Chapter 11

Jam sudah menunjukkan pukul setengah 9 malam, hujan masih belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Malah semakin deras. Seolah-olah hujan tahu bahwa ada seseorang yang sedang berduka.

Aku menatap jendela rumah kearah luar. Rumah Felix tampak sepi. "Tuh anak kemana yah, sms gue kok belum dibalas juga," gerutuku. Aku kembali memfokuskan pikiranku kepada pr aljabar. Meski hanya 5 soal, dan pertanyaannya cukup mudah, tapi tidak tahu kenapa aku tidak bisa memikirkan apa-apa selain soal Felix yang masih belum juga membalas pesanku sejak tadi sore.

Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarku. Mama melongok dari balik pintu.

"Sha, ada Eli didepan," kata mama. Aku berbalik dan menatap mama keheranan.

"Eli siapa?" tanyaku bego.

"Elia putrinya bu Margaretha," kata mama membuatku segera beranjak bangun dari kursi belajar dan buru-buru turun menuju teras rumah.

Ada apa bocah itu malam-malam kerumahnya?

Begitu ku buka pintu depan, tampak Eli dengan wajah hampir menangis menatapku. Kakinya menggigil dan rambutnya sedikit basah. Padahal gadis kecil itu mengenakan payung. Tapi udara Bandung yang memang kalau malam dingin di tambah sekarang di guyur hujan membuat suhu di kota itu bertambah dingin.

"Eli!!" pekikku. Segera ku ajak dia kedalam rumah namun gadis kecil itu menolak.

"Kak Felix belum kembali sejak tadi siang," katanya dengan suaranya yang parau, terdengar olehku seperti cicitan tikus.

Aku mengerutkan kening.

"Belum kembali sejak tadi siang?" aku mengulang kata-kata Eli. Eli mengangguk dengan wajah cemas.

"Begitu sampai rumah kak Felix tidak ganti baju langsung pergi naik sepeda membawa tas basketnya. Tapi sampai sekarang dia belum pulang juga," ada kepanikan didalam nada suaranya.

"Mamamu? Kemana tante Margaretha?" tanyaku.

"Mama sedang keluar kota, kak. Kak Sasha, tolong Eli menemukan kak Felix. Tadi Eli sudah menelepon ke warnet tempat kakak kerja tapi dia belum datang sampai sekarang. Hujan tambah deras, Eli takut terjadi sesuatu pada kak Felix," kata-kata Eli membuatku ikut panik, dengan segera aku masuk kembali kedalam rumah, memakai jaket dan mengambil payung.

Mama yang sedang menonton televisi kebingungan melihatku keluar membawa payung.

"Kamu mau kemana, Sha? Sudah malam!" Mama mengikuti langkahku keluar rumah. Ternyata hujan lebih deras dari yang ku perkirakan. Angin menambah deras hujan yang turun. Belum lagi suhu udara yang bertambah dingin.

"Aku pergi sebentar, ma," kataku lalu mengajak Eli keluar rumah.

Aku meminta gadis kecil itu untuk menunggu di rumah. Kasian sekali gadis itu kalau harus ikut mencari Felix sedangkan sejak tadi dia sudah menggigil kedinginan seperti itu.

Setelah memastikan bahwa Eli kembali kerumahnya, aku bergegas melangkah keluar rumah. Melawan angin yang berhembus dan hujan yang terus turun dengan deras.

"Felixxx!!!" aku terus memanggil cowok itu. Jalan yang ku lalui semakin gelap.

Beberapa rumah yang ada di kompleks sudah menutup pintunya walau waktu belum terlalu malam. Karena hujan yang turun sangat deras membuat para penghuni rumah enggan keluar rumah.

"Felixxx!!" aku berteriak sekali lagi. Sambil berdoa semoga cowok itu tidak apa-apa. Semoga tidak terjadi sesuatu padanya. Dan semoga dia mendengar panggilanku.

Aku berusaha mengingat-ingat petunjuk dari Eli.

"Tadi Eli bilang kalau Felix langsung pergi bawa tas basket. Apa mungkin dia ada disana?" gumamku sembari berpikir.

Meski aku tak yakin kalau Felix akan ada di lapangan basket kompleks di jam segini, tapi aku harus mencoba untuk mengecek disana.

