Chapter 13

Aku menengadah menatap langit yang biru, bersih tidak ada awan satupun. Ini adalah hari baru di tahun 2021. Rasanya sangat bersemangat mengingat tahun ini aku punya banyak resolusi dan harapan yang ingin sekali aku wujudkan.

Malam pergantian tahun kemarin benar-benar istimewa. Aku masih mengingatnya dengan jelas saat-saat kebersamaanku dengan Felix dimalam itu. Bahkan dia mulai tertawa kepadaku. Kami pulang menjelang pukul setengah 1 pagi, setelah sebelumnya puas memandangi kembang api dan teriakan terompet dari atas ketinggian kota Bandung. Beruntung mama dan papa sedang ada di Anyer. Setidaknya aku tidak harus menghadapi kemarahan mama yang menggelegar dan akan bertahan selama seminggu.

Tahun baru, awal yang baru. Memasuki awal tahun ini kami anak-anak kelas 3 sudah mulai mengikuti pelajaran tambahan setelah jam pulang berakhir. Para guru-guru sudah mempersiapkan jadwal pelajaran tambahan untuk menghadapi UAN yang akan berlangsung 3 bulan lagi. Mengingatnya membuatku merasa mual.

Mama mulai ketat mengawasiku belajar. Sesekali membantuku belajar. Mama adalah mantan guru SMA sewaktu masih belum menikah dengan papa. Makanya mama sangat tidak suka apabila nilai putrinya ini jelek karena menurut beliau akan sangat memalukan namanya. Padahal teman-temanku tidak ada yang tahu kalau mama dulu guru SMA.

Tapi setidaknya aku tidak separah Rani, cewek itu mengambil kursus jelang UN setelah sepulang pelajaran tambahan. Beberapa kali ku dapati ubannya bertambah banyak di rambutnya yang semakin tipis.

"Elo ga kepusingan, Ran?" tanyaku ketika menemaninya membeli buku di Gramedia. Hari ini dia kebetulan tidak ada kursus.

"Pusing kenapa?" Rani mengerutkan kening. Merasa pertanyaanku aneh.

"Yah pusinglah. Pulang pelajaran tambahan elo masih ikut bimbel. Terus malamnya masih belajar juga dirumah," aku membaca deretan buku referensi kimia di rak-rak buku.

Rani garuk-garuk kepala. Seminggu yang lalu dia mengundurkan diri dari klub majalah sekolah, sesuatu yang harusnya dia lakukan dari dulu mengingat dia sudah kelas 3. Fandy saja sudah mengundurkan diri terlebih dulu. Katanya mau fokus pada ujian akhir sekolah.

"Pusing sih, tapi masalahnya ini adalah UN. Gue ngeri ga lulus," kata Rani. Raut wajahnya tampak serius.

"Ya elah, kan elo pinter, Ran. Kemarin aja dapet peringkat 4," kataku.

"Itu ga menjamin gue lulus. Seengganya gue harus mengerahkan semua kemampuan gue dengan maksimal, dan selama gue masih mampu buat belajar, why not?" katanya sok inggris.

Aku mengangguk-angguk. Kadang ucapan Rani seperti orang tua. Dan sering sekali menggurui, kayak emak-emak.

Phip...

Ponselku berdering. Ada sebuah sms masuk.

"Siapa?" Tanya Rani tanpa menoleh, dia sedang mencari buku kumpulan soal jelang UN.

"Felix," kataku sedikit takjub.

Rani menoleh dan ikut mendekatiku yang sedang membuka sms tersebut.

'Mau belajar bareng ga?' begitu isi smsnya. Tanpa basa basi dan lugas. Itulah Felix. Cowok itu selalu to the point dalam mengutarakan sesuatu.

"Wahhh, enak banget diajakin belajar bareng sama Felix," kata Rani dengan mata membesar.

"Apa enaknya?" tanyaku bloon.

Rani geleng-geleng kepala. "Ya tentu aja enaklah. Secara gitu dia pinter, dia juga juara umum di sekolah."

"Terus gue mesti bales apa?" tanyaku. Tiba-tiba isi kepalaku kosong begitu terima sms Felix. Mungkin aku terlalu kesenangan dapet sms dari cowok itu.

Rani melongo. "Yah, terserah elo. Elo terima ajakannya belajar bareng atau ngga."

