Chapter 20

"Gue ngerasa bersalah banget, Ran. Harry kecelakaan pasti karena gue," kutatap Rani yang sedang mengaduk-aduk es campurnya dengan tidak semangat. UAN sudah hampir didepan mata, tapi aku merasa sangat down menghadapi UAN kali ini. Aku rasa aku tidak akan lulus.

"Lo ngulang kata-kata yang sama udah 20 kali sejak kemarin, Sha. Pusing gue dengernya," kata Rani jengkel.

"Aduh, elo yang cuma dengerin aja kepusingan, apalagi gue. Lo ga tau sih hati gue nih ga tenang tahu," kataku tak kalah jengkel.

Si Rani ini teman lagi kesusahan malah di ketusin.

"Yaelah, lo tuh piye, Sha. Musingin sesuatu yang ga penting. Wasting time banget tahu ga," kata Rani.

"Alah, sama elo juga. Dari kemarin gue tau lo lagi musingin UAN. Lo juga WASTING TIME!" kataku kesal.

"Yah, UAN kan penting makanya wajar gue pusing. Lah ini kalo elo, pake musingin Harry segala. Kalo elo khawatir tuh yah jengukinlah ke rumah sakit," kata Rani. "Jangan terus-terusan ngeluh pusing disini. Gue juga lagi pusing masalahnya."

Aku cemberut. Memang benar kata Rani, daripada aku kepusingan disini dan berkeluh kesah pada Rani yang tidak membantuku sama sekali, lebih baik aku menjenguknya ke rumah sakit karena aku memang khawatir pada keadaan cowok itu. Tapi untuk saat ini aku rasa aku tidak bisa. Kemarin saja saat hampir semua teman sekelas menengoknya kerumah sakit, aku tidak ikut bersama mereka. Aku masih takut untuk menemui Harry.

Rani melirik Sasha yang sedang menghela napas panjang.

"Lo ga berani nemuin Harry?" tanya Rani.

Aku mendongak lalu mengangguk.

"Gue takut buat ketemu dia," kataku.

"Yaudah entar siang gue temenin nengokin dia. Gimana?" tanya Rani membuatku berbinar-binar. Tumben banget nih cewek menawarkan diri untuk menemaniku pergi. Biasanya aku yang harus selalu memaksanya pergi bersama, dan malah terkadang juga aku harus menyesuaikannya dengan jadwal Rani yang padat kayak orang penting.

Aku mengangguk cepat sebelum Rani berubah pikiran.

"Nanti siang gue tunggu didepan gerbang."

***

Felix menatap pintu bernomor 02 bertuliskan nama Harry. Cowok itu sudah sadar sejak tadi pagi. Herlinda sendiri yang memberitahunya walaupun sebenarnya Felix tidak terlalu peduli apakah Harry sudah sadar atau belum. Hari ini dia datang kesini-pun hanya sebagai formalitas dan menunjukkan bahwa dia ingin berdamai dengan Harry. Selain itu tante Farin juga memang membujuknya berkali-kali agar menjenguk Harry.

"Gue ngapain sih disini?" Felix garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Kakak akan segera kembali," terdengar suara Herlinda dari dalam kamar. Suara itu terdengar mendekat. Dan tidak lama kemudian pintu dihadapan Felix terbuka.

Herlinda tampak terkejut dengan kedatangan Felix, sekaligus tidak menyangka bahwa cowok itu benar-benar datang menjenguk Harry.

"Felix, kenapa tidak masuk?" tanya Herlinda. Senyum lebar menghiasi wajahnya.

"Gue lagi mikir kira-kira gue masuk apa kaga," kata Felix membuat Herlinda terkikik geli. Kadang ucapan Felix itu terdengar seperti lawakan walaupun sebenarnya Felix tidak bermaksud demikian.

"Siapa kak?" teriak Harry dari dalam kamar. Harry dirawat di kamar VIP. Makanya dia bebas berteriak sesuka hati tanpa perlu takut mengganggu pasien lain.

"Kamu kedatangan tamu istimewa, nih!" jawab Herlinda membuat Harry mengerutkan keningnya.

Tamu istimewa? Apakah Sasha? tiba-tiba Harry merasa senang dan dia tersenyum-senyum berharap bahwa yang datang benar-benar Sasha. Meski Sasha sudah menyakitinya tapi dia sangat ingin bertemu gadis itu.

"Ngapain elo senyum-senyum sendiri kayak orang gila begitu?" Felix melangkah masuk kedalam setelah dipaksa oleh Herlinda. Gadis itu sendiri pergi keluar dan meninggalkan Felix untuk berbicara dengan Harry.

Senyum diwajah Harry memudar dan menoleh kaget mendapati kedatangan Felix yang tak disangka-sangkanya itu.

