Chapter 10

Felix melemparkan tasnya begitu saja di atas kasur, tanpa mengganti seragamnya dengan kaus, cowok itu mengambil tas berisi bola basketnya lalu bergegas keluar. Tanpa banyak bicara dia meninggalkan rumah, mengayuh sepedanya ke arah lapangan basket di ujung kompleks. Eli yang sedang makan siang bingung melihat tingkah kakaknya.

Tidak biasanya kakaknya itu pergi main basket tanpa berganti baju dulu. Lagipula hari masih siang dan matahari masih bersinar cukup terik.

Felix menjatuhkan sepedanya dengan kasar dan merogoh kantung basketnya dan mengeluarkan benda bulat itu.

Dia drible bolanya ke sana kemari dan di masukkan kedalam ring dengan gerakan cepat. Tak jarang bola itu melenceng dari ring dan terlempar keluar dari lapangan.

Meski napasnya terengah-engah, dan peluh mulai bercucuran di wajahnya, tapi dia tidak ingin berhenti, dia terus memaksa tubuhnya untuk bergerak supaya otaknya yang sedang kacau tidak bisa memikirkan apa-apa lagi.

"Sial!!!" cowok itu melemparkan bola itu dengan satu lemparan keras. Bola itu terpantul ke pohon dan mengenai seorang abang tukang gorengan yang sedang lewat menjajakan dagangannya.

"Aduh!!" abang gorengan itu mengerang karena punggungnya terkena pantulan bola basket dengan cukup keras.

Dia langsung mengenali bola basket itu ketika di lihatnya bola basket menggelinding di dekat kakinya.

"Lempar kesini bang!!" teriak Felix dari arah lapangan.

Abang gorengan yang sudah sangat mengenal Felix dan kebiasaannya bermain basket di lapangan itu langsung melempar bola itu dan di tangkap dengan sigap oleh Felix.

"Pelan-pelan dong mas Felix main bolanya," gerutu abang gorengan.

Felix tidak menjawab, raut wajahnya begitu kelam. Begitu bola basketnya kembali ke tangannya, cowok itu mulai mendrible kembali bolanya bagai orang kesetanan.

Abang gorengan hanya bisa geleng-geleng kepala. Untung saja Felix itu salah satu pelanggan tetapnya, bahkan tak jarang cowok itu memborong gorengannya dan di habiskannya sendirian, atau terkadang di makan bersama dengan Mang Ipul dan Mang Aip, hansip penjaga kompleks.

Namun tidak biasanya cowok itu bermain basket di jam-jam seperti ini, biasanya jam-jam Felix bermain basket adalah jam 4 sore.

Felix kembali melemparkan bola ke arah ring. Rasanya dia hampir gila. Dia sangat sulit bernapas dan hanya memikirkan kata-kata Harry tadi membuat kepalanya pening. Dia butuh pelarian saat ini, dan satu-satunya pelariannya adalah bermain basket. Temannya di kala sendiri hanya basket. Dia sadar, dia kesepian, dia sendiri tidak tahu dia harus bercerita pada siapa, tentang masalahnya, tentang kegalauannya, tentang keresahannya, tentang ketakutannya. Dia tidak pernah benar-benar punya teman selama ini. Dia sendirian. Tidak ada seorangpun yang dia punya.

"Arghhhh!!!" teriaknya sekuat tenaga.

***

Aku menatap handphone dengan perasaan bimbang. Antara sms Felix atau tidak. Hari sudah semakin sore dan aku belum sms cowok itu sama sekali untuk meminta maaf. Dari arah luar, langit semakin menggelap. Mendung sudah menggantung di langit, siap untuk menyemburkan air bahnya. Beberapa kali bahkan terdengar suara geluduk di kejauhan.

Aku memandang ke arah teras rumah Felix. Rumah itu sepi, hanya ada Eli, gadis kecil itu tampak sedang membuang sampah dan berkali-kali memandang ke arah jalan. Sementara rintik-rintik hujan mulai turun.

Wajahnya diliputi kecemasan. Aku tahu siapa yang di tunggunya.

Akhirnya aku memutuskan untuk sms cowok itu.

'Maaf buat yang tadi. Harusnya aku ga marah sama kamu' ketikku. Aku menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengirim sms itu pada Felix.

Lama tidak ada balasan sama sekali.

Dari luar hujan turun dengan deras. Geluduk saling bersahut-sahutan.

