Chapter 17

Kami bagai 2 orang yang tak saling mengenal. Kami tidak lagi saling menyapa, tidak lagi saling tersenyum dan tidak lagi bergandengan tangan. Sosoknya yang dulu sering aku rindukan, kini tidak lagi bersarang dipikiranku. Aku memang tidak ingin mengenalnya lagi setelah hari itu. Dirinya sudah kukubur bersama dengan perasaanku yang hancur dan semua kenangan tentangnya.

***

Felix melangkah keluar menuntun sepedanya bersama dengan Eli. Dia menatap rumah didepannya. Mobil papa Sasha masih terparkir manis di garasi. Berarti gadis itu belum berangkat sekolah. Sudah beberapa hari berlalu sejak insiden di lapangan basket kompleks dan sudah beberapa hari ini juga Sasha menghindarinya.

Gadis itu selalu pura-pura tidak melihatnya, mengacuhkannya disekolah, tidak tersenyum padanya, bahkan gadis itu selalu mereject teleponnya dan menolak membalas smsnya. Felix putus asa. Ada rasa kehilangan dalam dirinya.

Rasa kehilangan yang membuatnya menyadari kalau dirinya juga menyayangi gadis itu dan ingin melindunginya. Tapi perbuatannya jugalah yang telah melukai gadis itu. Dan itu membuat Felix membenci dirinya sendiri.

"Aku berangkat, ma," Felix menoleh saat mendengar suara itu. Sasha menuruni undakan diterasnya dan berjalan ke samping pintu mobil. Papanya menyusul dibelakangnya setelah cipika cipiki dengan mamanya. Felix sedikit kaget melihat perubahan pada diri gadis itu. Sasha memotong rambutnya yang panjang menjadi potongan pendek sebahu.

"Kak Sasha potong rambut, ya?" Eli bicara sendiri. "Sayang sekali yah, padahal rambut kak Sasha panjang dan indah. Tapi model yang sekarang juga bagus. Jadi kelihatan imut."

Tanpa sadar Felix mengangguk dan terus menatap ke arah halaman rumah Sasha.

Aku membuka pintu mobil dengan tergesa. Berharap untuk tidak melihat Felix. Tapi kemudian Eli memanggilku dengan nyaring sambil melambaikan tangannya membuatku tidak sampai hati apabila tidak membalasnya. Aku balas melambai pada Eli yang kemudian mengayuh sepedanya ke sekolahnya, dan meninggalkan Felix yang masih terus menatap kearahku. Aku bisa merasakan tatapan tajamnya itu. sekilas kami bertatapan, tapi itu hanya sebentar. Aku segera melengos dan masuk kedalam mobil.

***

Felix masuk kekelas dengan langkah perlahan. Ketika sampai dimejaku cowok itu berhenti dan menatapku. Sementara aku? Aku mati-matian menunduk pura-pura membaca buku yang kebetulan memang aku pinjam dari Rani.

Kemudian terdengar helaan napas panjang dari mulut cowok itu. Aku sendiri menarik napas lega saat cowok itu pergi ke bangkunya sendiri.

Felix melangkah ke bangkunya, meletakkan tasnya dimeja dan menatap punggung Sasha. Dia ingin sekali mengajak gadis itu bicara. Dia ingin sekali mengatakan pada gadis itu kalau dia juga menyayanginya. Tapi sulit. Sasha selalu menolak bicara padanya, memandangnya saja tidak mau.

Harry masuk dengan penuh semangat yang menggebu-gebu. Sudah beberapa minggu belakangan ini dia tidak lagi mengganggu Felix. Baginya balas dendam bukan lagi jadi prioritasnya. Sekarang dia sedang gencar-gencarnya mengejar Sasha. Apalagi Sasha kayaknya lagi marahan dengan Felix karena sudah beberapa hari ini mereka tampak tak saling bicara dan tidak lagi pulang bersama.

"Lagi baca apa, Sha?" tanya Harry ketika cowok itu berhenti didekat meja Sasha.

