Chapter 18

Miss Jenny masuk ke dalam kelas dengan membawa setumpuk kertas.

"Kalian semua pasti sudah tahu kalau sebentar lagi kalian akan lulus. Karena itu penting bagi kalian untuk mulai menentukan kemana kalian akan melanjutkan pendidikan selepas SMA ini. Karena itu hari ini miss akan bagikan kuesioner bimbingan konseling masuk universitas, kuesioner ini akan digunakan untuk guru-guru melakukan konseling. Kami akan menilai apakah kalian bisa dan mampu untuk masuk ke universitas yang kalian pilih dengan nilai dan prestasi kalian. Sekaligus untuk membantu kalian mempersiapkan diri menghadapi ujian masuk universitas yang sudah mulai dibuka dari sekarang. Maka dari itu, kalian mulailah memikirkan kemana kalian akan kuliah. Kuesioner ini akan di bagikan ke masing-masing dari kalian, dan besok miss harap sudah dikumpul ke Riko," kata Miss Jenny panjang lebar.

Beberapa siswa berbisik-bisik dan ada pula yang mengangguk-angguk.

Riko maju kedepan dan membantu Miss Jenny membagikan kuesioner bimbingan konseling masuk universitas. Aku menatap lembaran kertas itu. Aku memang sudah kepikiran untuk melanjutkan kuliah, tetapi aku masih belum tahu akan masuk ke universitas mana dan mengambil jurusan apa. Mungkin sebaiknya aku diskusikan dengan papa dan mama nanti malam.

***

"Gue juga dapet tuh kuesioner," kata Rani saat kami bertemu di kantin pada jam istirahat kedua.

"Lo udah kepikiran mau lanjut kuliah dimana?" tanyaku sambil mengaduk gelas berisi es jeruk.

"Udah. Rencana sih gue mau ambil jurusan hukum di Unpad. Gue punya cita-cita mau kerja di kantor kejaksaan negeri. Kalo lo sendiri?"

Aku mengangkat bahu. "Gue masih belom tahu. Mungkin gue lanjut kuliah di Jakarta."

Rani menatapku. "Yah, jauh banget. Kita bakal ga bisa ketemu dong?"

Aku terkikik. "Ya elah. Tiap weekend gue bisa kesini, kok."

"Iya, sih. Cuma kalo udah kuliah pasti bakalan sibuk."

Aku mengangguk-angguk.

"Felix lanjut kemana, yah?" Rani berbicara sendiri. Aku menatapnya. "Gue ga tahu."

Rani tertawa. "Gue ngomong sendiri, Sha."

"Gue tahu kok. Cuma karena elo ngomong berupa pertanyaan makanya gue jawab."

Rani tergelak.

Tiba-tiba Harry datang dan duduk disebelahku.

"Hai, Sha. Eh Rani, halo," sapanya.

Rani mengangguk.

Sudah beberapa hari ini Harry rajin sekali mengajakku ngobrol. Bahkan beberapa hari lalu dia mengantarku pulang dengan motornya.

"Elo udah makan?" tanyaku basa-basi.

"Belom, nih. Aduh elo perhatian banget sama gue," kata Harry. Aku saling berpandangan dengan Rani. Kok tiba-tiba nih cowok jadi lebay? Gue kan cuma basa-basi nanya. Rani terkikik melihat ekspresi wajahku.

"Eh, elo lanjut kuliah dimana, Har?" tanya Rani iseng pada Harry yang sedang mengetik sms dihandphonenya.

"Hah? Gue? Rencana sih mau lanjut ke Jakarta," kata Harry. Dia memang merencanakan untuk kuliah di Jakarta selepas SMA nanti. Dirinya sudah tidak ada urusan apa-apa lagi dengan Felix dan keluarganya.

Yah, walaupun sebenarnya masih dan dalam hati Harry masih belum terima melihat keluarga Felix hidup dengan tenteram. Tapi, dia hanya merasa percuma membuang-buang waktunya dengan hidup di Bandung dan meninggalkan kehidupannya juga teman-temannya di Jakarta. Apalagi kakaknya juga sekarang tinggal sendiri semenjak dia pindah ke Bandung.

