersembunyi dari kejaran para gadis-gadis pemujanya yang menuntut penjelasan dari Felix sehubungan dengan rumor itu. Tapi, tidak kudengar Felix membantah berita itu. Dia hanya diam saja seperti biasa.

"Cie, pasangan baru. Kok ga pulang bareng?" goda Denny, teman sekelasku yang duduk disebelah Riko. Aku sedang bersiap untuk pulang dan mengemasi buku-bukuku. Aku mendelik padanya. Dan kemudian beralih menatap Felix yang juga sedang membereskan buku-bukunya.

Cowok itu tidak bereaksi dan tampak lebih dingin dari sebelumnya.

Aku berbalik dan memakai ranselku hendak pulang ketika Felix menarik tanganku dan menyeretku keluar dari kelas.

Terdengar dibelakangku suara suit..suit yang sangat heboh.

"Felix?!" aku melotot.

Dia tidak menjawab. Hanya menggandengku kearah tempatnya memarkir sepeda.

Banyak yang melihat kami dan mereka mulai membicarakan kami lagi. Anak-anak kelas 1 dan 2 yang memuja-muja Felix memandang kami dengan wajah kesal.

"Naik," kata Felix ketika dia sudah duduk di atas sadel sepedanya.

Aku menurut. Entah apa yang ada dipikiran Felix. Kenapa dia mengajakku pulang bersamanya?

Felix mengayuh sepedanya keluar dari sekolah. Sepanjang perjalanan dia tidak berbicara sepatah katapun. Hanya diam dan terus mengayuh.

Tes... Tes...

Hujan mulai turun. Mulai dari rintik-rintik dan semakin lama semakin lebat.

Felix menepikan sepedanya dan berhenti didepan sebuah toko yang sudah tutup. Tidak ada seorangpun yang meneduh ditempat itu. Hanya ada kami berdua.

Aku melirik Felix yang menatap lurus kedepan. Wajahnya tampak lelah. Sepertinya dia punya masalah dan tekanan. Atau mungkin sebenarnya akulah penyebab masalah untuknya.

"Lix," panggilku pelan.

"Apa?" Felix menyahut tanpa menoleh. Dia bahkan tidak mau menoleh padaku. Mungkin dia sudah mulai membenciku karena sering sekali membuat masalah untuknya.

"Maaf karena sudah membuat lo dalam masalah. Tidak harusnya gue membawa-bawa lo dalam keadaaan ini," kataku.

Felix tidak menjawab.

"Terima kasih karena sudah membantu gue, gue mungkin tidak akan punya muka lagi untuk kesekolah apabila seisi sekolah tahu kalau kita hanya berpura-pura pacaran," aku bicara sendiri. Aku tidak peduli Felix akan mendengarkan atau tidak.

Saat ini, kami hanya berdua, suara hujan turun seperti kaleng karena terkena atap teras toko yang terbuat dari seng.

Hening sesaat.

Aku tidak bicara apa-apa lagi. Felix juga masih asik memandangi hujan.

Aku ikut menatap hujan yang turun. Kuulurkan tanganku dan merasakan hujan yang membasahi tanganku.

Aku menatap air hujan diatas telapak tanganku.

"Felix," aku memanggil namanya.

Cowok itu masih tidak bereaksi.

"Apa elo membenci gue?" tanyaku lalu menoleh kearah Felix dan kulihat cowok itu sedang menatapku.

Tidak ada rasa marah dalam matanya. Selama beberapa bulan ini mengenalnya, yang selalu kulihat dari mata Felix adalah kesepian. Dan diam-diam aku ingin sekali menjadi bagian dari hidupnya, setidaknya menjadi teman untuknya berbagi. Meskipun seringkali kesal dengan tingkah dan sikapnya, tetapi aku tidak pernah sungguh-sungguh membencinya seperti yang sering aku katakan pada Rani.

"Gue ga pernah membenci elo," katanya pelan.

Aku tersenyum.

"Syukurlah," kataku.

