Chapter 12

Felix sudah duduk manis di bangkunya ketika aku datang memasuki kelas. Dia mengikuti langkahku sampai aku duduk di bangkuku.

"Tumben dia sudah datang. Apa dia sudah tidak apa-apa?" pikirku. Aku berbalik dan menatapnya. Bertanya melalui isyarat, cowok itu hanya mengangguk.

"Syukurlah," bisikku. Walau hanya berupa bisikan, Felix bisa menangkap kata-kata Sasha barusan.

Harry masuk menjelang bel masuk berbunyi dan dia tersenyum lebar mendapati teman sebangkunya yang istimewa sudah masuk kembali. Felix memasang raut wajah waspada. Jangan sampai Harry membuatnya lepas emosi lagi seperti kemarin. Dia harus mengantisipasi dan bersikap tidak peduli pada kehadiran cowok itu.

Tapi Harry dengan wajah kalem duduk santai dibangkunya dan mulai mengeluarkan semua buku-bukunya.

"Ga usah tegang gitu. Gue ga sejahat itu kok, ga mungkin kan orang yang abis sakit gue bikin sakit lagi. Harus dikasih jeda dong," bisik Harry.

"Sialan, dasar musang berbulu domba," umpat Felix dalam hati.

Miss Jenny masuk kedalam kelas dengan setumpuk kertas. Sepertinya akan ada ulangan bahasa inggris dadakan.

Belum sempat Miss Jenny mengeluarkan sepatah dua patah kata Felix mengacungkan jari telunjuknya tinggi-tinggi membuatnya menarik perhatian semua siswa tak terkecuali Sasha.

"Whats up, Felix?" miss Jenny menaikkan alisnya. Tampak keheranan, sama seperti semua murid dikelas ini. Sesuatu yang tidak biasa apabila Felix mengacungkan jarinya. Dan itu tidak pernah terjadi sebelumnya.

"Saya ingin tukar pasangan bangku saya, miss," kata Felix lugas.

Kali ini miss Jenny mengerutkan keningnya.

"Tukar pasangan? Memang kenapa dengan Harry?" Tanya miss Jenny dengan pandangan menyelidik.

"Tidak apa-apa. Saya hanya ingin tukar pasangan saja," sahut Felix. Dia tidak mungkin mengatakan dihadapan guru dan semua teman sekelasnya kalau dia sangat benci pada Harry dan berharap cowok itu dipindah kelas saja.

Meski sedikit heran dengan tingkah Felix yang cukup ajaib hari ini, tapi miss Jenny sepertinya mengabulkan permintaan Felix.

"Memangnya kamu mau tukar dengan siapa?" Tanya miss Jenny.

Felix menatapku. "Saya ingin duduk dengan Sasha, miss."

Bisa kurasakan semua mata tertuju padaku. Dido dan gerombolannya mulai menggoda kami berdua dan membuat keributan.

"Cie... cie... mesra banget, sih. Bilang aja kalau emang pengen duduk dengan Sasha. Pake alesan tukar pasangan," kata Dido.

Felix tampak acuh tak acuh di sindir seperti itu. Dia juga tidak sakit hati pada Dido karena ucapannya yang cukup menusuk. Felix mengenal cowok itu sejak kelas 1, dia sudah sangat mengenal karakter Dido seperti apa.

"Jangan miss, mereka'kan pacaran. Nanti berkonspirasi lagi," kata Salim yang duduk disebelah Dido. Aku melongo, konspirasi apa? Memangnya dia pikir kami itu pasangan teroris.

Miss Jenny menggeleng. "Tidak, kau tidak boleh duduk dengan Sasha."

Wajah Felix tampak muram.

"Begini saja, kau Harry, pindah duduk dengan Sasha, Amalia duduk dengan Felix," kata Miss Jenny setelah berpikir beberapa saat. Melihat wajah muram Felix dia tidak sampai hati menolak permintaannya untuk tukar pasangan tempat duduk, jadi daripada tidak sama sekali, lebih baik dia cari alternatif.

Aku melongo, Amalia tersenyum lebar, Harry tersenyum tak kalah lebar, dan Felix, menekan rahangnya kuat-kuat, tampak kesal. Bukan ini yang dia inginkan. Daripada Sasha yang duduk dengan Harry, lebih baik dialah yang tetap duduk bersama cowok brengsek itu.

Felix berdiri, menimbulkan suara berisik.

"Saya menolak, bu!!" Felix setengah berteriak.

Miss Jenny dan teman-teman sekelasnya terkejut. Aku melongo.

"Lebih baik saya tetap duduk dengannya," kata Felix dengan napas terengah karena menahan emosi.

"Ah,, iya..iya," kata Miss Jenny terbata-bata, masih setengah terkejut dengan kemarahan Felix.