Hanya sesekali kakaknya datang ke Bandung pada saat weekend karena kakaknya sendiri sedang sibuk mengurus skripsi. Kalaupun ada alasan dia harus bertahan di Bandung adalah Sasha. Tidak tahu kenapa, rasanya dia mulai menyukai gadis itu.

"Oya, sama dong kayak Sasha," kata Rani padaku. Harry langsung menoleh pada Sasha.

"Wah, beneran elo mau kuliah di Jakarta, Sha?" tanya Harry. Aku menatapnya dan bisa melihat mata Harry berbinar mendengarku akan lanjut kuliah di Jakarta.

"Rencana, sih," kataku pendek.

"Kuliahnya dimana?"

"Gue belom tahu kalo itu," kataku risih. Harry tampak sangat antusias mengetahui kalau aku akan kuliah di Jakarta.

"Gimana kalo nanti kita satu kampus? Pasti asik bisa ketemu tiap hari," kata Harry.

Aku tersedak. Rani menahan tawanya.

"Gue beli makanan dulu, ya. Lo ada yang mau titip?" tanya Harry sambil berdiri dan menatap kami berdua bergantian. Kami berdua menggeleng.

Sepeninggal Harry, tawa Rani meledak.

"Kok dia jadi aneh gitu sih, Sha?" katanya tergelak.

Aku angkat bahu. "Ga tahu. Belakangan ini dia jadi begitu. Dia juga rajin banget sms gue."

Rani menatapku penuh arti."Jangan-jangan dia,"

"Apaan sih? Ga mungkinlah," kataku berkilah.

"Abis gelagat dia nunjukin begitu, Sha," Rani bersedekap.

"Gelagat apanya? Biasa aja, kok," kataku.

"Eh, tapi kalo dia beneran dia begitu gimana, Sha?" Rani menaik-naikkan alisnya jenaka.

"Begitu gimana, sih?" aku mengerutkan kening. Rani mencubitku. "Awww!" aku berteriak. "Apa-apaan sih? Sakit tahu."

"Yah elo. Gue serius, nih. Elo pura-pura ga tahu lagi," kata Rani dongkol.

Aku menghela napas. "Gue ga tahu, Ran. Gue suka sama dia, tapi cuma sebagai temen. Lagipula,"

Aku tidak melanjutkan kata-kataku.

"Lagipula apa?" tanya Rani menuntut.

"Elo tahu sendirikan," aku mendesah.

Rani menatapku lalu dia menyadari sesuatu. "Ups, sorry, Sha. Gue kira udah lewat sebulan elo udah berhasil move on."

Aku menggeleng. Jujur, sampai sekarang aku masih belum berhasil move on. Bayangan Felix masih sering muncul di mimpiku. Dan aku masih mengharapkannya. Padahal aku yakin dia tidak akan mencintaiku. Aku ingat betul syarat yang dia ajukan waktu itu. Aku tidak boleh jatuh cinta padanya, kalau itu terjadi hubungan kami berakhir. Dan hubungan kami memang berakhir, karena aku melanggar syarat itu. Dan juga mungkin ada faktor lain yang tidak aku sadari.

***

Felix menatap lembaran kuesioner bimbingan konseling masuk universitas. Matanya meredup dan terdengar helaan napas panjang.

Ada sesuatu yang sampai sekarang belum dia beritahukan pada siapapun.

Felix membuka laci meja belajarnya dan mengeluarkan map berisi formulir pendaftaran yang berlogo University of Queensland dan lampiran-lampirannya, serta sebuah amplop surat.

Amplop yang berisi surat pernyataan bahwa dia diterima di University of Queensland dengan beasiswa penuh selama dia menempuh pendidikan di Australia. Felix menatap layar komputernya, ada sebuah email masuk yang sejak kemarin sore belum dia balas kepada pengirimnya. Pak Tien.

Beliau adalah guru matematika yang mengajar di SMP tempat Felix bersekolah dulu sewaktu masih di Jakarta. Sekarang Pak Tien sudah hijrah ke Australia untuk melanjutkan gelar Doktornya dan mengajar juga disalah satu Universitas disana. Felix sering sekali menghubungi Pak Tien via email sejak guru itu pindah ke negeri kangguru tersebut.

