Chapter 8

Malam itu, sehabis makan malam aku membantu mama mencuci piring sisa makan malam. Mbok Yem sedang pulang kampung karena anaknya dikampung sakit. Jadi tidak ada yang membersihkan rumah dan mencuci piring.

"Sha, liburan kali ini kita jadi ke Anyer," kata mama.

Aku yang sedang mengelap piring yang masih basah dengan lap melirik mama.

"Memangnya direktur papa bolehin kita ikut?" Tanyaku.

"Tentu saja boleh. Direktur papamu kan dekat dengan keluarga kita. Kau ingat putranya?" Tanya mama.

"Kak Frans?" aku mengerutkan kening.

Mama mengangguk. "Dia sangat ingin kau ikut liburan kali ini. Mama sih dengar dari papamu. Sepertinya dia suka padamu. Bukankah bagus kalau kamu dan dia berpacaran," kata mama sembali mengerling kearahku.

Aku mendengus.

Aku sudah punya pacar, jadi aku tidak mungkin berpacaran dengan kak Frans, lagipula aku tidak menyukainya. Tapi aku tidak mungkin juga memberitahukan pada mama kalau aku berpacaran dengan Felix.

Rasanya sangat serba salah. Aku bersalah pada papa dan mama karena telah berani membohongi mereka dan pacaran sembunyi-sembunyi.

***

Aku menghempaskan tubuhku keatas kasur. Memandang langit-langit kamarku yang sengaja ku tempeli dengan sticker glow in the dark berbentuk bintang dan bulan.

Aku sedang membayangkan kejadian tadi siang. Mengingat itu membuat dadaku kembali deg-degan. Wajahku terasa panas.

"Sepertinya aku benar-benar sudah jatuh cinta padanya," bisikku dalam hati.

Untuk mengusir rasa deg-degan yang tiba-tiba melandaku, aku menyalakan handphone dan melihat ada satu sms masuk.

Aku melotot. Dari Felix. Tumben sekali cowok itu sms aku lebih dulu.

Penasaran ku buka sms Felix.

'Aku udah baca brosurnya. Kamu mau pergi kesana?'

'Kamu mau?' ketikku membalas pesannya.

Aku menggigit bibir dan menanti sms balasan dari Felix.

'Aku tidak ada acara minggu ini. Nanti aku temani kamu ke festival itu.' balas Felix.

Senyumku mengembang. Dia mau menemaniku pergi.

***

Pagi itu dihari minggu

Aku bangun dengan semangat yang menggebu-gebu.

Ku sibakkan tirai kamar dan memandang langit kota Bandung yang tampak cerah meski pagi itu udara sedikit dingin.

Aku lari kebawah dan menyapa mama yang sedang membuat sarapan nasi goreng. Sedangkan papa, meski ini hari minggu tapi beliau tetap sibuk bekerja. Loyalitas katanya.

"Semangat sekali hari ini, Sha," kata mama sembari menuangkan nasi goreng kedalam piring.

"Iya, dong ma," kataku. Aku membantu mama membawakan piring itu ke atas meja.

"Memang hari ini ada apa?" tanya mama heran.

"Aku mau pergi ke Festival Natal di mall , ma," aku menyendok nasi goreng dan menyuapkannya kedalam mulut.

"Tumben sekali. Kau pergi sendiri?" tanya mama lagi. Aku tahu mama pasti penasaran. Biasanya hari minggu aku selalu bangun siang dan tidak jarang aku menolak ajakan mama untuk pergi belanja ke mall.

"Ngg, sama Rani, ma," jawabku sekenanya. Bisa mati aku kalau mama tahu aku pergi dengan Felix.

Mama menatapku dengan pandangan menyelidik tapi kemudian mama manggut-manggut.

"Jangan pulang malam, ya," kata mama.

Aku mengangguk.

Dalam hati aku merasa lega, untung saja mama tidak curiga dan percaya padaku.

Hari sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Aku janjian dengan Felix di halte bis depan komplek. Nanti kami pergi bersama-sama dari sana.

Aku membuka lemariku dan mengeluarkan semua isinya. Aku berpikir-pikir apakah aku punya baju yang layak untuk aku pakai hari ini. Biasanya aku orang yang cuek dalam hal berpakaian dan tidak terlalu memusingkan mode yang sedang ngetren. Makanya sekarang aku kelimpungan karena bajuku tidak ada yang terlihat layak untuk dipakai kencan.

