Chapter 21

Felix mendapati mamanya yang sedang duduk diruang keluarga bersama Eli. "Sejak kapan mama pulang?" Bisik Felix dalam hati.

Tante Margaretha menoleh karena dia merasa Felix memperhatikannya.

"Sudah pulang? Bagaimana keadaan Harry?" tanya mamanya tersenyum.

Senyum yang dulu selalu dibenci Felix tapi kini terasa menyejukkan. Serasa sudah lama sekali dia tidak melihat senyum mamanya itu.

"Dia baik," Felix berjalan meninggalkan ruang tengah menuju kamarnya. Ada gejolak penyesalan kala melihat mamanya itu.

Felix menuju meja belajarnya dan membuka lacinya kembali. Memperhatikan logo formulir University of Queensland. Menimbang-nimbang kembali apakah dia harus pergi. Meninggalkan keluarganya yang berharga. Keluarga yang ditemukannya kembali lewat kisah yang diceritakan oleh tante Farin.

"Gue mesti gimana?" bisik Felix parau.

Tok..tok..

"Kak," Eli mengetuk pintu kamar kakaknya 2 kali sebelum Felix melongokkan kepalanya dari dalam kamar.

"Ada apa?" tanyanya datar.

"Ayo makan malam," ajak Eli.

Felix hanya mengangguk dan turun mengikuti Eli keruang makan. Mamanya sudah menunggu dimeja makan.

Felix memperhatikan menu makan malam mereka hari ini. Mamanya memasak makanan kesukaannya yaitu sup rumput laut. Biasanya dia tidak memperhatikan makanan yang dimasak mamanya karena dia selalu berusaha makan secepat mungkin dan sebisa mungkin tidak berlama-lama bersama mamanya dimeja makan.

Tapi kali ini lain. Dia memperhatikan masakan mamanya dan memperhatikan mamanya yang ternyata selalu mengambilkan nasi untuknya. Mamanya bahkan tahu berapa banyak porsi makan Felix.

"Sekolah Eli gimana?" tanya mama.

"Baik ma," kata Eli riang.

Lalu mama menatap Felix. Ragu untuk bertanya.

"Kalau sekolahmu bagaimana?" tanya mama perlahan.

"Baik. Sebentar lagi kami akan ujian," jawab Felix. Mendengar jawaban Felix yang tidak ketus, mamanya menghela napas lega. Ada perasaan aneh yang dirasakannya tapi buru-buru digubris perasaan itu.

"Lalu kau sudah menentukan akan kuliah dimana? Apa mau ke Jakarta? Mama sudah mengambilkan beberapa brosur Universitas di Jakarta," kata mamanya panjang lebar.

Deg...

Felix terhenyak. Dia belum mengatakan apapun tentang beasiswa itu. Dan mamanya sudah mengambilkan brosur Universitas di Jakarta.

"Aku sudah memutuskan akan kuliah dimana," kata Felix pelan.

"Benarkah? Kamu bisa katakan pada mama kamu mau kuliah dimana. Masalah biaya, biar nanti mama pikirkan," kata mamanya semangat mendengar jawaban Felix.

Felix menatap mamanya. "Mama ga perlu repot-repot keluarin biaya."

Mamanya tertegun, Eli menatap kakaknya heran. Kok bisa-bisanya kakaknya ngomong begitu.

***

Tante Margaretha duduk ditepi tempat tidurnya sambil memandangi brosur-brosur Universitas yang sudah sengaja dia ambil sewaktu dia dinas ke Jakarta. Dia tahu bahwa sebentar lagi Felix akan lulus SMA. Makanya dia mencari brosur-brosur agar putranya itu memilih kemana dia akan kuliah selepas SMA nanti.

Tapi dia tidak menyangka bahwa putranya mengatakan untuk tidak perlu repot-repot memikirkan biaya kuliahnya. Sebegitu bencinyakah Felix pada dirinya sampai-sampai putranya itu tidak ingin lagi menggunakan uangnya. Memang Felix bekerja, tapi ia masih ingin tetap membiayai sekolah dan jajan putranya itu.

Felix berdiri didepan kamar mamanya. Menghela napas sebentar lalu mulai mengetuk.

Tok...tok...

Tante Margaretha menghapus air matanya yang sempat berlinang dengan punggung tangannya.

"Sebentar."