Dulu, sewaktu Felix sedang dalam masa-masa terburuknya, Pak Tienlah yang selalu menyemangatinya. Beliau adalah satu-satunya guru yang tidak pernah menyerah pada Felix. Beliau juga yang selalu meminta Felix untuk tetap melanjutkan sekolahnya dan tidak merusak diri sendiri. Pak Tien juga tahu masalah keluarga yang dihadapi oleh Felix saat umur cowok itu masih sangat muda. Dan Pak Tien tahu tidak mudah bagi Felix untuk menerima semuanya.

Menjelang kelulusan, Pak Tien mengajak Felix bicara. Beliau mengatakan bahwa beliau akan pergi ke Australia untuk melanjutkan pendidikan dan akan menetap disana. Beliau berharap Felix bisa belajar dengan baik di SMA. Dan bila Felix ingin, beliau akan membantunya mendapatkan program beasiswa kuliah di sana.

Dengan semangat itu makanya Felix mati-matian cari kerja sampingan di Bandung saat dia pindah ke kota ini, dan akhirnya didapatlah pekerjaan menjaga warnet. Dia menjaga warnet hanya untuk bisa menabung demi terwujudnya cita-citanya untuk bisa kuliah di Australia. Tabungannya selama hampir 3 tahun bekerja akan dia gunakan untuk biaya keberangkatannya ke Australia. Dia ingin segera meninggalkan kota ini dan mamanya yang membuatnya sakit hati.

Selama ini dia bertahan hanya karena dia masih harus sekolah. Tetapi setelah lulus nanti, saat dia sudah mulai dewasa, dia harus menentukan jalan hidupnya sendiri.

Tetapi entah kenapa saat ini dia merasa bimbang. Dia memang sudah berhasil lolos. Bahkan Pak Tien sudah menyediakan kamar kosong dirumahnya untuk dia tempati selama dia kuliah disana, Pak Tien juga yang sudah mempersiapkan segalanya, mulai dari pengurusan dokumen dan pendaftaran. Tapi Felix merasa ada sesuatu hal yang mengganjal hatinya.

Sesuatu yang sampai sekarang tidak tersampaikan karena Felix tidak pernah memiliki kesempatan untuk bicara. Apa dia harus pergi tanpa mengatakan perasaannya yang sebenarnya pada gadis itu dan meluruskan kesalahpahaman ini? Apa memang harus berakhir seperti ini? Apa sudah tidak ada jalan lain?

Felix menelungkupkan kepalanya diatas meja. Diatas tumpukan kertas formulir kuliahnya.

"Sha."

***

Felix dipanggil keruang guru menjelang pergantian pelajaran. Miss Jenny sangat bingung saat melihat kuesioner Felix kosong. Oleh karena itu dia ingin bertanya langsung pada Felix.

"Kenapa kuesioner ini kosong, Felix? Kamu tidak berniat melanjutkan kuliah?" tanya Miss Jenny dengan kening berkerut. Kalau memang demikian, sangat disayangkan kalau Felix tidak melanjutkan kuliah karena cowok itu sangat pintar.

"Mengenai itu saya ingin bicara langsung dengan pak Kepala Sekolah," kata Felix.

Miss Jenny tambah bingung. Kenapa harus dengan Kepala Sekolah? Dengannya jugakan bisa, dia kan wali kelasnya Felix. Meskipun bingung, tapi Miss Jenny mengiyakan dan menyuruhnya ke ruang Kepala Sekolah.

Pak Sastro, Kepala Sekolah SMA Indah Persada membaca perlahan surat pernyataan beasiswa dari Univeristy of Queensland. Felix menatapnya dari balik kacamatanya. Setelah berpikir semalaman suntuk diteras kamarnya, dia sudah memantapkan hati untuk menerima tawaran beasiswa itu. Akan sia-sia usahanya jika dia tidak jadi menerima beasiswa itu hanya karena seorang gadis. Seiring waktu berjalan dia juga akan bisa melupakan gadis itu.

"Kau hebat nak Felix," Pak Sastro tersenyum ramah.

Felix mengangguk.

"Lalu apakah ada yang bisa dibantu oleh sekolah kita padamu?" tanya Pak Sastro.