Kemudian aku menatapnya. "Mungkin ini kedengaran egois, tapi kalau boleh, ijinkan gue jadi pacar lo walau hanya pura-pura." Entah dari mana aku mendapat keberanian sebesar itu, saat aku mengatakannya pada Felix, wajah cowok itu berubah pucat.

Aku yakin cowok itu pasti akan menolakku. Tapi aku merasa ini adalah satu-satunya cara untuk masuk kedalam kehidupan cowok itu, yah sekaligus menyelamatkan mukaku, sih.

Felix berdeham.

"Kenapa elo masih bersikeras mau jadi pacar pura-pura gue?" tanyanya. Suaranya kedengaran sedikit parau dan tidak setenang biasanya, Sasha tidak tau kalau Felix berusaha meredam gejolak perasaan yang tiba-tiba melandanya. Belum pernah ada gadis seberani ini padanya, apalagi sampai bersikeras ingin menjadi pacarnya.

"Karena gue mau berteman sama elo. Selama ini gue selalu berusaha untuk menjadi teman elo. Tapi elo seakan membentengi diri lo sendiri. Jadi gue ga bisa masuk," kataku. Felix tertegun.

"Memangnya menjadi teman harus dimulai dari jadi pacar pura-pura?" Tanya Felix.

Aku terkekeh.

"Sebenernya kalo itu sih buat bantu gue juga. Gimana-pun biar Fandy ga ngejar-ngejar gue," kataku.

"Elo tuh pede banget. Gue kasih tahu, yah. Fandy itu tipe orang yang cepat bangkit setelah terpuruk. Ga lama lagi lo pasti akan lihat dia jadian sama cewek lain," kata Felix.

Aku tertawa mendengarnya. "Bukannya bagus kalo akhirnya dia nemu cewek lain."

Felix geleng-geleng kepala.

"Gimana kalo gini aja. Kita jadi pacar selama 3 bulan, sekarang kan udah pertengahan desember, berarti sampai pertengahan maret, setelah itu elo putusin gue," kataku.

Menurutku ini adalah perjanjian yang menguntungkan kedua belah pihak. Ah tidak, sepertinya ini hanya menguntungkan aku. Aku garuk-garuk kepala. Felix tidak menjawab. Dia tampak berpikir.

"Kalau begitu, sampai rumor ini reda. Setelah itu kita buat rumor baru yaitu elo mutusin gue karena ada masalah antara kita," kataku.

"3 bulan," kalimat Felix terdengar menggantung.

Aku memandangnya.

"Kita pacaran pura-pura selama 3 bulan," katanya kemudian.

Aku terlonjak mendengarnya, hampir aku memeluk cowok disebelahku ini saking senangnya. Felix ternyata sangat baik hati sekali. Dia bersedia menjadi pacarku walau hanya 3 bulan dan dia sudah menyelamatkanku dari julukan pecundang besar disekolah.

Tapi ada satu syarat, kata Felix setelah terdiam sesaat.

"Apa..apa?" tanyaku. Syarat apapun akan aku lakukan asal cowok ini bersedia menjadi pacar pura-puraku.

Felix menatapku lurus-lurus.

"Lo ga boleh suka sama gue. Kalo lo suka sama gue, perjanjian kita otomatis berakhir," kata Felix.

Aku mengernyit. Syarat yang aneh, aku pikir dia minta di traktir makan gitu.

Setelah terdiam aku tertawa pelan.

"Itu sih gampang. Lagipula mana mungkin gue suka sama elo," kataku. Nih, cowok pede banget, sih.

"Baguslah kalo gitu," kata Felix. Ada nada kelegaan terdengar.

"Kalau begitu, deal?" tanyaku. Aku mengulurkan tanganku.

"Deal," Felix membalas uluran tanganku.

***

Aku menatap nomor handphone yang bertuliskan nama Felix. Setelah membuat perjanjian dengannya, kami bertukar nomor handphone. Dan betapa mengejutkannya, nomor handphone lain di kontak handphone Felix hanya Eli. Cowok itu bahkan tidak mencantumkan nomor mamanya, tante Margaretha. Aku heran, sebenci apa Felix pada mamanya itu sampai-sampai dia tidak memasukkan nomor mamanya sendiri.

