Chapter 22

"Lo mencintai Sasha?" tanya Harry pada Felix yang baru saja keluar dari ruang UKS. Harry menyandarkan badannya di tembok dan menatap tajam punggung Felix yang membelakanginya.

Felix berbalik. Ditatapnya saudara tirinya itu dengan kening berkerut.

"Maksud lo?"

Harry tertawa mengejek. "Lo ga usah pura-pura. Gue udah tau semuanya. Tadi gue liat sendiri elo menggenggam tangan Sasha. Ga mungkin elo khawatir banget sama dia kalo elo ga cinta sama dia."

Felix menghela napas.

Harry membetulkan posisi berdirinya.

"Lo kenapa ga bilang ke Sasha kalo lo juga cinta sama dia? Lo ga kasian sama dia? Dia tuh masih mengharapkan elo."

"Lo ga tahu apa-apa, Har," Felix memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa pening.

"Apa yang gue ga tahu?" tuntut Harry. Dia merasa Felix masih menyembunyikan sesuatu. Dia merasa terkejut mengetahui kenyataan bahwa Felix juga mencintai Sasha, tapi kenapa cowok ini tidak juga mau mengakui perasaannya pada gadis itu.

Felix mengibaskan tangannya.

"Udahlah, gue mau pulang. Tolong jaga Sasha dan antar dia pulang," kata Felix lalu berbalik dan berjalan meninggalkan Harry yang melongo. Di otak cowok itu penuh dengan tanda tanya.

"Kenapa gue?! Kenapa ga elo aja?!" teriak Harry.

Felix melambaikan tangannya tanpa berbalik.

Harry menghela napas. Lalu melemparkan pandangan ke dalam ruang UKS. Ke ranjang tempat dimana Sasha berada.

***

Aku bermimpi bertemu Felix, cowok itu memegang tanganku dan tersenyum hangat. Perlahan dia mendekatiku dan berbisik ditelingaku.

"Aku sayang kamu, Sha."

Air mata itu mengalir saat mendengar dia mengatakan hal itu padaku. Kata-kata yang selama ini aku tunggu-tunggu. Kata-kata yang selalu aku harap jadi kenyataan.

Harry memandang Sasha sambil mengusap-usap kepalanya. Dia sedikit kaget melihat gadis itu menangis. Padahal mata gadis itu masih terpejam.

"Sha," panggil Harry.

Aku merasa ada sebuah suara memanggilku, suaranya jauh lebih jelas dan lebih nyaring ketimbang suara Felix yang semakin samar-samar.

Lalu sosok Harry muncul, cowok itu menggandeng tanganku dan membawaku pergi meninggalkan Felix yang tersenyum lemah sambil melambaikan tangannya.

Dalam sekejap, aku membuka mataku. Kedua mataku terasa sembab dan berair. Mimpi.

"Sha," Harry mendekati Sasha yang matanya basah karena menangis.

Aku mengenali suaranya. Harry menatapku dengan wajah cemas.

Aku balas menatapnya dengan sedih.

"Kenapa elo datang? Kenapa elo harus muncul? Karena elo muncul tiba-tiba, Felix jadi pergi. Padahal dia baru aja bilang kalau dia sayang sama gue," aku terisak.

Harry tertegun. Mungkinkah Sasha tahu kalau tadi Felix ada disini?

Harry tampak tidak mengerti.

Dia terdiam menunggu Sasha yang masih belum berhenti menangis.

"Maaf. Ga seharusnya gue marah sama elo," kataku sambil menghapus air mataku dengan punggung tangan.

"Lo udah ga apa-apa?" tanya Harry cemas. Aku mengangguk.

"Gue baik-baik aja."

"Ayo gue anter pulang," kata Harry sambil bangkit berdiri. Aku mengangguk.

Dia membantuku yang terhuyung-huyung ketika turun dari ranjang.

***

Mama mengucapkan terima kasih pada Harry yang mengantarku sampai kedepan rumah.

