Chapter 16

Felix membawa kantung bola basketnya dan mengambil sepedanya yang memang dia parkirkan didekat pohon dilapangan basket kompleks.

Waktu sudah hampir jam setengah 6, dia harus segera pulang untuk menghangatkan makanan untuk makan malamnya bersama Eli.

Dia mengayuh sepedanya perlahan, dari kejauhan rumahnya sudah kelihatan. Saat itulah dia melihat siluet Sasha yang turun dari boncengan sebuah motor besar berwarna hitam. Felix mengenalinya. Itu motor Harry.

Felix lalu menghentikan sepedanya ditempat yang tidak kelihatan oleh mereka berdua. Dan mengamati mereka.

"Kenapa dia pulang dengan cowok itu?" bisik Felix. Timbul kemarahan dalam dirinya. Kenapa Sasha pulang bersama Harry? Padahal sudah jelas dan sudah dia tegaskan kalau dia tidak suka Sasha berteman dengan Harry, apalagi sampai pulang bersama. Ada kekecewaan dalam hati Felix.

"Thanks, Har," aku tersenyum tipis tapi raut wajahku sedikit kesal. Aku kesal pada Harry yang tidak mau mendengarkan permintaanku untuk menurunkan aku didepan gerbang kompleks saja. Cowok ini malah membawaku sampai kedepan rumah dengan alasan tanggung dan dia anti menurunkan cewek ditengah jalan.

"Oke, gue duluan, ya," katanya lalu menyalakan mesin motornya dan pergi menjauh. Sepeninggal Harry, aku menatap sekeliling dan menghela napas lega. Sepertinya Felix sedang dilapangan basket, itu kan memang kegiatan rutinnya setiap hari. Aku-pun segera masuk kedalam tanpa sedikitpun menyadari bahwa Felix memperhatikan aku diam-diam.

***

14 Februari 2021...

Hari masih cukup pagi ketika aku sudah sampai disekolah. Aku memang sengaja datang lebih pagi karena Rani ingin meminjam buku catatanku untuk mata pelajaran Sosiologi di jam pertama.

Aku memperhatikan sekelilingku, banyak siswi-siswi yang berdandan dan memakai aksesoris berwarna pink hari ini. Dari mulai bando, anting-anting bahkan kaus kaki dan sepatu mereka semua berwarna pink.

"Elo jadi kasih coklatnya ke kak Mario?" gerombolan siswi kelas 2 berjalan melewati kami dengan heboh.

"Jadi dong. Gue udah sengaja bikin coklat ini dengan penuh cinta," kata salah satu siswi yang memakai rok sedikit pendek.

Aku tersenyum dalam hati. Didalam tasku juga ada sekotak coklat istimewa yang sore kemarin aku beli bersama Harry. Harry membawaku ke sebuah toko coklat yang tidak terlalu ramai. Cowok itu membeli sebatang coklat berukuran besar dan sebuah boneka bear berwarna pink. Aku sendiri hanya membeli sekotak coklat yang kuberi pita dan dibungkus dengan kertas kado.

Aku rasa aku akan memberikan coklat ini pada Felix nanti pada jam istirahat. Cowok itu biasanya menghabiskan waktu istirahat di taman sekolah. Tempat yang cukup nyaman untuk bicara berdua dan aku bisa memberikan coklatku padanya.

Semalam aku sudah memutuskan untuk mengatakan perasaanku yang sebenarnya pada Felix. Entah darimana aku punya keberanian sebesar itu untuk mengatakan padanya tentang perasaanku ini, tapi aku sudah tidak tahan lagi. Aku sudah tidak sanggup menahan perasaanku padanya.

Setiap perhatian-perhatian kecilnya membuatku merasa Felix juga memiliki perasaan yang sama denganku, dengan berbekal keyakinan itu, aku ingin mengatakan padanya. Beruntung hari ini adalah hari valentine, hari dimana setiap orang, siapa saja, cewek maupun cowok bisa mengungkapkan isi hati mereka pada orang yang mereka sukai tanpa harus merasa malu. Dan lagi biasanya ketika kau mengatakan perasaanmu dihari ini, kebanyakan pasti terbalas.

