Waktu itu cuaca yang awalnya sangat cerah berubah menjadi gelap. Langit kelabu menutupi matahariku.
Aku memandangi rintik air yang mulai turun dari balik jendela kelasku.
Hujan.
Aku ingat sekali pagi tadi semua baik-baik saja. Bahkan tak ada ramalan cuaca yang bilang jika hari ini akan hujan. Kenapa tiba-tiba hujan seperti ini?
Goblin sedang bersedih ria?
Astagaa... Aku terlalu banyak menonton drama fiksi! Tentulah ini anugerah dari Tuhan. Manusia hina seperti diriku tak pantas melukai harga diri hujan!
Namun, manusia boleh kan mengeluh?
Kenapa juga harus pas sebelum kelas bubar? Kami semua terjebak hujan.
Tidak ada payung.
Tidak ada mantel hujan.
Ahh.. dingin sekali.. aku meniup kedua tanganku dengan hembusan nafas hangat. Untung aku membawa jaket. Terima kasih ibu atas paksaan bawa jaketnya tadi pagi sebelum berangkat ke sekolah, kau memang yang terbaik!
***
Kini aku sudah di gerbang sekolah. Usaha menghindari kroyokan hujan gagal sudah. Jaketku sedikit basah.
Bye Via... Anne... senangnya sudah mendapat jemputan.
Kedua temanku baru saja berpamitan denganku. Keluarga kaya yang memiliki sopir pribadi. Enak ya, memiliki nasib seperti itu? Ah, bukan berarti aku iri, aku cukup bahagia dengan hidupku dan keadaan ekonomi keluargaku. Aku masih bisa makan enak meski di rumah tidak ada asisten rumah tangga sekalipun. Sekali lagi, ibuku luar biasa dalam hal ini.
***
Aku melihat ke arah jam tanganku. Pukul 5 sore. Aku harus ke halte bus! Aku tak boleh ketinggalan bus ke arah rumahku!
Lalu apa ini?
Kenapa haltenya harus di seberang sana sih? Apa aku harus hujan-hujanan lagi?
Bodolah.. daripada tertinggal bus.
Aku mengangkat tasku sampai di atas kepalaku. Aku akan menggunakannya sebagai pelindung. Apa tak masalah dengan buku-bukuku?
Namuun....
Loh?
Apa jangkauan pelindungan tasku bisa seluas ini?
Hangat?
Seseorang melindungiku.
Aku menoleh ke arah samping. Aahh.. Yuwan Shang, anak kelas A. Sebelah kelasku yang terkenal di sekolah karena prestasinya.
Eh..
"Tunggu apa lagi? Ayo kita ke halte!" Katanya.
Aku yang belum terlalu paham hanya bisa berjalan cepat mengikuti langkahnya. Aku tak benar-benar terlindung dari hujan, ada percikan air membasahi lenganku, sepatuku, bahkan jaketku. Hanya saja, wajah dan kepalaku terlindungi oleh jaket besar miliknya.
Sampailah kami di halte bus seberang gerbang sekolah.
Aku mencoba mengelap lenganku yang basah terkena air hujan. Aku menoleh ke arah Yuwan, dia sibuk mengibas-ibaskan jaketnya.
Yuwan Shang, teman seangkatan beda kelas yang sangat jarang berbicara kepadaku.
Memang dia penah bicara padaku sebelumnya? Aku mencoba mengingat-ingatnya..
Ahh...
Apakah sapaan hai termasuk dalam takaran suatu pembicaraan?
Dia tinggi, putih, dan tampan seperti kata anak-anak.
"Kenapa?" Tanyanya membangunkan lamunanku.
Aku kaget dan langsung mengalihkan pandanganku. Bisa-bisanya aku melamun akan dirinya.
"Ti-tidak.." Dan bodohnya, aku justru kikuk menjawab pertanyaan super sederhananya. Suaranya gentle dan terdengar lembut.
"Hmm.. begitukah?"
"Iya.."
Kami terdiam. Kenapa jadi canggung begini?
Mana sebentar lagi malam. Bus umum belum juga nampak. Siapapun tolong selamatkan aku dari kecanggungan ini!
Aku hampir tak pernah berbicara dengannya. Aku tak benar-benar kenal dengannya, aku tak tahu bagaimana cara memulai pembicaraan. Sepertinya benar kata Via, aku memang kurang gaul!
"Kenapa tidak pulang bersama temanmu?" Yes, dia mencoba mencairkan suasana. Aduh bahasaku, suasana sudah cair dari tadi karena hujan, dasar bodoh!
"Temanku beda arah, sudah sore juga, tidak enak merepotkan mereka.."
Dia hanya mengangguk-angguk. Wajahnya masih basah. Wajahku tidak basah begitupun pakaianku yang tidak terlalu kena air hujan, kenapa dia bisa basah kuyup seperti itu?
Dia rela basah demi aku?
Tidak, imajinasiku terlalu jauh.
Aku mengambil sapu tanganku. Aku memberikan padanya. Dia tersenyum saat menerimanya.
"Thanks.."
Ya Tuhan.. Apa dia sungguh manusia? Kenapa begitu indah?
Aku yakin, lebih dari 10 detik aku tak mengedipkan mataku. Dan perasaan hangat mulai menyelimuti dadaku. Bertahan di antara dinginnya senja sore ini.