Aku mendongak, lalu tersenyum tipis. "Ini nih," aku mengangkat bukunya dan membiarkan Harry melihat judul buku yang tertera disampulnya.

"Wah. Ini buku yang bagus, loh. Gue udah baca sampai abis," kata Harry dengan nada bangga.

"Yang bener?" aku menatapnya sedikit sangsi. Sepertinya Harry bukan tipe cowok yang suka membaca.

"Iya dong. Ini kan penjahatnya sebenernya bibinya," kata Harry dengan wajah serius.

"Ah, jangan dikasih tahu dong. Nanti gue baca ga seru lagi," kataku.

"Ahahahah... lagian ga percayaan gitu. Gini-gini gue hobi baca, loh. Eh, ngomong-ngomong elo potong rambut? Kok jadi pendek gini?" tanya Harry.

"Hehe... iya. Jelek ya?" tanyaku terkekeh.

"Ngga, kok. Bagus malah. Jadi tambah imut," Harry nyengir. Dia lalu menuju bangkunya dimana Felix menyambutnya dengan tatapan dingin.

"Elo ada maksud apa deket-deketin Sasha?" tanya Felix sambil berbisik.

Harry yang sedang mengeluarkan bukunya melirik Felix. "Gue ga ada maksud apa-apa, tuh. Gue cuma ngajakin dia ngobrol. Dia asik juga diajakin ngobrolnya. Kayaknya gue mulai naksir sama dia," kata Harry.

Felix menoleh. Ditatapnya Harry seakan cowok itu mengatakan hal yang aneh. Tanpa Felix sadari perlahan kecemburuan merasuki hatinya.

***

Felix memperhatikan Sasha yang keluar sambil menenteng buku tulis dan pulpennya. Gadis itu menemui Rani yang memang sedang menunggu didepan kelas. Jam istirahat memang baru beberapa menit berbunyi. Dan Felix tahu mau kemana Sasha. Pasti gadis itu akan menghabiskan waktu di perpus. Membaca-baca buku referensi. Sejak pertengkaran mereka bahkan jauh sebelum pertengkaran itu, atau lebih tepatnya sejak Eli masuk rumah sakit, mereka sudah tidak pernah lagi belajar bersama.

Sebenarnya Felix ingin sekali, namun waktu itu dia tidak bisa karena Eli masih memerlukan bantuan dan perawatan selama dirawat dirumah. Tapi sekarang lain, Felix sudah bisa mengikuti pelajaran tambahan seperti dulu lagi, hanya saja, dia tidak bisa lagi belajar bersama Sasha. Insiden di lapangan basket membuat hubungan mereka retak, dan sepertinya akan sulit untuk di perbaiki.

"Kok Felix udah ga pulang bareng elo lagi, Sha?" tanya Rani. Gadis itu menatapku dari balik buku kimia yang dipegangnya. Aku yang sedang menulis catatan rumus mendongak lalu kembali menekuni catatanku.

"Males pulang bareng dia," sahutku. Mulutku komat-kamit membaca nama-nama latin yang tertulis di buku paket referensi biologi, lalu kemudian mencatatnya.

Rani mengerutkan kening. Aku tahu gadis itu pasti keheranan dan ingin tahu. Hanya saja aku masih enggan memberitahukan hal yang sebenarnya pada Rani. Mungkin nanti aku akan memceritakannya pada Rani, tapi sekarang bukanlah waktu yang tepat.

Tiba-tiba terdengar suara pekikan heboh gadis-gadis dari arah depan perpus. Dan pekikan mereka bersumber karena kedatangan Felix yang tiba-tiba muncul di depan pintu perpus.

"Ada apaan, sih? Kok ribut amat?" tanya Rani. Dia menjulurkan kepalanya tinggi-tinggi untuk melihat ada kejadian apa didepan pintu perpus yang posisinya memang persis sejajar dengan tempat kami duduk.

"Ga tau," aku angkat bahu tak acuh.

Karena tidak berhasil menemukan sumber keributan. Akhirnya gadis itu bangkit berdiri.