Felix mengantarku pulang setelah hujan reda, sebenarnya tidak mengantar pulang juga sih, karena rumah kami memang berdekatan.

Aku lega karena mama sedang berada didalam rumah membereskan pakaian yang basah karena kehujanan, jadi beliau tidak memergoki aku yang pulang bersama Felix. Entah apa yang akan mama katakan lagi tentang Felix kalau aku pulang bersamanya. Aku sudah bosan karena mama selalu menceramahiku untuk menjauhi cowok itu. Padahal kalau mama mau mengenal cowok itu lebih dekat, dia adalah cowok yang baik.

Malam itu aku makan malam bersama papa. Biasanya papa selalu pulang malam. Tetapi kali ini berbeda. Papa pulang lebih cepat dari biasanya sehingga kami bisa makan malam bersama.

"Libur akhir tahun ini kita mau kemana?" Tanya mama.

Aku memandang mama dan papa bergantian. Aku selalu menantikan libur panjang seperti libur lebaran, libur natal & tahun baru karena kami sekeluarga bisa berlibur bersama. Kalau hanya libur sekolah biasanya aku dikirim ke rumah nenek di Yogya karena papa harus kerja.

"Hmmm, papa belum tahu kita mau kemana. Tapi sepertinya direktur papa mengajak kita liburan di villanya di anyer," kata papa.

Mendengar kata Anyer aku membayangkan lautnya yang biru dan pasirnya yang putih.

"Ayo kita pergi, pa. Sasha sudah lama tidak melihat laut. Melihat gunung terus bosan juga lama-lama," kataku bersemangat.

Papa tertawa. "Baiklah. Nanti papa coba hubungi lagi direktur papa."

Selesai makan malam, papa dan mama mengobrol di ruang keluarga sementara aku memilih untuk pergi ke kamar.

Tadi siang aku sempat pergi ke perpustakaan dan meminjam beberapa novel disana. Sambil tidur-tiduran di atas tempat tidur, ku buka halaman pertama dan mulai membaca.

Semenit, 2 menit, ku coba untuk berkonsentrasi membaca, tapi tidak tahu kenapa aku tidak bisa berkonsentrasi.

Aku masih kepikiran kejadian tadi siang saat Felix setuju untuk menjadi pacar pura-puraku selama 3 bulan. Meski hanya pacaran pura-pura entah kenapa aku merasa senang. Tiba-tiba saja aku ingin sekali sms cowok itu dan menanyakan kabarnya. Padahal kami baru saja bertemu tadi siang. Bolehkan aku sms dia? Kan cuma menanyakan kabarnya.

Aku cari nama Felix di kontakku dan mulai mengetikkan sms.

'Lagi apa?' ketikku berbasa-basi.

Ku tatap handphone-ku selama beberapa detik. Tapi handphone itu tidak juga kunjung menyala menampakkan pesan balasan dari Felix.

Akhirnya aku jadi kesal sendiri. "Lama banget bales sms aja. Dia lagi ngapain sih?!" teriakku kesal. Ku lempar bantalku ke arah dinding dan ku tinju boneka beruang kesayanganku.

Phip...

Bunyi sms masuk. Dengan semangat ku raih handphoneku dan ku buka pesan itu.

"Rani?" aku menatap layar sms itu kecewa. Rani menanyakan buku pelajaran kimia miliknya yang aku pinjam kemarin lusa.

Mungkin tidak seharusnya gue sms dia, batinku. Sebal. Aku melirik boneka beruangku yang tadi sempat ku tinju. Mata boneka itu menatapku dan seakan berkata Kasian lo Sha.

"Apa lo liat-liat? Mau gue tinju lagi?" aku menunjukkan kepalan tanganku pada boneka itu. Rasanya aku sudah mulai gila sekarang. Boneka saja sampai menjadi sasaran kemarahanku, padahal tidak seharusnya aku marah. Aku hanya sms Felix dan tidak dibalas, itu saja. Tapi kenapa aku sebegitu sebalnya karena sms-ku tidak dibalas olehnya.

Aku mengacak-acak rambutku dan membenamkan diri dalam bantal.

Phip...