"Hmmm," aku berpikir-pikir lagi.

"Aduh, Sha. Elo lagi mikir apa, sih? Tinggal jawab iya aja juga," kata Rani jengkel melihat keplin-plananku.

"Aduh, elo ga tau aja sih," gerutuku dalam hati. Yang jadi permasalahanku adalah mama. Mama sudah pasti tidak akan mengijinkan aku kerumah Felix, meskipun alasannya belajar bersama.

Felix berkali-kali menatap layar ponselnya. Layar itu masih tidak juga menampilkan pesan baru dari Sasha.

Felix menghela napas. Dia memutuskan untuk menonton televisi. Dia sengaja mengirimkan sms itu memang dengan niat untuk membantu Sasha belajar karena sepertinya gadis itu kesulitan untuk belajar. Dia juga yakin kalau gadis itu tidak akan menolak ajakannya. Tapi rasanya ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu.

Selama ini Felix tidak terlalu mempedulikannya. Tapi yang bisa dia tangkap dari tingkah Sasha adalah gadis itu seperti orang ketakutan kepergok. Setiap mereka pulang sekolah, gadis itu selalu turun di pertigaan blok B, padahal jalan kaki dari situ masih cukup jauh untuk sampai kerumahnya, dia juga seperti punya jam tertentu dimana dia harus segera pulang apabila sedang berada dirumahnya.

Dan yang bisa Felix tangkap dari itu semua, sepertinya Sasha takut pada mamanya, mungkin karena mamanya tidak suka padanya. Felix menyadari kalau mama Sasha tidak menyukainya waktu mereka tidak sengaja berpapasan saat Felix baru akan pulang membeli beberapa perlengkapan.

Mama Sasha baru saja datang ke toko, ingin belanja. Felix yang mengenalnya sebagai mama Sasha mengangguk sopan. Cukup sopan, apabila dibandingkan dengan kelakuannya sewaktu perkenalan awal dulu. Memang seperti yang orang-orang sering bilang, perkenalan di awal sangat penting, karena dari situ orang bisa menilai dan menentukan akan menyukai kita atau tidak.

Saat Felix mengangguk sopan, mama gadis itu tidak menggubrisnya sama sekali, malah memasang wajah super jutek yang pernah diterima Felix. Dari situlah Felix mengambil kesimpulan kalau mama Sasha tidak menyukainya, dan itu cukup berimbas pada putrinya yang notabene adalah pacarnya, walau statusnya hanya pacar pura-pura.

***

"Elo ngelamunin apaan sih?" Tanya Rani sembari menyikutku. Kami sudah berada dibus yang akan membawa kami pulang. Masing-masing dari kami sudah membawa seplastik belanjaan buku-buku yang tebal. Tapi belanjaanku masih kalah bila dibanding Rani. Cewek itu mungkin bisa dibilang memborong hampir sebagian besar buku-buku yang berisi latihan soal untuk UN.

Aku menoleh lalu tersenyum kikuk. Rani menghela napas.

"Elo udah bales sms si Felix belom?" Tanya Rani lagi. Aku menggeleng. Aku sangat bingung mau jawab apa, kalau bilang iya nanti mama yang marah, kalau bilang tidak, Felix yang marah, tidak marah sih, hanya saja aku tidak enak menolak ajakannya yang cukup tulus itu.

"Yah, elo gimana sih?" Rani menatapku heran.

"Aduh bingung gue," kataku jujur.

"Elo itu bingung kenapa, sih? Tinggal bales iya aja kok repot," Rani tampak dongkol.

"Kok elo yang jengkel, sih? Iya nanti gue bales. Cuma ga sekarang. Entar aja dirumah," sahutku tak kalah dongkol.

"Yah, siapa tau Felix lagi nunggu balasan elo. Dan elo malah ga bales-bales. Kalau gue sih pasti jengkel abis. Ga bakal gue ajak lagi elo buat belajar bareng," kata Rani.

"Iya, gue ngerti. Kan udah gue bilang nanti gue bales dirumah," ada nada tekanan dalam nada suaraku. Jujur banget, aku jengkel sama Rani. Ini anak bawelnya minta ampun.

Sepertinya Rani sadar bahwa aku mulai jengkel, akhirnya dia diam.

Phip...

Ponselku kembali berbunyi, sms kedua dari Felix masuk lagi.