"Eh, gue mau cari buku fisika dulu ya," katanya yang aku balas dengan anggukan. Sejurus kemudian Rani menghilang dari hadapanku dan menuju rak-rak berisi buku referensi fisika.

Felix mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru perpus. Dia lalu mendapati Sasha yang sedang serius mencatat dibuku tulisnya. Felix bergegas menghampiri Sasha dan berdiri didekat gadis itu.

Aku mengenali wangi ini. 2 bulan bersamanya membuatku sangat kenal pada wangi tubuhnya. Wangi yang sebenarnya masih sangat aku rindukan. Aku melihat sepatu Felix yang posisi berdirinya tepat disampingku.

"Sha," panggilnya.

Oh, Tuhan, rasanya sudah lama sekali aku tidak mendengarnya memanggil namaku.

"Aku mau bicara," kata Felix perlahan. Aku masih berusaha tak acuh. Aku masih menunduk sambil mencatat. Dan alhasil tulisanku jelek bukan main karena aku tidak sanggup menahan perasaan gugup dan emosi yang tiba-tiba melandaku.

Beberapa menit berlalu, Felix menatap Sasha dengan wajah putus asa sementara Sasha masih tidak mau mendongak menatapnya. Rani datang membawa setumpuk buku dan terheran-heran dengan kehadiran Felix dimeja mereka.

"Eh, elo, Lix. Tumben kesini," kata Rani basa-basi tapi tak diacuhkan oleh Felix.

Aku menggenggam erat pulpenku seakan ingin meremukkannya. Aku sudah tidak bisa menulis lagi, setidaknya untuk saat ini, dengan kehadiran Felix didekatku. Aku tahu kami jadi tontonan pengunjung perpus yang kini malah menatap kami dengan penasaran. Bahkan beberapa orang dari luar ikut masuk ke perpus dan menyemut didepan pintu perpus.

Buru-buru aku merapikan buku dan pulpenku, lalu beranjak berdiri.

"Gue duluan, Ran," kataku cepat, aku melangkah secepat mungkin melewati sisi lain meja yang kami tempati. Tapi ternyata langkahku kalah cepat, Felix dengan sigap memegang tanganku dan membalikkan tubuhku, menghadapnya.

"Elo mau apa, sih?" aku berusaha melepaskan genggaman tangannya.

"Sha, aku mau bicara," kata Felix sopan. Aku menatapnya.

"Udah ga ada yang perlu dibicarain lagi. Lepasin gue," kataku kesal. Sorot mata Felix berubah menjadi sedih.

"Ada yang perlu kita bicarakan. Ini mengenai waktu itu," kata Felix.

"Bagi gue ga ada yang perlu dibicarain lagi," kataku.

"Sha!!" Felix membentakku. Kini sorot matanya menjadi tajam dan garang. Aku mencelos. Dan tiba-tiba aku bergidik menghadapi Felix yang seperti ini.

Rani memandang kami dengan kebingungan luar biasa. Begitu pula semua pengunjung dan penonton yang hadir. Mereka semua saling berbisik.

"Felix, tolong jangan teriak-teriak diperpus!" tiba-tiba muncul Pak Supri, penjaga perpus yang baru saja kembali dari ruang guru. Pak Supri terheran-heran melihat kerumunan didepan pintu perpusnya dan bertanya-tanya ada apa sampai perpusnya yang biasanya sepi kini menjadi ramai, dan kini dia tahu apa sebabnya.

"Kalian tolong jangan berkerumun disini," kata pak Supri pada anak-anak yang masih menonton. Bahkan Harry ada diantara kerumunan itu. Cowok itu langsung menuju perpus saat mendengar berita bahwa ada kejadian menarik antara Felix dengan seorang gadis diperpus.

Anak-anak itu tidak menggubris pak Supri. Mereka bahkan tidak mendengarkan pak Supri karena terlalu fokus pada pemandangan didepan mereka.

Aku bisa merasakan kedua mataku basah. Dan kulihat Felix terkejut.

"Sha," Felix melepaskan tangan Sasha dan merogoh kantung celananya untuk mengambil saputangan.

