Epilog

4 tahun kemudian...

***

"Selamat yah sayang," mama mencium kedua pipiku dan papa memelukku sejenak. Hari ini adalah hari wisudaku. Berdiri bersama ribuan wisudawan-wisudawati dari fakultas-fakultas lain. Merasakan euforia kemenangan atas kelulusan kuliah yang ditempuh dengan susah payah selama 4 tahun.

Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Menatap teman-teman seperjuanganku selama di kampus. Banyak canda tawa yang kami alami. Bahkan berkat mereka aku bisa melewati masa-masa tersulit dalam hidupku. Setelah hari ini kami akan berpisah, aku rasa aku akan merindukan mereka semua.

"Sha..sini," Jane melambaikan tangannya dari kerumunan teman-teman yang satu fakultas denganku. Aku pamit pada papa dan mama, menghampiri mereka dan berfoto bersama untuk terakhir kali. Setelah ini kami semua akan tiba pada fase dimana kami akan memulai kehidupan sebagai orang dewasa. Mulai mencari pekerjaan yang diimpi-impikan, dan mengejar cita-cita. Atau mungkin juga menikah. Aku sendiri sudah memikirkan masa depanku. Aku akan mulai mencari pekerjaan yang sesuai dengan jurusan kuliahku.

Seminggu yang lalu aku menerima email dari Rani, sahabatku itu berhasil lulus dengan predikat tertinggi di salah satu Universitas di Bandung sebagai sarjana hukum. Dia bahkan mengirimkan foto wisudanya dan memamerkan piagam penghargaannya padaku. Aku turut senang melihat keberhasilannya. Meski sedikit iri karena aku tidak berhasil mendapat predikat tertinggi wisudawan.

Selain mengirimkan email wisudanya, dia juga mengatakan bahwa dia akan bekerja di Jakarta karena dia berhasil lolos tes masuk kantor kejaksaan negeri. Aku tahu kalau dia pasti bisa menggapai impiannya itu, impian yang selalu di katakannya sejak kami duduk dibangku SMA.

"Selamat yah, Sha," Harry muncul dari balik kerumunan orang-orang. Cowok itu membawa sebuket bunga mawar merah. Matanya bersinar-sinar dari balik kacamatanya. Cowok ini kuliah di Universitas yang sama denganku, tapi dia belum lulus karena cowok ini kuliah di fakultas kedokteran yang memang membutuhkan waktu lebih lama untuk lulus.

"Ah, terima kasih," senyumku mengembang. Merasa senang karena cowok ini masih ingat untuk datang ke acara wisudaku. Padahal dia bilang kalau dia sedang sibuk mengurus tugas-tugas kuliahnya.

"Bagaimana dengan pertanyaanku yang waktu itu?" tanya Harry ketika kami berdiri berdua di balkon auditorium. Sementara papa dan mama menunggu di lobby auditorium.

Mataku melirik sekilas ke arah Harry, dan kembali menatap lurus-lurus kearah depan. Memandang jalan raya yang padat oleh kendaraan yang terparkir rapi disepanjang jalan dan deretan-deretan pepohonan yang rimbun.

"Pertanyaan yang mana, yah?" tanyaku pura-pura bego.

Harry tertawa kecil.

"Jangan pura-pura deh, Sha," cowok itu mengacak-acak rambutku yang disanggul keriting. Sorot matanya penuh harap. Menatapku teduh dan menghangatkan.

Harus kuakui, Harry banyak berubah. Sekarang dia tampak lebih baik dibanding dulu.

"Jangan di rusak dong sanggulnya," kataku meringis.

"Iya iya," Harry tertawa lalu wajahnya berubah serius.

Melihat perubahan wajahnya, aku menghela napas. Akhirnya hari ini tiba juga. Aku harus memberikan jawaban untuk pernyataan cintanya waktu itu. Aku memang belum memberi jawaban padanya, dengan alasan karena sedang fokus mengerjakan skripsi. Tapi, sekarang aku tidak tahu alasan apalagi yang harus aku berikan untuk menghindari pertanyaannya. Tidak memberikan jawaban sama sekali juga bukan solusi, semua orang butuh kepastian dan aku tidak ingin menjadi seseorang yang menjadi pemberi harapan palsu.