Amalia tampak kecewa. Sementara aku tidak tahu kenapa, diam-diam menarik napas lega.

Felix kembali duduk. Wajahnya memerah, masih sedikit ada kekesalan dihatinya.

Harry tersenyum. Sepertinya Sasha sangat berarti bagi Felix? Bagaimana kalau dia menghancurkan cowok itu dengan mulai merebut apa yang berharganya untuknya?

***

Harry melangkah masuk kedalam kantin, beberapa cewek yang duduk dekat pintu masuk kantin menahan napas mereka ketika cowok itu datang. Harus diakui, pesona Harry tidaklah kalah dengan Felix, makanya banyak cewek-cewek kelepek-kelepek karena pesonanya meski diyakini cowok itu tidak pernah sengaja untuk tebar pesona disekolah ini.

Mata Rani membesar. "Itu siapa, Sha?" Tanya Rani setengah berbisik. Menunjuk Harry dengan dagunya. Dia hampir tidak jadi menyuapkan potongan tahu isi ke mulutnya.

"Siapa?" aku menoleh mengikuti arahan Rani dan menangkap sosok Harry yang sedang membeli sebungkus bakwan.

"Anak baru dikelas gue, namanya Harry," sahutku lalu kembali fokus pada es campur didepanku.

"Anak baru?" Rani mengerutkan kening. Mungkin dia sama herannya denganku, murid baru pertengahan semester ganjil, tanggung banget buat pindah sekolah padahal tinggal beberapa bulan lagi bakal UAN.

Aku mengangkat bahu. Sementara Rani terus menerus menatap Harry tanpa berkedip.

"Dia cakep, yah," kata Rani tanpa sadar. Aku mendongak. Sedikit heran, tidak biasa-biasanya Rani memuji cowok seperti itu. Mungkin ini pertanda baik kalau Rani ternyata masih normal layaknya cewek lainnya. Padahal aku kira dia tidak suka pada cowok.

Tapi kata-kata dia selanjutnya membuatku tersedak es campur. "Kayaknya majalah bakal laris lagi nih kalau gue muat artikel dia," kata Rani yang langsung bersemangat.

Lalu matanya beralih dari Harry dan kali ini dia menatapku. Mataku menyipit curiga, Aku tahu apa yang ada dipikirannya.

"Ngga," kataku sebelum Rani sempat membuka mulutnya. Aku tahu apa yang akan dia katakan, jadi sebelum dia sempat mengatakannya lebih baik aku tegaskan jawabanku sekarang.

Rani meringis.

"Ayolah, Sha. Dia kan teman sekelas elo," kata Rani merajuk.

Aku membuang muka.

"Pokoknya ngga," sahutku. Aku kapok membantu Rani mencari berita lagi.

"Gue traktir makan deh. Yah..yah," kata Rani dengan mata penuh harap.

"Aku kembali menggeleng. Gue ga akrab sama dia, jadi lo cari beritanya sendiri aja," kataku.

"Yah, Sasha bantuin dong. Pliss, sekali ini lagi, yah. Majalah sekolah lagi sepi pembeli, nih," kata Rani dengan nada memelas.

Percuma, aku tidak akan terpengaruh. Masa bodoh dengan majalah sekolah. Aku juga jarang membelinya, kok. Kalau artikelnya tidak terlalu bagus biasanya aku tidak membelinya.

Setelah beberapa saat Rani terus memohon, akhirnya gadis itu menyerah. Apabila sudah bilang tidak biasanya Sasha tidak akan berubah pikiran.

Tiba-tiba sesosok tubuh tinggi jangkung mengambil tempat duduk yang kosong disebelahku.

Aku dan Rani kaget. Lebih-lebih aku, karena sosok itu tanpa permisi langsung duduk saja.

"Boleh'kan kalo gue bergabung?" kata sosok itu. Dia memamerkan senyum manisnya. Sekilas dia agak mirip Felix, tapi bukan Felix, cowok itu Harry.

Di jam-jam istirahat seperti ini Felix tidak akan menginjakkan kakinya di kantin, cowok itu lebih senang menghabiskan jam istirahat untuk tidur ditaman sekolah. Aku tahu karena cowok itu kerja dari malam sampai pagi, dia pasti kurang tidur.

"Mau?" tawar Harry berbasa-basi. Serentak kami berdua menggeleng.

Harry tertawa melihat ketegangan kami. "Nyantai aja kali. Kok muka kalian tegang gitu."

Aku nyengir, Rani terkekeh.

Bingung mau menjawab apa. Tiba-tiba aku baru teringat kalau Rani barusan meminta tolong padaku untuk mencari berita tentang cowok ini. Lebih baik aku kenalkan mereka berdua biar Rani sendiri yang bertanya langsung pada Harry. Kalau sudah kenalkan lebih enak.