Tante Margaretha membuka pintu perlahan dan mendapati sosok Felix didepan pintu, menatapnya.

"Boleh aku bicara?" tanyanya sopan.

Tante Margaretha terkesiap. Tidak biasa-biasanya Felix berkata sopan dengannya.

"Tentu saja boleh. Apa yang mau kamu bicarakan Felix?" tante Margaretha menyuruh Felix untuk masuk kekamarnya.

Felix berdiri membelakangi mamanya itu. Tante Margaretha membereskan brosur-brosur yang berserakan diatas tempat tidurnya.

"Mama tidak perlu lagi memikirkan biaya kuliahku. Aku sudah menentukan dimana aku akan kuliah. Aku tidak mau merepotkan mama lagi," kata Felix pelan, lebih mirip seperti bisikan tapi mamanya masih bisa mendengarnya dengan jelas.

"Felix," Tante Margaretha memandang punggung putranya yang sudah tumbuh semakin dewasa.

Felix berbalik. Matanya sedikit berkaca-kaca.

"Mama sudah tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku tidak akan membuat mama cemas lagi. Maaf atas kelakuan dan sikapku selama ini pada mama. Aku bukan anak yang berbakti," kata Felix serak. Butiran bening itu mengalir dari kedua pelupuk matanya.

Margaretha menutup mulutnya karena kaget. Dia kaget karena tiba-tiba Felix berkata begitu, dan lebih kaget lagi karena putranya itu menangis.

Tanpa sadar ia ikut menangis.

"Tidak. Ini semua salah mama karena telah membuatmu menderita. Mama tidak jujur padamu. Mama membuatmu menanggung penderitaan karena kesalahan mama," kata Margaretha parau.

Felix mendekati mamanya.

Diraihnya tubuh rapuh yang selama belasan tahun ini berjuang demi keluarganya. Sosok wanita cantik yang sudah termakan usia dan mulai beruban dan berkeriput. Sosok wanita selama 4 tahun ini menjadi objek kebencian Felix. Dan Felix menyesal karenanya.

"Felix menyesal mama. Tante Farin sudah menceritakan semuanya padaku. Kenapa mama tidak pernah mengatakan yang sesungguhnya padaku? Padahal mamalah yang lebih menderita karena aku," bisik Felix.

Mama menangis. Bukan karena sedih. Tapi lebih kepada bahagia karena dia telah menemukan kembali anaknya yang dulu.

"Tidak apa, sayang..tidak apa," mama mengusap-usap lembut kepala Felix.

Lama mereka menangis berdua.

Malam itu mereka menghabiskan waktu untuk mengobrol, membicarakan segala macam hal yang tidak pernah mereka obrolkan sebelumnya. Mengembalikan waktu 4 tahun yang telah terlewat. Felix juga tak lupa mengatakan rencana kuliahnya ke Australia. Mama sampai terharu karena putranya itu berhasil kuliah diluar negri dengan beasiswa.

***

Margaretha berlari dengan tergesa ke hotel yang ditempati Farin. Selama tinggal di Bandung, sahabatnya itu tinggal di hotel berdua dengan Herlinda. Mereka akan berada di Bandung sampai Harry keluar dari rumah sakit.

Margaretha mengetuk pintu kamar hotel berulang kali. Dia mendapatkan nomor kamar Farin dari resepsionis dan diantar oleh seorang bellboy.

"Loh, Retha," Farin menatap Margaretha takjub. Kejutan yang cukup menyenangkan disore itu. Baru saja ia dan Herlinda akan meninggalkan hotel untuk menjenguk Harry dirumah sakit. Keadaannya semakin membaik, setidaknya cowok itu masih bisa mengikuti UAN yang 2 hari lagi akan berlangsung.

"Untung kau datangnya tepat waktu. Kami baru saja ingin pergi," Farin tersenyum.

Margaretha berkaca-kaca menatap sahabatnya itu lalu memeluknya. Membuat Farin sedikit terhuyung dan membentur pintu.

"Ada apa?" tanya Farin panik. "Apa telah terjadi sesuatu?"

Margaretha menggeleng.

"Tidak. Aku hanya ingin berterima kasih. Terima kasih karena telah mengembalikan putraku," isaknya bahagia.

Farin tercenung lalu tersenyum. Dia mengusap kepala Margaretha dengan perasaan bahagia.