Aku tersenyum lemah sambil mengucapkan terima kasih.

Harry pamit dan menuju motornya yang dia parkir di depan rumah Sasha. Dia memandang rumah Felix yang berada tepat diseberang rumah Sasha. Rumah itu tampak sepi.

Harry lalu mengenakan helmnya dan pergi dari sana.

Felix menyandarkan tubuhnya di balik pintu kamarnya. Dia memperhatikan gerak gerik Harry yang mengantar Sasha hingga kerumahnya. Gadis itu masih tampak pucat. Meski enggan tapi untunglah Harry tetap mengantar gadis itu pulang.

"Maaf, Sha. Maafkan aku."

Dia tidak ingin menyakiti gadis itu lebih dari ini. Lebih baik dia diam dan mengubur perasaannya sendiri. Menutupi kenyataan kalau dia mencintai gadis itu. Karena dialah yang akan paling terluka ketika perpisahan itu terjadi.

***

Felix mengerutkan keningnya ketika mendapati Harry yang sedang duduk diruang keluarganya bersama dengan Herlinda dan mama. Dia baru saja pulang bermain basket di lapangan kompleks.

"Kalian berdua ngapain disini?" tanya Felix heran.

"Datang berkunjung, lah," sahut Harry.

"Perasaan kami ga pernah ngundang elo berdua buat bertamu kesini."

"Felix," mama memberi isyarat untuk berhenti bicara dan duduk disebelahnya.

"Kami berdua khusus datang kesini untuk meminta maaf secara langsung ke keluarga kamu," kata Herlinda.

"Bukannya elo udah minta maaf?" tanya Felix.

"Kakak gue udah. Sekarang gue mau minta maaf secara langsung," jawab Harry.

Herlinda tersenyum. "Itu benar."

Mama tersenyum. "Kalian tidak perlu minta maaf. Karena memang tidak ada yang perlu dimaafkan."

Harry tersenyum. "Terima kasih tante."

Mama mengangguk. "Sama-sama. Oh, ya kalian sudah makan malam belum? Biar tante siapkan makanan dulu."

Mama lalu beranjak ke dapur diikuti Herlinda yang ingin membantunya. Eli juga pergi kedapur bersama 2 wanita itu.

Kini diruang tengah itu hanya ada Harry dan Felix. Felix tak mengacuhkan Harry dan memilih menonton televisi.

"Ada yang mau gue bicarain," kata Harry.

"Soal apa?" tanya Felix tanpa menoleh.

"Sasha," jawab Harry singkat. Felix meliriknya. "Gue rasa ga ada perlu dibicarain kalo soal itu."

"Ada. Lo udah nyakitin dia tahu ga? Tadi dia nangis-nangis didepan gue karena mimpiin elo," kata Harry dengan suara tertahan.

Felix menarik napas berat. "Ikut gue."

***

Harry membaca surat itu dengan seksama. Felix menatapnya tanpa ekspresi.

"Udah jelas? Kenapa gue ga bisa bilang sama Sasha?" Felix mengambil kembali suratnya saat Harry mengembalikannya.

Dia menatap rumah Sasha dari teras kamarnya. Dia bisa melihat kamar Sasha yang tertutup tirai dan tampak gelap.

"Lo lanjut ke Aussie?" tanya Harry.

Felix mengangguk.

"Gue akan berangkat setelah upacara kelulusan."

"Lalu sampai saat itu elo ga mau coba bilang ke Sasha?" tanya Harry serius.

Felix menggeleng.

"Gue ga perlu ngomong apa-apa sama dia. Toh nanti juga dia bakal tahu kalau gue pergi ke Australia."

"Bukan itu bloon. Aduh, elo ini jadi cowok peka sedikit, kek. Maksud gue elo ga mau bilang kalo elo sayang sama dia?" tanya Harry gemas pada pemikiran Felix yang ajaib.