Aku menunduk berusaha menghindari tatapan Harry yang walau teduh tapi sorot matanya begitu tajam.

"Sha," panggilnya dengan tidak sabar.

Aku mendongak. Raut wajahku sukar dilukiskan. Tapi harusnya Harry tahu apa jawabanku. Entah sekarang, esok atau nanti, aku mungkin tidak akan bisa menerimanya sebagai kekasih. Harry tahu hal itu, tapi dia masih berusaha untuk menyatakan perasaannya lagi. Siapa tahu, setelah 4 tahun berlalu, perasaan Sasha akan berubah dan mulai belajar menerimanya.

Perlahan, Harry menarikku kedalam pelukannya. Aku tergagap.

Buru-buru aku melepaskan pelukannya. Wajahku terasa panas. Harry tertawa melihatku yang salah tingkah. Untung saja tidak ada yang melihat adegan kami barusan. Karena semua wisudawan-wisudawati sedang sibuk berfoto didalam auditorium. Mengabadikan momen terakhir mereka sebelum terjun kedunia orang dewasa yang sesungguhnya.

"Kenapa sih lo itu selalu bertindak semaunya?!" kataku kesal.

"Maaf. Itu pelukan untuk yang terakhir kalinya. Karena sepertinya meski aku sudah menunggu selama 4 tahun untuk bisa memilikimu, posisinya masih belum bisa tergantikan, bukan?" tanya Harry. Dia menengadah memandang awan bulan November yang mulai meniupkan angin musim hujan.

Aku ikut memandang langit. Memang sudah 4 tahun berlalu. 4 tahun yang membuatku hidup dalam penyesalan karena tidak pernah sempat mendengar penjelasannya dan mengucapkan selamat tinggal padanya. 4 tahun yang tidak cukup lama untuk membuat namanya terhapus dari hatiku. Bukan karena aku tidak mau menghapusnya, selama 4 tahun ini aku sudah berusaha sebisa mungkin menghapus namanya, tetapi sangat sulit, mungkin karena sosoknya begitu lekat dan kuat tertanam dalam hatiku.

"Maaf, yah," kataku lirih.

"Tidak masalah. Lagipula akukan keren, aku pasti bisa cepat mendapatkan pacar. Kamu benar tidak mau berubah pikiran? Kau pasti akan menyesal sudah menolakku," kata Harry. Aku terkekeh.

"Lo tuh terlalu pede," kataku.

Harry hanya tertawa.

Kami memandang langit. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

Mataku menerawang. Dia juga pasti sedang melihat langit yang sama denganku sekarang.

***

Sementara itu di Bandara Soeta.

Senyum Eli mengembang saat melihat sosok yang dirindukannya selama 4 tahun ini keluar dari pintu penumpang bersama puluhan penumpang lain yang juga baru tiba di Indonesia. Felix balas tersenyum lalu merangkul pundak adiknya yang tubuhnya sudah tumbuh semakin tinggi.

"Kau semakin jelek saja," kata Felix. Dia memperhatikan adiknya yang sudah 4 tahun tak dilihatnya itu.

Eli monyong dan memasang wajah cemberut.

Kakak ini. "Memangnya tidak ada kata-kata lain yang bisa kakak lontarkan selain sindiran?" kata Eli.

Felix tertawa.

"Yah. Itukan kenyataan," kata Felix. Dia menyeret adiknya itu keluar dari kerumunan penumpang-penumpang pesawat yang makin lama bertambah banyak.

Eli menggandeng kakaknya menuju sesosok wanita paruh baya. Wajahnya memang sudah tidak muda lagi, tapi senyum hangatnya terlukis membawa keteduhan.

Mama tampak bahagia melihat putra semata wayangnya itu pulang.

Felix tersenyum lebar. Cowok itu lalu meletakkan kopernya dan memeluk mama dengan erat.

"Aku sangat merindukan mama," bisiknya ditelinga mama. Mama tidak kuasa menahan haru.

Dipeluknya lebih erat putranya. Satu persatu butir-butir air mata jatuh membasahi kemeja Felix yang tubuhnya sudah semakin lebih tinggi dibanding dulu. Guratan-guratan kedewasaan menambah tegas garis wajahnya yang tidak banyak berubah. Hanya satu yang berbeda dari Felix 4 tahun lalu dengan Felix yang sekarang. Wajahnya yang dulu dingin sekarang dihiasi senyum hangat. Mama tersenyum. Inilah Felixnya yang dulu.