Felix menggigil. Tubuhnya sudah kaku tidak bisa bergerak saking kedinginannya, mungkin sudah tidak ada orang yang menyadari keberadaannya disana. Abang gorengan yang sejak sore memperhatikannya, mengajaknya untuk berteduh dan tidak di indahkan olehnya sudah pergi sejak tadi.

Di saat seperti itu, saat dia hampir putus asa dan merasa tidak ada harapan lagi bahwa akan ada seseorang yang mencarinya, dia mendengar seseorang memanggilnya.

"Felixxxx...!!!" Aku berteriak sekeras mungkin. Membuat tenggorokanku sakit.

Dan saat itulah aku melihatnya. Meringkuk dibawah ring basket dengan kepala telungkup diantara kakinya. Bola basketnya yang berwarna merah duduk manis di sebelahnya seolah menjadi saksi bisu kesedihan Felix hari itu.

Aku bergegas berlari menghampiri Felix. Meski lapangan sedikit licin dan hampir saja aku terpeleset, untung saja aku berhasil mencapainya. Aku arahkan payungku untuk memayungi tubuhnya yang sudah sangat basah itu.

Aku berjongkok.

"Felix," panggilku pelan. Cowok itu mengangkat kepalanya perlahan. Menatapku dengan kedua matanya yang sedikit bengkak.

"Sha," bibir Felix bergerak seperti menyebut namaku tapi tidak terdengar suara apapun.

Hatiku terenyuh. Mataku mulai berair dan sebisa mungkin aku tahan untuk tidak menangis.

Segera kubuka jaketku dan kupakaikan ke tubuh Felix yang mulai dingin.

"Kamu ngapain disini hujan-hujan gini?" kataku parau. Aku membantunya berdiri dan sepertinya dia sedikit kesulitan.

Akupun segera memapah Felix pelan-pelan menuju rumah. Meski badan Felix lebih besar dari badanku dan lebih berat tentunya, aku berusaha perlahan membawanya pulang. Cowok ini harus segera di ganti bajunya dan di berikan minuman hangat.

Jarak lapangan kompleks dengan rumah Felix yang berjarak 1 blok membuatku sedikit kewalahan.

"Kamu ga apa-apa, Sha?" Tanya Felix. Suaranya hampir terdengar seperti bisikan pelan. Disaat seperti ini dia masih memikirkan aku.

"Aku ga apa-apa. Yang penting kamu sekarang harus segera pulang. Nanti kamu sakit," kataku serak. Mati-matian aku menahan tangis yang sudah berada di ujung mata. Sampai akhirnya aku tidak tahan lagi, aku menangis dengan suara pelan. Tapi karena Felix berada disebelahku, dia bisa mendengar sedikit isakanku.

"Kamu menangis?" bisiknya.

"Ngga, kok," kataku sambil mengusap kedua mataku dengan punggung tangan. Felix menyipitkan matanya agar bisa melihatku. Ada kehangatan merasuki hatinya.

***

Eli menyambut kami dengan kepanikan luar biasa. Gadis itu bergegas membantuku membawa Felix ke ruang tengah yang dipasang penghangat ruangan.

Felix yang setengah tersadar bisa mendengar suara Eli yang sarat akan kecemasan dan Sasha yang tak kalah cemas.

"Baju... bajunya Felix dimana, Li?" Tanyaku.

"Ada dikamar atas, kak," kata Eli. Selesai Eli berkata demikian aku bergegas ke lantai atas dan menemukan pintu bertuliskan Felix. Ini pasti kamarnya.

Aku-pun segera membuka pintu kamarnya. Dan sedikit tercengang melihat kamar Felix, meski cowok, Felix termasuk kedalam golongan cowok pecinta kebersihan. Terbukti dari kamarnya yang rapi dan bersih.

Cukup lama aku mengagumi kamarnya sampai lupa untuk mengambil baju ganti. Setelah menemukan baju di lemarinya, aku bergegas turun kembali.

Eli sudah menjerang air panas dan sedang membantu kakaknya itu minum susu hangat.

"Ini bajunya, Li." Tapi, tiba-tiba aku diserang rasa gugup, masa iya aku harus menggantikan baju Felix. Eli juga sepertinya tidak bisa.

Tapi kalau tidak segera diganti, cowok itu bisa masuk angin. Sekarang saja sepertinya dia sudah demam.

