Chapter 19

Felix membuka matanya yang masih setengah terpejam. Matanya sangat berat untuk dibuka. Kepalanya juga sangat pusing. Bau obat-obatan yang memenuhi penjuru ruangan menambah pusing kepalanya.

"Gue udah tidur berapa lama?" pikir Felix sembari melirik jam dinding di atas pintu kamar rawat. Waktu sudah hampir menunjukkan pukul 5 sore. Sudah seharian dia tertidur.

Felix termangu-mangu menatap langit-langit kamar rawat. Semalam akhirnya dia memutuskan untuk mendatangi rumah sakit dan mendonorkan darahnya meski sedikit berat hati. Tidak banyak darah yang bisa dia donorkan, tapi untung saja darahnya cukup untuk menolong Harry yang saat itu sudah diambang kematian.

Setelah mendonorkan darahnya, dokter memintanya untuk beristirahat di kamar rawat, Felix menurut saja, tapi dia tidak menyangka akan kebablasan tertidur sampai esok harinya. Akhir-akhir ini dia memang kurang tidur. Sudah sejak lama Felix menderita insomnia, karena setiap hari begadang.

Tok..tok...

Felix menoleh kearah pintu yang diketuk. Mungkin itu perawat atau juga dokter. Tapi ternyata bukan

Tante Farin masuk kedalam kamar rawat Felix.

Felix meliriknya sekilas tapi tak berkata apa-apa.

"Bagaimana kondisimu, Felix?" tanya wanita berambut sebahu itu lembut.

"Seperti yang tante lihat," jawab Felix tak acuh.

Tante Farin menarik bangku dan duduk disisi ranjang Felix. Beruntung saat itu kondisi kamar rawat sedang tidak ada pasien lain sehingga mereka bisa berbicara dengan leluasa. Felix menatap wanita didepannya itu. Felix tidak pernah berbicara secara langsung dengan tante Farin sebelumnya.

Dia hanya melihat tante Farin waktu dipemakaman papanya dan sewaktu wanita ini datang kerumahnya bersama tante Renita dan Herlinda. Wajah tante Farin meneduhkan, setidaknya itulah penilaian Felix. Di wajahnya sudah tampak garis-garis keriput halus, seperti yang bisa dia temukan di wajah mamanya. Tapi, meskipun sudah berumur, dia masih tampak cantik.

"Kamu sudah besar, ya," kata tante Farin sambil tersenyum.

Felix hanya mengangguk.

"Dulu tante sering kerumahmu sewaktu kamu masih kecil. Mungkin kamu tidak ingat," kata tante Farin membuat Felix menoleh kaget.

Tante Farin pernah kerumahnya?

"Aku tidak punya ingatan apapun tentang tante," kata Felix kemudian.

Tante Farin tertawa kecil.

"Yah. Tante takkan heran. Karena itu sudah lama sekali," katanya.

"Lalu apa yang tante lakukan disini?" Felix mengalihkan pertanyaan.

"Tante datang untuk berterima kasih padamu. Karena kamu sudah bersedia mendonorkan darahmu pada Harry. Tante tahu bahwa kalian saling membenci. Tapi kalian tetaplah keluarga. Dia tetap kakakmu," kata tante Farin.

"Sepertinya akan sulit menerima dia jadi keluarga," cibir Felix.

Tante Farin tersenyum lembut. "Perlahan kau pasti akan bisa menerimanya."

Felix tidak menjawab. Dia lalu menatap tante Farin.

"Tidak ada lagi yang mau tante katakan?"

"Ada," Tante Farin menatap Felix sejenak. Lalu menatap jendela. Pandangannya menerawang.

"Tante punya cerita untukmu," katanya. "Ini tentang mama papamu dan kak Renita."

Kisah itu dimulai 20 tahun lalu.