"Aku juga mau dipeluk," kata Eli merajuk. Dia berdiri di sebelah Felix dan mama yang sedang menghapus air matanya dengan saputangan.

"Kau ini manja sekali," kata mama.

"Sejak kapan kau jadi anak manja seperti ini?" tanya Felix. Meski terdengar seperti sindiran, tetapi dia tersenyum dan merangkul Eli.

"Ah, badanmu masih kurus seperti dulu," kata Felix.

"Kakak banyak komen, deh," Eli meringis. Mama tertawa melihat keakraban kedua anaknya.

Setelah saling melepas rindu, Felix menggandeng mama di tangan kirinya dan menggandeng Eli yang menarik koper Felix di tangan kanannya.

"Ayo pulang," ajaknya. Mama dan Eli mengangguk bersamaan. Setelah Felix kembali kerumah, dia berjanji bahwa dia akan membayar waktu kebersamaan bersama keluarganya yang hilang selama 4 tahun ini.

***

Sore itu, aku mengayuh sepedaku berkeliling kompleks perumahan Nusa Indah yang sudah banyak mengalami perubahan selama 4 tahun ku tinggalkan. Selama kuliah aku memang jarang pulang ke Bandung karena selama ini papa dan mama yang selalu datang menjengukku dirumah nenek di Jakarta. Baru kemarin aku tiba di kota ini, setelah minggu lalu aku wisuda.

Sebenarnya perasaanku agak berat kembali kesini. Tetapi aku tak kuasa menolak permintaan mama. Yah, tak apalah. Anggap saja sebagai liburan. Karena mungkin setelah itu aku tidak akan pernah kembali kesini lagi.

Saat aku tiba kembali dirumah, hal yang pertama kali aku lakukan adalah memperhatikan rumah yang berada diseberang rumahku. Rumah bercat biru yang dulu catnya terkelupas disana-sini, sekarang berubah menjadi rumah bercat gading.

Rumah itu sudah lama dijual. Penghuni lamanya tidak tahu pindah kemana. Mama saja tidak tahu kemana tante Margaretha dan Eli pindah. Sekarang penghuninya adalah sebuah keluarga kecil yang baru saja menikah.

***

Aku mengayuh sepedaku dengan perlahan. Dari jauh lapangan kompleks sudah kelihatan. Tampak olehku sesosok siluet orang yang sedang mendrible bola basket dengan lincahnya.

Hatiku berdesir. Mungkinkah itu Felix? Sosok yang aku rindukan selama ini? Apa dia sudah pulang?

Dengan sedikit bersemangat aku mengayuh sepedaku lebih cepat.

Ketika hampir sampai dilapangan kompleks, aku kecewa. Meski siluetnya tampak seperti dia. Tapi yang bermain basket itu bukanlah Felix. Melainkan seorang anak cowok yang tingginya sepertinya hampir sama dengan Felix sewaktu SMA.

"Ternyata bukan dia," batinku. Aku menghela napas kecewa.

Aku baru saja akan kembali mengayuh sepedaku ketika bola basket itu terlempar kearahku dan menghantam kepalaku. Sukses membuatku jatuh bersama sepedaku.

Kepalaku terasa sakit. Lalu ingatanku melayang ke masa 5 tahun yang lalu, aku pernah mengalami hal ini sebelumnya. Déjà vu...

"Aduh," aku memegangi kepalaku yang terasa pening.

Sebuah tangan membantuku berdiri. "Maaf, kak," suara seorang cowok. Aku hanya mengangguk-angguk sembari menahan pusing yang sedikit demi sedikit mulai berkurang.

Aku menatap cowok dihadapanku. Anak cowok yang tadi bermain basket. Dia menatapku dengan wajah bersalah dan berkali-kali meminta maaf.

"Tidak apa-apa," kataku.

Cowok itu membantuku mengangkat sepedaku sementara aku membersihkan celanaku yang kotor terkena debu.

"Derian, kamu lagi ngapain?!" terdengar suara cewek memanggil nama seseorang dengan nada galak. Cowok didepanku ini menatap kearah belakang punggungku.