Menyadari keraguanku, tahu-tahu Felix menyambar pergelangan tanganku dan mengambil baju gantinya. Tindakannya barusan membuatku sedikit kaget.

"Aku akan ganti baju sendiri," katanya lalu segera ke kamar ganti di lantai bawah dengan langkah sempoyongan.

Aku saling berpandangan dengan Eli yang mengangkat bahunya.

Felix menghempaskan tubuhnya ke atas sofa didepan televisi. Selesai berganti baju dia menghabiskan susu hangat yang dibuat Eli tadi.

Aku menyelimuti Felix yang tampak tertidur dengan beberapa lembar selimut tebal. Meski wajahnya sangat pucat dan masih sedikit menggigil, sepertinya dia akan baik-baik saja.

Eli mendekatiku membawa segelas susu.

"Nih untuk kak Sasha," katanya sambil mengangsurkan gelasnya kepadaku.

"Ah, ga usah Eli. Kakak juga sudah mau pulang, kok. Sudah malam," kataku sembari melirik ke arah jam dinding yang tergantung di atas televisi. Sudah setengah 10 malam. PR aljabar masih belum selesai ku kerjakan. Selain itu, mama juga pasti sangat marah saat aku pulang nanti.

"Besok kalau Felix masih demam, kamu berikan dia obat ini, oh ya, kamu bisa membuat bubur? Nanti masakkan untuknya juga yah. Besok kakak yang akan memintakan ijin pada guru disekolah kalau Felix sakit," kataku pada Eli. Tanpa sadar, Felix ikut mendengarkan instruksi Sasha.

Dia menatap gadis itu dengan mata yang terbuka perlahan.

Gadis itu tadi menangis, Felix sendiri tidak tahu kenapa dia menangis. Tapi entah kenapa, perasaannya begitu hangat ketika menyadari ada seseorang yang masih peduli padanya saat ini, meski Felix yakin kepedulian itu tidak akan bertahan apabila Sasha tahu kenyataan yang sebenarnya. Felix tidak ingin jatuh cinta padanya, sebab dia takut suatu saat Sasha akan meninggalkannya bila mengetahui masa lalunya dan kisah hidupnya.

***

Harry menatap bangku kosong disebelahnya. Felix dinyatakan tidak masuk saat Sasha bilang pada Bu Fanny, guru mata pelajaran kewarganegaraan mereka di jam pertama mulai mengajar. Dia tersenyum, ternyata kemunculannya sudah cukup membawa dampak besar buat Felix, sepertinya dia harus mulai menyusun rencana lain untuk mengusik ketentraman hidup Felix.

"Felix sakit apa, Sha?" Tanya Rani. Kami menghabiskan istirahat siang di kantin dengan menikmati segelas es campur. Meski semalam hujan turun dengan derasnya, entah kenapa begitu hari berganti, dan pagi datang, matahari mulai bersinar penuh semangat, membuat cuaca hari ini cukup panas.

"Demam. Semalam dia kehujanan di lapangan basket dekat kompleks rumah kami," kataku menghela napas. Rasanya sesak apabila mengingat Felix kemarin.

Cowok itu tampak terpuruk. Aku masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada cowok itu. Karena selama ini dia tidak pernah terbuka pada siapapun dan tidak berteman dengan siapapun.

Rani mengangguk-angguk.

Tidak bertanya lebih jauh.

Akhirnya aku mengalihkan pembicaraan dan mulai membahas tentang rencana kami menghabiskan malam pergantian tahun baru yang tinggal beberapa hari lagi.

"Tapi, kayaknya gue ga bisa ikut deh," kataku saat Rani mengatakan kalau dia sudah mempersiapkan untuk acara-acara bakar dirumahnya dalam rangka menyambut pergantian tahun. Dia bahkan sengaja membeli alat panggangan baru.

"Yah, elo gimana sih?" Rani melipat kedua tangannya didepan dada. "Kan elo yang punya ide. Gue udah beli alat panggangan baru, nih. Mahal lagi harganya."

Aku meringis. "Bokap gue ngajak ke anyer."

"Mang lo mesti ikut? Elo kan tinggal bilang kalau elo ada acara sama gue," kata Rani.

Aku tampak berpikir sejenak. "Yaudah, nanti gue bilang ke bokap nyokap gue."

Rani tersenyum. "Nah gitu dong."