"Tuhkan gara-gara elo ga bales-bales dia sampai ngirim sms lagi. Dia pasti marah sama elo," komentar Rani sambil matanya melihat kearah lain karena aku mendelik kearahnya.

Aku kembali menatap layar ponsel. Sedikit khawatir apa yang Rani katakan memang benar. Tapi tidak..

Isi smsnya membuatku lega sekaligus heran. Felix sepertinya tahu apa yang menjadi kekhawatiranku.

"Bales apa dia?" Tanya Rani. Diam-diam dia merasa penasaran juga pada isi sms Felix. Apa benar seperti yang dia bilang kalau Felix marah? Tapi orang kayak Felix sih ga mungkin marah karena masalah sepele gitu.

Aku memberikan ponselku pada Rani biar dia baca sendiri. Sementara aku tersenyum-senyum. Dugaan Rani ternyata melenceng jauh.

'Mulai besok selesai pelajaran tambahan, kita belajar lagi disekolah'.

Aku kira dengan begitu masalah selesai, tapi Rani kemudian melirik sembari memberikan ponselku.

"Kok belajarnya disekolah? Memang dirumah elo atau dirumah Felix kenapa? Rumah kaliankan dekat," cecarnya.

Deg...

Aku tidak bisa bilang padanya kalau kami hanya pura-pura pacaran, aku juga tidak bisa bilang padanya kalau mamaku tidak menyukai Felix. Masa sudah sejauh ini hubungan kami tidak ketahuan siapapun, aku harus mengaku juga akhirnya pada Rani.

Rani menatapku meminta penjelasan.

"Jangan tanya guelah. Elo tanyanya sama Felix. Kan dia yang bilang belajarnya di sekolah aja," jawabku asal. Asal tapi telak juga membuat Rani diam.

"Ga berani gue kalo nanya langsung sama dia," Kata Rani membuatku tersenyum geli.

"Ya udah makanya jangan banyak nanya," kataku.

"Ya abis, aneh sih," Rani mengerutkan kening.

"Udah sih jangan dipikirin lagi. Kalau mau tahu makanya elo tanya ke Felix langsung," ujarku membuat Rani menggeleng.

Aku tahu, biarpun sekarang mereka sudah saling menyapa tapi untuk mengajak bicara seperti teman dekat, Rani masih sungkan pada Felix. Dan itu menjadi keuntungan juga buatku disituasi seperti sekarang. Untung saja Rani tidak bertanya macam-macam lagi. Setidaknya aku bisa lega karena rahasiaku tidak akan terbongkar.

***

"Jadi, rumusnya anuitas itu begini..," aku menatap kumpulan rumus-rumus matematika yang ada dihadapanku. Rumus-rumus itu seolah menari-nari mengikuti irama bicara Felix. Membuatku tidak konsentrasi.

"Ngerti tidak?" Felix melirikku yang memasang wajah super bloon.

"Kau tidak mendengarkan?" tanya Felix lagi dengan nada kesal.

"Oh..eh," aku baru tersadar saat penggaris plastik Felix mendarat dikepalaku. Tidak sakit tapi membuatku malu karena ketahuan tidak memperhatikan penjelasannya barusan.

"Kau itu memikirkan apa? Niat belajar tidak?" tanya Felix sudah kehabisan kesabaran.

"Anu..maaf ayo kita ulangi lagi," kataku.

"Sudahlah. Aku mau ke kantin dulu," kata Felix kemudian beranjak ke kantin sekolah. Masih ada Bu Sundari yang berjualan es limun dingin dan beberapa penjual makanan kecil, mereka masih buka sampai sore meski sekolah sudah bubar sejak tadi karena ada banyak siswa-siswa yang ikut kegiatan ekskul.

Aku menunduk dan merebahkan kepalaku diatas buku matematika. Disekelilingku ada beberapa tumpuk buku referensi matematika, kimia dan fisika. Felix sengaja mengajarkan aku pelajaran-pelajaran itu karena dia tahu kalau aku paling lemah pada soal-soal hitung-hitungan.

Waktu ulangan fisika dadakan pak Hilman waktu itu, aku sempat bertanya pada Felix dia mendapat nilai berapa, dan aku tidak terkejut saat dia bilang dia mendapat nilai 100. Padahal cowok itu masuk paling terlambat dan keluar dari kelas paling cepat. Aku saja yang selesai menjelang pergantian mata pelajaran, hanya dapat nilai 7.