"Ada pak. Saya membutuhkan dokumen-dokumen ini," kata Felix sembari mengangsurkan kertas berisi dokumen-dokumen pelengkap yang harus dia lampirkan bersamaan dengan pengembalian formulir.

Pak Sastro membacanya sejenak lalu tersenyum lagi.

"Dengan senang hati sekolah akan membantumu nak Felix."

***

Harry mengajakku untuk makan siang bersama sepulang sekolah hari itu.

Masih seminggu sebelum UAN dilangsungkan. Memikirkannya saja sudah membuat perutku mual.

Beruntung sekali cowok ini mengajakku makan siang disebuah café yang juga menyediakan berbagai makan permainan dan games seru. Jadi kami bisa bermain sambil makan.

"Lo tahu banget tempat makan asik disini. Rani aja kalah sama elo," kataku.

"Iya dong. Gue gitu loh. Lagian rugi banget ga tahu tempat bagus disini. Bandung kan kota yang asik. Kulinernya oke dan tempat nongkrongnya juga banyak. Gue suka belanja di distro sini."

Aku mengangguk-angguk. Dari caranya berpakaian aku bisa menilai Harry orang yang cukup memperhatikan penampilan dan fashionable. Dia juga cukup keren dan oke menurutku.

***

"Thanks loh buat jalan-jalannya," kataku.

Kami sedang berada di depan gerbang rumahku. Harry mengantarku sampai kerumah. Ini adalah kedua kalinya dia mengantarku pulang.

"Sama-sama," Harry tersenyum kalem.

"Yaudah, gue masuk yah," kataku. "Elo ati-ati dijalan."

Harry mengangguk tapi kemudian tangan cowok itu menarik tanganku yang baru saja akan berbalik masuk.

Aku memandangnya penuh tanya. Harry menatapku.

"Gue harus ngomong ini sama elo," katanya serius.

"Apa?"

"Gue suka sama elo," kata Harry. Kedua bola mata tajamnya serasa menancap kekedua mataku. Aku membeku. Ya Tuhan, hari ini datang juga. Ternyata dugaan aku tidak salah selama ini. Memang selama ini aku berusaha menyangkalnya. Karena aku memang tidak menginginkan hal ini.

"Elo mau jadi pacar gue?" tanya Harry kemudian. Sikap to the point-nya mirip sekali dengan Felix.

Felix baru saja akan keluar dari rumahnya sambil menuntun sepeda ketika dia melihat pemandangan yang membuatnya tidak jadi keluar. Cowok itu buru-buru kembali masuk kedalam rumahnya.

Aku menarik tanganku dari genggaman Harry. Aku menggeleng.

"Gue ga bisa."

Harry tertegun. "Kenapa?" tuntutnya.

Aku menarik napas. Ini kedua kalinya gue nolak cowok, dan kali ini gue ga boleh bohong lagi, batinku.

"Gue masih mencintai Felix," kataku pelan.

Dan kata-kata penolakan Sasha barusan serasa menampar Harry. Dia ditolak karena Felix. Karena cowok itu. Karena adik tirinya. Sasha lebih memilih Felix. Padahal cowok itu bahkan tidak mencintai dia.

"Elo bego, yah?" kata Harry dengan sinis.

Aku menatapnya bingung.

"Maksud elo?"

"Felix itu ga mencintai elo. Ngapain juga elo tetap ngarepin dia," kata Harry tajam.

Kata-kata Harry benar-benar menusuk dan menamparku. Meski cowok ini benar tapi kok bisa-bisanya dia mengatakan hal itu.

"I-itu hak gue," kataku kesal.

"Felix itu ga akan pernah mencintai elo!" bentak Harry.

"Gue ga peduli. Apa hak elo berkata begitu?" kataku.

Tanpa di duga Harry tertawa. Cowok itu tertawa terbahak-bahak sampai mengeluarkan air mata.

"Emang lo kira gue ga tau kalau kalian itu cuma pacaran pura-pura?" ejek Harry. "Dan elo doang yang cinta sama dia."

Aku tersentak. Gimana Harry bisa tahu? Perasaan hanya Rani saja yang tahu bahwa aku dan Felix pacaran pura-pura.