"Mungkin otak elo jadi bermasalah karena benturan keras dikepala elo itu," cibir Felix lagi membuat Harry kesal.

"Suka-suka gue. Jangan mentang-mentang gue lagi sakit elo bisa seenaknya ngatain gue," kata Harry gondok.

"Gue ga ngatain elo, kok. Gue bicara apa adanya," Felix angkat bahu. Dia berjalan menuju jendela dan membuka lebar tirainya. Jendela itu menghadap kearah jalan raya dan parkiran mobil depan rumah sakit.

"Pemandangannya jelek banget sih," gumam Felix.

Harry memandang punggung Felix yang sedang melongok keluar jendela.

"Lo mau apa kesini?" tanya Harry langsung.

Felix menoleh. "Lagi iseng ga ada kerjaan."

Harry melongo.

"Jangan salahin gue karena udah nengokin elo. Salahin kakak elo yang keras kepala itu. Dia udah maksa-maksa gue buat nengokin elo. Denger yah, gue juga males kesini. Buang-buang waktu gue aja," sahut Felix kemudian.

"Tumben banget elo nurutin kata-kata orang lain," sindir Harry.

"Gue itu aslinya emang orang yang penurut, kok," kata Felix tandas.

Mereka berdua sama-sama terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Ada jeda lama sampai akhirnya Harry buka suara.

"Sepertinya gue kena karma, ya," kata Harry. Dia menyandarkan kepalanya disandaran ranjang rawat.

Felix hanya melirik Harry sekilas dan kembali menatap jendela. Mobil-mobil dan motor berlalu lalang dijalan raya yang sedang padat. Dilihatnya pula ada beberapa mobil yang masuk kehalaman rumah sakit.

"Ini pasti balasan buat gue karena udah mencelakakan Eli waktu itu."

Felix tidak menjawab.

"Sebenarnya waktu itu gue ga ada niat sama sekali buat mencelakakan Eli. Tapi ga tahu kenapa waktu gue liat wajah dia, gue langsung teringat elo. Jadi timbul niat jahat gue. Gue menyesal."

Felix memang tidak terlalu mengenal Harry. Tapi menurut tante Farin yang mengenalnya sejak kecil, Harry adalah anak yang baik dan penurut, sama seperti dirinya lah dulu. Harry juga tidak pernah menyakiti siapapun. Tutur katanya halus dan sopan. Yah, masalah keluarga yang sama-sama menimpa mereka sedikit banyak telah mengubah kepribadian mereka.

Felix sendiri tidak akan kembali kepada kepribadiannya yang lama meski sudah tahu kenyataan yang sebenarnya. Ada rasa enggan dalam dirinya. Selain itu dia sudah merasa nyaman dengan dirinya yang seperti ini.

"Yah, lupain-lah. Ngapain sih elo bahas-bahas masa lalu. Hidup tuh kedepan, bukan kebelakang," kata Felix tajam.

Harry tertawa. "Lo benar."

Felix berbalik.

"Gue mau balik. Lo juga keliatannya ga kenapa-napa. Ngapain gue lama-lama disini," katanya sambil berjalan menuju pintu.

"Tunggu dulu Felix," cegah Harry. Ada satu pertanyaan yang sangat ingin dia tanyakan semenjak dirinya sadar dari koma. Kebetulan orang yang ingin dia tanya ada disini.

"Apalagi sih? Dari kemaren gue mau pulang ditahan-tahan terus," kata Felix ketus.

"Ada yang mau gue tanyakan."

"Cepetan tanya. Gue mau buru-buru pulang nih. Setelah ini elo bakalan kedatangan tamu istimewa yang gue rasa udah elo tunggu-tunggu dari tadi."

Harry mengangkat alisnya. "Siapa yang dia maksud?" pikirnya bingung.

"Kenapa elo mau mendonorkan darah elo ke gue?" tanya Harry. Felix yang sudah mencapai pintu berbalik lagi. Dia angkat bahu.

"Karena kita punya papa yang sama. Cuma itu."

Kata-kata Felix membuat Harry tertegun. Papa yang sama. Iya, mereka berdua memang memiliki papa yang sama. Tapi Harry tidak menyangka bahwa Felix mau mendonorkan darah padanya hanya karena alasan itu. Alasan yang padahal menjadi penyebab rasa permusuhan didalam diri Harry berkobar pada Felix.

Felix lalu kembali berbalik.

"Ada satu hal lagi."

Felix menghela napas bosan. Kakak beradik ini sungguh menyebalkan. Kemarin kakaknya bicara tidak ada habis-habisnya, sekarang adiknya juga sama.

"Lo pasti penasaran kenapa gue bisa kecelakaan," kata Harry pelan.

