Chapter 14

Aku memandang kedua kakiku dan menendang-nendang kerikil kecil didekat kakiku. Waktu sudah menunjukkan pukul 4. Felix masih belum juga keluar dari ruang BP. Cowok itu dihukum oleh Pak Yudi untuk membersihkan halaman sekolah. Setelah itu Pak Yudi memanggilnya keruangannya untuk bimbingan konseling. Pak Yudi penasaran kenapa Felix bisa lepas kendali seperti itu. Apalagi pada anak baru. Padahal mereka tidak saling mengenal sebelumnya. Dan Harry pun tampak seperti anak baik-baik, bukan pencari masalah.

Saat istirahat tadi, Rani heboh saat mendengar ceritaku langsung. Dia memang sempat mendengar beritanya dari teman-teman sekelasnya, tetapi itu hanya sebatas cerita dari mulut ke mulut. Makanya begitu bel istirahat berbunyi, Rani langsung menyongsongku ke kelas dan menarikku ke kantin. Padahal aku agak malas ke kantin, tapi karena Rani mengiming-imingiku traktiran, aku tak kuasa menolaknya.

Gadis itu geleng-geleng kepala saat aku cerita sambil makan semangkuk bakso Mang Asep. Benar-benar tidak habis pikir.

"Biasanya Felix kan kalem. Kok ini bisa brutal gitu, sih? Elo bener-bener ga tahu masalah antara mereka itu apa?" tanya Rani.

"Mana gue tau. Felix tuh ga pernah terbuka sama gue," aku menghela napas. Pusing memikirkan kejadian tadi. Tadipun teman-teman sekelasku memberondongku dengan pertanyaan yang hampir sama dengan Rani, dan aku masih tidak menemukan jawabannya. Karena jujur saja, aku memang tidak tahu, ada hubungan apa mereka berdua.

***

"Kamu masih disini?" tanya Felix saat mendatangiku di pos security dengan peluh bercucuran dan seragam yang basah.

Aku mendongak. Ada berjuta-juta pertanyaan yang ingin sekali aku lontarkan padanya. Tapi, aku tahu Felix tidak akan pernah menjawabnya.

Aku hanya mengangguk.

"Aku tidak bisa mengantarmu, aku mau kerumah sakit," kata Felix.

Aku menggeleng. "Aku memang mau kerumah sakit. Menjenguk Eli."

Felix tertegun.

"Ya sudah. Ayo naik," kata Felix. Aku menurutinya dan duduk di boncengan sepeda Felix. Felix mengayuh sepedanya perlahan menuju rumah sakit.

***

"Kak Sasha," senyum diwajah Eli mengembang saat melihatku datang bersama Felix.

"Halo, Eli. Gimana keadaan kamu?" tanyaku. Eli tersenyum lebar.

"Aku baik-baik saja kok, kak. Hanya masih sakit di kaki yang patah," sahutnya. Aku benar-benar salut pada Eli, meski terluka, tapi gadis cilik ini selalu berusaha tersenyum pada orang sekitarnya dan selalu berusaha tegar.

Felix muncul dari balik tirai dengan mengenakan kaos. Seragamnya yang basah sepertinya dia taruh di tasnya.

"Kakak tidak sekolah?" tanya Eli.

"Tentu saja sekolah," jawab Felix. Dia mengambil tempat duduk disebelah Eli. "Sudah makan belum?"

Eli mengangguk.

Felix mengacak-acak rambut Eli perlahan. "Syukurlah," katanya pelan.

Eli tersenyum lalu matanya beralih menatapku. "Kak Sasha sudah makan?"

Aku menggeleng. "Nanti saja dirumah."

Felix melirikku.

"Kakak keluar sebentar," katanya lalu menghilang dibalik tirai.

"Dia mau kemana?" tanyaku heran. Baru saja sampai tidak sampai 5 menit cowok itu sudah pergi lagi.

"Kak Felix pasti mau beli makanan keluar," kata Eli.

Aku mengangkat alis. "Dia mau beli makanan untuk kakak," kata Eli.

Aku tertegun. Kejadian tadi siang disekolah membuatku mencapnya sebagai cowok kasar meski dalam hati aku yakin ada alasan dibalik pemukulan Felix terhadap Harry.

"Bagaimana sekolah kakak?" tanya Eli tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum dan menarik bangku duduk disebelah ranjangnya. "Baik."

Kami mengobrol banyak, Eli juga banyak bercerita tentang masa kecil mereka. Dari cerita Eli juga, aku baru tahu kalau mereka dulunya tinggal di Jakarta. Namun karena ada sesuatu hal, mereka harus pindah kesini. Eli tampaknya tidak ingin mengatakan alasan kepindahan mereka, akupun urung meminta Eli untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Aku tidak ingin melanggar privasi seseorang. Toh, bila memang sudah digariskan oleh Tuhan, suatu saat aku akan tahu alasannya.