Dari arah gerbang aku melihat sosok Felix masuk kepelataran sekolah. Cowok itu memarkir sepedanya diantara beberapa sepeda milik siswa lainnya.

Dengan wajah tanpa ekspresi dia melangkah memasuki koridor. Aku tersenyum menyambutnya. Tapi sungguh diluar dugaan, Felix melengos dan melewatiku begitu saja. Jangankan menyapaku, menatapku saja tidak.

"Itu Felix'kan? Kok dia cuek gitu sama elo?" Rani mengerutkan kening, sama herannya denganku. Ada apa dengan cowok itu?

Aku mengangkat bahu.

"Gue juga ga tahu," kataku jujur.

Tak lama bel panjang berbunyi nyaring. Jam pelajaran akan segera dimulai. Aku berpisah dengan Rani didepan kelas cewek itu dan masuk ke kelasku sendiri.

Felix duduk sambil matanya menatap tajam kearah depan. Harry masuk kekelas sambil tertawa-tawa dengan beberapa anak cowok kelas mereka. Harry langsung tahu begitu melihat wajah Felix kalau cowok itu sedang marah dan kesal.

"Kemarin kenapa elo pulang sama Sasha?" tanya Felix saat Harry sudah duduk dibangkunya.

Suara Felix terdengar kesal dan tanpa basa-basi lagi.

Harry mendengus lalu tertawa. "Jadi itu sebabnya wajah elo ditekuk dari tadi?"

"Jawab aja pertanyaan gue," sahut Felix ketus.

Harry angkat bahu. "Elo tanyalah sama cewek elo. Kenapa dia mau pulang bareng gue? Yang jelas sih, kemarin sore itu kami menghabiskan waktu berdua. Asik deh."

Felix menoleh pada Harry tampak marah. Akhirnya cowok itu melangkah keluar tanpa mengatakan apa-apa.

Aku berpapasan lagi dengan Felix didepan pintu kelas. Tapi sama seperti tadi, cowok itu tidak menyapaku sama sekali, padahal jelas-jelas dia melihatku. Apa dia marah? Tapi karena apa?

***

Felix tidak kembali sampai jam pelajaran kedua berakhir. Para guru sampai bertanya-tanya, ada masalah apalagi Felix dengan Harry yang dijawab gelengan kepala oleh Harry. Sejak insiden pemukulan oleh Felix, nama mereka berdua memang menjadi terkenal dikalangan guru-guru.

Bahkan tadinya Miss Jenny ingin mereka bertukar tempat duduk namun baik Felix maupun Harry sama-sama menolak. Mungkin mereka sudah berbaikan, begitulah anggapan guru-guru. Apalagi sampai sekarang Felix dan Harry tidak lagi bersitegang.

15 menit lagi bel istirahat akan berbunyi. Aku mulai bimbang apakah harus mengatakan hal itu sekarang karena selain aku mulai gelisah dan berkeringat, aku juga merasa Felix sedang marah padaku. Buktinya cowok itu 2 kali berpapasan denganku tapi dia malah nyuekin aku habis-habisan.

Sementara itu ditaman sekolah.

Felix menatap kumpulan awan yang bergumpal dilangit tanpa berkedip. Sementara matahari bersembunyi dibalik kumpulan awan-awan itu sehingga cuaca siang itu tidak terlalu panas.

Dirinya sedang tidak mood untuk belajar hari ini.

Entah kenapa dia menjadi sangat marah ketika mendengar pernyataan Harry tadi. Dia sendiri bingung. Untuk apa dia marah? Sasha kan bukan pacarnya. Tapi, sekarang kan gadis itu sedang jadi pacar pura-puranya, lalu kenapa gadis itu malah pulang bersama cowok lain? Harusnya gadis itu mengerti perasaannya. Tunggu! Perasaannya?

Tiba-tiba Felix merasa aneh, memang kenapa dengan perasaannya? Apa dia mulai menyukai gadis itu? Sampai-sampai dia marah dan bahkan tidak menyapa Sasha sama sekali hari ini?