Pas-pasan banget. Sampai-sampai Pak Hilman bilang padaku saat beliau membagikan hasil ulangan fisika, "Kamu mintalah bantuan pacarmu untuk pelajaran fisika. Nilaimu tidak buruk, hanya kurang bagus."

Benar-benar telak membuatku malu dihadapan teman-teman sekelasku yang diam-diam menahan senyum mereka. Sementara Felix tidak tertawa. Dia memasang wajah innocent dan pura-pura tidak mendengar ucapan Pak Hilman. Untung saja tuh cowok tidak ikut tersenyum, kalau tidak aku akan menjitak kepalanya.

***

"Pelajarin lagi soal yang tadi aku buat. Ada kemungkinan besar soal itu akan keluar diujian," kata Felix membuatku mengangguk-angguk.

Aku mendesah. Soal yang dibuat Felix rumit banget. Rasanya guru-guru saja tidak kepikiran untuk membuat soal macam begitu.

Felix memberhentikan sepedanya di pertigaan blok B seperti biasa. Aku baru sadar kalau kami sudah sampai di kompleks rumah. Kok dia tidak banyak bertanya dan tumben tanpa aku meminta dia berhenti sendiri.

"Thanks yah," kataku. Felix mengangguk-angguk.

Aku membalikkan badan dan mulai berjalan menuju rumah. Buku-buku referensi yang berat-berat tersebut aku bawa di tangan kiriku, Felix sengaja menyiapkan kantong agar aku tidak repot membawanya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 5. Tanpa terasa aku belajar bersama Felix sudah 1 jam lebih. Meski tidak mendapatkan apa-apa dari belajar bersama tadi tapi aku cukup senang. Dan besok dia juga bilang akan belajar lagi bersamaku sepulang pelajaran tambahan. Dengan sedikit ancaman bahwa dia akan berhenti mengajariku kalau aku tidak mendengarkan penjelasannya seperti tadi.

***

"Coba kerjain yang ini," kata Felix. Dia menunjuk satu soal kimia yang tidak aku mengerti.

Aku diam. Antara bingung dan tidak mengerti.

"Kamu tahu tidak pakai rumus yang mana?" tanya Felix. Matanya menyipit memandangku.

Aku nyengir lalu menggeleng.

Felix menghela napas.

"Pakai rumus yang ini, loh, Sha," katanya menunjuk satu rumus kimia dibuku referensi miliknya. "Aduh, kok gue jadi keliatan tolol begini didepan Felix," batinku sebal.

Nut...nut...

Suara musik klasik memenuhi seisi ruangan kelas yang sudah sepi. Memang hanya ada kami berdua saat ini karena anak-anak yang lain sudah pada pulang semua selepas pelajaran tambahan.

Felix merogoh kantung celananya. Rupanya ponselnya itu yang berbunyi.

Setelah memberi isyarat padaku, dia pergi meninggalkan ruangan kelas. Wajahnya tampak serius. Aku jadi pengin tahu dia dapat telepon dari siapa.

"Ya benar, saya kakaknya Elia," aku mendengar dia menyebut-nyebut nama Eli.

"Apa?!" nada suara Felix terdengar terkejut. Dengan sembunyi-sembunyi aku melongokkan kepala kearah luar. Wajah Felix berubah cemas.

"Iya, saya segera kesana," katanya.

Aku kembali pura-pura fokus pada rumus dihadapanku. Padahal pikiranku melayang ke percakapan Felix barusan. Ada apa, ya? Kok Felix terkejut begitu. Apa telepon itu membawa kabar buruk?

Felix kembali dengan tergesa-gesa. Dia buru-buru memasukkan semua bukunya kedalam tas.

"Ada apa?" tanyaku panik.

"Aku harus pergi sekarang, katanya." Ada suara bergetar dari nada suaranya.

"Kenapa?" aku ikut membereskan semua bukuku.

Gerakan tangan Felix terhenti, dan dia menatapku. Dan untuk pertama kalinya aku melihat kekhawatiran di sorot matanya.

"Eli," dia tidak melanjutkan kata-katanya. Rasanya sangat sulit bagi Felix untuk bicara. Selain itu, dia tampaknya sangat terburu-buru.