Sedang asik-asiknya kami mengobrol, tirai ranjang Eli disibak seseorang. Aku kira itu adalah Felix yang sudah kembali membeli makanan, tapi aku lihat mata Eli membesar melihat sosok itu, membuatku ikut membalikkan badan.

Sosok itu begitu anggun dan cantik. Rambutnya hitam legam dengan panjang sebahu. Matanya bersinar-sinar saat kacamata hitamnya di turunkan dari garis hidungnya yang mancung. Kulitnya putih bersih. Dengan gerakan perlahan gadis itu menghampiri ranjang Eli. Aku yang masih terkagum-kagum pada sosok dihadapanku ini langsung berdiri saat dia melangkah mendekati ranjang.

"Bagaimana keadaanmu, Elia?" tanya gadis itu. Suaranya merdu dan tampaknya gadis ini berumur beberapa tahun diatasku, karena dandanannya begitu dewasa.

"Ba... baik," jawab Eli tergagap.

Gadis itu tersenyum. "Syukurlah."

Mata gadis itu beralih menatapku.

"Kau siapa?" tanya gadis itu heran.

"Ah, anu saya aku," aku tergagap. Bingung hendak menjawab apa. "Saya tet...,"

"Dia pacar gue," terdengar suara Felix memotong kata-kataku barusan. Suaranya terdengar sangat tajam dan pandangannya menusuk.

Sontak kami semua menatap Felix yang langsung berjalan mendekati Eli dan memberikan bungkusan makanan padaku.

"Ini. Makanlah," katanya pelan.

"Lo sedang apa disini?" tanya Felix. Dia menatap gadis itu. Gadis itu menghela napas.

"Aku mau mengajakmu bicara. Ini penting," katanya.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagikan? Semuanya jelas. Gue akan melaporkan dia ke polisi," kata Felix.

"Polisi?" aku bertanya-tanya mendengar Felix membawa-bawa polisi disini. Apa hubungannya gadis itu dengan polisi.

"Kak," Eli memegang tangan Felix. Felix menoleh dan mendapati Eli menggeleng dengan wajah gelisah. "Jangan."

"Felix, aku mohon. Kita harus bicara," kata gadis itu dengan tatapan memelas.

Felix terdiam beberapa saat. Lalu melangkah keluar.

"Kita bicara diluar," katanya tanpa menatap gadis itu. Gadis itu mengikuti langkah Felix dan mereka menghilang dibalik tirai.

Aku menatap Eli. Sepertinya Eli ini tahu sesuatu. Aku sangat penasaran dengan kejadian barusan.

Belum sempat aku bertanya Eli menatapku lalu tersenyum lemah. Kata-katanya setelah itu membuatku tercekat.

"Dia kakak tiri kak Felix."

Eh.

***

"Ada apa? Cepat katakan," kata Felix. Dia menatap halaman belakang rumah sakit dari atas balkon lantai 3 rumah sakit. Beberapa perawat dan pasien hilir mudik di halaman yang cukup asri dengan pepohonan dan taman bunga di tengahnya. Angin berhembus cukup kencang menerbangkan rambutnya.

Herlinda menghela napas. Dia menatap punggung Felix yang berdiri membelakanginya.

"Aku datang kesini untuk mewakili Harry meminta maaf pada Eli, tante Margaretha dan juga padamu," kata Herlinda. Ada keraguan dalam nada suaranya. Herlinda ragu apakah Felix akan bisa menerima permintaan maafnya. Meskipun Felix membenci Harry, tetapi mereka tetap saudara bukan.

"Kenapa kau yang minta maaf? Kenapa bukan si brengsek Harry itu yang meminta maaf?!" rahang Felix mengeras. Dia meremas pegangan balkon yang terbuat dari besi. Ada amarah yang meletup-letup dalam dirinya, tapi dia masih bisa menahan diri. Dia tidak ingin menyakiti orang yang tidak bersalah, terlebih lagi gadis dihadapannya ini adalah kakak tirinya, dan walaupun mereka hanya saudara tiri, tapi jauh dalam lubuk hatinya, Felix menghormati Herlinda.

"Felix," Herlinda bingung harus mengatakan apa. Dia sendiri memang belum menemui Harry sama sekali sejak insiden kecelakaan Eli. Dia sengaja menemui keluarga tante Margaretha terlebih dahulu untuk meminta maaf. Apabila keluarga ini sudah memaafkan perbuatan Harry, barulah dia akan menemui adiknya itu dan menegurnya.