Felix teringat coklat yang kemarin lusa dibelinya. Coklat itu dia lempar begitu saja kedalam tempat sampah karena dirinya marah melihat Sasha pulang dengan diantar Harry. Pantas saja sebelumnya gadis itu sms bilang padanya untuk tidak menjemputnya di gerbang. Jadi karena itu?

"Arghhhh. Gue pasti udah gila," Felix mengacak-acak rambutnya sendiri lalu bangkit dengan perasaan jengkel.

"Kenapa gue harus peduli sama apa yang dilakukan cewek itu?" gumam Felix. Akhirnya dia beranjak pergi dari taman menuju kantin sekolah.

Kantin belum terlalu ramai, dan sepertinya tidak akan terlalu ramai hari ini. Kebanyakan pengunjung kantin hari ini pergi menemui para pujaan hatinya ke kelas-kelas. Maksudnya para cewek-cewek yang biasanya menjadi pengunjung terbanyak kantin setiap hari, hari ini tampak berkurang.

Cewek-cewek itu semua sibuk mengunjungi kelas-kelas dimana gebetan mereka berada untuk mengungkapkan perasaan mereka.

Felix memesan sepiring siomay dan es teh manis. Dia kemudian mengambil tempat duduk di pojokan kantin dan mulai makan. Sejak semalam memang dia belum makan. Meski dia yang menghangatkan makan malam, tetapi dia tidak menyentuh makanan itu sama sekali. Tidak mood katanya, membuat Eli dan mamanya terheran-heran.

Tiba-tiba dari depan kantin muncul sekitar 5 orang cewek. Ada yang membawa sekotak coklat dan beberapa ada yang membawa bingkisan. Felix makan dengan acuh tak acuh. Dia tidak menyangka sama sekali kalau gerombolan cewek-cewek itu menuju kearahnya.

"Ada..ada," salah satu dari mereka berteriak kegirangan.

"Kak Felix, terimalah coklatku ini!!" mereka berbicara bersamaan dan serentak lalu meletakkan coklat dan bingkisan mereka didepan Felix yang terkaget-kaget.

"Ih, kok elo pada ngomong barengan sama gue sih? Kan tadi janjiannya ngasih satu-satu," kata seorang cewek berkuncir kuda dengan kesal pada teman-temannya yang lain.

"Abis kita takut nanti kak Felix malah jadi suka sama elo gara-gara elo yang ngasih duluan," kata cewek yang lain.

Felix melongo. "Apaan ini?" tanyanya.

"Coklat buat kak Felix," kata cewek berponi yang wajahnya penuh bintik-bintik.

"Kalian ambil lagi saja. Gue ga butuh coklat-coklat ini," kata Felix kemudian melanjutkan makannya. Cewek-cewek itu terkejut dengan ucapan Felix barusan.

"Kok kakak bilang begitu? Kami sudah susah payah membelinya," kata cewek yang lain yang langsung diiyakan oleh teman-temannya.

Felix meletakkan garpunya dengan kasar menimbulkan suara berisik. Dia lalu menatap cewek-cewek itu yang balas menatapnya dengan pandangan menuntut.

"Kalian ini ngerti ga sih? Gue tuh ga butuh coklat kalian!" bentak Felix marah.

Deg... nyali cewek-cewek itu langsung ciut saat dibentak oleh Felix. Para pedagang dikantin dan pengunjung-pengunjung kantin yang lain bergantian menatap Felix dan gerombolan cewek-cewek yang sebagian besar matanya sudah mulai berkaca-kaca dan menangis.

Felix memegang kepalanya yang tiba-tiba pusing.

"Maaf. Gue lagi banyak pikiran. Thanks coklatnya, nanti gue makan," kata Felix sambil menghela napas panjang.

Dia tidak sampai hati melihat cewek-cewek itu menangis. Karena itu lebih baik dia mengiyakan pemberian cewek-cewek itu dan membuat mereka senang. Setidaknya mereka akan merasa dihargai.

Begitu mendengar Felix menerima coklat-coklat mereka, cewek-cewek itu langsung berhenti menangis dan tersenyum kegirangan.

"Terima kasih kak Felix," kata mereka.