"Percuma. Gue malah bakal nyakitin dia lebih dari ini. Mana bisa gue sekarang bilang sayang sama dia, terus ga lama kemudian gue ninggalin dia pergi ke Australia. Gue juga pergi untuk waktu yang lama. 4 tahun. Mana ada orang yang mau setia nunggu sampai selama itu," kata Felix.

"Gue yakin Sasha bakal nunggu elo," Harry tampak yakin.

Felix mendengus lalu terkekeh. "Perasaan itu gampang berubah, Har."

***

Ujian akhir sekolah & ujian-ujian praktek berlalu begitu saja tanpa terasa. Bagi anak-anak kelas 3, sekarang hanya tinggal menunggu waktu pengumuman kelulusan. Karena itu pula, tak jarang banyak anak kelas 3 yang tidak masuk sekolah karena merasa sudah tidak ada kepentingan lagi.

Felix menatap kalender. Lusa adalah hari keberangkatannya. Semakin dekat waktunya, membuat Felix semakin berat untuk pergi. Sebenarnya mama tidak memaksa untuk Felix kuliah di luar negeri. Hanya saja dia tidak ingin mengecewakan mamanya karena dari awal dia sudah mengatakan kalau dia akan melanjutkan kuliahnya di Australia dan tidak lagi ingin membuat mamanya khawatir. Sebenarnya ini pilihan yang cukup sulit. Tapi Felix sudah dewasa. Dia harus mulai menentukan bagaimana kehidupannya kelak.

***

Orang-orang sudah tidak asing dengan namanya saat nama itu disebut untuk menerima penghargaan Juara Umum Sekolah untuk kelas 3.

Felix maju kedepan podium dan menerima piagam penghargaan untuk yang ketiga kalinya diringi tepukan ratusan siswa dari kelas 1 sampai kelas 3. Kali ini langkahnya lebih ringan karena semua beban hidupnya sudah terangkat hampir sepenuhnya. Jika dulu dia selalu enggan untuk menerima penghargaan itu, kali ini dia bersemangat untuk menerimanya dan mempersembahkan piagam terakhir kepada mama sebelum dia pergi.

"Silakan sepatah 2 patah kata Felix," kata Pak Sastro.

Felix mengangguk.

Aku menatap cowok itu yang tampak sumringah. Entah ini hanya perasaanku saja atau bukan, tetapi cowok itu sekarang tampak lain. Wajahnya lebih terlihat berseri-seri dan tidak lagi dingin seperti dulu.

"Gue emang ga bisa menang dari elo dalam hal apapun," bisik Harry dalam hati sambil memandang Felix yang sedang mempersiapkan diri untuk berpidato didepan seluruh orang yang hadir di upacara penghargaan sekaligus upacara kelulusan SMA Indah Persada angkatan ke-11.

"Tidak banyak yang ingin saya sampaikan kepada kalian. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih untuk 3 tahun ini kepada semua orang yang telah mendukung saya. Kepada orang-orang yang hadir dihidup saya dan telah memberi begitu banyak warna. Saya juga ingin meminta maaf kepada orang-orang yang mungkin pernah saya sakiti. Entah itu sengaja atau tidak, tapi saya menyesal. Ini merupakan 3 tahun yang luar biasa bagi saya. Dan saya banyak belajar karenanya." Felix berhenti sejenak. Kami semua menahan napas dan menunggu kata-kata penutup dari Felix.

"Saya akan merindukan kalian semua." Felix tersenyum lalu menunduk pada semua hadirin yang terdiri dari siswa-siswa dan orang tua murid. Tante Margaretha dan Eli kulihat berdiri diantara para orang tua murid. Mama juga datang bersama dengan papa.

Kemudian Felix berbalik dan menghadap para guru-guru yang berbaris di panggung podium aula sekolah. Dia kembali membungkukkan badannya dalam-dalam memberikan penghormatan terakhirnya kepada semua guru-guru yang sudah dengan senang hati memberikan ilmu kepadanya. Dia menyadari bahwa selama ini dia telah banyak menimbulkan masalah bagi guru-guru dihadapannya ini. Tapi, tidak pernah ada kata terlambat untuk meminta maaf dan berubah.