***

Sepulang sekolah dengan membawa sekantung buah aku berjalan menembus cuaca siang hari yang terik. Peluh bercucuran di antara pelipisku. Pelajaran hari ini ditutup dengan olahraga dan Pak Sardi yang menjadi guru olahraga menyuruh kami semua untuk berlari 3 putaran di lapangan sebagai pemanasan dan dilanjutkan dengan latihan drible basket. Membuat teman-teman sekelas ngedumel tiada henti. Terutama kaum perempuan.

"Pak Sardi itu masih waras ga, sih? Cuaca udah panas gini kita masih disuruh lari keliling lapangan," keluh Monic. Gadis yang paling seksi dikelas itu mengelap keringatnya dengan handuk yang memang sengaja dia bawa dari rumah.

"Tau tuh. Ga tau apa kalo kita kejemur begini di bawah matahari. Tambah item aja gue nanti," timpal Vonny. Gadis-gadis yang lain mengangguk mengiyakan.

"Iya. Emang dia kira kita lagi di Bali kali," kata Yanny sembari mendelik ke arah guru olahraga mereka yang sedang duduk dibawah rerimbunan pohon mangga di pinggir lapangan sambil mengawasi muridnya berlari.

"Ikan asin kali," celetuk Mitha, yang lain terkikik mendengarnya.

"Liat tuh guru. Enak banget malah ngadem dibawah pohon. Gue sumpahin di berakin burung kepalanya yang botak itu," kata Pricilla yang memang terkenal kalau bicara ceplas-ceplos dan sering kali kata-katanya itu terdengar kasar.

Padahal gadis itu terbilang cantik dan imut, tapi kalau ngomong ga pernah pake otak, itu menurut Steven, pacarnya yang anak kelas 3-C. Mungkin karena cowok itu sering sekali di kata-katai sama Pricill.

Yang lain tertawa tergelak mendengar sumpah serapah sadis Pricill.

Meski benar-benar hari yang melelahkan, tapi menyenangkan berlari bersama teman-teman seperti tadi.

***

Dari jauh rumahku sudah kelihatan. Aku mempercepat langkah supaya bisa segera sampai dirumah. Hari ini kebetulan sekali mama ada acara arisan dengan ibu-ibu dari blok F dan biasanya beliau akan pulang sangat sore. Jadi dengan begitu aku bisa kerumah Felix dan menjenguk cowok itu tanpa harus takut ketahuan oleh mama.

Semalam, mama sangat marah ketika aku pulang dengan tubuh setengah basah. Aku tidak bisa mengatakan aku darimana dan kenapa tubuhku basah. Bisa-bisa mama tambah marah lagi.

Padahal tanpa aku jelaskan, hanya dengan melihat Eli yang berdiri didepan rumah dengan wajah murung, mama sudah pasti tahu penyebab aku pergi di malam hujan itu, jadi aku hanya diam dan mendengarkan ocehan mama yang baru selesai ketika jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Itupun papa yang menyuruh mama untuk berhenti.

Selesai meletakkan tas dan berganti pakaian, aku bergegas kerumah Felix membawa buah yang aku beli tadi dan beberapa lembar catatan pelajaran.

Dulu nenek selalu berpesan, kalau kita mau menjenguk teman yang sedang sakit, kita harus membawa buah tangan, meskipun buah tangan itu hanya sedikit. Masa jenguk orang sakit ga bawa apa-apa, kira-kira begitulah inti pesan nenek.

Setelah beberapa kali membunyikan bel, Eli muncul dari balik pintu rumahnya dan senyumnya merekah.

"Kak Sasha," dia tampak gembira melihat kedatanganku. Mau tidak mau aku ikut tersenyum.

Dengan segera gadis cilik itu membukakan pintu gerbangnya dan menyuruhku masuk.

Aku memberikan seplastik buah itu dan diterima Eli dengan kebingungan. Mereka kan tetangga, harusnya tidak perlu terlalu sungkan.

"Felix dimana?" tanyaku ketika kami sudah masuk kedalam rumah.

"Tuh disofa," tunjuk Eli yang kemudian berlalu ke dalam dapur.

Aku mendekati sofa dan melihat Felix meringkuk di balik selimut dan tampak tertidur pulas. Wajahnya masih sedikit pucat. Penasaran aku sentuh kening cowok itu, masih agak hangat. Merasa keningnya disentuh oleh sebuah tangan yang dingin, Felix perlahan membuka matanya yang masih terasa berat dan mendapati Sasha yang sedang menatapnya. Mata kami beradu dan itu sukses membuat wajahku memerah.