Tunggu sebentar...

Kencan? Aku tertawa memikirkan kata-kata itu. Inikan bukan kencan. Kami hanya pergi ke mall dan melihat-lihat disana. Lalu kenapa aku harus pusing memikirkan baju apa yang akan aku pakai. Tapi, akan malu sekali kalau pergi bersama cowok sekeren Felix dengan memakai baju seadanya.

Akhirnya setelah cukup lama memikirkan dan memadukan kaos-kaos dan celana yang ada dilemariku, aku mendapatkan baju yang cocok untuk kupakai nanti.

Sekarang waktunya mandi, pikirku. Maka aku berjalan ke kamar mandi dan akan memulai ritual mandiku.

***

Felix memandang pantulan dirinya dicermin besar yang ada dikamarnya.

"Begini bagus ga, ya?" pikirnya bingung.

Selama ini dia belum pernah pergi ke mall dengan seorang gadis. Jadi dia sangat bingung sekali harus mengenakan apa.

"Kakak," Eli menerobos masuk kekamarnya dengan membawa beberapa bungkus cemilan.

Eli menatap kakaknya yang masih asik bercermin.

"Kakak mau kemana?" tanya Eli heran. Gadis cilik itu mengerutkan keningnya. Tidak biasa-biasanya kakaknya ini pergi keluar dihari minggu dan juga berpakaian sangat rapi dengan padanan kaos dan kemeja beserta celana jins hitamnya. Kalaupun dia akan pergi keluar biasanya kakaknya itu hanya memakai kaos oblong dan celana jins pendek.

Felix menoleh pada Eli.

"Kakak mau pergi," kata Felix sambil memakai jam tangannya.

"Pergi? Kemana?" tanyanya.

"Mall," jawab Felix.

"Wah. Asik. Eli ikut yah," kata Eli tampak bersemangat.

Felix menghampiri adiknya dan mengelus kepalanya lembut.

"Maaf yah, kali ini kakak tidak bisa mengajak kamu. Kakak ada janji dengan teman kakak," kata Felix.

Eli manyun. Meski kecewa, tetapi dia kemudian tersenyum.

"Kakak pasti mau kencan yah?" tebak Eli.

Wajah Felix memerah.

"Kencan apa?" katanya mengelak.

"Ah, kakak pura-pura tidak tahu. Kencan itu kakak pergi bersama dengan pacar kakak," kata Eli. "Eli saja yang masih SD tahu kok, kak."

"Iya, kakak tahu, tapi kakak tidak pergi kencan, kok," kata Felix masih membantah.

Eli menatap kakaknya. Matanya menyipit.

"Tapi kakak tampak beda sekali. Kalau kakak hanya pergi dengan teman pasti tidak serapi ini, dan hmmm, tumben sekali kakak pakai parfum," kata Eli sambil mengendus-endus wangi semerbak yang berasal dari tubuh Felix.

"Kami hanya teman, Eli," kata Felix.

"Tuhkan. Berarti kakak pergi dengan seorang cewek. Ayo ngaku, kak," kata Eli senang karena tebakannya benar.

Felix melirik jam dinding dan waktu janjiannya sudah hampir tiba.

"Kakak pergi dulu, ya," kata Felix. Dia segera melesat keluar kamar dan menuruni tangga. Dia tidak ingin membuat Sasha lama menunggu.

"Kakak, tunggu. Jangan mengalihkan pembicaraan. Kakak sudah punya pacarkan?!" teriak Eli mengikuti kakaknya turun kebawah.

"Bukan pacar," kata Felix.

"Siapa pacar kakak?" tanya Eli tidak mengacuhkan jawaban Felix. Felix kemudian menghilang dibalik pintu depan karena dia begitu terburu-buru.

Mama mereka yang sedang duduk menonton tv mendengarkan pembicaraan mereka.

"Felix sudah punya pacar, Li?" tanya mamanya saat Eli duduk disofa dekat mamanya.

Eli mengangkat bahu.

"Tidak tahu. Dari gerak geriknya sih sudah. Tapi kakak tidak mau mengaku," kata Eli mendesah.

***

Aku berdiri didepan halte dengan perasaan cemas dan gugup. Ini pertama kalinya aku pergi dengan Felix. Rasanya seperti kami kencan betulan, padahal kami hanyalah kekasih pura-pura.