"Oh, ya Harry, kenalkan, ini teman gue. Maharani, anak kelas 3-C," kataku pada Harry.

Harry tersenyum dan mengulurkan tangannya dan dibalas Rani dengan sedikit kikuk.

"Dia ini reporter majalah sekolah," kataku seraya mempromosikan Rani.

"Oh, ya, keren dong," kata Harry.

Rani tersenyum, "Gitu deh, gue sih lagi bingung mau ngulas profil siapa bulan ini. Kira-kira elo mau ga kalo gue wawancara buat majalah sekolah?" tanya Rani tanpa basa-basi. Padahal mereka baru saja saling kenal.

Harry tampak takjub dengan penawaran yang tiba-tiba itu.

"Wah, boleh aja sih. Cuma gue takut jadi terkenal," kata Harry membuat kami berdua tertawa. Ternyata Harry orangnya sangat humoris, berbeda jauh dengan Felix.

Setelah itu, kami menghabiskan waktu bertiga dengan mengobrol sampai bel masuk berbunyi. Aku dan Rani banyak dibuat tertawa oleh Harry. Cowok itu sangat pandai dalam membuat lelucon, bahkan Rani tertawa sampai mengeluarkan air mata. Dan membuat kami jadi pusat perhatian di kantin.

***

Aku berdiri didepan gerbang, menunggu Felix yang sedang mengambil sepedanya. Tiba-tiba sebuah motor hitam berhenti dihadapanku. Pengemudinya menaikkan kaca helm fullfacenya. Terlihat sebuah mata coklat menatapku. Aku tidak mengenalinya.

"Mau pulang, Sha?" tanya cowok itu, ketika mendengar suaranya aku baru sadar kalau dia adalah Harry. Aku mengangguk.

"Mau bareng ga?" ajaknya.

Aku menggeleng. "Gue pulang sama Felix."

Harry terdiam.

"Cuaca lagi panas, loh," katanya berusaha membujukku. Aku menggeleng lagi. "Ga apa-apa, kok," jawabku. Meski kami sudah cukup akrab berkat obrolan di kantin tadi, tapi kalau untuk pulang bersama aku menghindarinya.

Rasanya tidak etis karena seisi sekolah tahu kalau aku pacarnya Felix, dan aku juga menghargai Felix yang masih mau pulang bersamaku meski kami hanya pacaran pura-pura. Lagipula, pulang bersama naik sepeda itu lebih romantis dibanding naik motor, yang udah terlalu mainstream.

"Lagi ngapain lo?!" terdengar suara ketus dari arah dalam gerbang. Felix menatapku dan Harry bergantian.

Harry tertawa. "Gue lagi ngebujuk pacar elo buat pulang sama-sama. Abisnya kasian'kan dia kalau harus berpanas-panasan dengan elo naik sepeda," ucapannya telak dan menusuk. Raut wajah Felix terlihat kesal.

"Elo...," Felix menyandarkan sepedanya ke gerbang dan berniat menghampiri Harry yang kemudian menstarter motornya.

"Duluan yah, Sha," cowok itu langsung tancap gas motornya dengan kecepatan tinggi meninggalkan kami berdua.

"Sial," umpat Felix dalam hati.

Felix tampak frustasi. Aku tidak tahu ada masalah apa antara Felix dan Harry. Felix selalu marah apabila berhubungan dengan Harry, sementara Harry selalu pasang wajah pura-pura bodoh dan tidak tahu kalau Felix marah.

Felix menuntun sepedanya diam seribu bahasa. Hening. Aku-pun tidak berani buka suara apalagi menanyakan padanya ada masalah apa. Aku berjalan perlahan mengikuti langkah Felix.

"Maaf," katanya tanpa menoleh kearahku.

Aku bingung. Ada apa kok tiba-tiba cowok ini minta maaf padanya?

"Aku cuma bisa mengantarmu pulang dengan sepeda," kata Felix lagi. Aku tertegun. Rupanya itulah yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Kata-kata Harry yang menusuk hatinya dan ketidak mampuannya yang diam-diam disadari oleh Felix.

Aku tertawa, "Ga masalah, kok." Aku tidak ingin membuat Felix down dan tidak ingin membuat cowok itu tambah bersedih.

Felix tersenyum tipis. Dia lalu menghentikan langkahnya dan berbalik menghadapku.

"Aku punya permintaan, tolong jangan terlalu dekat dengan Harry," kata Felix, menatap tepat di mataku. Aku terkesiap.

"Jangan bertanya kenapa," katanya lagi. Aku yang memang hendak bertanya jadi mengurungkan niat itu.

Setelah berkata demikian, Felix menaiki sepedanya dan memintaku duduk diboncengan.