"Sama-sama, Yu-Yuwan... dan terima kasih juga karena membantuku menyebrang tadi..." Kataku.
Dia tersenyum kembali. Jantungku kini berdetak lebih kencang. Kumohon, jangan sampai dia menyadarinya.
"EHh, busnya datang!" Kata Yuwan. Ia menunjuk ke arah bus 01 tujuan distrik F tempatku tinggal.
Kami berdua masuk ke dalam bus.
***
Sialku masih berlanjut.
Kenapa busnya penuh penumpang?
Aku menghela nafas dan menerima nasibku dengan lapang dada. Daripada tidak pulang, berdiripun bukan halangan. Oh, aku bahkan membuat quote baru.
***
Mungkin karena hujan yang lebat membuat penumpang menumpuk di halte. Sesak sekali. Membuatku sulit bergerak. Inikah yang dinamakan melebihi kapasitas?
Aku bahkan sampai tidak kebagian gantungan pegangan.
Aku merasakan tanganku diraih seseorang. Tentu saja tangan Yuwan. Dia menyuruhku berdiri di depannya dekat jendela bus agar aku bisa pegangan. Sementara Yuwan seolah terlihat melindungiku dari belakang.
Ya, kami sama-sama menghadap ke jendela bus.
***
Rintikan hujan terlihat memburam di kaca jendela bus. Ada begitu banyak gumpalan air di sana. Satu per satu gumpalan air itu mengalir dan terjatuh begitu saja. Tak berirama, tapi meninggalkan jejak abstrak yang cukup indah.
Beberapa lampu jalan dan kendaraan menambah indah pemandangan hujan dari balik jendela bus.
Semakin lama semakin sesak saja. Aku bisa merasakan Yuwan yang berusaha keras menahan beban tubuhnya agar tidak menimpaku. Dorongan dari penumpang lain benar-benar merepotkan.
Apa Yuwan baik-baik saja? Aku jadi tidak enak padanya karena harus berusaha keras untuk melindungiku.
***
Hanya butuh 30 menitan aku sampai halte dekat rumahku. Saat aku hendak turun, Yuwan memberikan jaketnya kepadaku. Dia bilang untuk melindungiku dari hujan yang belum reda. Akupun menerimanya. Dia ternyata pemaksa.
Aku penasaran, apakah dia tidak akan basah kuyup nantinya saat ia turun dari bus? Bisa saja kan rumahnya jauh dari halte bus? Aku memikirkannya apa aku menghawatirkannya? Nilailah sesuka hati saja!
***
Setelah kami pulang bersama senja itu, kami menjadi semakin dekat. Aku mengembalikan jaket milik Yuwan lusanya. Itu awal yang baik karena kami mulai mudah mengobrol.
Dan...
Siapa sangka jika pertemuan kami itu bisa menjadi kisah yang rumit. Berpacaran tapi untuk perpisah.
Lalu, dipertemukan kembali.
Apa ini wujud dari ketentuan Tuhan untuk kami berdua?
***
Gerbang Kampus...
"Rie, ayo pulang!" Kata Kak Rezky.
Aku yang sesungguhnya cukup kaget karena tak menyadari kedatangannya hanya bisa mengangguk dan mendekat ke motor Kak Rezky. Aku mengabaikan Yuwan.
"Siapa?" Tanya kak Rezky.
Aku menggeleng. Dia hanya beroh ria dan memakaian helm miliknya padaku. Ini aneh memang? Aku yang bonceng, kenapa pula aku yang harus memakai helm? Harusnya dia yang pakai! Dia hanya nyengir.
Jangan ditiru, bekendara sepeda motor haruslah pakai helm. Jika nebeng sebaiknya bawa helm tambahan!
Aku naik ke motor kak Rezky, dia menarik gas motornya dan meninggalkan gerbang. Aku sedikit melirik ke arah Yuwan. Hanya lirikan, kepalaku tidak ikut menoleh.
Benar, sebaiknya seperti ini. Iya, memang harus seperti ini. Aku tidak ingin terlalu lama dekat dengannya. Ada gejolak berkecamuk di dalam hatiku.
Hubungan kami dulu tidak sesimpel itu.
Sangat rumit bagaikan aku mencari jarum di tumpukkan jerami.
Luka masa lalu sudah hampir sembuh..
Tidak! Aku yakin sudah sembuh! Perasaan yang kini aku rasakan pasti hanyalah kekagetan semata karena lama tidak berjumpa dengannya.
Iya.. pasti karena itu!
Aku dan dia sudah lama berakhir. Kisah cinta monyet kita sudah tutup buku.
Jika saat ini aku dan dia bertemu kembali, pasti itu hanyalah kebetulan. Tapi Tuhan tidak mengenal kebetulan. Baiklah, aku akan mengakuinya ini sebagai takdir.
Jadi...
Aku hanyalah harus bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa antara aku dengan dirinya.
Ini yang terbaik untukku dan juga untuknya.
Kisah yang sudah usai tidaklah perlu dilanjutkan. Aku hanya perlu memulai kisah yang baru tanpa dirinya.
Namun kenapa? Kenapa dia menatap kepergianku dengan tatapan seperti itu? Mata sendu yang tak ingin aku lihat darinya.