(Flashback)

Tante Farin adalah sahabat mama sejak SMA. Karena mereka bersahabat, otomatis mama sering datang berkunjung kerumah tante Farin hanya untuk belajar bersama atau sekedar bermain. Karena sering mondar mandir dirumah tante Farin, mama jatuh cinta pada papa yang notabenenya adalah kakak tante Farin.

Papa waktu itu masih kuliah tingkat 4 disalah satu universitas negeri di Jakarta sedangkan mama masih di SMA kelas 3. Perbedaan umur mereka hanya terpaut 2 tahun. Singkat kata, papa dan mama berpacaran. Mereka berpacaran sekitar 8 tahun sampai akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Sebelumnya kakak pertama tante Farin, Om Fredy sudah menikah dan sudah dikaruniai seorang putri berumur 2 tahun yang akhirnya Felix tahu bahwa dia adalah Herlinda.

(End flashback)

Felix mengerutkan kening. "Kalo gitu kenapa mama dibilang selingkuhan papa? Kan jelas-jelas tante Renita sudah menikah dengan Om Fredy."

Ada rasa tidak terima yang melanda Felix. Selama ini keluarga mereka disalahkan karena apa?

Tante Farin memegang tangan Felix. "Kamu tenanglah dulu. Cerita tante belum selesai."

(Flashback)

Papa dan mama akhirnya menikah dan tinggal di sebuah rumah kecil yang memang sudah dibeli oleh papa dengan uang tabungannya. Setahun pernikahan mereka belum dikaruniai anak. Keluarga besar papa masih memaklumi.

Memasuki tahun kedua, mereka masih belum juga dikaruniai anak. Sementara itu, secara tiba-tiba Om Fredy meninggal karena kecelakaan. Om Fredy meninggalkan seorang istri dan anaknya yang masih balita sendirian.

(End flashback)

Felix tertegun. Jadi papa Herlinda sudah lama meninggal.

(Flashback)

Sepeninggal Om Fredy, tante Renita tinggal dirumah keluarga besar papa bersama dengan kakek, nenek dan tante Farin yang waktu itu belum menikah. Entah usul dari siapa, kakek dan nenek memaksa papa untuk menikahi tante Renita yang waktu itu berstatus janda.

Kakek dan nenek sangat ingin mempunyai keturunan laki-laki yang sampai saat itu masih belum bisa diberikan oleh mama. Selain itu, kakek dan nenek juga ingin agar tante Renita mempunyai pegangan hidup setelah ditinggal oleh Om Fredy. Kakek dan nenek mendesak papa agar menceraikan mama dan menikahi tante Renita.

Baik papa ataupun mama tidak setuju dengan keputusan sepihak kakek dan nenek, sementara tante Renita awalnya juga menolak untuk menikahi adik iparnya sendiri. Apalagi adik iparnya itu masih berstatus memiliki istri.

Didesak terus menerus membuat papa akhirnya mengalah. Beliau akhirnya menikahi tante Renita, dengan syarat bahwa papa tidak akan menceraikan mama. Meski awalnya menolak tapi akhirnya kakek dan nenek setuju. Setelah menikah tante Renita pindah kerumah yang sebelumnya ditempati papa dan mama.

Dan mama harus pindah kerumah kontrakan yang disewa oleh papa yang akhirnya ditempati oleh Felix sampai dia besar. Rumah kenangannya. Beberapa bulan setelah menikah, tante Renita hamil. Dan tanpa diduga-duga, mama juga hamil.

Kehamilan yang terpaut beberapa bulan itu membuat Harry dan Felix lahir ditahun yang sama. Meskipun melahirkan seorang putra tidak serta merta membuat mama diterima lagi dikeluarga papa. Mama tetap harus menerima tinggal dirumah kecil dan menerima bahwa putranya itu tidak diakui sebagai cucu dari mertuanya.