"Sha, ayo kita makan malam," ajak mama. Aku menuruti perintah mama dan turun ke ruang makan. Tiba-tiba diriku di landa kekhawatiran.

Jam dinding di ruang makan menunjukkan jam 8 malam, sampai selama itu masih belum ada balasan sama sekali dari Felix, padahal aku mengirimkan sms sejak pukul 6 sore.

Jangan-jangan giliran cowok itu yang marah padaku. Aku menghela napas. Kalau memang benar cowok itu marah, ya biarlah.

***

Felix membenamkan wajahnya dalam-dalam di antara kedua kakinya. Sambil menyandarkan tubuhnya di tiang ring basket. Tubuhnya sudah basah kuyup sejak tadi. SMS dan telepon yang masuk beberapa kali ke handphonenya tidak dia pedulikan.

Abang gorengan dari jauh memperhatikan dengan wajah cemas. Felix tidak berhenti bermain basket sampai akhirnya hujan turun dengan deras. Tapi bukannya berteduh, cowok itu malah menengadahkan kepalanya, merasakan rintik-rintik hujan yang makin lama makin deras. Meski tubuhnya kedinginan, tapi dia tidak peduli. Rasanya berdiri di bawah hujan seperti ini cukup membantunya melupakan sedikit kekalutannya.

Pikirannya melayang ke masa 4 tahun lalu. Saat itu dia masih kelas 3 SMP.

Dulu, dia tinggal di sebuah rumah kontrakan sederhana dengan 2 kamar di salah satu daerah di Jakarta. Meski hidup sederhana tapi Felix merasa cukup bahagia. Ada mamanya dan ada adiknya Elia. Ada papanya juga yang meski hanya pulang sebulan sekali ke rumah karena beliau bekerja di luar kota, tapi Felix merasa hidupnya lengkap. Dulu sekali, dia bukanlah orang yang seperti sekarang. Dia begitu terbuka dan mempunyai banyak teman di sekolahnya, bahkan dia pernah sempat menjabat sebagai ketua OSIS di SMP-nya.

Entah sejak kapan, hatinya terluka. Dia menutup diri dari pergaulan dan mulai berubah. Dia merasakan perubahan itu. Dia bahkan membenci dirinya yang sekarang. Ini bukanlah dirinya, ini bukanlah pribadinya. Pribadinya yang sekarang hanyalah untuk menutupi kerapuhan hatinya yang sudah terkoyak. Dia sengaja membangun benteng yang tidak bisa di tembus oleh siapapun. Dia tidak ingin terluka lagi.

Semuanya terjadi begitu cepat. Semuanya dimulai ketika papanya tiba-tiba meninggal, karena sakit. Felix bahkan tidak tahu kalau papanya itu sakit parah. Di detik-detik terakhirnya, mamanya tidak mengijinkan Felix ataupun Eli untuk menengok papanya di rumah sakit. Dengan beralasan bahwa penyakit papanya menular, dibalik itu mamanya menyembunyikan kenyataan menyedihkan.

Dan Felix mengetahui itu semua saat mereka bertiga datang ke pemakaman papanya.

Seorang wanita dengan wajah sembab dan mata bengkak menghampiri mama yang saat itu baru saja datang ke makam. Wanita itu langsung menampar mama dan berteriak bagai orang kesetanan. Wanita itu mengatakan bahwa kematian papa adalah salah mama. Felix sangat kaget dengan kejadian tak terduga tersebut.

Dan yang dia tak mengerti saat itu adalah kenapa mamanya diam saja saat wanita itu menampar mama? Kenapa mamanya tidak membela diri saat di tuduh menjadi selingkuhan papa? Mamanya hanya bisa menangis dengan suara pelan. Banyak pelayat yang melihat kejadian itu dan saling berbisik-bisik, bahkan beberapa ada yang memaki mama secara terang-terangan.

Dasar tidak tahu malu, Perebut suami orang, Wanita jalang. Semua kata kasar meluncur dari para pelayat yang umumnya wanita, mereka semua menuduh mama. Felix tahu apa itu wanita jalang, apa itu perebut suami orang. Dia sudah sangat mengerti apa arti semua kata kasar itu. Tapi kenapa mereka semua mengatai mamanya?