Bunyi sms masuk. Pasti Rani lagi. "Ngapain sih dia sms lagi? Kan udah gue bilang kalau besok gue balikin bukunya," batinku.

Aku meraih handphoneku dengan malas dan kubuka pesan yang masuk.

Mataku terbelalak. Sms itu dari Felix. Cowok itu membalas pesanku. Aku tersenyum lebar. Akhirnya setelah menunggu selama kurang lebih 15 menit, cowok itu membalas pesanku.

Aku girang bukan main. Cepat-cepat kubuka pesan dari Felix.

'Sori, gue lagi dijalan tadi. Ada apa?' isi pesan Felix demikian. Ternyata cowok itu sedang dijalan. Dia pasti di warnet sekarang.

'Ahaha, sori gue ga tau. Gue cuma lagi iseng aja. Jadi gue sms lo pengen tahu lo lagi ngapain' ketikku.

'Gue lagi diwarnet. Lo tidur aja. Udah malem.' Balas Felix beberapa menit kemudian.

Aku memandang jam beker di samping tempat tidurku. Masih jam 9 malam. Memang sudah malam tapi aku belum mengantuk.

'Lo ngapain diwarnet malem-malem gini?' tanyaku meskipun aku sudah tahu kalau dia bekerja paruh waktu disana sebagai penjaga warnet.

'Gue lagi kerja.' Balasnya singkat.

Aku cemberut. Nih cowok ga niat kali yah sms-an.

'Sori yah gue jadi ganggu waktu kerja lo.' Balasku.

'Gpp. Memang ada apa?' balas Felix. Felix sendiri sedang browsing di internet dan dia tidak merasa terganggu dengan sms dari Sasha, hanya saja dia merasa heran tiba-tiba gadis itu mengirimkan sms padanya.

Aku menatap pesan terakhir dari Felix. Memang ada apa? Sebenarnya tidak ada apa-apa. Aku cuma berniat sms pacar aku sendiri, meski hanya pacar pura-pura. Apa mungkin cowok itu bingung karena aku mengirim sms padanya, jadi dia berpikir kalau aku ada perlu dengannya.

Aku berpikir sejenak. Bingung mau membalas apa. Akhirnya terlintas satu pertanyaan yang memang sempat terpikirkan olehku dari tadi.

'Gini. Sebenarnya gue mau minta pendapat lo. Kitakan udah pacaran. Yah, walaupun pacar pura-pura. Tapi bukannya lebih bagus kalau kita menggunakan kata aku kamu?' tulisku. Tapi aku baca lagi pesan itu, apa tidak apa-apa kalau aku menanyakan hal itu pada Felix. Aku takut dia akan menolaknya.

"Hmmm... ga apa-apa kali yah, kan cuma minta pendapat," pikirku. Akhirnya setelah menimbang-nimbang, aku memutuskan untuk mengirim pesan itu apapun resikonya. Mungkin nanti Felix akan menolak mentah-mentah usulku ini.

Felix memandang isi pesan dari Sasha. Dia tersenyum lalu mengetikkan sms balasan.

Phip...

Aku mengambil handphone dengan ragu. "Kira-kira apa yah balasan dari Felix?" Tanyaku dalam hati.

Aku memejamkan mata dan membuka mataku perlahan ketika kulihat sms balasan dari Felix yang membuatku langsung menjerit girang.

'Boleh aja.' Begitu isi sms Felix.

Ku raih boneka beruang coklat milikku, dan memeluknya senang. Aih, kenapa aku bisa sesenang ini begitu Felix bilang mau.

"Dia mau... dia mau," aku tidak bisa menahan senyumku sekarang.

Eh, kok gue jadi kesenengan begini? aku berhenti tertawa. "Ga boleh... ga boleh... ini ga bagus," aku kemudian geleng-geleng kepala.

***

Aku baru sadar kalau aku belum membalas pesan Felix karena aku langsung tertidur pulas.

Pagi itu ketika aku menunggu papa diteras rumah. Papa sedang mengambil berkas kerja yang ketinggalan diruang kerjanya di lantai atas. Felix keluar dari rumahnya bersama dengan Eli tentunya. Tante Margaretha tampak mengantar mereka dan berdiri didepan gerbang. Seminggu yang lalu, tante Margaretha pulang kembali kerumahnya setelah 2 bulan lebih di Jakarta.