Felix mengayuh sepedanya perlahan. Dia mengayuh sepedanya memasuki sebuah kawasan taman, menjauhi keramaian jalan raya. Ini adalah jalan pintas untuk bisa sampai kerumah. Tapi tidak bisa disebut jalan pintas, karena jalan ini merupakan jalan memutar. Hanya saja, dia ingin mengajak Sasha melewati jalan yang belum pernah di dilaluinya bersama Sasha. Dia yakin gadis itu akan menyukainya.

Dan benar saja, Sasha tampak terpana melihat rerimbunan pohon-pohon yang mengapit jalan setapak yang hanya bisa dilalui sepeda. Angin bertiup semilir. Menerbangkan rambutnya. Di kiri kanan, ada sebuah lapangan luas dengan rerumputan hijau, beberapa anak kecil tampak bermain bersama orang tua mereka.

Ada juga bangku-bangku taman yang diisi oleh beberapa pasangan yang sedang bersantai menikmati siang hari yang terik. Cahaya matahari menyeruak di antara celah-celah daun. Felix tersenyum, mengayuh sepedanya dengan kecepatan pelan.

Aku diam memandang sekeliling dan menatap punggung Felix yang bergerak sesuai irama kayuhan sepedanya, merasakan tiap detik kebersamaan ini yang mungkin tidak akan berlangsung selamanya. Aku tahu, tiap detik ini sangat berharga dan aku tidak ingin kehilangan momen ini.

20 menit kami melewati taman itu, 20 menit yang berharga dan 20 menit yang terasa singkat. Rasanya aku ingin waktu berhenti sejenak, untuk membiarkanku menikmati momen seindah itu.

Tapi rasanya tidak mungkin karena Felix kemudian membelokkan sepedanya masuk ke kawasan perumahan yang gerbang kompleksnya berbeda dengan gerbang yang biasa kami lalui.

"Ini blok J," katanya seperti tahu isi pikiranku. Aku mengangguk-angguk mengerti. Blok J sangat jauh dari rumah kami yang berada di blok B, tapi tak masalah, aku malah berharap supaya jarak yang harus kami tempuh lebih jauh lagi. Supaya aku bisa berada lebih lama bersama Felix.

Menjelang pertigaan blok B, aku meminta turun pada Felix. Dengan pandangan bertanya dia berhenti.

Aku masih belum memberitahunya kalau mamaku tidak suka padanya. Untunglah Felix tidak bertanya apa-apa meski kulihat raut wajahya sedikit keheranan.

***

Aku memandang kalender. Lusa tahun sudah berganti, itu berarti besok malam adalah malam pergantian tahun yang ku nantikan.

Papa sudah mengatakan kalau besok siang, sepulang aku sekolah, kami akan berangkat ke Anyer. Merayakan pergantian tahun baru di cottage milik direktur perusahaan tempat papa bekerja, bersama dengan rekan kerjannya yang lain.

"Pa, ma, Sasha sepertinya tidak ikut ke Anyer," kataku saat makan malam sedang berlangsung.

Papa dan mama mendongak, menatapku. Kemarin aku yang bersemangat untuk ikut ke Anyer, tapi kali ini malah aku yang membatalkan tidak jadi ikut.

"Loh, memang kamu mau kemana, Sha? Kemarinkan kamu yang meminta papa untuk menanyakannya pada direktur papa," kata papa.

"Iya. Tapi kemarin Rani mengajakku untuk ikut acara dirumahnya. Bakar-bakar gitu, pa," jawabku.

"Papa dan mama pergi saja. Sasha tidak apa-apa dirumah sendiri. Lagian kan ada mbok Yem. Sasha juga akan ada acara sama Rani."

Papa dan mama lalu berpandangan. Berpikir sejenak. Berat untuk meninggalkan putri mereka semata wayang ini dirumah sendiri walau hanya untuk 2 hari saja.

"Beneran ga apa-apa?" tanya papa meyakinkan. Untuk membatalkan keikutsertaannya dalam acara itu papa tidak bisa, karena direkturnya sudah mempersiapkan segalanya. Tapi putrinya ini malah batal ikut.

"Aku ga apa-apa kok, pa," kataku lebih meyakinkan.

"Sayang sekali loh, Sha. Padahal Frans sangat menantikan kamu," kata mama.

Aku tahu mama sengaja berkata begitu biar aku mengubah keputusanku. Tapi tetap saja aku menolak ikut. Lagipula antara aku dan kak Frans tidak ada apa-apa. Jadi ketidakhadiranku tidak jadi soal.

"Sudahlah, ma. Besok kita berangkat berdua saja. Lagipula Sasha juga belum pernah merayakan pergantian tahun di Bandung," kata papa membelaku.

Aku menatap papa yang mengedipkan sebelah matanya padaku. Asik, papa memang sangat pengertian.