"Ah, aku sedang membantu kakak ini. Tadi dia jatuh karena kena bola basketku," kata cowok itu pelan.

Oh, ternyata Derian itu nama cowok ini.

"Bohong. Kamu pasti mulai genit lagikan?" kata cewek itu lalu menghampiri Derian. Dengan kasar cewek itu melepaskan pegangan tangan Derian di stang sepedaku. Sementara aku hanya bisa melongo. Nih cewek kasar banget. Aku berdecak dalam hati. Memperhatikan sosok cewek didepanku yang memakai celana pendek dengan potongan rambut yang dikuncir rapi.

"Kamu salah paham, Eli," kata Derian putus asa. Dia benar-benar bingung harus bagaimana lagi menghadapi sikap pacarnya ini apabila sudah mulai cemburu.

Aku terkejut saat mendengar Derian menyebut nama cewek ini dengan nama Eli.

"E..li?" aku menjulurkan tanganku dan memegang pundak cewek dihadapanku ini.

Eli menoleh. Matanya membesar saat kami bertatapan.

"Kak Sasha?" Eli menatapku dengan wajah terkejut. Sama terkejutnya denganku. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa aku akan bertemu lagi dengannya disini. Bukankah mama bilang kalau keluarga tante Margaretha sudah pindah?

***

Eli memelukku erat seakan tidak mau dilepaskan.

"Aku rindu sekali sama kakak," katanya dengan wajah sedih bercampur senang saat dia melepaskan pelukannya.

"Aku juga merindukanmu," kataku sambil tersenyum lebar.

"Kakak sudah lama sekali tidak kesini," kata Eli dengan wajah sedih.

"Maaf ya Eli," kataku pelan. Ada sedikit perasaan bersalah pada Eli. Padahal sebelum aku berangkat kuliah ke Jakarta dulu, aku berkata padanya bahwa aku akan sering pulang ke Bandung, tapi kenyataannya aku tidak pernah pulang-pulang.

Derian memandang kami berdua bingung.

"Ah. Aku lupa perkenalkan kalian berdua. Kak Sasha, ini Derian. Derian, ini kak Sasha. Dulu kami bertetangga, dan dia adalah pacar kak Felix," kata Eli.

"Oh ya. Wah senangnya bisa bertemu dengan calon kakak ipar," kata Derian sumringah.

Aku menggeleng kuat-kuat.

"Kami tidak pacaran," kataku.

Derian tertawa. "Ga usah malu-malu, kak."

"Kak Sasha emang suka malu-malu," kata Eli. Aku tersenyum kecut. Aku bukannya malu, tapi aku memang mengatakan hal yang sebenarnya. Yah, biarlah mereka senang. Hahaha...

Aku menatap Eli. Gadis kecil ini sekarang sudah tumbuh dewasa. Dia menjadi gadis yang cantik sekali, dan jadi lebih bawel. Padahal dulu, dia sangat manis dan penurut. Yah, semua orang memang akan berubah. Tidak terkecuali aku juga.

"Kalian bukannya pindah rumah?" tanyaku saat kami berdua duduk di bangku yang terbuat dari kayu disudut lapangan dan membiarkan Derian kembali bermain basket.

Eli mengangguk. "Kami pindah ke blok D, kak."

"Hah? Itukan dekat sekali. Kenapa pindah rumah?" tanyaku. Aku pikir Eli pindah ke kompleks perumahan lain tapi ternyata hanya pindah 2 blok saja.

Eli mengangkat bahu. "Entah, kak. Mama yang maunya pindah."

Aku mengangguk mengerti meskipun masih sedikit tidak mengerti dengan jalan pikiran tante Margaretha.

"Kakak kapan pulang?" tanya Eli.

Baru saja aku akan menjawab pertanyaan Eli, tiba-tiba seseorang memanggilnya dengan suara yang cukup keras. "Eli, mama mencarimu!"

Eli menatap sosok itu dari balik punggung Sasha.

Dia tersenyum lebar. Kemudian matanya beralih menatapku.

Aku balas menatapnya tidak mengerti. Tapi gadis itu malah tersenyum penuh arti.

Felix menatap Eli yang tak kunjung menghampirinya. Sementara Derian sudah berhenti bermain basket. Hari memang sudah sore, mamanya memintanya untuk mencari Eli karena gadis itu belum pulang sejak siang tadi.