(End flashback)

Wajah Felix sulit dilukiskan. Ada hantaman besar yang memukul dadanya. Selama ini, dia selalu mengira bahwa dialah yang paling menderita. Tapi, dia sendiri tidak tahu kenyataan yang lebih pahit yang dialami oleh mama. Tidak diakui sebagai menantu, harus tinggal dirumah kecil, jarang bisa menemui papa dan yang lebih pahit, putranya tidak diakui sebagai cucu oleh kedua mertuanya.

Mata Felix berkaca-kaca. Dia membuang muka menatap jendela. Berharap tante Farin tidak melihat air matanya.

"Mamamu sangat menyayangimu. Dia tidak ingin kamu menderita karena mengetahui kenyataan ini. Dia selalu berkata pada tante, bahwa kamu adalah segalanya, kehidupannya. Kamulah alasan mamamu tetap bertahan sampai sekarang. Bahkan disaat paling berat sekalipun, mamamu selalu bisa bertahan. Saat kematian papamu, tante tahu mamamu-lah yang paling terpukul. Tante bisa melihat itu dari sorot mata kosongnya. Tante paling tahu karena tante sangat mengenal mamamu luar dalam. Tante tahu bahwa mamamu sangat mencintai papamu, Felix. Karena itulah mamamu tidak pernah berusaha untuk mencari pengganti papamu," tante Farin terus bercerita sambil menahan rasa sedih yang juga menderanya.

"Mamamu bukanlah selingkuhan. Mamamu bukanlah wanita jalang seperti yang orang-orang katakan sewaktu dipemakaman. Kamu juga bukanlah anak haram. Kamu adalah anak kebanggaan papamu. Papamu juga sangat menyayangimu. Papamu mati-matian bekerja untuk menghidupi 2 keluarga. Dia terus berusaha agar kau tidak kehabisan susu, berusaha membelikanmu mainan dan pakaian yang layak. Meskipun dia hanya bisa melihatmu sebulan sekali, tapi papamu selalu mengatakan pada tante bahwa dia mencintaimu dan mencintai mamamu," terdengar isakan kecil dari tante Farin.

Air mata Felix sudah tidak bisa dibendung lagi. Dia menangis tergugu. Dia ingat sekali, meski hanya datang sebulan sekali dengan alasan pekerjaan, tapi setiap kedatangan papanya selalu berkesan untuknya, papanya tidak pernah pulang dengan tangan kosong. Beliau pasti selalu membawakannya mainan dan mengajaknya pergi bermain meski itu hanya bermain di taman dekat rumah.

Penyesalan melandanya, dia tidak punya banyak kenangan bersama papanya. Semenjak masuk SMP, Felix sibuk sekali dengan kegiatan sekolah. Entah itu organisasi ataupun ekskul. Tak jarang dia selalu tidak ada dirumah ketika papanya datang berkunjung kerumah.

Felix terisak. Benteng yang sudah susah payah dia bangun selama 3 tahun ini roboh dalam satu hentakan. Sepenggal kisah masa lalu dan kenangan masa kecilnya membuatnya sadar bahwa 3 tahun ini adalah kesia-siaan. Sia-sia dia menyimpan kebencian pada orang yang seharusnya dia rangkul dan peluk. Sia-sia dia mengubah pribadinya menjadi seperti ini. Dia memang terluka, tapi dia tidak tahu bahwa mamanya lebih terluka. Kehilangan suami dan sosok anaknya dalam waktu yang hampir bersamaan.

"Sebenarnya tante juga merasa bersalah pada kalian karena telah membuat kalian meninggalkan kota Jakarta. Kalian jadi harus pindah ke kota ini. Tante juga tidak ingin kalian pergi. Tapi desakan kak Renita membuat tante tidak bisa berbuat apa-apa. Selama kalian pindah-pun tante selalu berkomunikasi dengan mamamu. Kami selalu bertemu apabila mamamu kebetulan sedang ke Jakarta untuk dinas. Mamamu juga sering bercerita bahwa kau selalu membuatnya bangga karena selalu berhasil menjadi juara umum disekolah," kata tante Farin.