"Tapi, sori, gue ga bisa balas perasaan kalian atau apalah itu," kata Felix pelan.

Mereka semua terdiam mendengar kata-kata Felix barusan.

"Kami mengerti kak, kakakkan punya pacar," kata salah satu dari mereka dan langsung diiyakan oleh yang lainnya.

Felix tertawa getir. "Terlepas dari gue punya pacar atau tidak, gue tetap ga bisa membalas perasaan kalian."

Mereka saling berpandangan lalu tertawa.

"Kami'kan hanya ingin memberikan coklat, kami juga tidak berharap kakak membalas perasaan kami," kata cewek-cewek itu.

Felix tersenyum tipis. Sesuatu yang belum pernah dilihat oleh mereka selama ini.

"Kalo gitu gue akan terima dengan senang hati," kata Felix. Cewek-cewek itu lalu pergi dari kantin dengan perasaan senang.

Felix kembali ke kelas menjelang bel masuk dengan membawa beberapa bingkisan dan kado-kado coklat. Semuanya dia taruh dalam satu kantong plastik yang dia minta dari Mang Pardi yang jualan soto dikantin.

"Wah, tuh coklat banyak amat, Lix. Bagi dong satu," kata Dido dari bangku belakang.

Felix menghampiri Dido dan teman-temannya yang sedang duduk bergerombol sambil membuat kelas ribut.

"Nih, elo ambil aja," kata Felix.

Dido melotot. "Beneran nih? Padahal gue cuma bercanda loh," kata Dido yang kemudian membuka ikatan kantong plastiknya dan memilih satu dari beberapa coklat yang dibungkus cantik tersebut. "Gue ambil satu yah."

"Gue juga mau," kata Adit yang ikut-ikutan membuka plastik. Mereka adalah gerombolan cowok-cowok tidak laku yang setiap tahun tidak pernah mendapat coklat dari cewek manapun, jadi begitu ada teman mereka yang dapat coklat banyak, biasanya mereka memalaknya.

"Rik, elo mau ga?" tanya Yudi pada Riko yang sedang asik mencatat.

Riko menoleh dan menggeleng.

"Elo gimana sih? Dia mah udah dapet dari si Yenni. Mana mau dia coklat dari cewek lain," kata Dido sembari tangannya menjitak kepala Yudi.

"Yah, siapa tahu aja. Si Felix'kan dapet coklat banyak, sayang aja kalo ga dibagi-bagi. Mubazir," kilah Yudi.

"Enak nih coklatnya. Elo hoki amat, bolos 2 mata pelajaran, balik-balik bawa sekantong coklat. Kalo gini mah gue ikut elo bolos tadi," kata Dido diikuti tawa yang lainnya.

"Kalo elo sih, bolos ga bolos ga bakal dapet coklat, Do," kata Ryan.

"Sialan lo," Dido mendengus lalu menjitak kepala Ryan.

Felix tak berkomentar, cowok itu lalu kembali ketempat duduknya. Meninggalkan seplastik coklat di tempat Dido dan kawan-kawannya.

"Loh, Lix. Ini coklat elo ga dibawa?" tanya Dido.

"Elo-elo pada abisin dah," Felix kemudian duduk dibangkunya.

Tak lama bel masuk berbunyi lagi, aku masuk kekelas berbarengan dengan Harry yang kebetulan bertemu di koridor.

"Itu buku apaan, Sha?" tanya Harry ketika melihatku membawa 2 buah buku yang halamannya tebal. Kayaknya berat.

"Oh, ini buku referensi buat fisika sama kimia," kataku. Aku memang menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan tadi bersama Rani. Mencari buku dan meminjamnya.

"Sini gue bantu bawain," kata Harry.

"Ga usah," kataku mengelak. Tapi Harry tetap mengambil buku-buku itu dari tanganku sambil berkedip.

"Ehem... tolong yah, jangan mesra-mesraan didepan umum kayak gitu," teriak Dido dari bangkunya, lalu terdengar suara cekikikan dari teman-temannya yang lain.