"Ga tuh," Felix menguap. Dia sudah memegang gagang handle pintu bersiap keluar.

Meski Felix menjawab demikian tapi Harry tetap melanjutkan ucapannya, "Gue ditolak Sasha."

Felix terdiam.

"Lo mau tahu kenapa? Karena dia bilang dia masih mencintai elo. Heh, dia benar-benar bodoh. Udah jelas-jelas lo ga cinta sama dia," suara Harry terdengar tercekat.

Kali ini ada getaran hebat dalam diri Felix. Ada perasaan senang sekaligus sedih berkecamuk dalam hatinya.

Dia-pun menggenggam erat gagang handle pintu untuk menahan perasaannya yang meluap-luap.

"Gue pulang," kata Felix berusaha tidak mengacuhkan kata-kata Harry barusan. Dia-pun membuka pintu dan tanpa di duga, dia bertemu dengan sosok gadis yang dia rindukan beberapa minggu ini.

Aku melongo mendapati Felix yang baru saja keluar dari kamar Harry. Jadi cowok ini juga datang menengok Harry? Bukankah mereka musuh bebuyutan?

"Sha," ucap Felix serak. Dia tidak menyangka bahwa dia akan bertemu Sasha disini. Padahal dia sudah berusaha untuk keluar dari kamar Harry secepat mungkin agar tidak saling bertemu.

Sasha menunduk dan tidak menjawab Felix.

Aku tidak berani masuk kedalam. Bukan karena aku tidak berani menemui Harry, tapi karena ada Felix dihadapanku. Cowok itu berdiri menutupi pintu dan masih tidak beranjak pergi juga. Aku merutuk dalam hati. Aku tidak bisa bicara padanya dan memintanya minggir.

Sementara Rani, gadis itu sedang ke toilet dan sepertinya toilet itu antri karena beberapa menit berlalu tapi tuh anak tidak juga kunjung menampakkan batang hidungnya.

"Kok elo masih berdiri disitu, Sha?" tanya Rani heran sambil memasukan tissue kedalam tasnya.

Dan dia mengerti kenapa Sasha tidak masuk kedalam. Dia melihat Felix yang menatap tajam Sasha sementara gadis itu terus menunduk dan menggenggam erat keranjang buah yang memang sengaja dibelinya sebagai buah tangan.

"Felix. Lo ngapain berdiri didepan pintu. Minggir kita mau masuk," kata Rani yang menghampiri tempat Sasha berdiri.

Felix tidak menjawab. Dia lalu menuruti ucapan Rani dan berjalan meninggalkan kamar rawat Harry.

Aku menatap punggungnya yang kemudian menghilang ditikungan menuju lift. Aku sangat merindukannya. Aku juga merindukan masa-masa dulu sebelum hubungan kami memburuk seperti ini.

Rani kemudian mengajak Sasha untuk masuk kedalam.

Harry menatap 2 orang gadis yang datang menjenguknya hari ini. Salah satunya adalah tamu istimewa yang disebut-sebut oleh Felix.

"Ini buat elo, Har. Cepet sembuh, ya," kataku sambil menyerahkan keranjang buahnya pada Harry.

"Thanks, Sha," kata Harry sumringah.

"Syukurlah elo ga apa-apa," kata Rani.

Harry tersenyum. "Iya Ran. Thanks yah udah mau jengukin gue."

Kami bertiga terdiam.

"Anu, Har. Maaf untuk yang waktu itu. Pasti penyebab lo kecelakaan begini karena gue," aku menundukkan kepala merasa bersalah.

"Lo ga salah apa-apa, kok," kata Harry.

"Lagipula, gue emang ga bisa menang dari Felix. Karena sebagai kakak yang baik, bukankah harus mengalah sama adiknya," lanjutnya membuat kami berdua melongo kaget.

Detik kemudian kami berdua berteriak. "Heeee."

***

Felix melemparkan pandangan menuju jendela tempat dimana dia berdiri tadi. Sorot matanya tampak sedih. Felix bisa tahu bahwa Harry akan kedatangan tamu istimewa karena dia melihat sosok Sasha dan Rani yang memasuki halaman rumah sakit lewat jendela itu. Ada perasaan kesal saat melihat Sasha datang untuk menjenguk Harry, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Mereka sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Selain itu, Felix juga memang sudah berniat untuk melupakan gadis itu. Karena jika mereka bersama sekarang, dia akan kembali melukai Sasha karena mereka akan kembali berpisah. Dia akan melanjutkan kuliah diluar negeri.

Biarlah, ini tetap menjadi rahasia hatinya. Rahasia yang tidak seorang-pun tahu, bahwa dia juga mencintai gadis itu.