Felix menoleh. "Apa mama tidak pernah bercerita bahwa aku adalah anak yang pembangkang dan tidak menurut?" tanyanya pelan.

Tante Farin tersenyum. "Mamamu juga pernah bercerita pada tante tentang hal itu. Tapi mamamu selalu menyalahkan dirinya. Dia berpikir bahwa itu memang kesalahannya. Tidak seharusnya dia membuatmu menderita. Makanya sampai hari ini mamamu tidak pernah mengatakan apa-apa kan? Itu karena dia tidak ingin menambah luka padamu dan membuka luka lamanya kembali."

Felix mengcengkeram erat besi penopang ranjang rawat itu. Rasa bersalah yang teramat sangat melandanya dan membuat dadanya sesak.

"Harusnya tante mengatakan ini lebih awal. Sebenarnya papamu punya asuransi untuk pendidikan atas namamu dan Eli. Itu tertulis dalam wasiat papamu sebelum meninggal. Dia sudah mempersiapkan itu sejak lama agar pendidikanmu tidak berhenti jika sesuatu terjadi pada dirinya. Meski tahu mamamu juga bekerja, tapi dia tidak ingin membebani kehidupan kalian," tante Farin menghela napas.

"Harry dan Herlinda juga mempunyai asuransi yang sama. Dengan bonus asuransi jiwa papamu yang jumlahnya tidak sedikit. Harusnya uang asuransi jiwa itu dibagi 2 kepada keluarga kalian juga. Tapi tante tidak pernah menyangka bahwa kak Renita begitu serakah ingin memiliki semua uang itu untuknya sendiri. Makanya dia mengusir kalian dari Jakarta. Hanya supaya mamamu tidak tahu bahwa papamu mempunyai uang asuransi yang bisa digunakan untuk menyokong kehidupan kalian. Saat itu tante begitu bodohnya mengikuti keinginan dia hanya karena dia bilang bahwa dia tidak bisa tinggal satu kota dengan seorang wanita yang dicintai papamu. Tante juga baru tahu kenyataan itu saat kak Renita sakit. Dia menceritakan semuanya pada tante. Dia juga meminta maaf pada keluarga kalian."

Tante Farin menangis sesenggukan. "Maafkan tante, Felix."

Felix terisak. Dia menelungkupkan kepalanya diantara kakinya.

Papa...mama.

***

Felix melangkah menuju pintu keluar rumah sakit. Matanya masih sedikit merah dan wajahnya sembab. Dia menangis selama hampir sejam. Sejam yang masih belum cukup untuk mengusir rasa bersalah dan penyesalannya, sejam yang tidak cukup untuk menebus dosanya. Dia ingin sekali segera pulang dan menemui mamanya. Meski dia tahu mamanya pasti belum pulang dari Jakarta.

Angin malam yang dingin menyapa wajahnya ketika pintu terbuka. Rasanya otak Felix langsung plong seketika. Felix melangkah ke arah parkiran menuju jalan raya. Baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba Herlinda muncul sambil berlari-lari menuju kearahnya.

Felix berhenti sejenak dan membiarkan gadis itu mengatur napasnya yang terengah-engah.

"Ada apa?" tanya Felix tanpa memandang Herlinda. Rasa sakit yang dia alami selama 3 tahun ini disebabkan oleh mama gadis ini. Meski mamanya sudah tiada, tapi tidak tahu kenapa Felix sepertinya belum mampu memaafkan Herlinda dan terlebih lagi Harry, apalagi setelah apa yang sudah dilakukannya pada Eli.

"Aku mau bicara sebentar denganmu. Boleh?" tanya Herlinda penuh harap.

"Mau bicara apa?" Felix mengangkat alisnya.

"Kita bicara ditempat lain saja," kata Herlinda.

Felix mengikuti langkah Herlinda yang membawanya kearah taman rumah sakit. Meski sudah malam, tapi ada beberapa orang yang masih duduk-duduk di taman itu.