Beberapa cowok yang lewat didepanku tampak melirik-lirik kearahku dan bahkan beberapa dari mereka menggodaku. Benar-benar membuat risih. Dalam hati aku berdoa semoga Felix cepat datang.

Dari jauh, terlihat Felix berlari kearahku kemudian berhenti tepat disebelahku sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. "Maaf aku terlambat."

Aku menggeleng. "Gapapa, kok. Aku juga baru sampai."

Felix mengangguk-angguk kemudian menggandeng tanganku masuk ke bis yang berhenti didepan kami.

Bis yang kami tumpangi sangat penuh sesak dengan orang-orang. Karena tidak mendapat tempat duduk, aku dan Felix terpaksa berdiri. Aku memegang tiang bis didekat kursi sopir. Felix berdiri dibelakangku dan ikut memegang tiang yang sama. Aku bisa merasakan hembusan napasnya yang terasa hangat.

Tidak tahu kenapa aku merasa sangat nyaman berada didekatnya. Aku juga merasa dilindungi. Sejak aku yakin pada perasaanku sendiri kalau aku jatuh cinta pada Felix, aku jadi tidak bisa menahan debaran jantungku bila berada didekatnya. Aku mencuri pandang tangan Felix yang memegang tiang bis. Tangannya itu, tadi sempat menggandengku. Tangannya memberikan rasa aman.

Perasaan yang tidak pernah ku rasakan bahkan dari mantan-mantan pacarku sekalipun. Tiba-tiba saja, aku takut kehilangan Felix. Kami memang hanya pacaran pura-pura. Tapi aku sangat berharap Felix tahu perasaanku yang sebenarnya.

"Sudah sampai," kata Felix membuyarkan lamunanku.

"Oh eh, sudah sampai yah," aku jadi gugup.

"Kamu melamun?" tanya Felix mengangkat alisnya. Aku menggeleng.

Bis yang membawa kami berhenti di halte dekat sebuah mall yang besar di pusat kota Bandung itu.

Banyak penumpang bis yang juga ikut turun bersama kami. Felix kembali menggandeng tanganku ketika menuruni bis. Kami berhimpitan dengan penumpang lainnya.

Aku menatap mall didepanku. Mall ini jauh lebih besar dari mall yang dulu aku datangi bersama Rani. Bahkan jauh lebih ramai.

Felix meraih tanganku dan menggandengku memasuki mall. Dia tidak banyak bicara, hanya tangan hangatnya yang menggenggam erat tanganku. Sedangkan aku sendiri sedang berusaha menahan diri, jantungku berdegup semakin kencang dan aku yakin, wajahku memerah saat ini.

Ornamen-ornamen natal tampak menghiasi langit-langit mall dan di tiap sudut mall terdapat pohon natal dengan banyak hiasan di cabangnya. Banyak pengunjung yang memanfaatkan pohon natal itu sebagai background untuk berfoto.

"Kita mau kemana?" tanya Felix.

"Bagaimana kalau kita berkeliling?" aku meminta pendapatnya. Aku sangat gugup. Aku bahkan tidak sanggup menatap wajah Felix. Sehingga setiap kali cowok itu mengajakku bicara, aku membalasnya sambil menunduk malu.

Felix mengangguk. Dia tampak menuruti keinginanku untuk berkeliling padahal biasanya cowok-cowok paling tidak suka diajak berkeliling mall.

Di tengah-tengah mall terdapat pohon natal yang paling tinggi diantara pohon natal lainnya. Dibawahnya juga ada banyak kado berukuran raksasa dan boneka salju.

Seseorang yang berpakaian seperti santa claus tampak dikerumuni oleh anak-anak kecil yang minta di foto.

Di tempat ini juga banyak stand-stand yang menjual aneka pernak-pernik natal.

Di sudut dekat pohon natal raksasa, aku melihat ada satu stand photobooth. Ada sebuah kain berukuran sedang bergambar santa claus dan boneka salju sebagai background. Cukup membayar 10 ribu sudah bisa berfoto di situ. Stand itu cukup sepi karena banyak orang lebih tertarik berfoto dibawah pohon natal.

Aku menatap stand itu, jujur aku tertarik untuk berfoto, tetapi aku tidak tahu apakah Felix mau aku ajak berfoto bersama.

Cowok itu meski masih menggandeng tanganku, tapi matanya berkeliling melihat-lihat barang yang dijajakan.