***

Rasanya aku mau mencekik Rani saat gadis itu bilang bahwa acara nanti malam dibatalkan. Mendadak kakeknya jatuh sakit dan mereka sekeluarga akan kerumah kakeknya di Garut. Aku tidak bisa menyalahkan Rani ataupun kakeknya, karena siapa sih yang mau sakit?

Hanya saja aku kecewa berat karena aku sudah terlanjur bilang pada papa dan mama kalau aku akan merayakan pergantian tahun bersama Rani, karena itu pula papa dan mama berangkat ke Anyer tadi pagi setelah mengantarku pergi sekolah. Yah, dengan alasan agar tidak terkena macet.

"Maaf banget, Sha," kata Rani dengan wajah bersalah. "Gue ga tau kalau kakek gue akan tiba-tiba jatuh sakit."

Aku mengangguk-angguk. Tidak menjawab. Aku merasa sedikit kesal dan kecewa. Masa di malam pergantian tahun ini aku tidak kemana-mana. Garing banget'kan. Mau mengajak Felix sepertinya tidak mungkin. Cowok itu kan kerja. Dan tidak ada hari liburnya. Warnet gitu, masa iya libur hanya karena malam pergantian tahun baru.

"Sha, jangan marah dong," Rani menggoyang-goyang badanku karena aku tidak bereaksi.

"Iya, iya, gue ga marah. Gue cuma kecewa," kataku jutek.

"Sama aja dong, Sha," Rani monyong. "Nanti gue bawain oleh-oleh dari Garut, deh. Dodol yah."

"Ga doyan," sahutku.

"Sha," Rani tampak kehabisan akal karena Sasha tidak juga kunjung tersenyum. Bilangnya baik-baik saja padahal Rani tahu kalau gadis itu marah dan sebal.

***

Aku menatap televisi yang meliput acara pergantian tahun di kota Jakarta yang selalu semarak dengan kembang api. Tahun lalu, aku masih berada di kota itu dan menghabiskan malam pergantian tahun di rumah nenek bersama keluarga besar lainnya.

Perlahan aku menghela napas panjang. Pengen teriak dan marah-marah rasanya.

Mbok Yem yang sedang berada di dapur mempersiapkan makan malam tampak prihatin melihat majikan kecilnya itu uring-uringan sejak pulang sekolah. Wajahnya ditekuk, bahkan tidak menyapa sama sekali saat dia pulang.

Tidak hanya mbok Yem yang kebingungan melihat tingkah Sasha, Felix yang pulang bersama Sasha pun dibuat keheranan. Tak biasanya wajah gadis itu muram. Bahkan sejak mereka berada di sekolah.

Aku melirik jam dinding. Masih pukul 7 malam.

Aku rasa aku akan tidur saja dan melewatkan pergantian tahun ini bersama sebagian orang-orang lain yang juga memilih tidur untuk merayakannya. Padahal malam ini adalah malam yang paling aku tunggu-tunggu.

Aku melangkah ke lantai atas.

"Loh, non Sasha mau kemana?" mbok Yem yang tengah menyiapkan piring-piring di meja makan terheran-heran saat melihatku naik ke lantai atas.

"Tidur," jawabku singkat tanpa menoleh.

"Non tidak mau makan?" tanya mbok Yem.

"Males, mbok," kataku kemudian berlalu.

Mbok Yem geleng-geleng kepala. Majikan kecilnya itu memang terkenal keras kepala. Aku melemparkan tubuh ke atas kasur dan menatap langit-langit kamar. Aku masih belum mengantuk sama sekali. Perutku juga tidak lapar. Karena kesal aku jadi tidak bernafsu makan.

Aku kemudian mengalihkan pandangan ke beberapa komik yang berjejer rapi di rak buku. Mungkin lebih baik jika aku membaca.

Aku meraih 3 buah buku dan mulai membaca. Tidak bisa konsentrasi sama sekali. Rupanya kekesalanku lebih besar daripada niat bacaku.

"Ah, sial..sial," gerutuku.

Aku menatap jam beker dimeja belajar. Waktu berjalan lambat. Masih pukul 7 lewat 15 menit.

Tut..tut...

Terdengar nada panggilan masuk. Aku melirik ponselku yang tergeletak begitu saja dimeja belajar, mataku membesar saat melihat nama yang tertera di layar. Felix. Ada apa cowok itu menelepon di jam-jam seperti ini? Bukannya dia kerja.

"Kamu dimana?" tanya Felix to the point.

Ini pertama kalinya aku mendengar suara Felix lewat ditelepon. Aku mendengar suara ramai dibelakangnya, ada suara anak-anak kecil dan kendaraan berlalu lalang. Cowok ini sedang dimana? Berisik sekali.

"Di kamar," jawabku bingung karena pertanyaannya sangat aneh.

"Aku ada didepan rumahmu," kata-kata Felix membuatku terlonjak bangun. Aku bergegas ke jendela kamar dan menyibakkan tirai yang menutupinya.