Wanita yang tadi menampar mama masih menangis sejadi-jadinya sambil di peluk seorang gadis yang masih muda yang terus menatap mama, dirinya dan Eli dengan tajam. Dan ketika jenasah papa hilang bersama onggokan tanah merah, wanita yang dipapah itu sempat menjerit histeris dan pingsan. Felix juga melihat mamanya menangis.

Eli yang saat itu usianya masih sekitar 7 tahun memegang erat lengan Felix. Dia tampak takut dengan orang-orang didepannya. Yang terus menatap mereka tajam dan penuh benci.

Felix terus bertanya-tanya, Apa? dan kenapa? Kenapa orang-orang ini memperlakukan mereka seperti musuh bebuyutan? Seseorang diantara mereka bahkan menyebut bahwa kehadiran kami tidak diperlukan.

Pertanyaan yang terus bergema di pikiran Felix akhirnya terjawab ketika seorang anak laki-laki sebayanya menghampirinya, mereka kelihatan seumur.

Anak laki-laki itu mendorong Felix kuat-kuat membuat Felix terjatuh bersama Eli yang masih menggenggam tangan Felix.

Anak itu lalu berteriak di hadapan semua pelayat, menunjuk-nunjuk Felix dengan telunjuknya dan mengatainya Anak haram.

Saat mendengar kata-kata itulah, Felix mengerti. Felix tahu kenyataan yang sebenarnya dan apa yang sedang terjadi di pemakaman saat itu. Dan tanpa sadar dia menangis, bukan menangisi kepergian papanya, tetapi menangisi kenyataan pahit yang diterimanya saat itu.

Saat itulah dia langsung mengerti kenapa selama ini papanya tidak pernah mengajaknya pergi ke rumah kakek dan neneknya, kenapa papanya hanya pulang sebulan sekali ke rumah, kenapa dia tidak diijinkan menjenguk papanya itu ketika papanya di rawat dirumah sakit, bahkan kalau hari ini dia tidak bersikeras untuk ikut, mamanya tidak akan pernah mengijinkannya ikut dan mungkin dia tidak akan pernah tahu kenyataan pahit ini.

Selama ini mamanya menyembunyikan kenyataan ini, dan terus berharap sampai akhir Felix tidak pernah tahu. Sebuah tamparan yang cukup keras untuk membangunkan Felix dari kenangan-kenangan indahnya dulu.

Tanpa bisa dicegah, anak laki-laki itu kemudian memukul Felix, dengan mata penuh amarah dan kebencian.

Anak laki-laki itu, Harry.

Felix yang memang sempat belajar karate di SMP-nya langsung mengelak dari pukulan Harry. Meski bisa mengelak tapi pukulan itu mengenai pelipisnya menyebabkan pelipisnya sedikit memar karena Felix masih kaget saat Harry mengayunkan tinjunya.

Beberapa orang berusaha mencegah Harry yang terus mengayunkan pukulannya membabi buta.

Karena situasi sudah semakin memanas dan orang-orang di pemakaman terus mengatai dan menyalahkan mama, akhirnya seorang wanita yang kemudian Felix kenal sebagai tante Farin, adik papanya meminta mama untuk pergi saja. Tanpa banyak bicara mamanya membawa Felix dan Eli pergi dari pemakaman diikuti tatapan benci oleh hampir sebagian besar pelayat yang datang.

Mama diam selama diperjalanan pulang kami kerumah. Felix pun tidak ingin mengatakan apa-apa. Selain karena pelipisnya yang memar, tersimpan sebuah kemarahan yang hampir meledak didalam hatinya.

Dan ketika mereka semua sampai dirumah, mamanya tidak menjelaskan apapun yang membuat Felix bertambah marah. Dia bukan marah pada para pelayat di pemakaman, pada Harry, ataupun pada wanita yang menampar mamanya tersebut, tante Renita, mama Harry. Dia marah pada mamanya sendiri, dia marah terhadap kebungkaman mamanya dan ketidak jujuran mamanya selama ini.

Kenapa mamanya sampai hati menyembunyikan kenyataan menyedihkan ini? Kenapa mama dan papanya melakukan ini semua padanya?

Felix bahkan bertanya pada dirinya sendiri, apa salahnya selama ini? Apa dosanya sampai Tuhan menghukumnya seperti ini? Menghukumnya dengan kenyataan pahit yang mau tidak mau harus di terimanya.