Aku mencolek bahunya. Felix melirikku dengan pandangan bertanya.

"Kamu mau berfoto disana?" tanyaku.

"Kamu mau?" cowok ini malah balik bertanya. Aku mengangguk.

Tanpa banyak bicara, Felix menuntunku kearah stand dan setelah bertanya-tanya sedikit pada pemilik stand, dia membayar foto untuk kami berdua.

Aku memperhatikan beberapa aksesoris seperti rambut palsu, syal, topi dan kacamata.

Felix mengambil janggut palsu untuk kostum santa claus dan topi santa claus. Aku mengambil sebuah kado yang tidak ada isinya.

Kami berfoto sebanyak 4 kali dengan berbagai pose. Tidak kusangka ternyata Felix cukup fotogenic juga.

Aku tersenyum-senyum melihat hasil foto kami berdua. Saat itu aku sedang duduk di kursi panjang dekat pintu lobby utara. Ada banyak pohon-pohon ditanam. Sementara Felix menghilang entah kemana, sepertinya cowok itu sedang ke toilet.

"Jangan dilihatin terus. Nanti jatuh cinta lagi," kata Felix membuatku kaget.

Aku hampir terlonjak mendengarnya.

Meskipun aku tahu dia hanya bercanda, tapi kata-kata jatuh cintanya itu nyaris membuat jantungku copot dan berhasil membuatku deg-degan. Semoga Felix tidak menyadari kegugupanku.

Cowok itu membawa 2 buah es krim yang kelihatan segar di kedua tangannya.

"Nih untukmu," katanya setelah mengambil es krim rasa coklat. Ternyata benar kata Eli, Felix itu sangat menyukai coklat.

"Setelah ini kita mau kemana?" tanya Felix. Lidahnya dengan gesit menjilati es krim.

Aku tampak berpikir.

"Bagaimana kalau kita ke Gramedia?" usulku.

"Boleh saja. Kebetulan ada beberapa buku yang ingin kubeli," kata Felix mengiyakan.

Ketika dia bilang ingin membeli beberapa buku, aku pikir buku sejenis komik sebagai bacaan ringan, tetapi ternyata buku-buku tentang sains dengan ketebalan yang tidak bisa kubayangkan. Pantas saja cowok ini memakai kacamata, rupanya bacaannya saja berat.

"Kamu suka membaca yah?" tanyaku iseng. Padahal aku tahu apa jawabannya.

Felix membetulkan letak kacamatanya dan menatapku. Dia menggeleng.

"Aku tidak suka membaca. Ini hanya untuk mengisi waktu luang jika sedang tidak ada kegiatan," jawabnya.

Aku melongo. Tipe cowok seperti Felix ini sangat ajaib dan jarang sekali ada. Membaca untuk mengisi waktu luang.

"Sudah hampir tengah hari. Kamu mau makan dimana?" tanya Felix tiba-tiba.

Sudah siang yah, pantas aku lapar. Aku tidak sadar sampai Felix mengajakku makan.

Aku tampak berpikir. Felix menoleh. Memperhatikanku yang tampak asik berpikir. Dan sialnya aku bingung mau makan apa.

Melihatku kebingungan cowok itu lalu menggandengku dan membawaku kesebuah restoran yang terletak di area paling belakang mall ini, aku baru tahu kalau dibelakang mall ini ada taman bunganya dan beberapa bangku untuk duduk-duduk santai.

Karena baru pertama kali ke restoran ini jadi aku tidak tahu harus memesan apa. Aku hanya membolak-balik buku menu, beberapa jenis makanan yang ditawarkan sedikit berbeda dari restoran kebanyakan. Akhirnya aku mengikuti menu yang dipesan Felix.

"Baru pertama kali kesini?" Tanya Felix. Mata cokelatnya menatapku. Sorot matanya tampak lebih hangat dari biasanya.

Aku mengangguk gugup. "Selama tinggal disini, aku jarang jalan-jalan ke mall seperti ini," sahutku. Dia mengangguk-angguk.

"Emm, boleh aku bertanya?" tanyaku pelan.

Felix yang sedang mengedarkan pandangan ke sekeliling kembali menatapku.

"Aduh, jangan tatap gue kayak gitu," keluhku dalam hati.