"Aku turut senang mendengarnya."

***

Akhirnya UAN berakhir dengan lancar. Aku tidak menduga bahwa aku bisa mengerjakan semua soal dengan baik. Mungkin karena selama beberapa minggu ini aku selalu ikut nongkrong di perpus bareng Rani. 2 hari sebelum UAN, Harry keluar dari rumah sakit. Aku benar-benar senang karena cowok itu bisa ikut UAN juga. Tadinya aku khawatir akan kondisinya yang masih lemah karena kecelakaan. Apalagi dia juga sempat mengalami patah tulang.

Kini tinggal menghadapi ujian sekolah dan ujian praktek. Aku rasa aku bisa menyelesaikan ujian sekolah dan praktek dengan baik.

Aku menatap Felix yang baru saja datang dengan wajah suntuk. Aku mengikuti langkahnya yang kemudian duduk disebelah Harry yang sedang asik mengobrol dengan Riko. Setelah tahu semuanya dari cerita Harry, rasanya aneh melihat mereka berdua duduk berdampingan sekarang. Aku masih tidak percaya bahwa mereka berdua adalah saudara tiri.

Dan yang lebih tidak bisa kupercaya adalah alasan Harry pindah ke Bandung hanya karena ingin membuat kehidupan keluarga Felix menderita. Dan dia jugalah yang telah mencelakakan Eli. Dari cerita Harry juga aku tahu bagaimana kompleksnya masalah keluarga mereka.

Dan intinya adalah kesalahpahaman itu terjadi karena salah mama Harry. Mama Harry yang telah membuat tante Margaretha dicap sebagai wanita selingkuhan dan Felix adalah anak haram, mama Harry juga yang telah membuat keluarga Felix terusir ke Bandung hanya karena ingin harta warisan papa mereka.

Kulihat Felix menelungkupkan kepalanya diatas meja.

Rasanya aku ikut bersedih mendengar semua hal yang diceritakan oleh Harry waktu dirumah sakit. Aku sendiri tidak bisa menyalahkan Harry, karena cowok itu juga merupakan korban dari mamanya sendiri.

Aku masih memandangi Felix yang tampak pulas tertidur. Padahal sebentar lagi bel masuk berbunyi.

Harry menoleh dan melihat Sasha yang sedang asik memandangi cowok disebelahnya ini. Dia tersenyum-senyum sendiri dan kepikiran ide jahil.

Harry menginjak kaki Felix pelan.

"Lo ngapain sih? Jangan ganggu gue," bisik Felix risih.

"Lo lagi diliatin tuh sama Sasha. Bangun dong," goda Harry. Hubungan mereka mulai membaik sekarang. Harry sendiri mulai menerima Felix sebagai adiknya. Tapi kalau Felix, entahlah. Cowok itu masih belum bisa menerima begitu saja setelah apa yang dilakukan keluarga tante Renita pada keluarganya.

Felix mendongak, matanya beradu pandang dengan Sasha yang langsung salah tingkah karena ketahuan memandanginya.

Aku buru-buru berbalik dan bangkit berdiri menuju toilet.

"Sial, kok dia bangun tiba-tiba sih," umpatku dalam hati.

Harry tergelak melihat sikap salting Sasha.

"Dia lucu banget."

Felix meliriknya malas. "Lo itu ngetawain apaan sih? Berisik."

"Lo ga liat ekspresinya waktu dia kepergok sama elo?" tanya Harry disela-sela tawanya.

"Ga tuh," sahut Felix yang kemudian bangkit dari duduknya dengan malas dan berjalan menuju toilet juga.

Dia tidak mungkin tidak lihat bagaimana ekspresi kaget Sasha saat gadis itu kepergok sedang memandanginya. Dia sendiri ingin tertawa melihatnya tapi dia tidak ingin melakukannya didepan Harry.

Aku menatap cermin sambil memegang dadaku. Jantungku berdegup dengan cepat.

"Aduh, gue bego banget sih. Kenapa bisa ketahuan sih?" aku memukul-mukul kepalaku sendiri membuat beberapa siswa cewek yang baru masuk kedalam toilet memandangiku keheranan.

Bel panjang berbunyi, aku bergegas keluar dari toilet.

Saking terburu-burunya aku menubruk orang didepan pintu toilet dan terhuyung ke belakang.