"Kamu," suara Felix terdengar serak.

"Ah, anu... itu," kataku salah tingkah.

Beruntung Eli datang membawa segelas limun dingin membuat perhatianku beralih pada gadis kecil itu.

Felix bangkit berusaha duduk, meski kepalanya masih terasa berat dan matanya berkunang-kunang.

Dengan buru-buru aku membantunya duduk.

"Sedang apa kamu disini?" Tanya Felix heran.

"Tentu saja sedang menjenguk kakak," Eli yang menjawab. Kak Sasha sampai membawakan seplastik buah untuk kakak.

Felix mengangkat alisnya. "Oh ya?" dia lalu menatapku.

Aku tertawa garing. Memangnya aneh kalau aku datang menjenguknya?

"Ah, iya. Aku juga bawa ini," aku mengangsurkan kertas-kertas fotocopyan catatan.

"Ah, thanks," kata Felix. Aku mengangguk. Senang rasanya bisa membantunya walau hanya sedikit.

Felix menatap jam di dinding, sudah menunjukkan jam 3 sore.

"Kamu tidak bimbel, Eli?" Tanya Felix menoleh ke arah Eli yang sedang mengelap meja makan. Eli menggeleng.

"Nanti kalau Eli bimbel, siapa yang akan menjaga kakak?" kata Eli.

"Kakak tidak perlu dijaga. Kakakkan sudah besar," sahut Felix. "Lagipula ada dia, jadi kamu tidak perlu khawatir."

Dia? Maksudnya aku? Aku memasang tampang bingung.

Akhirnya setelah dipaksa oleh Felix, dengan berat hati Eli pergi bimbel juga. Gadis kecil itu membawa ranselnya dan mengendarai sepeda mungilnya ke tempat bimbel yang berjarak cukup jauh dari kompleks perumahan kami.

Setelah mengantar Eli sampai gerbang, aku kembali masuk kedalam rumah dan mulai menyadari kalau aku hanya tinggal berdua saja dengan Felix sekarang. Bagaimana ini???

Cowok itu sekarang sedang menonton televisi. Raut wajahnya datar saja meski film yang ditayangkan sangat lucu.

Felix memandang Sasha yang sedang duduk di karpet didepannya. Gadis itu menemaninya menonton dan sesekali tertawa tergelak-gelak karena celetuk-celetukan lucu dari acara yang ditayangkan.

Felix tersenyum. Dan senyumnya langsung hilang ketika Sasha menoleh. Dengan sedikit salah tingkah dia mengiyakan tawaran Sasha yang ingin membuatkannya susu hangat, meski tadi dia sudah makan bubur dan perutnya masih kenyang, tapi dia tidak kuasa menolak tawaran gadis itu.

***

Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima lewat seperempat. Sebentar lagi Eli pulang. Dan mama juga akan pulang.

Setelah menghabiskan waktu bersama Felix selama kurang lebih sejam menemaninya menonton televisi, yah meskipun sebenarnya akulah yang menonton karena Felix tertidur pulas tak lama setelah meminum susu hangat buatanku. Sudah waktunya aku untuk pulang.

Aku mendekati Felix dan menyelimutinya. Wajahnya sudah tak sepucat tadi, dan suhu tubuhnya juga sudah mulai turun.

Aku tertegun memandangi wajahnya yang terlelap. Keheningan menyelimutiku. Aku bahkan bisa mendengar detik jarum jam yang berputar perlahan, hembusan napas Felix yang teratur dan detak jantungku sendiri yang mulai diserang rasa gugup.

Meski gugup, tapi kakiku tidak beranjak sedikitpun. Mataku tidak bisa lepas memandangnya. Hanya disaat seperti ini aku bisa memandangnya sepuas hati. Memandang lekuk wajahnya yang selama ini selalu dingin dan datar.

Wajahnya yang tidak bisa kusentuh dan dirinya yang tidak bisa kuraih. Walau kami pacaran, tetap tak merubah apapun, kami hanya pacaran pura-pura, Felix tidak pernah menyukaiku. Dan kenyataan itu membuatku sesak. Sesak karena aku hanya bisa mencintainya diam-diam.