Herlinda berbalik dan menatap Felix yang sedang menengadah menatap langit malam.

Tanpa disangka-sangka gadis itu memeluk Felix. Felix sontak terkejut oleh tindakan spontan Herlinda itu.

"Elo ngapain?!" Felix menarik tubuhnya menjauh dari Herlinda ketika pelukan gadis itu mengendur.

Herlinda tersenyum. "Aku mau mengucapkan terima kasih padamu karena sudah menyelamatkan jiwa Harry."

"Berterima kasih ga perlu pake peluk segala'kan?" kata Felix risih.

"Ah itu, maaf yah. Habis aku senang sekali mengetahui bahwa kamu mau mendonorkan darah kamu pada Harry. Aku senang hubungan kalian membaik," kata Herlinda. Wajahnya tampak lebih ceria dari biasanya.

"Walaupun gue donorin darah gue buat dia tapi itu ga bisa dibilang hubungan gue sama dia membaik," kata Felix sinis. Herlinda tersenyum.

"Nih cewek ngerti maksud gue ga sih?" pikir Felix jengkel.

"Aku mengerti kok. Aku sangat mengerti kamu pasti tidak bisa memaafkan mamaku. Terlebih lagi karena apa yang sudah diperbuatnya pada keluarga kalian," kata Herlinda.

"Kok dia tahu?" batin Felix.

"Tante Farin sudah cerita semuanya padaku. Aku sendiri tidak menyangka mamaku bisa sejahat itu pada kalian," kata Herlinda pelan.

Felix terdiam.

"Selama ini aku mengenal mama sebagai orang yang sangat kuat. Beliau sangat menyayangi kami berdua dan tidak pernah ingin kami bersedih. Aku juga, meskipun aku dan Harry berbeda papa, tapi aku sangat menyayanginya. Aku juga menyayangi papa Ferry," Herlinda menengadah.

"Jujur saja awalnya aku sangat membenci keluarga kalian. Meski baru mengenal kalian 4 tahun lalu saat datang ke pemakaman papa Ferry, tapi ketika mendengar mama menyebut-nyebut tante Margaretha sebagai selingkuhan papa, disitu aku mulai membenci kalian. Terutama mamamu," kata Herlinda. Dia menunduk.

"Tapi, setelah kematian mama. Tante Farin menceritakan semuanya padaku. Bagaimana mamaku berusaha untuk mengambil semua uang papa yang sebagian memang merupakan hak kalian. Dan juga kenyataan bahwa tante Margaretha bukanlah selingkuhan papa, kamu juga bukanlah anak haram seperti yang dikatakan orang-orang."

Felix mengepalkan tangannya erat. Ada rasa kesal dalam dirinya saat Herlinda mengatakan anak haram.

"Terlepas dari apa yang sudah mamaku lakukan pada keluarga kalian. Aku tetap menyayanginya. Karena itu, aku ingin mewakili mamaku meminta maaf pada kalian," kata Herlinda lalu mengulurkan tangannya.

Felix menatap tangan Herlinda yang terulur.

"Segampang itu elo minta maaf," cibir Felix.

Wajah Herlinda memucat. Dia pikir setelah Felix tahu kebenarannya dari tante Farin dan juga setelah tahu bahwa mamanya sangat menyesal akan perbuatannya, Felix akan dengan mudah memaafkannya.

"Mama elo yang udah bikin 3 tahun hidup gue kayak di neraka. Mama elo juga tega ngusir keluarga gue ke kota ini cuma demi uang asuransi bokap gue. Sekarang elo minta gue maafin mama elo? Ga semudah itu," ujar Felix.

Air mata Herlinda merebak.

Haduh, kalo cewek udah ngeluarin senjata andalannya yaitu nangis, Felix ga sanggup buat berkata tidak.

Felix mengacak-acak rambutnya lalu menghela napas.