"Elo mau apalagi, sih? Kita udah ga ada hubungan apa-apa lagi. Masih belum cukup elo menyakiti hati gue?" kataku terisak.

Felix menatap Sasha nanar. Tidak menyangka akan kata-kata yang dilontarkan Sasha.

"Gue mohon, jangan ganggu gue lagi," kataku. Rani mendekatiku lalu memeluk pundakku. Meski aku tahu Rani tidak mengerti apa yang terjadi tapi dia cukup peka untuk mendampingiku. Rani menatap tajam Felix yang kini menunduk.

"Apa yang udah elo lakukan pada Sasha?" tanyanya.

"Gue..." Felix menggeleng.

"Sha, aku minta maaf," kata Felix pelan. Aku mengangkat tangan kiriku dan menyuruh Felix untuk diam.

Tanpa pikir panjang, aku segera mengambil buku dan pulpenku yang terjatuh, dan buru-buru meninggalkan ruang perpus. Menerobos kerumunan orang-orang yang memandangku penasaran dan meninggalkan Felix.

***

Aku ijin pulang lebih awal dengan alasan tidak enak badan. Rani menemaniku sampai ke halte bis dan terus memandangiku dengan wajah khawatir. Tadinya cewek itu mau mengantarku sampai ke rumah, tapi aku menolak. Aku tidak mau merepotkan siapapun.

Mama sendiri sedikit terkejut dengan kepulanganku yang tiba-tiba, karena mama tahu saat itu jam sekolah masih belum berakhir. Mau tak mau aku menjelaskan apa sebabnya dan itu membuat mama marah.

"Apa perlu mama menegur dia untuk tidak mengganggu kamu lagi, sayang?" tanya mama kesal sambil mengusap kepalaku lembut. Aku menyembunyikan diri dibalik selimut tebal. Mataku sedikit sembab, makanya mama membawakan kompres agar mataku tidak kelihatan terlalu bengkak.

Papa belum tahu sama sekali masalah ini. Aku juga tidak ingin beliau tahu. Aku sudah cukup membuat mama khawatir dengan masalah pribadiku yang menurutku tidak terlalu penting.

Makanya aku tidak ingin menambah kekhawatiran papa juga. Mama juga hanya tahu sebatas perasaanku pada Felix. Aku tidak memberitahu semuanya pada mama. Karena aku merasa bersalah telah mengabaikan pesan mama dulu yang selalu mengatakan untuk tidak terlalu dekat-dekat dengan Felix.

"Sebaiknya kamu pindah sekolah saja, yah, Sha," kata mama membuatku terlonjak bangun.

"Aku tidak mau, ma."

Mama menatapku lembut. Walaupun harus ku akui mama tegas dan galak, tetapi aku tahu hati mama sangat baik dan penuh kelembutan, selain itu mama juga sangat menyayangiku.

"Pindah sekarang tanggung, ma. Sebentar lagi aku lulus," kataku.

Mama mengangguk. "Mama mengerti."

Aku memeluk mama. "Ma, maaf yah Sasha udah bikin mama khawatir," bisikku ditelinga mama.

Mama mengusap-usap rambutku. "Tidak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja,"

***

Semua akan baik-baik saja. Aku rasa perkataan mama benar. Semuanya akan baik-baik saja. Meski setelah insiden diperpus itu aku dan Felix kembali jadi orang tenar lagi satu sekolah, tapi itu tak berlangsung lama. Dalam beberapa hari keadaan menjadi kondusif kembali dan lebih tenang. Tapi, dari insiden di perpus itu akhirnya semua orang tahu kalau aku dan Felix putus.

Banyak dari mereka yang senang dengan berita ini dan mereka terang-terangan menunjukkannya didepanku yang kebanyakan adalah cewek-cewek. Mereka juga bahkan lebih berani lagi mendekati Felix yang sekarang tampak semakin dingin.