Wajahku memerah. Saat itu aku melihat Felix yang menatap tajam kearahku, namun saat aku membalas tatapannya, cowok itu langsung membuang muka.

Harry berjalan ke bangkuku lebih dulu lalu menaruh buku-buku itu diatas meja, cowok itu kemudian kembali ke bangkunya dimana Felix sedang duduk menatapnya. Harry pura-pura tak melihat lalu duduk seperti orang tak tahu apa-apa.

Harry tahu kalau Felix sedang menahan rasa kesalnya, dia memang sengaja melakukan itu didepan Felix. Sengaja mendekati Sasha dengan terang-terangan. Dia sangat senang melihat Felix yang marah. Memang rencana balas dendamnya dia terpaksa batalkan karena dia sudah berjanji pada Herlinda, kakaknya. Tapi, mendekati pacar Felix menurutnya bukanlah balas dendam, karena diam-diam Harry juga tertarik pada Sasha, dan ingin merebutnya untuk dijadikan miliknya.

***

Felix pulang tanpa pamit padaku hari itu. Entah kenapa dia bersikap aneh hari ini. Bersikap seperti orang yang sedang marah padaku, tapi aku bahkan tidak tahu kenapa dia marah. Itu karena Felix memang tidak pernah terbuka dan jujur padaku.

Dan cowok itu bahkan tidak menungguku di gerbang seperti biasanya. Hal ini mulai membuatku sebal.

Aku memutuskan untuk menemui cowok itu dan bertanya padanya apa salahku. Sekilas aku lihat jam yang melingkar manis dipergelangan tanganku, sudah pukul 4. Aku memang pulang sedikit terlambat hari ini karena tadi menemani Rani yang sedang memfotocopy banyak catatan mata pelajaran.

Biasanya di jam-jam seperti ini cowok itu ada dilapangan kompleks. Mungkin setelah sampai rumah nanti aku langsung saja ke lapangan kompleks.

Aku-pun mempercepat langkah untuk segera sampai kerumah.

***

Harry menatap coklat & boneka yang sudah dibelinya kemarin. Hanya demi bisa mendekati Sasha, dia jadi membeli barang-barang itu dengan alasan untuk diberikan ke pacarnya. Padahal dia tidak punya pacar sama sekali.

"Gue buang-buang duit aja," bisiknya pelan.

Mau dibuang sayang. Mau dikasih ke cewek, dia bingung mau kasih ke siapa. Dia merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur. Memandang langit-langit.

"Apa gue kasih ke Sasha aja yah?" pikir Harry. "Tapi nanti dia curiga ga yah? Kan gue bilang tuh boneka sama coklat buat pacar gue."

Harry membalik-balikkan tubuhnya bingung.

"Yah, masalah itu nanti gue pikirin lagi deh," pikir Harry kemudian bangkit dan membawa boneka serta coklatnya untuk diberikan ke Sasha. Dia bergegas turun ke basement tempat motornya di parkir dan memacu kendaraannya itu ke rumah Sasha.

***

Aku mengayuh sepedaku pelan-pelan. Aku menaruh coklatku dikeranjang depan sepedaku. Meskipun aku sedikit kesal pada Felix, aku harus memberikan coklat ini padanya. Karena aku memang membelinya untuk cowok itu.

Aku melihat lapangan kompleks yang sudah semakin dekat. Tampak sosok Felix yang sedang mendrible bola basket sendirian. Dia memang tidak ada teman main disini. Anak-anak seusia kami sangat jarang disini. Karena itu Felix selalu bermain sendirian. Tidak mungkinkan kalau dia bermain basket bersama bocah-bocah. Kalau-pun dia bermain dengan bocah-bocah itu, bisa dipastikan Felix akan menang mutlak.

Felix melihat Sasha yang masuk kelapangan kompleks dan memarkir sepedanya disebelah sepedanya.

"Mau ngapain dia kesini?" bisik Felix dalam hati. Kekesalan yang tadi sempat hilang karena bermain basket kemudian muncul lagi karena kedatangan Sasha yang tidak dia duga-duga ini.

Aku tersenyum dan menghampirinya.

"Felix."