Eli melambaikan tangannya padaku ketika dia akan berangkat ke sekolahnya yang berlawanan arah.

"Kak Sasha. Dadah!" teriaknya. Aku balas melambaikan tangan padanya.

Tanpa sadar aku menatap Felix yang juga sudah siap mengayuh sepedanya.

Cowok itu hanya balas menatapku sebentar kemudian pergi.

Sikap macam apa itu?

Aku menghentakkan kaki kesal.

"Kamu ngapain, Sha? Ayo berangkat," kata papa yang tiba-tiba muncul. Aku hanya nyengir lalu ikut papa naik ke mobil.

Rani menyambutku didepan gerbang. Sepertinya dia baru saja sampai. Setelah pamit pada papa aku menghampiri Rani.

"Mana buku gue?" Tanya Rani.

"Buset. Lo pagi-pagi udah nanyain buku. Basa basi dulu, kek," gerutuku lalu memberikan buku kimia miliknya yang memang sudah kupersiapkan sejak malam.

Rani terkekeh. "Bukunya mau gue pake jam pelajaran pertama, Sha."

Rani menoleh kearah parkiran dan melihat Felix yang sedang memarkirkan sepedanya. Dia kemudian menyikutku.

"Pacar lo tuh," godanya.

Aku menatap ke arah parkiran, Felix sedang berjongkok membetulkan tali sepatunya. Terlihat olehku beberapa orang gadis menyapanya dengan genit.

"Pagi kak Felix," sapa mereka. Pasti gadis-gadis anak kelas 1 atau kelas 2 yang kecentilan.

Felix menghampiriku yang masih berdiri mengawasinya bersama Rani.

"Pagi, Lix," sapa Rani. Felix hanya manggut. Dia menatapku.

"Ga ke kelas?" tanyanya. Aku melongo ditanya olehnya. Aku tidak menjawab sampai Rani menyikut tulang rusukku dengan keras.

"Aduh, sakit tau," kataku sambil melotot kearahnya.

"Abis elo kayak orang kesambet, melongo begitu. Si Felix tuh nanya ke elo," kata Rani. Rani ini sudah seperti juru bicara Felix saja.

"Ah, iya. Nih mau ke kelas," kataku salah tingkah.

Felix mengangguk.

Kami bertiga jalan beriringan menuju kelas. Aku tahu kalau banyak yang memperhatikan kami dan kebanyakan dari mereka merasa iri karena aku bisa berjalan bareng dengan Felix, apalagi cowok itu menggandeng tanganku. Sebenarnya aku merasa sedikit risih, meski pernah pacaran, tapi aku belum pernah bergandengan tangan sama sekali. Tapi, kata Felix biarpun hanya pacaran pura-pura tapi kita mesti professional, biar keliatan seperti pasangan pada umumnya. Apalagi didepan teman-teman satu sekolah. Biar tidak mengundang kecurigaan.

Sama seperti kemarin, Denny dan beberapa anak cowok dikelasku langsung heboh melihat kami masuk ke kelas bersama-sama. Mereka lalu mulai bersuit-suit dengan keras menimbulkan keributan yang membuat pak Yudi muncul dengan wajah garang.

"Siapa itu yang membuat keributan?" Tanya beliau.

Hening.

Karena tidak ada yang mengaku akhirnya pak Yudi pergi lagi dari kelas. Kami semua melongo. Tidak biasanya pak Yudi langsung pergi begitu saja. Biasanya beliau mencari tahu siapa pembuat onar sampai ketemu, dan setelah ketemu murid itu pasti habis kena hukuman.

Felix duduk dibangkunya yang berada dipojok dan aku duduk dibangkuku disebelah Amalia. Meski aku sebangku dengan Amalia selama hampir 5 bulan ini, tetapi Amalia tidak bisa akrab denganku seperti Rani. Alih-alih dia berteman denganku, dia menunjukkan sikap tidak suka padaku. Memang ku dengar, sudah sejak lama dia mengincar Felix. Dan sekarang setelah Felix menjadi pacarku, pasti Amalia tambah tidak suka padaku. Itu bisa kelihatan dari raut wajahnya yang merengut ketika kami masuk sambil bergandengan tangan tadi.