"Dia ngapain sih, terus itu siapa?" Felix mengerutkan keningnya sambil memandang sosok gadis yang duduk membelakanginya. Rasanya dia mengenal sosok itu, tapi dia sedikit ragu. Mama bilang kalau Sasha melanjutkan kuliah di Jakarta dan tidak pernah pulang ke Bandung selama 4 tahun belakangan ini.

Dengan tak sabar Felix turun dari sepedanya dan menghampiri Derian.

"Pacar elo tuh lagi ngapain?" tanya Felix kesal.

"Lagi ngobrol, kak. Kakak sendiri kok ga kesana. Itu ada pacar kakak," kata Derian membuat Felix melongo.

Pacar darimana coba? Udah jelas-jelas selama 4 tahun ini dia single.

"Loh. Kata Eli dia itu pacar kakak. Namanya kak Sasha," kata Derian membuat Felix tertegun. Matanya beralih menatap sosok gadis yang masih membelakanginya itu.

Ada rasa rindu yang meluap-luap dari dalam dirinya.

Eli menatap Felix yang berdiri mematung menatap punggung Sasha.

"Kak Felix" Eli melambai. Mendengar nama itu disebut-sebut, seketika itu juga aku menoleh, dan aku mendapati sosok cowok yang sampai sekarang sangat aku rindukan.

Kami berdua bertatapan.

Aku berdiri perlahan. Tak kuasa menahan air mataku. Selama 4 tahun ini, aku selalu bermimpi dapat bertemu lagi dengannya. Mimpi yang aku menurutku tidak akan pernah kesampaian.

Felix melangkah perlahan mendekati Sasha. Dia tidak dapat menahan gejolak rasa rindu yang dia pendam selama 4 tahun ini terhadap gadis itu.

"Fe..lix..," aku menyebut nama itu dengan susah payah. Nama yang aku anggap tabu sebelumnya.

Felix tersenyum. Meski 4 tahun telah berlalu, tapi dia tidak berubah sama sekali, hanya tubuhnya saja yang sudah semakin tinggi dan lebih berisi. Lalu wajahnya yang dulu dingin, kini tampak hangat.

"Hai, Sha," sapanya canggung.

Aku tersenyum kikuk.

Eli geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka berdua. Sudah lama tidak ketemu yang mereka lakukan hanya saling memanggil nama dan senyum-senyuman. Akhirnya Eli memutuskan untuk pergi dari lapangan dan membiarkan mereka yang sudah terpisah oleh jarak dan waktu selama 4 tahun itu saling melepaskan rindu. Eli tahu betul bahwa kakaknya masih sangat mencintai kak Sasha, begitupun sebaliknya.

Masih jelas dalam ingatannya bagaimana Sasha begitu terpukul dengan kepergian Felix yang mendadak 4 tahun lalu. Gadis itu benar-benar terpuruk, kerjaannya hanya menangisi kepergian Felix dan hidup dalam bayang-bayang penyesalan.

"Ayo, Deri," Eli menarik Deri untuk menjauh dari lapangan kompleks. Mereka memutuskan untuk pulang saja.

"Loh, kakakmu tidak pulang?" tanya Derian sambil mengerutkan keningnya.

Eli melotot. "Kamu tuh ga tau sikon, yah. Ayo pulang."

Deri mengangkat bahu. Lalu mengikuti langkah Eli yang menuju tempat sepeda mereka diparkir.

***

Langit mulai gelap. Bintang mulai bermunculan. Matahari sudah lama tenggelam di ufuk barat. Lapangan kompleks tampak remang-remang karena hanya di sinari oleh cahaya temaram lampu di pinggir jalan.

5 menit berlalu. Tak ada kata-kata keluar dari mulut kami berdua. Kami berdua sama-sama bingung mau mengatakan apa. Terlebih lagi aku. Padahal dulu, aku sering memikirkan kata-kata yang akan aku katakan pada Felix apabila kami ditakdirkan untuk bertemu lagi. Sekarang, aku kembali bertemu lagi dengannya, tapi tidak satupun dari kata-kata itu yang sanggup aku ucapkan dihadapannya.

"Ehm, kamu mau duduk?" tanya Felix ragu.