Tanpa Felix lanjutkan ucapannya, aku tahu apa itu. Firasat buruk.

***

Aku mengikuti langkah Felix yang berjalan dengan tergesa-gesa. Setengah berlari Felix mendekati bagian administrasi rumah sakit.

"Adik saya... adik saya, Eli, dia dimana?" tanya Felix tak jelas. Bicara dengan terbata-bata.

Bagian administrasi yang kebetulan sedang berjaga disitu mengerutkan keningnya.

"Siapa, dik?" tanyanya bingung.

"Adik saya, Eli. Dimana dia?!" bentak Felix tak sabar.

Aku kaget dan bagian administrasi itu tentu saja tak kalah kaget. Wajahnya sudah merah padam karena marah. Tentu saja wanita itu marah, wanita itu bertanya dengan baik-baik tapi Felix malah membentaknya.

"Biar aku saja. Kamu diam saja," kataku tajam pada Felix yang tampak hendak bicara lagi. Aku tahu dia cemas dan khawatir akan keadaan Eli, tapi dia juga harus bisa menjaga emosinya, ini cowok marah-marah tidak pada tempatnya.

"Begini bu, kami mencari pasien bernama Elia Aprilia. Cowok ini tadi menerima telepon dari dokter yang memberi tahu kalau adiknya dirawat disini," kataku menjelaskan panjang lebar pada wanita dihadapanku ini.

Wanita itu tampak menghela napas. "Oh, bilang dari tadi. Jangan pake marah-marah dulu dong, dik," sindir wanita itu pada Felix. Tapi cowok itu tidak mendengarnya. Telinganya tiba-tiba tuli dan otaknya kosong.

"Maaf yah bu," aku jadi meminta maaf untuk kesalahan yang dibuat Felix.

"Elia Aprilia dirawat di bangsal 1, kamar nomor 8. Kalian dari sini lurus saja, lalu belok kanan. Ruangannya ada di sebelah kiri," kata wanita itu.

Tanpa menunggu lagi, Felix langsung berjalan mendahului meninggalkanku begitu saja.

Itu adalah sebuah kamar kecil yang berisi sekitar 3 orang pasien.

Felix masuk dan langsung mencari-cari sosok kecil Eli diantara ketiga pasien itu.

"Eli!" teriak Felix, membuat seisi ruangan menatapnya merasa terganggu. Umumnya pasien anak-anak itu dijaga oleh orang tua mereka. Dan ini juga bukan jam besuk, jadi mereka semua merasa risih dengan teriakan Felix yang cukup keras diruang sekecil ini.

"Felix, pelan-pelan. Kau mengganggu pasien lain," tegurku. Aku juga tak suka dengan caranya yang frontal.

Dia tidak menggubris, dia berjalan masuk kesebuah ranjang di pojok ruangan dekat jendela, aku mengikutinya sambil meminta maaf kepada keluarga pasien lain.

Setelah Felix menyibakkan tirainya, tampaklah sebuah pemandangan menyedihkan.

Kaki Eli di gips dan diberi penyangga. Tangan gadis kecil itu luka memar kebiruan. Felix hanya tahu kalau Eli kecelakaan dari telepon yang diterimanya ketika disekolah. Dia tidak tahu kalau adiknya itu mengalami lebih dari kecelakaan. Kaki adiknya patah. Melihat itu perasaannya serasa di koyak.

"Eli," suara Felix bergetar.

Matanya berkabut, hampir menangis. Bagaimana ceritanya Eli bisa sampai kecelakaan seperti ini? Bukannya di jam-jam tadi Eli berangkat ke tempat bimbel.

Felix berdiri di samping ranjang adiknya. Dengan tangan gemetar, dia memegang tangan Eli yang kecil. Gadis kecil itu perlahan membuka mata.

"Kakak," dia tersenyum. Di antara semua rasa sakit yang dialaminya, dia masih tersenyum untuk kakaknya.

Felix menunduk. Badannya bergetar, tanpa terasa sebuah tetesan kecil air jatuh dari kedua matanya. Dia tidak peduli ada siapa di situ. Hanya saja, ada kesedihan mengalir dihatinya melihat adik kesayangannya terluka. Dengan bertumpu dengan kedua kakinya, Felix terduduk di lantai masih dengan memegang tangan Eli. Sangat terpukul.