Aku sempat mencuri pandang kearah Felix yang sedang mengeluarkan buku-bukunya. Cowok itu duduk sendiri, dan untuk pertama kalinya aku ingin sekali duduk bersamanya. Tapi itu rasanya tidak mungkin.

***

"Nih lihat," Rani membeberkan brosur mengenai festival natal di sebuah mall di pusat kota Bandung.

"Apa nih?" tanyaku sambil menghisap es teh manis dihadapanku.

Tertulis dengan huruf besar di brosur itu. WHITE CHRISTMAST FESTIVAL 2020.

Dari tgl 20-30 Desember 2020.

"Lo ajak dong si Felix kesini," kata Rani. Dia menusuk bakso di mangkuknya dengan garpu dan memakannya dengan lahap.

"Dia mana mau," kataku mendesah. "Sekarang aja gue ajak ke kantin buat makan dia ga mau."

Rani manggut-manggut. Felix memang sempat aku ajak untuk ke kantin dan makan, tetapi cowok itu menolak ajakanku. Dia malah memilih untuk menghabiskan jam istirahat ditempat favoritnya, yaitu taman sekolah.

"Kan belom lo coba," kata Rani.

"Iya deh. Nanti siang sepulang sekolah gue coba ajak dia," kataku.

Sepulang sekolah itu Felix kembali memboncengku pulang.

Dia selalu diam saat mengayuh sepedanya dan wajahnya tampak serius.

Aku masih kepikiran tentang festival itu, dan mungkin benar kata Rani, aku harus mencoba bertanya pada Felix.

"Lix," panggilku.

"Hmmm.," Felix hanya berdeham.

"Hari minggu ini kamu ada waktu?" Tanyaku.

Felix diam sejenak.

"Sepertinya ada. Memangnya kenapa?" tanyanya tanpa berhenti mengayuh.

"Aku mau mengajakmu ke Festival natal," kataku.

Felix memberhentikan sepedanya.

"Kemana?" Ulangnya. Dia menoleh padaku.

"Ini," aku mengeluarkan brosur yang diberikan oleh Rani. Dia mengambilnya dan membacanya sekilas.

"Nanti aku lihat dirumah," katanya lalu melanjutkan perjalanan pulang.

Aku hanya mengangguk.

Kali ini aku turun di dekat kompleks Nusa Indah blok A. Selebihnya aku jalan kaki sampai kerumah. Sebab aku takut kalau mama menungguku didepan rumah dan memergokiku yang pulang bersama Felix.

Aku tidak mau cowok itu dimarahi oleh mama.

Awalnya cowok itu menolak menurunkan aku di depan kompeks blok A, tapi aku tetap bersikeras, akhirnya dia mengalah dan menurunkan aku. Dia mengayuh sepedanya perlahan sambil terus mengikutiku dari belakang.

Padahal jujur saja, aku merasa malu diikuti Felix dari belakang. Aku malu kalau cara jalanku aneh dan juga aku malu karena aku punya kebiasaan jelek yaitu menendang kerikil apabila ada kerikil didekatku. Tapi cowok itu tidak bereaksi terhadap keanehanku itu. Dia terus mengawasiku dengan wajahnya yang datar.

Aku berbalik.

"Kamu jalan duluan aja," kataku.

Cowok itu menggeleng. "Aku mau menjagamu."

Kata-katanya membuatku tertegun. Rasanya Felix terlalu perhatian padaku walaupun aku ini adalah pacar pura-puranya.

Tiba-tiba saja aku merasa ada yang lain dihatiku. Sesuatu yang hangat dan membuatku merasa nyaman berada didekat Felix. Perasaan itu hadir begitu saja dan membuatku deg-degan.

Aku memegang dadaku dan merasakan detak jantungku yang semakin lama semakin cepat. Gawat. Masa sih aku jatuh cinta pada Felix?