Kemarin Herlinda menerima kabar dari salah satu temannya yang memang sengaja dia mintai tolong untuk mengawasi Harry selama cowok itu bersekolah di Bandung. Setidaknya meski tidak dalam pengawasannya langsung, Herlinda masih bisa mengawasinya melalui temannya yang memang tinggal di Bandung. Begitu menerima kabar mengejutkan itu dari temannya, Herlinda bergegas ke Bandung.

Dengan berbekal informasi dari temannya yang tahu jelas dimana Eli dirawat, dia segera kerumah sakit untuk meminta maaf langsung pada Eli. Waktu itu dia memang hanya bertemu dengan tante Margaretha dan Eli karena Felix sedang pulang kerumah. Baru hari ini dia bisa berkesempatan menemui Felix langsung. Adik tirinya yang selama ini enggan dia akui. Dia menolak untuk mengakui cowok dihadapannya ini sebagai adiknya.

Karena mereka memang tidak tumbuh besar bersama. Tidak ada kedekatan sebagai saudara diantara mereka. Apalagi Herlinda tahu kenyataan bahwa mereka bersaudara waktu kematian papa mereka. Hal itu yang menambah enggan Herlinda untuk mengakui Felix sebagai adiknya. Baginya, dia hanya punya satu adik, yaitu Harry.

"Felix, aku mohon kamu maafkanlah Harry. Dia melakukan itu dengan tidak sengaja," kata Herlinda. Felix menoleh, matanya melotot menatap sosok gadis yang kini tampak takut. Herlinda tidak yakin Felix akan memaafkan Harry.

"Tidak sengaja?" Felix tertawa getir. Herlinda menelan ludah. Sepertinya dia sudah salah bicara.

"Tidak sengaja ya? Jadi dia tidak sengaja," Felix tertawa terbahak. Herlinda menatap Felix yang tampak seperti orang kerasukan. Cowok itu tertawa keras sekali sampai beberapa orang memperhatikan mereka.

Felix mengelap air matanya karena kebanyakan tertawa. Dia menatap Herlinda.

"Lo ini lucu sekali. Lo bilang dia tidak sengaja?" nada suara Felix kembali berubah serius. "Bagaimana bisa lo bilang kalau dia tidak sengaja, sedangkan dia sendiri sudah mengaku pada gue kalau dia yang udah nabrak Eli!!" Felix nampak gusar. Dia mengacungkan telunjuknya ke udara.

Herlinda terperanjat. Jadi, Harry sudah bilang pada Felix kalau dia yang sudah menabrak Eli hingga kaki gadis kecil itu patah. Herlinda merutuk dalam hati. Susah payah dibela sampai sejauh ini, cowok itu malah membuka kejahatannya sendiri didepan Felix.

Herlinda menggigit bibirnya.

Felix membalikkan badannya, menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Bicara pada gadis didepannya ini membuatnya emosi. Rasanya kemarahannya sudah diubun-ubun dan kesabarannya sudah hampir habis. Dia ingin tahu pembelaan macam apa yang akan dikeluarkan oleh Herlinda untuk membela Harry yang sudah jelas-jelas pelaku utama dalam kasus ini.

"Oke. Mungkin Harry memang salah," Herlinda memandang punggung Felix yang tampak menegang.

"Cih, mungkin," Felix menyindir. Herlinda tampak tidak mempedulikan sindiran tajam dari Felix barusan.

"Tapi dia adalah kakakmu. Bagaimana mungkin kau melaporkan kakakmu sendiri?" kata Herlinda tajam.

Felix memejamkan matanya dan menunduk, dia menarik napas dalam-dalam. Rasanya ini akan sulit ketika Herlinda membawa kata keluarga dalam hal ini, tapi mereka bukanlah keluarga seperti keluarga-keluarga lain kebanyakan.

"Kakak? Lo bilang dia kakak gue? Emang sejak kapan dia menganggap gue adiknya?" tanya Felix pelan. "Kenapa kalian bawa nama keluarga sekarang? Untuk mendapat dispensasi?"

Jleb...

Kata-kata Felix barusan telak menampar Herlinda. Biar bagaimanapun, Felix sepenuhnya benar. Mereka memang tidak pernah mengakui secara langsung kalau Felix adalah adik mereka.

"Kalau," Felix menghela napas panjang dan berbalik menatap Herlinda yang kini menunduk. "Kalau memang kalian menganggap gue sebagai adik kalian harusnya kalian juga menganggap Eli sebagai adik kalian. Eli itu adik gue, biar bagaimanapun, dia adik gue." Ada nada kesedihan dari suara Felix.

Herlinda tercekat. Semua yang Felix katakan memang benar. Dan dia tidak bisa lagi menyangkal.