Sejak saat itulah Felix membenci mamanya lebih dari apapun. Dia bahkan mulai belajar membangkang. Felix, seorang anak cowok yang dulu manis dan patuh, berubah 180 derajat, ah tidak tapi berubah 360 derajat setelah kenyataan hidup menamparnya.

Perubahan itu tidak hanya dirasakan oleh mamanya dan Eli, yang meski masih berumur 7 tahun, tapi dia sadar bahwa kakaknya mengalami perubahan, dari seseorang yang hangat, menjadi orang yang dingin dan tidak terbuka pada siapapun.

Perubahan itu ikut dirasakan oleh guru-gurunya dan teman-temannya di sekolah. Felix yang dulu rajin masuk kelas, dan tidak pernah terlambat datang ke sekolah, kini menjadi seseorang yang sering bolos dan kerjaannya nongkrong di jalan raya bersama segerombolan anak sekolah lain, meski tidak merokok tapi pergaulan Felix boleh di bilang sangat buruk. Felix saat itu sadar akan apa yang dia lakukan, tapi dia butuh pelarian dari rasa sakitnya. Dia sudah tidak bisa menjadi Felix yang dulu. Baginya tetap menjadi dirinya yang dulu hanya akan menambah rasa sakit itu dalam hatinya.

Guru-guru mulai memanggil mamanya ke sekolah untuk memberikan teguran karena Felix sering sekali membolos. Walaupun nilai Felix tetap sebagus biasanya, tapi absen cowok itu tetap tidak bisa membantu kelulusannya apabila cowok itu tidak mulai memperbaikinya.

Mama Felix sangat marah dengan kelakuan Felix yang mulai menyimpang dan bandel. Bukannya takut, justru hal itu malah menambah kebencian Felix pada mamanya. Puncak kebencian Felix yang sudah tidak mampu di tampungnya adalah kabur dari rumah. Dengan membawa baju seadanya, cowok itu tinggal di rumah teman barunya yang termasuk gerombolan anak-anak bandel.

Dan itu terjadi 3 bulan menjelang UAN.

Selama seminggu cowok itu tidak pernah ke sekolah. Guru-guru tampak frustasi menghadapi Felix yang tiba-tiba berubah menjadi sosok bandel dan nakal. Mama Felix tidak kalah frustasi. Dengan segala cara dia lakukan untuk menemukan keberadaan Felix, dan ketika dia ditemukan, cowok itu sedang bergerombol bersama beberapa anak nakal dari sekolah lain di sebuah halte.

Akhirnya dengan memohon-mohon pada Felix supaya anak itu pulang dan berjanji bahwa tidak akan mencampuri urusan pribadinya, Felix bersedia pulang dan melanjutkan sekolahnya yang nasibnya hampir di ujung tanduk.

Meski tidak berhasil menjadi juara umum, tetapi Felix tetap lulus dengan hasil memuaskan. Dan guru-guru tampak lega melihat salah satu anak didiknya yang sempat terjerumus itu berhasil lulus. Mereka tahu apa yang telah menimpa Felix sehingga anak itu berubah. Mereka tidak bisa menyalahkan Felix. Hati anak seusia Felix memang masih sangat rapuh dan gampang terbawa emosi.

Konsekuensi dari kelakuan Felix yang sempat menyimpang menjadi anak bandel, membuatnya di jauhi dari teman-temannya, Felix merasakannya ketika dihari kelulusan tidak ada satupun teman-temannya yang menyalaminya dan mengajaknya berfoto bersama. Dan Felix tidak masalah dengan itu semua, justru bagus apabila dia di jauhi oleh teman-temannya sekarang, daripada nanti apabila teman-temannya tahu bahwa dia adalah anak haram dari seorang wanita selingkuhan, dia pasti akan lebih di jauhi lagi dan itu malah akan menambah sakit hatinya.

Seminggu setelah dinyatakan lulus, di hari minggu yang cerah, tante Farin datang bertamu ke rumahnya. Bersama tante Renita dan gadis yang waktu itu memeluk tante Renita di pemakaman. Gadis yang tampak lebih tua beberapa tahun dari Felix itu ternyata adalah kakak Harry, Herlinda.