Meski diwaktu pulang kami sering berpapasan di kompleks perumahan Nusa Indah, tapi cowok itu tidak lagi berusaha untuk mengajakku bicara. Dia juga tidak lagi mau memandang wajahku. Aku rasa aku lebih lega dengan keadaan yang seperti ini. Semua kembali seperti dulu, seperti waktu aku masih belum dekat dengannya dan menjadi pacar pura-puranya.

Kadang aku merasa 2 bulan itu seperti mimpi, yang akhirnya menyakitkan. Tapi aku sadar itu adalah kenyataan. Meski aku dan Felix seperti 2 orang yang tak saling kenal, aku sendiri masih cukup dekat dengan Eli. Gadis kecil itu selalu mengirim pesan dan bertanya apa yang terjadi antara aku dengan Felix. Dan kenapa aku tidak lagi main kerumahnya.

Dari Eli juga aku mendapat informasi tentang Felix. Cowok itu sekarang selalu pergi ke warnet setelah selesai bermain basket. Tidak lagi makan malam dirumah. Menurut Eli, Felix tampak kacau. Dan Eli mengkhawatirkan kakaknya itu. Aku sendiri tidak tahu harus menjelaskan apa padanya. Gadis itu masih terlalu kecil untuk mengerti tentang masalah orang dewasa. Jadi aku memilih untuk diam saja.

***

"Ah legaaaa," Rani menghela napas panjang dengan wajah sumringah. Aku yang duduk disamping ikut menghela napas panjang.

Hari ini adalah hari terakhir ujian try out. Setelah sekitar 3 hari kami terus berkutat dengan soal-soal bakal ujian Nasional, setidaknya hari ini kami bisa menghirup udara segar.

"Eh, hari ini kita mau kemana?" tanyaku pada Rani yang tampak berpikir sejenak. Ide nongkrong hari ini adalah idenya. Dan itu tumben sekali terjadi. Biasanya Rani paling susah diajak jalan. Dia selalu punya segudang alasan untuk membuatku tidak jadi mengajaknya.

"Gimana kalo kita ke Gramedia? Gue pengen cari buku referensi tambahan buat biologi. Kayaknya kemaren gue banyak salah isi jawaban, deh," katanya membuatku melongo.

"Raniiiii," aku memelototinya.

Rani nyengir. "Sori-sori. Abis gue bingung mau kemana. Guekan orang rumahan. Jadinya jarang tahu tempat nongkrong bagus disini."

Aku menepuk jidat. Rani ini sudah belasan tahun tinggal di Bandung dan dia tidak tahu tempat yang bagus buat nongkrong melepas penat sehabis ujian. Payah banget nih anak.

"Lo sendiri ada ide?" tanya Rani.

Aku menggeleng. Aku tidak tahu mau jalan kemana. Aku juga tidak terlalu mengenal kota Bandung dengan baik. Biarpun sudah setahun lebih aku tinggal disini. Menyedihkan bukan.

"Terus kita kemana dong? Masa pulang?" tanya Rani. Aku garuk-garuk kepala. Tiba-tiba terlintas satu tempat yang sudah lama ingin aku datangi lagi. Dulu aku pernah mendatanginya bersama Felix.

Taman kota belakang komplek perumahanku.

***

"Gue baru tahu ada tempat kayak gini di Bandung," kata Rani saat kami memasuki pelataran taman yang rindang. Dulu sewaktu melewati taman ini bersama Felix, aku tidak terlalu memperhatikan setiap sudut taman ini. Tapi hari ini datang kesini, aku bisa melihat setiap sudut tempat ini dengan lebih jelas. Taman ini memiliki fasilitas yang cukup lengkap, ada jogging track, arena bermain anak dan juga taman bunga dengan hamparan rumput pendek disekelilingnya.

"Ah, norak lo," kataku bangga. Rani terkekeh.

"Kita duduk disitu aja, yuk," ajak Rani. Dia duduk dibangku panjang yang menghadap taman bunga. Tidak banyak orang ditaman siang itu. Hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang, itupun hanya sekedar lewat dan tidak duduk seperti yang kami lakukan, dan ada beberapa penjaja makanan dan minuman dingin.