Harry memandang Sasha. Dia tahu apa yang ada dipikiran gadis itu. Hanya saja dia tidak berniat mengatakan pada gadis itu bahwa dia tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan antara Sasha dan Felix sewaktu di lapangan basket kompleks rumahnya.

"Lagi-lagi dia. Gue ga habis pikir. Apa bagusnya Felix, hah?!" Harry menunjuk rumah Felix. Aku melongo.

Kenapa Harry bisa tahu rumah Felix?

"Apa bagusnya dia? Keluarganya berantakan, nyokapnya yang sok baik itu wanita simpanan dan dia sendiri anak haram!!"

Aku membelalak. Ada hubungan apa antara Harry dan Felix?!

Harry menggigit bibirnya. Tanpa pamit cowok itu berlalu membawa motornya menghilang di ujung jalan.

"Apa bagusnya Felix? Kenapa selalu dia? Kenapa semua orang sayangnya sama dia? Kenapa ga ada yang sayang sama gue?!" umpat Harry dalam perjalanan. Untung saja cowok itu mengenakan helm, jadi orang-orang tidak ada yang mendengar umpatan kasar yang dilontarkannya selama dijalan.

"Ngga papa, ngga Sasha, ngga semua orang, ga ada yang cinta sama gue!" Rahang Harry mengeras. Kemarahan yang tiba-tiba melandanya membuatnya gelap mata.

Dia mempercepat laju motornya melewati batas maksimum kecepatan yang biasanya dia gunakan.

Dia lalu menggas motornya lebih cepat melewati samping sebuah truk besar yang sedang berjalan pelan, ketika didepannya sebuah mobil pribadi berwarna silver melaju kearahnya dari arah yang berlawanan. Mobil itu membunyikan klakson berkali-kali. Tapi Harry tak menggubrisnya.

"Mungkin lebih baik gue nyusul mama kesurga," pikir Harry. Tak lama kemudian kegelapan menyelimutinya.

***

Kecelakaan itu tak dapat terelakkan. Tubuh Harry terpental sejauh 10 meter. Membentur aspal jalan. Jaket dan celana seragam cowok itu robek. Darah mengalir dari lubang hidungnya dan telinganya ketika helm cowok itu dilepaskan. Orang-orang berbondong-bondong membawa Harry ke sebuah mobil yang kebetulan lewat dan bersedia untuk membawanya kerumah sakit.

Sementara beberapa orang menelepon polisi dan mengamankan supir mobil pribadi silver yang tampak ketakutan. Mata Harry masih setengah terbuka. Dia menatap langit yang berwarna oranye. Senja telah datang. Seluruh badannya terasa sakit dan dia tidak mampu bergerak. Tak lama kegelapan menyelimutinya.

***

Herlinda menelepon rumah Felix berkali-kali sambil menangis. Tante Farin berdiri disebelahnya sambil memegang bahu gadis itu.

"Halo," sapa Eli diujung telepon.

"Ha... halo," suara Herlinda tersendat-sendat.

"Sini, biar tante yang bicara," kata tante Farin. Herlinda memberikan handphonenya dengan gemetar.

Gadis itu buru-buru ke Bandung bersama tante Farin dan Om Wijaya ketika mendapat telepon dari rumah sakit tempat Harry dirawat.

"Halo, ini siapa?" tanya Eli.

"Ini Elia, ya? Mamamu ada? Atau Felix?" tanya tante Farin.

"Mama sedang di Jakarta. Kakak ada. Ini siapa?"

"Bilang saja tante Farin telepon," katanya lembut.

***

"Siapa?" Felix mengerutkan keningnya. Cowok itu sedang membaca buku tentang biologi dikamarnya. Dia akhirnya memutuskan untuk tidak bermain basket. Selain karena malas untuk keluar lagi, moodnya juga hilang seketika saat melihat pemandangan didepan rumahnya itu.

"Tante Farin, kak," ulang Eli.

Felix terlonjak. "Ngapain dia telepon?"

Meskipun bingung ada apa tantenya itu tiba-tiba menelepon. Tapi dia bergegas turun dan mengambil gagang telepon.

"Halo," sapa Felix.