Kenyataan baru diterima Felix saat dia menguping pembicaraan mamanya dan ketiga tamu itu, setelah tahu bahwa mamanya adalah selingkuhan, dan dirinya adalah anak haram, Felix harus menerima bahwa Harry, anak cowok yang dulu memukulnya adalah kakak tirinya, mereka seumur tetapi Harry lahir beberapa bulan lebih dulu dibanding Felix. Dan secara tidak langsung, Herlinda adalah kakak perempuannya. Meski Felix tidak tahu apakah Herlinda mengakuinya sebagai adik atau tidak.

Dan hal mengejutkan lainnya dari pembicaraan itu adalah, tante Farin meminta mama untuk meninggalkan kota Jakarta. Mama boleh tinggal di kota manapun tapi tidak di Jakarta. Tante Renita tidak ingin melihat mama berada satu kota bersamanya. Tante Renita bahkan sampai memohon-mohon pada mama untuk pergi.

Mama sempat menolak karena Felix sudah didaftarkan pada salah satu SMA di kota itu. Selain itu, mama juga masih bekerja di sebuah kantor di daerah Jakarta Utara. Hingga akhirnya Herlinda ikut memohon pada mama untuk pergi. Dia memohon untuk tidak lagi membuat mamanya terluka.

Diam-diam Felix menangis, apalagi ini?! Setelah semuanya mereka sekeluarga tetap harus pergi? Memang kenapa bila satu kota? Toh kota ini besar dan kemungkinan mereka bertemu sangat kecil. Kalaupun mereka bertemu, cukup mengatakan untuk tidak saling mengenal. Kenapa mereka harus pergi? Memangnya apalagi salah mereka?

Akhirnya setelah permohonan dan tangisan Herlinda beserta tante Renita yang membuat hati mama terenyuh, mama meluluskan keinginan mereka.

Mama akan membawa keluarga kecilnya yang rapuh itu untuk pergi sejauh mungkin dari Jakarta, tapi mereka butuh waktu untuk mempersiapkan segalanya.

Dan disinilah Felix sekarang, di kompleks Perumahan Nusa Indah yang terletak di salah satu sudut kota Bandung yang sejuk dan tidak terlalu padat.

Lalu, setelah semua itu mereka lakukan, kenapa Harry muncul kembali mengusik ketenangan hidup keluarga mereka? Apa cowok itu dan keluarganya masih belum puas membuat keluarga Felix menderita?

Memikirkan itu, Felix menenggelamkan kepalanya makin dalam di antara kakinya. Apalagi setelah ini? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu mengusik pikirannya.

***

Berkilo-kilo meter dari situ. Harry memandang hujan yang membasahi jendela apartemennya dengan wajah datar bercampur lelah. Dalam sudut hatinya yang paling dalam, Harry sebenarnya sudah tidak ingin melakukan hal ini, tetapi dorongan kebencian yang dia tahan-tahan selama 4 tahun ini membuatnya ingin sekali membalaskan dendam mamanya dan keluarganya.

Padahal Herlinda, kakaknya sudah memintanya agar jangan lagi mengusik kehidupan keluarga tante Margaretha. Biarlah mereka seperti 2 keluarga yang tidak saling mengenal. Meski harus diakui, ada darah yang sama dengan Felix mengalir dalam diri mereka. Kepergian mamanya yang mendadak setahun lalu karena sakit pikiran yang berkepanjangan sungguh menampar dirinya.

Sejak itu, Harry berusaha keras untuk menemukan keberadaan Felix dan keluarganya, Harry ingin membuat Felix merasakan kehilangan yang sama seperti yang dia alami. Dan ketika dia tahu bahwa Felix dan keluarganya berada di Bandung, cowok itu buru-buru melakukan proses kepindahan sekolahnya ke kota Kembang tersebut.

Meski Herlinda sudah melarangnya berkali-kali, tapi keputusan Harry sudah bulat. Dia harus pergi, dia sudah menahan diri terlalu lama untuk membuat mimpi buruk dalam kehidupan Felix menjadi kenyataan.

Padahal hanya tinggal beberapa bulan lagi ujian kelulusan SMA. Tapi Harry tidak peduli. Melihat wajah Felix dan keluarganya yang sengsara adalah tujuan hidupnya sekarang. Walau dalam hatinya Harry tahu bahwa tidak semua kejadian menyedihkan dalam hidupnya ini adalah salah Felix dan keluarganya.

Hanya saja, harus ada yang disalahkan. Dengan alasan seperti itulah, Harry akhirnya pindah ke kota Bandung meninggalkan kakaknya, sekolahnya dan teman-temannya.