"Hah? Oh yah. Ayo duduk disana," jawabku dengan sedikit malu. Kenapa aku jadi tampak bodoh begini.

Felix tertawa.

Aku menatapnya. "Kenapa tertawa?" tanyaku sedikit tersinggung. Kami berdua duduk berdampingan dibangku kayu tempat aku dan Eli duduk sebelumnya.

Felix menggeleng lalu tersenyum. "Kamu tidak berubah, yah."

Entah itu pujian atau sindiran tapi rasanya wajahku sedikit memerah.

Aku berdeham. "Memangnya mau berubah jadi apa? Superman?"

Felix tertawa lagi mendengar lawakanku yang sebenarnya garing. Aku meliriknya lalu ikut tertawa.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Felix setelah berhenti tertawa.

"Baik. Kalau kamu?" kataku sambil menatap lapangan yang sepi. Hanya ada kami berdua disini.

"Aku juga baik," jawab Felix.

"Syukurlah," aku tersenyum. Kami berdua terdiam lagi.

Kemudian Felix mengubah posisi duduknya dan menghadapku.

"Sha," aku menoleh kearahnya. Raut wajah Felix tampak serius.

"Aku ingin minta maaf karena waktu itu aku tidak sempat mengucapkan selamat tinggal padamu," kata Felix lirih.

Aku tertegun lalu menggeleng.

"Tak apa, tidak ada yang perlu dimaafkan," jawabku. Aku memang baik-baik saja, aku sudah tidak ingin mempermasalahkan kenapa waktu itu Felix tidak mengucapkan selamat tinggal padaku. Hanya dengan membaca suratnya, aku mengerti.

Aku kembali menatap lapangan.

"Sha," Felix memanggilku lagi. Aku kembali menoleh. Dia tersenyum dan kali ini tangannya memegang tanganku lembut.

"Boleh aku bertanya satu hal padamu?"

"Kamu boleh menanyakan apapun," jawabku sambil tersenyum. Genggaman tangan Felix semakin erat. Jujur saja, aku tidak berusaha menarik tanganku, aku membiarkan tangannya yang menggenggam lembut tanganku.

"Apa kamu masih mencintaiku?" tanya Felix perlahan. Suaranya terdengar mantap dan aku bisa melihat keseriusan dalam matanya.

"Pertanyaan ini harus aku jawab?" tanyaku.

Felix mengangguk. "Tadi kau sendiri yang mengatakan bahwa aku boleh menanyakan apapun."

Aku nyengir. "Benar juga."

Felix masih terus menatapku menunggu jawaban. Tapi, seharusnya dia tahu, hanya dengan genggaman lembut tangan kami saja, sudah cukup menjawab bagaimana perasaanku yang sesungguhnya.

Aku menarik napas panjang. Felix menanti dengan tak sabar. Pertanyaan ini memang harus dia tanyakan pada Sasha apabila dia bertemu lagi dengan gadis itu. Dia tidak ingin kembali menyesal untuk yang kedua kalinya.

Meski dia bilang, dia ingin agar gadis itu melupakannya, namun dalam hati kecilnya dia sangat berharap bahwa Sasha masih memiliki cinta untuknya. Karena perasaannya tidak pernah berubah sedikitpun selama 4 tahun ini. Meskipun ada banyak gadis-gadis diluar sana yang merupakan teman kuliahnya singgah dalam kehidupannya, tapi dia tetap menyimpan perasaannya hanya untuk satu orang yaitu, Sasha.

"Jujur saja, kepergianmu yang mendadak waktu itu, membuatku sangat terpukul. Sempat terpikir untuk melupakanmu selama 4 tahun ini. Tapi, aku tak bisa. Kamu adalah cinta pertamaku. Sulit bagiku untuk melupakanmu bagaimanapun aku berusaha," jawabku pelan.

Meski tidak menjawab secara langsung tapi aku rasa kata-kataku cukup mewakilkan bahwa aku masih mencintainya.

***

Felix menatapku lembut. Aku balas menatapnya. Tidak ada kata terucap diantara kami berdua. Keheningan menjadi saksi bahwa meski 4 tahun telah berlalu, tidak ada yang berubah. Semuanya tetap sama. Bahwa kami masih saling mencintai.

TAMAT