Felix sedang duduk diatas sepedanya, dan mendongak kearah kamarku sambil handphonenya dia tempelkan di telinga kirinya.

Surprise banget.

"A... aku akan segera turun," kataku tergagap. Segera kumatikan telepon Felix dan mengambil jaketku, menuruni tangga dengan terburu-buru dan hampir saja terpeleset.

"Non Sasha, katanya mau tidur," kata mbok Yem yang sedang menonton.

"Ga jadi, mbok," kataku lalu menuju pintu dengan penuh semangat.

Ada apa cowok itu tiba-tiba datang kerumahnya?

Felix masih duduk diatas sadel sepedanya saat aku menghampirinya dengan sedikit terengah karena terlalu bersemangat.

Cowok itu memakai kaos lengan pendek dan dilapisi sweater hitam, lalu dia juga memakai celana panjang dan sepatu kets putih menutupi kakinya. Meski hanya memakai kaos, entah kenapa dia tetap terlihat keren.

"A..ada apa?" tanyaku.

"Aku mau ajak kamu jalan-jalan," jawaban Felix membuat aku terperangah. Aku tidak salah dengarkan? Dia bilang mau mengajakku jalan-jalan.

"Memangnya kamu tidak bosan berada dikamar dan menghabiskan tahun baru dengan tidur?" katanya lagi.

Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Benar-benar kejutan banget. Kenapa cowok ini tiba-tiba kepikiran untuk mengajakku jalan-jalan?

"Bosan sih. Ah, kalau begitu aku ganti baju dulu," kataku. Penampilanku tidak bisa dibilang rapi, hanya memakai sandal jepit, kaos dan celana pendek. Sangat kontras dengan penampilan Felix yang rapi banget.

"Tidak usah. Begini saja sudah cukup. Kita juga pergi tidak terlalu jauh," kata Felix.

"Ah, kalau begitu aku bilang dulu pada mbok Yem," tanpa menunggu jawaban Felix aku bergegas kembali kedalam rumah dan bilang pada mbok Yem yang masih asik menonton. Aku juga berpesan untuk tidak memberitahukan pada papa dan mama kalau aku pergi dengan Felix.

Dengan mengantungi kunci duplikat aku duduk manis di boncengan Felix. Cowok itu membawaku keliling kompleks yang sangat ramai dengan bocah-bocah yang berlarian kesana kemari. Rumah-rumah'pun tampak ramai. Disekitar kompleks tercium wangi ikan ataupun ayam bakar. Wangi itu membuat perutku yang tadinya tidak lapar jadi lapar sekali sekarang. Mungkin karena aku terlalu bersemangat pergi dengan Felix.

Jujur saja, aku masih tidak percaya, aku menghabiskan malam pergantian tahun ini bersamanya. Dan, aku rasa aku tidak kecewa karena tidak jadi pergi ke Anyer ataupun merayakan bersama Rani, justru sekarang aku malah sangat bersyukur karena kedua rencana itu malah tidak jadi terealisasikan. Kalau tidak, aku mungkin tidak akan mengalami malam pergantian tahun seindah ini.

Felix mengajakku berhenti di sebuah lapangan rumput diluar kompleks. Ada sekumpulan orang-orang yang sedang asik menikmati jagung bakar.

Aku disuruhnya menunggu dibangku panjang sementara Felix memesan 2 buah jagung bakar. Aku menggigil. Sweater tipisku tidak mampu melindungiku dari hembusan udara dingin kota Bandung malam ini.

Felix yang memperhatikanku sedang menggosok-gosok kakiku yang hanya memakai celana pendek berjalan mendekat dan membuka jaketnya. Dia memakaikannya padaku.

Kini dia hanya mengenakan kaus saja, tanpa banyak bicara dia kembali ke tempat abang jagung bakar dan kembali tak lama kemudian membawa jagung bakar yang masih berasap. Kelihatan enak sekali.

"Kamu ga kedinginan?" tanyaku tak enak hati.

Felix menggeleng. "Udah biasa," katanya. Oh iya, Felix kan sudah lama tinggal di Bandung, pasti sudah biasa dengan udara Bandung yang dingin.

Aku tidak bicara lagi, kami berdua sama-sama menikmati jagung bakar dengan keheningan. Kalaupun ada bunyi, itu hanyalah bunyi sekumpulan orang yang memesan jagung bakar di pinggir lapangan ini. Dan mereka asik tertawa bersama.

Ada juga pasangan yang berpacaran didekat bangku kami. Kemesraan jelas terlihat dari sikap duduk mereka yang berdekatan, bahkan tak jarang si cewek bergelayut manja di lengan pasangannya, mereka bahkan berbagi jagung bakar yang sama. Begitu berbeda bila dibandingkan dengan kami. Felix duduk dengan jarak kurang lebih 60 centimeter dariku, dan kami makan jagung bakar kami masing-masing.