"Felix. Ini tante. Tante mau minta tolong," kemudian tante Farin menjelaskan panjang lebar perihal kecelakaan yang menimpa Harry sore tadi.

Dan juga tante Farin memberitahukan bahwa Harry sedang membutuhkan donor darah karena cowok itu kehilangan banyak darah sementara persediaan darah dirumah sakit habis. Rumah sakit sudah mentransfusi beberapa kantong, tapi masih kurang. Keadaan Harry sangat kritis. Dia membutuhkan donor darah lagi. Jika tidak nyawanya tidak akan tertolong.

"Kenapa gue mesti nolongin dia?" tanya Felix.

"Karena golongan darah kalian sama," kata tante Farin.

"Kan ada kakaknya dia. Minta saja Herlinda buat donor," kata Felix ketus.

"Herlinda tidak bisa melakukannya, Felix," kata tante Farin sabar.

"Kenapa? Herlinda tidak mau?" kata Felix sinis. "Kakaknya sendiri saja tidak mau donor. Sekarang minta orang lain buat mendonorkan darahnya. Ga sudi tahu ga."

"Felix!" bentak tante Farin pelan.

Baru saja Felix akan meletakkan gagang teleponnya ketika dia mendengar suara Herlinda yang terisak.

"Kalau saja aku bisa. Aku mau mendonorkan darahku. Tapi, dia bukan adik kandungku, Felix,"

Felix melotot. Apa-apaan? Bukan adik kandungnya?

"Tolong dia. Bagaimanapun dia kakakmu? Kalian memiliki papa yang sama," kata Herlinda membuat Felix tercekat. Papa yang sama? Benar kami memang memiliki papa yang sama. Lalu apa maksudnya itu? Maksudnya kalian beda papa?!

Tante Farin mengambil handphone Herlinda dan membiarkan gadis itu menangis lagi.

"Nanti akan tante ceritakan padamu. Tante mohon. Tolonglah Harry," kata tante Farin sedih.

Felix bingung. Dia tidak mengerti apa yang mereka katakan.

Eli yang berdiri disebelah Felix sejak tadi menatap kakaknya yang memandang kedepan dengan mata kosong.

***

Aku menatap pintu kelas dengan rasa gugup bercampur takut. Sikap Harry benar-benar berbeda kemarin. Sepertinya cowok itu tidak terima penolakan dariku. Wajahnya tampak terluka. Padahal aku tidak bermaksud menyakitinya. Aku hanya berusaha untuk berkata jujur apa adanya.

"Lo ga masuk?" tanya Riko yang baru saja datang, cowok itu terheran-heran melihat Sasha yang hanya berdiri didepan kelas dan tidak masuk-masuk kedalam. "Sebentar lagi bel bunyi."

"Eh iya," aku tergagap. Buru-buru aku masuk kedalam kelas. Tapi aku tidak mendapati Harry disana. Boro-boro orangnya, tasnya saja tidak ada. Felix juga tidak tampak batang hidungnya. Hanya saja aku tidak heran kalau itu Felix. Akhir-akhir ini cowok itu rajin sekali membolos jam-jam pertama.

"Kemana dia?" pikirku heran. Apa cowok itu sangat terpukul sampai-sampai tidak masuk sekolah? Aku benar-benar tidak habis pikir.

Tak lama kemudian bel masuk berbunyi.

Miss Jenny masuk kekelas dengan wajah pucat. Kami semua heran kenapa wali kelas kami itu masuk dijam pertama yang harusnya diisi oleh pelajaran bahasa Indonesia. Apalagi hari ini tidak ada jadwal mata pelajaran bahasa Inggris yang memang diajar olehnya.

"Miss ada berita duka," kata Miss Jenny dengan suara pelan. Guru itu tampak masih kaget dengan berita yang disampaikan oleh Pak Sastro tadi pagi.

Semua murid kaget mendengarnya. Kami semua bertanya-tanya, berita duka apa? Apa ada hubungannya dengan Harry atau Felix? Karena memang mereka berdua yang tidak masuk hari ini.

"Berita duka apa Miss?" tanya Riko.

Miss Jenny menatap murid-murid kelasnya dengan wajah sedih. "Harry kecelakaan."