Ternyata sekuat apapun dia berusaha berubah menjadi sosok orang lain yang dingin dan tak berperasaan, tapi itu masih belum bisa menyembunyikan dirinya yang sesungguhnya. Felix yang hangat, lembut dan baik hati.

Kesedihan ikut mengalir dihatiku. Sungguh, aku sangat prihatin melihat keadaan Eli, dia masih kecil dan harus mengalami luka seperti ini.

"Kak Sasha," aku tersenyum saat dia memanggilku dengan suara pelan.

"Kamu tidak apa-apa, sayang?" tanyaku menghampiri Eli dari sisi yang lainnya lalu meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Gadis cilik itu tersenyum lemah.

"Aku baik-baik saja," katanya. "Hanya sedikit sakit di sekujur tubuhku."

Dia benar-benar gadis yang kuat. Aku terenyuh melihat ketegarannya.

"Permisi," seorang gadis berpakaian suster memecah kesedihan yang menyelimuti kami. Aku menoleh begitu juga Eli. Hanya Felix yang masih menunduk.

"Apa ada wali Elia disini? Dokter ingin bertemu," katanya.

Aku bingung. Felix tampak masih terpukul. Sepertinya dia tidak mendengarkan ucapan suster tadi.

Tapi dia tiba-tiba berdiri sambil mengusap kedua matanya dengan punggung tangan.

"Saya, sus," katanya kemudian meninggalkan kami berdua dan mengikuti langkah suster itu.

"Maaf yah kak. Aku sudah menyusahkan," kata Eli menatapku dengan wajah sedih.

Aku balas menatapnya, "Tentu saja tidak. Lagipula, tidak ada orang yang pernah ingin terluka dan kecelakaan," hiburku.

***

Hari sudah menjelang malam. Matahari sudah lama tenggelam di ufuk barat.

Aku sudah menelepon mama sejak tadi mengabarkan bahwa aku sedang ada dirumah sakit dan berkilah kalau adik Rani sakit, padahal jelas-jelas Rani tidak punya adik.

Aku sedang menyuapi Eli dengan bubur hangat. Sementara Felix? Cowok itu berdiri memunggungi kami menatap kearah jendela kamar. Tidak ada ekspresi disana. Sepertinya dia masih terkejut dengan kejadian ini, tapi selebihnya dia sudah lebih tenang dibanding tadi.

Tiba-tiba seseorang menyibakkan tirai ranjang Eli. Kami semua menoleh. Tante Margaretha.

"Mama," mata Eli membesar. Bukannya mamanya sedang bertugas di Jakarta?

Aku bangkit berdiri dan mengangguk pada tante Margaretha. Wanita itu menatap kami.

"Sayang kamu tidak apa-apa?" tanya tante Margaretha seraya menghampiri dan duduk dikursi sebelah ranjang Eli.

Eli menggeleng.

"Mama kenapa bisa disini?" tanya Eli heran.

"Mama menerima telepon dari perawat rumah sakit kalau kamu dirawat di sini," jawab tante Margaretha.

Kening Eli bertaut. Sepertinya dia kebingungan. Perawat rumah sakit hanya menelepon Felix. Apa jangan-jangan?

Eli menatap kakaknya yang masih tidak bergeming dari tempatnya berdiri. Eli tahu, meski kakaknya itu lama tidak berkomunikasi dengan mama mereka, bahkan menghapus kontak mamanya dari daftar kontak ponselnya, tapi Felix hafal sekali nomor ponsel mamanya. Dan sepertinya Felix-lah yang meminta perawat untuk menghubungi mama.

"Kamu sudah makan?" tanya tante Margaretha. Meski tinggal bertetangga, aku jarang sekali bisa menemui tante Margaretha saat aku main kerumah Felix dan Eli. Mama mereka ini banyak bertugas keluar kota dan itu bisa berminggu-minggu lamanya.

"Sudah, ma. Nih sedang disuapi kak Sasha," jawab Eli.

Tante Margaretha mengalihkan pandangannya padaku. Ia tersenyum.

"Sasha putrinya bu Dania, yah. Terima kasih, yah," kata tante Margaretha. Aku mengangguk meski bertanya-tanya tante Margaretha berterima kasih untuk apa.

Sambil menyuapi Eli kami mengobrol banyak tentang pekerjaan tante Margaretha, dari ceritanya, dan gaya berbicaranya yang sangat halus, aku heran kenapa Felix membenci mamanya ini. Aku benar-benar tidak habis pikir.