Rani mencomot sebuah pisang goreng yang masih panas disebelahnya. Kami memang sengaja mampir beli gorengan dulu untuk mengganjal lapar.

"Disini enak, yah. Segar. Otak gue kayak fresh lagi,' Rani memandang taman didepannya sambil mengunyah pisang. Sesekali gadis itu mengernyit karena pisang goreng yang masih panas membuat lidahnya melepuh.

"Elo bener. Semua beban gue kayak keangkat," kataku.

Rani tertawa pelan kemudian melirik gadis disebelahnya itu.

"Elo belom cerita sama gue tentang kejadian di perpus itu, antara elo sama Felix."

Aku terdiam. Aku memang belum bercerita apa-apa pada Rani, aku pikir aku akan mencari waktu yang tepat untuk bercerita padanya. Tapi diluar dugaan, Rani menanyakannya langsung padaku. Dan aku rasa aku tidak bisa mencari alasan untuk mengelak dari pertanyaannya.

Aku hargai selama ini Rani menahan diri untuk tidak bertanya. Dia sahabat yang baik. Diwaktu-waktu aku sedang down saat itu, dia selalu menemaniku tanpa banyak bertanya. Tapi, semua orang punya batas kesabaran bukan. Dan aku akui Rani sudah cukup bersabar. Lagipula Rani memang punya rasa ingin tahu yang besar. Dan itu sedikit mengarah ke kepo, sih.

Aku menarik napas panjang. Bingung harus mulai darimana kisahku ini. Rani menanti dengan wajah penasaran, tapi dia tidak menuntutku untuk cepat bercerita. Dia masih menanti dengan sabar.

"Gue ga yakin gue bisa ceritain ini sama elo," aku tersenyum lemah.

Rani tampak kecewa tapi dia tersenyum. "Kalo elo memang ga mau cerita, its oke, Sha."

Aku menggeleng.

"Gue emang harus ceritain ini sama elo," kataku. Rani tampak tak yakin. Aku kembali menarik napas panjang, lalu cerita itu mengalir begitu saja.

Di mulai sejak Fandy menyatakan perasaannya padaku, aku dan Felix akhirnya berpacaran pura-pura, lalu bagaimana aku bisa jatuh cinta padanya dan penolakannya yang menyakitkan hingga akhirnya kejadian diperpus bulan lalu.

Awalnya Rani agak terkejut mendengar Fandy mengajakku berpacaran, tapi kemudian dia tidak lagi heran karena Fandy memang dikenal cukup playboy walaupun cowok itu bisa menjalin hubungan cukup lama dengan pacarnya. Aku melihat raut wajah gadis itu berubah dari kaget, lalu tersenyum-senyum, sedih dan terakhir dia menatapku dengan simpati.

Aku menatap lurus kearah taman. Rasa sesak itu datang lagi.

"Sha, elo ga apa-apa?" tangan Rani menyentuh pundakku.

Setetes air mata jatuh ke pipi kananku. Rani tertegun.

"Gue ngapain, sih," aku membuka tas dan mengambil tisu. Cepat-cepat kuhapus air mataku sebelum aku mulai menangis lagi. Tapi sepertinya mataku tidak bisa diajak berkompromi. Belum selesai ku hapus air mata di pipi kananku, air mata jatuh di pipi kiriku.

Rani memeluk pundakku dan membiarkan aku menangis dipundaknya.

"Maaf, Sha. Hati elo pasti sakit banget. Ga seharusnya gue minta elo cerita ini sama gue," kata Rani pelan.

Aku menggeleng.

"Lo ga salah apa-apa, Ran," kataku sedikit terisak.

Rani memang tidak salah apa-apa. Dia tidak salah telah membuatku harus bercerita tentang kisah itu. Justru dengan membuatku bercerita padanya, dia membukakan mataku, dia membuatku menyadari, bahwa aku masih mencintai Felix. Dan aku sadar, kalau air mata ini bukan karena aku sedih telah patah hati, melainkan sedih karena aku tidak bisa melupakan sosoknya yang padahal sudah aku kubur dalam-dalam disudut hatiku.