Aku menatap pasangan itu dengan iri. Ah, kapan aku bisa seperti pasangan-pasangan itu. Felix yang memperhatikan perubahan raut wajahku yang sedikit cemberut, mengikuti arah pandanganku ke pasangan kekasih tersebut, dan dia mengerti apa yang membuatku muram.

"Kamu sedang melihat apa?" tanya Felix membuatku kaget. Kepergok deh sama dia.

"Ahaha... tidak. Aku tidak sedang melihat apa-apa," kataku sambil tertawa garing.

"Kamu mau seperti mereka juga?" tanya Felix membuat wajahku memerah seketika. Kok, dia tau apa yang ada dipikiranku.

"Tentu saja tidak. Kita'kan tidak benar-benar pacaran," kataku mengelak, padahal dalam hati aku berteriak mau.

Mata Felix menyipit. Dia menatapku sekarang yang berusaha menutupi kegugupan yang menyerangku. Aduh, ga bisa napas nih.

"Iya, kamu benar. Kita'kan hanya pacaran pura-pura," kata Felix pelan. Matanya kembali memandang lurus ke arah jalan raya.

Ucapannya barusan membuatku sedih. Andai dia tahu apa yang aku rasakan terhadapnya. Tapi aku menahan diri untuk tidak memberitahukan perasaanku padanya. Aku tidak ingin kebersamaan kami ini rusak, karena mencintainya bisa menjadi akhir hubungan pura-pura kami yang sejujurnya membuatku cukup bahagia. Lagipula aku masih mengingat dengan jelas syarat yang diajukan Felix waktu itu.

Jarum jam tanganku sudah menunjukkan pukul setengah 10 malam. Makin larut, udara semakin dingin, tapi makin banyak pula orang-orang yang hilir mudik sepanjang jalan. Anak-anak kecil membunyikan terompet mereka dengan penuh semangat. Bahkan orang-orang dewasa pun tidak mau kalah membunyikan terompet mereka.

Kami melanjutkan perjalanan setelah menghabiskan jagung bakar. Tak lama kami melewati banyak abang-abang penjual kembang api dan petasan.

Aku mencolek punggung Felix.

Felix berhenti dan berbalik, wajahnya penuh tanya. "Kita beli kembang api, yuk," ajakku.

Dia berpikir sejenak lalu mengangguk.

Kami membeli beberapa kembang api.

"Mau dinyalakan dimana?" tanya Felix. Aku menggeleng. Tidak tahu. Kalau dinyalakan dikompleks rumah, bisa saja sih, tapi rasanya kurang seru.

Karena aku tidak kunjung menjawab akhirnya Felix menyuruhku duduk kembali di boncengan.

Felix mengayuh sepedanya kembali menuju sebuah tempat yang cukup tinggi dengan banyak ilalang. Ada sebuah tanah kosong yang tidak terlalu lebar disekeliling ilalang itu. Tempat ini aku belum pernah tahu sebelumnya. Yah, mungkin karena aku memang tidak pernah berkeliling Bandung selama aku tinggal disini.

"Disini?" tanyaku. Felix mengangguk.

"Ini tempat apa?" tanyaku heran. Di tempat ini angin berhembus lebih kencang dibanding di kompleks rumah kami.

"Ini padang ilalang yang jaraknya tidak terlalu jauh dari gerbang kompleks blok J. Tuh, disana, itu gerbang kompleks kita," Felix menunjuk sebuah gapura yang tinggi dikejauhan.

"Oh iya," aku mengangguk-angguk. Kok aku tidak sadar kalau ada tempat seperti ini di belakang kompleks blok J, padahal aku sudah pernah lewat pintu belakang kompleks.

"Tapi kok sepi sekali, sih?" tanyaku. Di padang ini memang hanya ada kami berdua saja, ditemani ilalang dan hembusan angin.

"Mana ada orang yang mau ketempat ini malam-malam begini," katanya. Dia menatapku. "A-Apa?" tanyaku salah tingkah.

"Tidak apa-apa. Tenang saja, aku ga akan macam-macam padamu," kata Felix kemudian. Yah, aku memang tidak kepikiran sampai kesana. Lagipula, Felix juga tidak tertarik padaku.

Waktu sudah jam 10 malam ketika kami tiba di padang ilalang itu. Lokasinya yang lebih tinggi dari jalan raya membuatku bisa melihat pemandangan kota Bandung yang berkelap-kelip dikejauhan. Bahkan kembang api yang menyala di langit pun tetap kelihatan walau hanya berupa setitik cahaya dikejauhan.

Felix merogoh kantung celananya, mencari korek yang tadi dibelinya bersama kembang api.