"Mau nanya apa?" kali ini dia jawab dengan nada santai. Aku kembali teringat waktu dulu pertama kali mengenalnya, mau bertanya saja aku dilarang. Sepertinya dia banyak berubah. Sudah mau terbuka dengan orang lain. Dan aku merasa senang melihatnya.

"Kau masih kerja di warnet?" tanyaku hati-hati.

Felix terdiam. Raut wajahnya berubah seketika. Sepertinya dia tidak suka aku bertanya tentang kehidupan pribadinya.

"Eh, tapi kalau ga mau jawab juga gapapa," kataku sambil tertawa garing. Merasa tidak enak.

"Masih. Dan mungkin sampai lulus aku kerja disana," kata Felix. Dia mengambil gelas berisi air putih yang memang disediakan sambil menunggu pesanan datang lalu meminumnya sampai habis. Saat dia bicara demikian sorot matanya meredup.

Aku tahu aku tidak boleh bertanya lebih lanjut. Hubungan pertemanan yang baru saja terjalin antara aku dan Felix tidak boleh sampai rusak hanya karena pertanyaan-pertanyaan konyol yang aku lontarkan. Meski masih sangat banyak hal yang ingin aku tanyakan pada Felix, tapi akan lebih baik jika Felix sendiri yang ingin menceritakannya padaku, tentang dirinya, tentang keluarganya.

Tapi sejujurnya aku sangat penasaran dengan kehidupan Felix. Terlalu banyak rahasia di dalam dirinya. Mungkin aku yang terlalu kepo, terlalu pengin mencampuri urusan orang lain. Tapi bagiku sekarang Felix bukan lagi orang lain, dia sekarang adalah pacarku, yah meski pacar tidak sah. Hahaha...

Kami berdua sama-sama terdiam. Felix sibuk dengan pikirannya dan aku sibuk dengan pikiranku. Keheningan ini terasa sangat menyesakkan dan lama. Meski kami sama-sama terdiam hanya selama kurang lebih 5 menit, tapi bagiku itu terasa sangat panjang. Untung saja waiter datang mengantarkan pesanan kami berdua dan mencairkan suasana canggung yang baru saja tercipta.

"Enak?" Tanya Felix meminta pendapatku. Raut wajah dan sorot matanya kembali hangat, tidak sedingin tadi.

Aku tampak berpikir sejenak lalu mengangguk.

"Baguslah," katanya. Kami lalu kembali makan dalam diam, aku bingung harus memulai obrolan dari mana. Sampai Felix menatapku sambil tangannya menunjuk-nunjuk area sekitar bibirnya.

"Sha, ada saus disini," kata Felix menunjuk bibir sebelah kiri.

Karena Felix duduk didepanku, aku berpikir dia menunjuk bibir sebelah kanan.

"Disini?" tanyaku.

"Bukan. Disini, nih," kata Felix akhirnya mengambil tisu dan mengelap bibirku dari saus yang menempel. Wajah kami berdua yang berdekatan membuat wajahku terasa panas dan memerah. Bahkan hembusan napasnya bisa kurasakan.

"Kenapa sih cewek itu kalau yang ditunjuk kiri malah meraba kanan?" Felix geleng-geleng kepala bicara pada dirinya sendiri.

Aku mendengus lalu terkikik. Baru kali ini aku melihat Felix menggerutu. Ekspresinya sangat lucu.

"Cewek memang begitu. Memangnya kamu belum pernah pacaran?" godaku iseng.

"Belum," jawab Felix singkat melanjutkan makannya. Aku terkesiap. Masa sih cowok sekeren Felix belum pernah pacaran. Padahal cewek yang memuja dia ada banyak di sekolah.

"Masa sih?" tanyaku memastikan. Cowok itu mengangguk tanpa menatapku. Asik menghabiskan makanannya. Kalau benar begitu berarti aku pacar pertamanya. Eh, tunggu dulu, kamikan hanya pura-pura pacaran, apa masih boleh di hitung sebagai pacar pertamanya?

***

Kami pulang sekitar pukul 4 sore dari mall. Aku menenteng beberapa belanjaan baju, setelah acara makan siang yang singkat dan tidak banyak obrolan itu, aku mengajak Felix berkeliling mall lagi dan aku berhasil menemukan sebuah toko baju yang sedang menggelar diskon besar-besaran dalam rangka natal.