Felix buru-buru menangkap tangan Sasha, menjaga agar gadis itu tidak jatuh.

Aku menatap Felix yang memegang tanganku erat.

"Kamu ga apa-apa?" tanyanya khawatir.

"A...gue ga apa-apa," kataku terbata. Aku buru-buru melepaskan tanganku dari pegangan tangan Felix dan kabur sesegera mungkin dari hadapan cowok itu.

***

Hari ini jam terakhir adalah pelajaran olahraga. Pak Sardi, meminta kami untuk berlari mengelilingi lapangan sepak bola 5 kali untuk cewek, dan 10 kali untuk cowok. Kami berlari bergantian. Yang pertama berlari adalah anak-anak cowok, jadi kami anak-anak cewek menunggu di tepi lapangan dan memperhatikan cowok-cowok kelas kami berlari.

Felix berlari dengan santai dan tidak terlalu mempedulikan Pak Sardi yang berteriak-teriak dari pinggir lapangan yang memintanya untuk berlari lebih cepat. Dia memang agak malas untuk berlari meski biasanya dia berlari mengelilingi lapangan basket kompleks untuk pemanasan sebelum mulai bermain basket.

"Kenapa sih tuh guru kalo ngajar olahraga kita selalu disuruh lari? Cape tau ga," keluh Yanny.

Yang lain mengangguk-angguk sambil kekipasan karena cuaca hari ini cukup terik.

Meski UAN sudah berakhir, tapi kami masih mengikuti pelajaran seperti biasa, sampai nanti tiba UAS dan ujian praktek. Dan aku yakin ujian praktek untuk olahraga adalah berlari.

Harry berhenti berlari tampak terengah-engah. Sepertinya cowok itu sudah menyelesaikan larinya.

"Felix, kau baru selesai 8 putaran. Cepat 2 putaran lagi," kata Pak Sardi ketika melihat Felix berhenti untuk menarik napas.

Rupanya tuh guru menghitung jumlah putaran tiap anak..

"Santai aja kali, pak. Saya lagi ngambil napas dulu," kata Felix cuek yang langsung dipelototi oleh Pak Sardi.

Cewek-cewek tersenyum-senyum mendengar celetukannya.

Tak lama Felix kembali berlari untuk menyelesaikan larinya yang tinggal 2 putaran.

"Payah lo," kata Harry saat Felix sudah selesai berlari dan duduk dipinggir lapangan sambil berselonjor.

Felix mendengus. "Ngapain sih lari buru-buru, kayak orang lagi dikejar anjing aja," batinnya.

Aku bersiap-siap untuk berlari dan berkumpul di garis lapangan yang berwarna putih bersama 15 anak cewek lainnya.

Aku memandang langit dan menutupi mataku dengan tangan karena silau.

Vonny menatapku.

"Sha, muka elo pucat banget," katanya membuat yang lain ikut menatapku.

"Iya, Sha. Elo lagi sakit, ya?" tanya Saphira.

Aku menggeleng. "Gue cuma lagi pilek aja, kok."

"Mendingan elo minta ijin ke Pak Sardi buat ga ikut lari," saran Pricilla.

"Gue ga apa-apa," kataku. Cewek-cewek itu angkat bahu tanda menyerah.

"Terserah elo aja, deh," kata Yanny.

Pak Sardi memberi aba-aba dan kami mulai berlari. Aku berlari pelan-pelan bersama beberapa anak cewek yang larinya memang lambat.

Felix menatap Sasha yang berlari pelan-pelan. Dia menyadari ada yang aneh dengan gadis itu. Wajah gadis itu tampak pucat dan berkali-kali memegangi kepalanya.

"Aduh, kok kepala gue tiba-tiba pusing gini?" keluhku dalam hati.

"Sha, elo ga apa-apa?" Vonny mensejajarkan larinya dengan lariku yang perlahan.

Aku tersenyum lemah.

"Gue ga apa-apa," kataku keras kepala. Padahal kepalaku serasa mau pecah dan mataku sedikit berkunang-kunang.

Dan menjelang putaran ketiga, aku rasa aku tidak kuat lagi. Pusingnya tidak tertahankan. Langkahku semakin terhuyung dan bruk...