Melihat Felix yang membungkukkan badannya dihadapan seluruh guru, siswa-siswa yang lain tanpa terkecuali ikut membungkukkan badan dan memberikan penghormatan serta apresiasi mereka kepada orang-orang yang pahlawan tanpa tanda jasa.

Kemudian tepukan tangan bergemuruh memenuhi seluruh aula sekolah.

***

"Kakak yakin tidak mau diantar oleh kami?" tanya Eli. Subuh-subuh, gadis kecil itu sudah bangun untuk mengantar Felix yang memang akan berangkat dengan bis jurusan Jakarta yang akan berangkat pukul 7 pagi.

Felix menggeleng.

"Ga usah. Kalau kalian mengantarku, aku malah jadi ga bisa pergi," kata Felix.

"Kalau begitu kakak tidak usah pergi saja. Kakak kuliah saja di Bandung. Jadi kita bisa berkumpul lagi seperti dulu," kata Eli.

Felix menggeleng.

Dia memakai ranselnya dan mendorong kopernya menuju taksi yang sudah menunggu sejak tadi.

"Kami akan merindukanmu. Kamu jaga diri baik-baik yah," bisik mama saat beliau memeluk putranya itu untuk yang terakhir kalinya. Felix berencana tidak akan pulang selama studinya belum berakhir. Jadi bisa diperkirakan bahwa dia tidak akan bisa bertemu keluarganya selama 4 tahun atau mungkin lebih.

Felix tersenyum tipis dan mengalihkan pandangannya kepada Eli.

"Hei, gadis kecil. Jangan sedih begitu dong. Sini peluk kakak," kata Felix sambil memeluk Eli yang tampak sudah berkaca-kaca.

"Kakak jangan lupa makan yah. Terus tidurnya jangan sering begadang," Eli akhirnya menangis juga. Tanggul yang sudah dia tahan-tahan akhirnya roboh.

"Baik bos. Tolong jaga mama. Dan juga yang benar sekolahnya," pesan Felix.

"Tentu saja Eli akan menjaga mama dengan baik. Dan sekolah yang benar biar jadi juara umum seperti kakak," kata Eli.

Felix mengacak-acak rambut adiknya itu.

"Kakak yakin kamu pasti akan melakukannya dengan baik."

Felix melemparkan senyum terakhirnya pada kedua orang yang dikasihinya itu sebelum dia masuk kedalam taksi yang akan membawanya ke terminal bis. Ada sedikit kesedihan yang tak tertahankan bergemuruh di dadanya. Tapi dia masih mencoba untuk menahannya agar tidak menangis didepan mama dan Eli. Dia harus menunjukkan ketegaran hatinya dan keteguhannya karena jalan ini memang jalan yang sudah dipilihnya. Dan dia harus siap dengan segala konsekuensinya.

***

Aku mengucak-ngucak mataku yang masih berair. Rasanya malas sekali bangun pagi hari ini. Karena sudah tidak sekolah seharusnya aku bisa bangun lebih siang.

Mama sedang menyiapkan nasi goreng sedangkan mbok Yem sedang mencuci baju dibelakang.

"Pagi mama," sapaku sambil menguap.

"Pagi sayang," sapa mama riang.

Aku menuang segelas air dan meneguknya hingga tak bersisa.

Mbok Yem lewat didepanku sambil membawa keranjang cucian.

"Pagi mbok," sapaku pada wanita setengah baya yang sudah mengabdi dikeluargaku hampir 20 tahun.

"Pagi non. Eh iya, non. Tadi pagi den Felix nitipin surat buat non," kata mbok Yem sambil merogoh kantung celananya dan mengeluarkan sepucuk surat.