"Lo udah selesai bicara? Gue mau balik," kata Felix, matanya sudah berkaca-kaca. Dirinya memang selalu emosional apabila ada pembicaraan yang menyangkut status Eli sebagai adiknya. Kenapa semua orang mempermasalahkan status Eli yang hanya anak angkat keluarga mereka.

Tetangga-tetangga mereka sewaktu di Jakarta dulu selalu membicarakan Eli yang katanya tidak mirip papa, mama maupun dirinya. Dan mereka semua berasumsi kalau Eli memang bukanlah anak papa dan mamanya. Memangnya kenapa kalau hanya anak angkat? Toh ketika seseorang sudah masuk kedalam sebuah keluarga, orang tersebut sudah menjadi bagian dalam keluarga itukan.

Herlinda tidak menjawab. Felix bergegas pergi ketika tangan gadis itu memegang lengan Felix.

"Felix aku mohon," Herlinda menengadahkan kepalanya. Wajahnya basah dan matanya sembab.

Felix tertegun.

***

"Kakak tiri Felix?" aku menatap Eli yang mengangguk.

"Namanya kak Herlinda. Dia kakak tiri dari pihak papa kak Felix," kata Eli pelan.

Aku tercenung.

"Berarti, dia juga kakak tirimu?" tanyaku pada Eli yang kemudian menggeleng.

"Bukan. Dia bukan kakak tiriku, kak," jawabnya.

Matanya berkaca-kaca. Aku menatapnya tak mengerti. Kalau gadis itu adalah kakak tiri Felix, otomatis gadis itu juga kakak tiri Eli. Tapi, kenapa Eli tidak mengakuinya?

"Kak Felix juga sebenarnya bukan kakakku. Aku hanya anak angkat," akhirnya tangis Eli pecah saat mengatakan hal itu. Sesuatu yang sangat berat untuk dikatakannya selama ini. Sesuatu yang membuatku terhenyak.

Aku menatap Eli yang tampak rapuh. Ada kesedihan menyeruak dalam hatiku. Pasti sedih menjadi seorang anak angkat.

"Eli diadopsi oleh mama Margaretha waktu umur 6 tahun," Eli mulai bercerita dengan suara serak.

Aku memandang Eli dan melihat gadis kecil itu menghela napas. Tampak sangat berat untuk melanjutkan ceritanya. Aku mengusap kepalanya lembut.

"Mama kandung Eli adalah teman mama Margaretha. Mama dan papa Eli meninggal karena kecelakaan. Sejak saat itu mama Margaretha membawa Eli pulang kerumahnya dan diadopsi," kata Eli.

Eli memandangku dan tersenyum.

"Memangnya kak Sasha tidak heran kenapa kami tidak mirip?" tanya Eli.

Aku menggeleng. "Aku tidak pernah berpikir kalau kalian tidak mirip. Memangnya kalau satu keluarga harus mirip semua?" tanyaku membuat Eli terdiam.

Aku kemudian mengacak-acak rambutnya dan menatap kedua matanya yang sembab.

"Kamu tahu apa yang membedakan anak kandung dan anak angkat?" tanyaku.

Eli menggeleng.

Aku tersenyum. "Anak kandung tumbuh didalam perut ibunya, sedangkan anak angkat tumbuh disini," aku menunjuk dada Eli. "dihatinya," lanjutku membuat senyum di bibir mungil Eli merekah.

"Jadi berhenti berpikir menjadi anak angkat itu sesuatu yang menyedihkan. Kamu harusnya bahagia mempunyai mama dan kakak yang begitu menyayangimu," kataku. Eli mengangguk lalu memelukku.

"Terima kasih kak Sasha," katanya senang. Aku tersenyum.

Felix tersenyum sambil menatap tirai berwarna kuning yang menutupi ranjang rawat Eli. Matanya sedikit berkaca-kaca dan ada kebahagiaan memasuki hatinya.

"Oya, ngomong-ngomong kak Sasha beneran pacaran dengan kak Felix?" tanya Eli sambil mendongak menatapku yang langsung terkejut dengan pertanyaannya yang tiba-tiba.

"A... anu kami tidak," kataku gugup. Eli menatapku curiga.

"Tadi kak Felix bilang kalian pacaran kok," katanya membuat wajahku memerah.

Tiba-tiba tirai disibakkan dan Felix melangkah masuk.

"Kami memang pacaran, Eli," katanya lalu mendekatiku dan merangkul pundakku membuatku salah tingkah.

Aku yakin sekali wajahku semerah tomat sekarang. Aduh, Felix bego. Kenapa Felix harus mengaku pada Eli kalau kami pacaran? Tidakkah dia sadar kalau kami ini hanya pura-pura pacaran?