"Ngapain elo kesini?' tanya Felix tanpa memandangku sedikitpun. Aku terkesiap. Kemana sikap hangat yang kemarin ditunjukkan Felix padaku? Kenapa hari ini dia begitu dingin? Dan dia bahkan lupa untuk memanggil aku dan kamu.

"Ah, anu," aku mengangsurkan bungkusan berbentuk kotak yang sudah di bungkus rapi dengan pita dan kertas kado. "Aku mau memberikanmu ini."

Felix meliriknya tak acuh.

"Gue ga butuh coklat elo," kata Felix yang kemudian memasukkan bola basketnya kedalam ring.

Aku terperangah.

"Kamu ini kenapa? Sejak tadi pagi mengacuhkan aku. Tidak mau menyapa sama sekali, menolak coklatku dan sekarang-pun memanggil gue elo."

"Kenapa memangnya?"

Aku benar-benar tidak habis pikir pada sikap Felix hari ini.

"Maksudku bukan seperti itu. Hanya saja hari ini sikap kamu aneh," kataku pelan.

"Perasaan elo aja," kata Felix. Cowok itu mendrible bolanya dan memasukkannya dengan kasar. Felix sedang berusaha menekan emosi yang menderanya.

Aku menatapnya ragu. "Mungkin," sahutku pelan.

"Kalau begitu bisakah kamu terima coklatku ini?" tanyaku sambil terus berusaha membujuknya menerima coklatku.

Felix menatap bungkusan itu sejenak lalu mengambilnya. Sejenak aku merasa senang karena dia mengambil coklatku tapi sedetik kemudian kesenangan itu berubah menjadi kekecewaan yang sangat dalam saat Felix melemparnya begitu saja ke tanah. Aku yakin kotak coklat itu pecah karena aku bisa mendengarnya berbunyi dengan cukup keras saat kotak coklat itu membentur tanah. Aku menatapnya terperangah.

"Felix, kamu."

"Biar gue katakan sekali lagi biar elo jelas. Gue ga butuh coklat elo," kata Felix.

"Kalau kamu ga butuh kenapa dibuang? Aku udah susah payah beli buat kamu." mataku mulai berkaca-kaca.

"Karena elo maksa gue buat nerima tuh coklat. Kenapa ga elo kasih aja coklat itu ke Harry?" rahang Felix mengeras. Dia tidak menatapku sama sekali.

Emosiku sudah mulai naik dan air mataku siap tumpah kapan saja. Ketika mendengar dia menyebut-nyebut nama Harry, aku sudah bisa menduga bahwa kemarin Felix melihatku pulang bersama Harry dan hal itu yang membuat sikapnya berubah kembali jadi lebih dingin dan lebih ketus.

"Ah ya, sekalian gue mau bilang ke elo. Pacaran pura-pura kita, sebaiknya kita hentikan aja sekarang," Felix melirik Sasha yang sedang menunduk. Dia mendengus, dia tidak tahu kalau gadis itu sedang mati-matian menahan air matanya agar tidak jatuh.

"Kalau kita putuskan, elo bisa jadian dengan Harry. Dan gue bisa jadian dengan cewek lain," kata-kata Felix membuatku mendongak. Air mataku sudah merebak dan mengalir.

Felix melirik kearahku dan dia tampak sangat terkejut.

Aku menghapus air mataku yang tidak mau berhenti mengalir dengan punggung tangan. Lalu tertawa kecil.

"Maaf, karena hubungan pura-pura kita membuat elo jadi terjebak bersama gue. Maaf juga karena sampai sekarang ini gue ga ngerti perasaan elo, jalan pikiran elo," aku terisak.

"Elo benar. Mungkin sebaiknya kita hentikan hubungan pura-pura kita supaya elo juga bisa pacaran sama cewek lain," aku berhenti untuk menarik napas. Rasanya dadaku sesak karena menahan rasa sedih yang tiba-tiba melandaku.

Felix menatapku.

"Sha..,"

"Gue belom selesai bicara," kataku lalu menatapnya tajam. Felix tidak berusaha membuang muka, cowok itu malah balas menatapku dengan tatapan yang entahlah, mungkin kasihan.