Aku mengerutkan kening. "Tadi pagi kapan?"

"Tadi, subuh-subuh sekali non. Waktu bibi keluar mau menyapu halaman den Felix sudah ada didepan rumah. Waktu bibi tanya, katanya hanya mau nitipin surat ini buat non," jawab mbok Yem.

"Kenapa tidak membangunkan saya mbok?" tanyaku. Aku merasakan firasat aneh. Beberapa bulan ini tidak saling berbicara, kenapa dia sekarang tiba-tiba memberikan surat padaku.

"Den Felix menolak. Katanya ga usah bangunin non. Yaudah, mbok ambil aja suratnya. Terus den Felix pergi naik taksi."

Saat mendengar pernyataan terakhir mbok Yem itulah aku menyadari sesuatu.

Aku segera menyobek amplop surat berwarna putih tersebut. Dan didalamnya ada secarik kertas. Aku sangat mengenal tulisan itu. Tulisan tangan Felix.

Dear Sasha,

Bagaimana kabarmu? Aku harap kamu baik-baik saja. Aku bukanlah orang yang pandai dalam berkata-kata, tapi aku harap surat ini bisa mewakiliku untuk mengatakan semuanya padamu. Karena banyak sekali yang ingin aku katakan padamu tapi tidak pernah ada kesempatan untuk mengatakannya.

Sebelumnya aku juga ingin minta maaf padamu atas kesalahanku waktu itu. Aku tidak mendengarkan penjelasanmu lebih dulu. Dan itu membuat hubungan kita memburuk dan kamu akhirnya membenciku. Jujur saja, aku sangat membenci diriku sendiri saat itu.

Aku ingin sekali memperbaiki hubungan kita. Aku ingin sekali mengatakan padamu bahwa aku menyayangimu dan kita mulai lagi dari awal.

Meski aku tahu tidak semudah itu bagimu untuk memaafkan aku tapi aku ingin mencobanya. Namun penolakanmu waktu itu cukup untuk membuatku menyadari bahwa mungkin ini sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Dan itu sedikit membuatku sedih.

Tapi kemudian aku bersyukur, bahwa aku tidak sempat mengatakan hal itu padamu. Karena aku tidak ingin menyakitimu lagi dengan kepergianku.

Sebenarnya, saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah pergi jauh. Aku melanjutkan studiku ke Australia. Maaf aku tidak mengucapkan selamat tinggal secara langsung padamu.

Terakhir, terima kasih karena telah menyayangiku dan memilihku sebagai orang yang kamu cintai. Tapi, aku rasa aku bukanlah orang yang pantas untuk mendapatkan cintamu yang begitu tulus. Semoga kehidupanmu setelah ini bahagia. Aku selalu mendoakanmu.

Felix

***

Aku berlari keluar dengan cepat menuju rumahnya. Menekan bel sekuat tenaga dan berteriak-teriak bagai orang kesetanan memanggil namanya.

Eli keluar dari rumah dengan tergopoh-gopoh. Dan dia cukup kaget melihat Sasha yang berdiri didepan gerbang rumahnya.

"Kak Sasha!" Eli membuka gerbang rumahnya.

"Mana dia? Mana Felix? Katakan kalau ini bohong. Dia tidak benar-benar pergikan? Jawab kakak Eli!" aku mencecar Eli.

Eli memandang gadis didepannya ini dengan wajah sedih.

Tak perlu waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa ini kenyataan. Dia benar-benar sudah pergi. Dan dia tidak mengucapkan selamat tinggal padaku.

"Ini pasti bohong'kan?" aku terisak. Meluruh didepan gerbang rumah Felix yang kini hanya akan dihuni oleh 2 orang. Orang-orang yang berlalu lalang didepan rumah Felix memperhatikan kami.

"Kak Sasha," Eli berjongkok dan mengusap kepalaku.

"Katakan pada kakak kalau ini bohong," aku memeluknya dan terisak disana.