Sasha pingsan tak sadarkan diri dipinggir lapangan dekat lapangan basket. Felix buru-buru bangkit. Dia sudah yakin bahwa gadis itu akan pingsan. Dia bergegas menyongsong Sasha yang dikerumuni oleh beberapa anak cewek lain yang tampak cemas. Sementara cowok-cowok yang lain tampak terkejut dengan kejadian itu, hanya saja refleks mereka tidak secepat Felix yang kini menggendong Sasha dan membawanya menuju UKS.

Bu Marlin yang sedang bertugas jaga di UKS kaget dengan kedatangan Felix yang tiba-tiba. Selain itu cowok itu juga diikuti oleh beberapa anak cewek lain yang cemas pada keadaan Sasha.

Felix menidurkan Sasha yang tak sadarkan diri diatas ranjang dan meminta Bu Marlin untuk memeriksa kondisinya.

"Kalian balik aja ke lapangan. Disini biar gue yang jaga," kata Felix pada anak-anak cewek yang berdiri didekat ranjang UKS.

Mereka menurut dan bergegas meninggalkan UKS.

"Felix kok masih perhatian sih sama Sasha, padahal kan mereka udah putus?" bisik Yanny pada Vonny. Mereka melangkah menuju lapangan kembali, ke tempat Pak Sardi yang menunggu dengan harap-harap cemas. Berharap bahwa siswanya itu tidak apa-apa. Ia takut kalau Sasha pingsan karena diminta berlari 5 putaran.

Vonny angkat bahu. "Biarpun udah putus, ga menutup kemungkinan mereka bakal balikan lagi."

"Yah, padahal gue ngincer Felix," kata Yanny pada dirinya sendiri. Dia tampak kecewa apabila perkataan Vonny memang benar terjadi. Sudah sejak kelas 1 dia menyukai Felix. Awal mula perasaannya karena dia kagum pada kepintaran cowok itu, dan sikap cueknya yang tidak mudah ditebak.

Tapi meski selalu satu kelas dari kelas 1, Yanny tetap tidak bisa mendekati Felix. Makanya dia iri sekali saat tahu bahwa Sasha yang baru pindah sekolah dikelas 2 berhasil jadi pacar Felix sewaktu mereka masuk kelas 3. Dan harus dia akui, bahwa dia tidak menyukai Sasha kala itu. Tapi seiring berjalan waktu dia mulai bisa menerima hubungan antara Sasha dan Felix. Sekarang saat dia tahu bahwa hubungan Felix dan Sasha sudah berakhir, dia merasa ada harapan.

"Lo mendingan lupain Felix, deh," kata Vonny. "Lo ga liat gimana khawatirnya dia ngeliat Sasha pingsan. Udah gitu, dia juga yang paling cepet nolongin Sasha waktu Sasha pingsan. Padahal cowok-cowok yang lain boro-boro. Mereka malah asik-asik neduh dipinggir lapangan. Itu kan nunjukin kalo Felix tuh merhatiin Sasha."

Yanny terkekeh.

"Lo benar. Kayaknya udah waktunya bagi gue buat ngelupain dia."

***

"Ibu tinggal dulu yah Felix. Ada rapat dadakan. Tolong jagain Sasha, yah," kata Bu Marlin yang dibalas anggukan oleh Felix. Kalau ada rapat ada kemungkinan jam olahraga sudah selesai karena Pak Sardi harus ikut rapat. Selain itu jam pulang juga tinggal setengah jam lagi.

Felix duduk dipinggir ranjang dan menatap Sasha yang tertidur pulas.

Perlahan dia memegang tangan Sasha yang terasa hangat.

Harry baru saja akan masuk kedalam UKS untuk melihat keadaan Sasha tapi dia mengurungkan niatnya itu karena melihat pemandangaan yang menarik lewat jendela UKS. Dia melihat Felix yang sedang mengenggam tangan Sasha erat dan mengusap-ngusap kepala gadis itu lembut.

Felix memang belum kembali sejak mengantar Sasha ke UKS, dia mengira bahwa cowok itu pergi ke kelas terlebih dulu karena jam olahraga memang di sudahi lebih awal karena Pak Sardi ada rapat, tapi dikelas-pun dia tidak menemukan Felix. Tidak dia kira, dia akan menemui kejadian menarik di UKS.

Dia telah salah mengira selama ini. Dia kira Felix tidak pernah mencintai Sasha, tapi ternyata...

Felix menghela napas.

"Aku sayang sama kamu, Sha," bisiknya parau.