Felix berbalik dan menatapku.

"Ayo ku antar pulang," kata Felix.

Aku memandang tante Margaretha yang mengangguk. Sementara Eli tertidur pulas.

"Saya pamit dulu, tante," kataku.

"Hati-hati yah, Sha," kata tante Margaretha. Aku hanya mengangguk lalu mengikuti langkah Felix yang berjalan mendahuluiku, cowok itu tak pamit sama sekali pada mamanya.

***

Aku menatap Felix yang menelungkupkan kepalanya di atas meja. Semalam setelah mengantarku pulang sampai rumah, cowok itu pulang kerumahnya untuk mandi lalu kembali ke rumah sakit. Sepertinya cowok ini berjaga semalaman dirumah sakit. Itu kelihatan dari sorot matanya yang tampak kelelahan.

Harry masuk kedalam kelas dan tersenyum lebar saat melihat Felix tertidur pulas dimejanya.

"Kayaknya ada yang begadang semalaman di rumah sakit, nih," bisiknya hampir ditelinga Felix. Felix yang antara setengah sadar dan tidak terbelalak.

Dengan gerakan cepat dia bangun dan mengcengkram kerah Harry.

"Jadi itu ulah elo?!" bentak Felix.

Aku menoleh mendengar bentakan keras dari Felix. Bukannya cowok itu tadi tidur? Lalu kenapa dia berantem dengan Harry sekarang?

Teman-teman yang lain memandang kejadian seru tersebut dengan antusias. Jarang-jarang Felix marah seperti itu, apalagi lawannya adalah anak baru.

"Ups. Emang gue bilang itu ulah gue, ya?" kata Harry tenang.

"Lo ga usah berlagak bego. Ga ada yang ngasih tau ke elo kalo Eli dirawat dirumah sakit," kata Felix geram. Gigi-giginya saling gemeletuk saking marahnya.

Harry tertawa. Teman-teman yang lain saling melemparkan pandangan keheranan pada tingkah ajaib Harry. Udah jelas dipojokin begitu, tapi Harry tampak tenang banget.

"Pinter... pinter. Lo memang cocok jadi juara umum disini," katanya. "Emang gue yang nabrak ade pungut elo itu." Suaranya hanya berupa bisikan saja, dan hampir tidak terdengar. Tapi Felix tahu apa yang dikatakan cowok brengsek dihadapannya ini.

Wajah Felix merah padam. Amarah yang ditahannya sejak tadi tiba-tiba saja meluap-luap.

Buk...

Dipukulnya wajah Harry dengan sekuat tenaga. Tubuh cowok itu sampai membentur dinding kelas menimbulkan bunyi keras.

Teman-teman sekelas kaget, mereka pikir pertengkaran antara Felix dan Harry hanya sebatas adu mulut, tapi ternyata Felix sampai memakai tangannya untuk memukul Harry. Sesuatu yang hangat dan berbau amis meluncur dari hidung Harry.

Beberapa murid cewek berteriak histeris. Aku sendiri terperangah melihat kejadian yang terjadi begitu cepat tersebut. Dan tidak menyangka kalau Felix sampai sekasar itu pada Harry yang notabenenya anak baru. Padahal mereka baru saja kenal. Tapi kenapa Felix selalu marah apabila berbicara dengan Harry. Padahal kelihatannya Harry anak yang baik.

Harry tersenyum. Matanya berkilat-kilat.

"Pukul gue lagi. Sampai elo puas," kata Harry. Felix menatapnya marah. Napasnya terengah-engah.

Hampir saja Felix mengayunkan kepalan tinjunya lagi kearah Harry ketika Pak Yudi muncul bersama Riko dan beberapa murid cewek didepan kelas. Pak Yudi berteriak lantang. Beliau sangat marah melihat Felix yang tampak gusar dan Harry yang hidungnya mengeluarkan darah cukup banyak.

"Kalian tolong bawa anak ini ke UKS," kata pak Yudi pada Riko dan beberapa murid cewek.

Setelah Harry pergi ke UKS, Pak Yudi menatap Felix yang kini duduk dimejanya. Kumisnya bergerak-gerak mengikuti gerakan mulutnya, kedua alisnya saling bertaut.

"Felixxx!!!"