Aku mengeluarkan kembang api dari bungkusnya, dan memegangnya ketika Felix menyulut api ke ujung kembang api.

Tak perlu waktu lama, keluar percikan api dari ujung kepala kembang api. Menimbulkan bunga api yang indah.

Sudah lama aku tidak bermain kembang api seperti ini.

Aku tersenyum. Felix juga memegang kembang apinya sambil berdiri didekatku.

Di padang ilalang yang gelap dan sunyi ini, setitik cahaya kembang api cukup untuk menerangi sekitarnya.

"Bagus, ya," gumamku.

Felix melirikku. "Ya. Memang bagus."

Aku balas meliriknya dan tersenyum.

Kami kemudian diam sampai seluruh kembang api yang dibeli habis. Setelah mengumpulkan sampah-sampah kembang api, kami tiduran di atas padang ilalang menatap langit yang dihiasi oleh jutaan bintang.

"Kamu lihat bintang disana?" tanya Felix tiba-tiba memecah keheningan.

Aku menoleh, mata Felix masih tertuju ke langit.

"Iya, kenapa sama bintang itu?" tanyaku.

"Itu rasi bintang Sagitarius," katanya. "Dan disana, itu rasi bintang orion."

Aku mengangguk-anguk. "Oooh."

Rupanya Felix tahu banyak tentang rasi bintang.

Hening lagi. Kami tidak tahu harus mengobrolkan apa. Tiba-tiba segaris cahaya jatuh dari langit.

Bintang jatuh.

Aku terbelalak sampai terbangun.

Felix juga sepertinya melihat bintang jatuh itu karena dia ikut terbangun. Jarang-jarang aku bisa melihat bintang jatuh. Aku pasti beruntung hari ini.

Sebelum bintang jatuh itu menghilang dari langit, aku memejamkan mata, dan membisikkan harapan-harapanku. Harapan untuk tahun depan untuk kehidupanku, dan harapan pribadiku sendiri.

"Kamu sedang apa?" tanya Felix bego.

"Tentu saja sedang mengucapkan permohonan kepada bintang jatuh. Pertanyaan kamu itu aneh sekali," kataku masih memejamkan mata. Tak ada jawaban.

Perlahan aku membuka mata dan melirik Felix yang berada disebelahku. Mata cowok itu ikut terpejam dan tampak khusuk.

Aku tersenyum dalam hati. Saat dia membuka matanya, aku pura-pura masih berdoa.

Felix tampak lega saat tahu kalau Sasha tidak memergokinya berdoa. Meskipun dia tahu kalau mustahil meminta bintang mengabulkan permohonan dan doa-doa kita.

Beberapa saat kemudian aku kembali membuka mata. Felix berdeham.

"Kamu berdoanya lama sekali. Pasti kamu minta yang aneh-aneh," kata Felix.

Aku tertawa. "Bukannya kamu yang berdoanya paling lama?"

Sontak wajah Felix sedikit memerah. "Kok dia tahu," umpatnya dalam hati.

"Aku tidak berdoa apa-apa. Aku tak suka meminta-minta, apalagi pada bintang," katanya sok cool.

Aku tersenyum geli. "Lagi-lagi sok berkilah. Dia kira aku tidak tahu," bisikku dalam hati.

Aku masih meliriknya dengan pandangan geli. Sementara Felix tampak tersipu.

"Apa?" tanyanya.

Dan tawa yang sejak tadi aku tahan langsung menyembur.

Tanpa disadari, Felix tersenyum lalu ikut tertawa bersamaku.

"Benarkan. Udah, ngaku aja sih. Tadi kamu doa paling lama, pasti mintanya paling banyak," kataku.

"Aku ga percaya hal begituan," Felix masih berusaha berkilah.

Aku menyipit. Tidak percaya. Felix menatapku.

"Apa?" Felix mulai salah tingkah. "Masih tidak percaya?"

Aku menggeleng. "Percaya..percaya. Daripada nanti benjol."

Felix menjitak kepalaku pelan.

Kekakuan dalam hubungan kami perlahan mulai mencair, dan aku sangat senang dengan kemajuan ini. Aku berharap dengan membangun kedekatan seperti ini, Felix akan mulai terbuka denganku.

"Tadi mohon apa ke bintang jatuh?" Tanya Felix iseng ketika kami rebahan kembali di atas rerumputan ilalang menatap bintang.

Aku tertawa. "Ada deh. Yah, yang jelas sih, ada harapan."

"Apa harapanmu?"

Aku menoleh, Felix balas menoleh padaku.

"Aku akan memberitahukannya padamu ketika harapan itu terwujud. Sampai harapan itu terwujud, cukup aku saja yang tahu," kataku.

Felix tertegun.

Aku kembali menatap bintang. Aku tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya pada Felix tentang harapanku. Cukuplah menjadi rahasia hatiku.