"Gue salah karena udah menyayangi elo. Gue salah karena udah jatuh cinta sama elo. Padahal gue tahu, elo ga bakal membalas perasaan gue."

Felix terpana menatapku. Dia menatapku tanpa berkedip.

Aku menunduk. Isakanku tambah keras. Untung saat ini kondisi lapangan sedang sepi. Dan di jalanan kompleks tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa motor yang berlalu-lalang.

"Asal elo tahu. Kemarin sore gue bertemu Harry tanpa sengaja dijalan. Gue ga ngapa-ngapain sama dia. Dia cuma kebetulan mau beli coklat juga kayak gue. Gue...,"

Felix tampak shock. Dia menghampiriku dan baru saja ingin memelukku saat aku tepis tangannya.

Aku kembali menatapnya setelah menghapus sisa-sisa air mataku yang aku rasa masih akan keluar.

Aku menarik kedua bibirku membentuk seulas senyum. Senyum yang dipaksakan.

"Mulai besok, kita bukan lagi sepasang kekasih pura-pura. Thanks karena udah kasih gue kesempatan buat bersama elo biarpun cuma sebentar," selesai berkata demikian, aku berbalik dan menghampiri sepedaku. Tangisku pecah lagi.

"Sha," panggil Felix. Felix bisa melihat punggung Sasha yang bergetar-getar. Gadis itu menaiki sepedanya dengan linglung dan masih menangis.

Felix menatap kepergian Sasha dengan nanar. Banyak hal tak terduga yang dikatakan gadis itu. Dan hal tak terduga itu membuatnya menyesal.

Felix memandang coklat pemberian Sasha. Dia memungutnya dan duduk dibawah tiang ring basket.

Bungkusannya sudah tak beraturan. Saat dia membuka bungkusnya, secarik kertas jatuh. Sebuah kartu ucapan dengan bentuk hati dan ada tulisannya didalamnya.

Dear Felix,

Happy Valentine. Ini coklat pertama yang aku berikan untuk seorang cowok. Tadinya aku ingin membuat coklat sendiri, hanya saja aku tidak bisa membuatnya. Hehehe...

Semoga kamu senang menerimanya.

Sasha

Felix tersenyum hampa. Rasanya ada sebuah palu besar yang menghantam dadanya ketika membaca surat itu dan juga ketika dia membayangkan perasaan yang dialami oleh Sasha.

Kemudian dia melihat coklat-coklat pemberian Sasha yang sudah patah jadi 2. Begitulah perasaan yang dialami oleh gadis itu saat ini. Patah karena kesalahpahaman dan kemarahan dirinya.

"Kenapa gue bego banget?!" Felix mendesah. Dia membenamkan kepalanya diantara kakinya sambil mengacak-acak rambutnya. Kacau.

***

Aku berlari menemui mama yang sedang duduk di kebun belakang sambil membaca majalah fashion. Kedua mataku merah dan tampak bekas-bekas air mata disudut mataku.

Semua orang menatapku dengan pandangan keheranan saat aku melintas dengan sepeda yang ku kayuh dengan kecepatan tinggi. Aku ingin segera sampai dirumah.

Mama menatapku bingung ketika tiba-tiba saja aku menghamburkan diriku kepelukan mama dan mulai menangis sesenggukan.

"Sasha?!"

Masih terisak, aku berkata, "Hatiku sakit, ma. Sakit banget. Padahal aku menyayangi dia. Tapi, kenapa dia sejahat itu padaku?"

Mama membelai rambutku. "Siapa yang kamu maksud, sayang?" mama mengerutkan kening. Penasaran dengan orang yang dicintai putrinya ini dan orang yang sudah membuatnya menangis.

Aku melepaskan pelukanku dari mama. Sambil sesenggukan, aku menatap mama dengan sorot mata sedih.

Mama balas menatap Sasha, menunggu jawabannya. Dan bak disambar petir disiang bolong, mama terperangah tak percaya saat putrinya itu menyebut satu nama yang hingga kini tak disukainya dan tak pernah dia harapkan akan jadi orang yang dicintai putrinya. Felix.