"Ya ya, gue maafin keluarga elo kalo mama gue juga maafin kalian," kata Felix.

Herlinda tersenyum sambil menghapus air matanya. "Tante Margaretha sudah memaafkan kami."

"Baguslah kalo gitu," kata Felix. Dia bosan dengan percakapan ini, lebih baik dia segera pulang dan istirahat dirumah.

"Udah ga ada yang mau dibicarain lagikan? Gue mau pulang," kata Felix sambil menguap.

"Ah, tunggu sebentar. Aku belum selesai," cegah Herlinda.

"Apalagi sih?"

"Ini mengenai Harry. Maafin juga semua perbuatan dia selama ini, ya," kata Herlinda. "Dia masih sangat labil, dia melakukan itu karena dia iri padamu."

"Kenapa dia mesti iri sama gue? Dia punya segalanya. Ngapain iri sama gue yang miskin ini. Kayak orang bego aja," kata Felix ketus. Enak banget nih kakaknya ngomong.

Pake bilang Harry iri-lah sama dia. Harusnya yang iri tuh Felix, Harry kan hidup dengan bergelimangan harta warisan papanya. Sedangkan dirinya? Harus kerja sambilan buat nabung biaya kuliahnya. Beruntung dia dapat beasiswa, jadi uang tabungannya bisa dia gunakan untuk biaya keberangkatannya nanti.

"Di dunia ini ada hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang Felix. Dan hal itulah yang tidak Harry miliki," kata Herlinda perlahan. Felix menatapnya.

"Kasih sayang papa," lanjutnya.

Felix mengerutkan kening.

"Sejak kecil Harry selalu merasa bahwa papa Ferry tidak menyayanginya. Meski satu rumah tapi papa Ferry tidak pernah mengajaknya bermain ataupun menemaninya ketika dia sakit. Papa Ferry selalu tak acuh pada Harry. Setiap ulang tahunnya Harry-pun papa Ferry tidak pernah memberinya hadiah. Di tiap pengambilan raport sekolah, selalu mama yang pergi ke sekolah untuk mengambilnya. Papa Ferry selalu menolak apabila Harry memintanya ke sekolah meski hanya untuk mengambil raport. Entahlah, aku juga merasa papa Ferry tidak menyayangi Harry. Tidak seperti kasih sayang papa padamu. Dia membencimu karena tahu bahwa papa punya anak laki-laki lain selain dirinya. Dan dia yakin curahan kasih sayang papa selama ini hanya untukmu" kata-kata Herlinda membuat Felix tercekat.

Dia tidak bisa membayangkan bagaimana Harry menghabiskan masa kecil tanpa kasih sayang papa mereka? Dan tiba-tiba saja Felix merasa kasihan pada Harry. Jadi itulah sebabnya cowok itu sangat marah padanya? Rasanya Felix jadi sedikit mengerti perasaan Harry.

Felix kembali menguap lalu berbalik tanpa mengatakan apa-apa.

"Loh, Felix. Kamu mau kemana?!" teriak Herlinda kaget dengan tingkah ajaib Felix. Padahal Herlinda yakin kalau cowok itu tadi sempat kaget. Tapi tiba-tiba sikapnya langsung berubah cuek kembali dan sekarang malah meninggalkannya ditaman sendirian.

"Pulang. Gue ngantuk. Lo bilang tadi mau bicara sebentarkan? Ini udah lebih dari sebentar jadi gue mau pulang," jawab Felix tanpa menoleh lagi pada Herlinda.

"Tapi, Felix!"

Felix berhenti sejenak.

"Lo ga usah khawatir. Gue udah maafin dia, kok," katanya.

"Gue juga ga mau hidup dalam dendam yang berkepanjangan," batinnya.

Herlinda menghela napas lega. Ditatapnya sosok adik tirinya itu yang makin lama makin menjauh. Ada kelegaan dan perasaan bahagia saat semua masalah dan kesalahpahaman ini selesai.