Awalnya hanya melihat-lihat, tapi karena imanku tidak kuat melihat potongan harga yang ditawarkan, akhirnya aku membeli beberapa potong baju. Meski diskonnya lumayan banyak tetapi tetap saja harga semua baju itu cukup menguras setengah uang jajanku. Aku yakin, mama akan marah melihatku membeli beberapa baju sekaligus.

Felix sendiri tidak beli apa-apa. Memang benar cowok itu tidak suka belanja. Tapi dia dengan senang hati menemaniku memilih-milih dan memberikan pendapat. Ternyata selera fashionnya cukup baik.

Ketika aku hampir sampai di depan rumah, aku sengaja memperlambat langkahku.

Felix yang berjalan cukup cepat menoleh dan mendapatiku sedang berjalan perlahan.

"Kok jalannya lama banget?" Tanya Felix tak sabar.

Aku nyengir. Bingung mau kasih alasan apa. Di satu sisi aku ingin sekali Felix mengantarku sampai rumah, tapi di sisi lain, aku takut kepergok mama. Aku garuk-garuk kepala. Untung saja saat itu seorang tukang cendol lewat dengan gerobaknya yang berwarna hijau.

"Kamu duluan saja, Lix," kataku membuat Felix mengerutkan kening.

"Aku mau beli cendol dulu," lanjutku lalu memberhentikan abang-abang cendol, berusaha mengulur waktu.

Tapi di luar dugaan, Felix malah ikut-ikutan membeli cendol juga bersamaku. Dia malah beli 2 bungkus, untuk dia dan Eli katanya.

Aku merutuk dalam hati. Si Felix ini tidak tahu situasi apa.

Ketika akhirnya kami selesai membeli cendol dan menuju rumah, aku sempat memandang ke arah rumah.

Aman, mama sedang tidak ada di teras rumah. Tanpa sadar aku menghembuskan napas lega.

Buru-buru aku ke arah rumah meninggalkan Felix yang menatapku kebingungan.

"Duluan yah, Lix," kataku sambil melambai.

Felix hanya mengangguk lalu masuk kedalam rumahnya.

Aku tidak mungkin mengatakan hal yang sejujurnya pada Felix kalau mamaku tidak suka padanya, mengetahui kalau aku pacaran dengannya hanya akan menambah runyam masalah. Bisa-bisa aku di suruh pindah sekolah dan lebih gawat, pindah rumah. Ternyata begini rasanya pacaran backstreet. Rasanya sangat menyesakkan dan berat untuk di jalani. Apalagi rumah kami berdekatan. Setiap saat bisa ketahuan.

***

"Kakak pacaran dengan kak Sasha?" cetus Eli ketika Felix masuk kedalam rumah menenteng bungkusan cendol dan buku-buku yang dibelinya di gramedia.

Felix meliriknya.

"Kaga. Kami cuma teman," sahut Felix sambil membuka lemari es. Mengambil air dingin dan meneguknya perlahan.

Mata Eli menyipit. Antara percaya dan tidak.

"Tidak apa-apa sih kalau kakak pacaran dengan kak Sasha. Eli menyukainya, dia baik kak," kata Eli promosi sekaligus memberi rambu hijau untuk Felix.

"Dia memang baik, kalau gak baik pasti adanya di rumah sakit," kata Felix membuat Eli memonyongkan bibirnya. Kadang kakaknya berusaha membuat lelucon, dan itu bukannya terdengar lucu tapi malah terdengar garing. Mungkin karena Felix aslinya memang bukan orang humoris.

"Tuh ada cendol. Kakak mau istirahat dulu," Felix segera beranjak dari dapur dan naik ke kamarnya di lantai 2.

Dia melempar handphone dan dompetnya begitu saja di atas kasur lalu merebahkan tubuhnya, membenamkan dirinya dalam tumpukan bantal.

Sesaat dia tampak berpikir. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya.

Felix meraih dompetnya dan di tariknya sebuah foto ketika dia dan Sasha sedang berfoto bersama di stand photobooth.

Perlahan Felix menarik bibirnya membentuk senyuman. Dia tidak pernah terpikir untuk mencintai orang lain, karena menurutnya cinta itu menyakitkan. Pelajaran itu dia dapatkan saat melihat kehidupannya sendiri. Apa sih cinta itu? Cinta itu bulshit.

Sekali lagi Felix menatap foto itu.

Tanpa Felix sadari, perlahan benih cinta itu mulai muncul di sudut hatinya.