Kandas

Gue tinggal di salah satu kabupaten dengan jumlah penduduk yang cukup padat, ralat maksudnya udah padat haha, saking padatnya banyak UMKM yang bertebaran dimana-mana sampe saingan sama rumah warga. Kenalin gue Alferes, bukan orang keturunan Eropa ataupun Belanda. Bokap gue yang ngasih nama kece itu karena, doi suka banget sama tokoh opsir di salah satu buku bacaan favoritnya. Gak berhenti disitu, doi juga naruh harapan ke gue buat bisa wujudin mimpi masa kecilnya itu. Kalau nyokap gue sih gak muluk-muluk, cuman pengen gue jadi anak yang alim, cerdas, jujur, rajin menabung, sayang Mama Papa. Enggak deng gue bercanda, nyokap pesen ke gue buat jadi anak baik-baik yang gak gampang kebawa arus buruk perkembangan zaman. Tapi sebenernya mau jadi apapun itu, gue gak masalah termasuk juga jadi opsir. Tapi kayaknya kalau gue liat-liat, gue lebih ahli di bidang akademik deh. 


Hari ini adalah hari wisuda SMP Bela Dikara, semua orang berkumpul di papan pengumuman untuk mengecek siapa saja orang yang menduduki peringkat 'teratas' kali ini. Situasinya? Jangan ditanya, orang yang tawuran aja kalah rusuhnya. Setelah bersusah payah dengan postur badan yang pas-pasan ini akhirnya gue bisa liat hasilnya, "Ternyata posisi terakhir di sepuluh besar," gue kecewa. Gue buru-buru keluar kerumunan dan cek grup 'Whatsapp'. Iya, kita anak-anak yang megang posisi rangking umum punya grup chat sendiri. "Biar lebih eksklusif aja," kata leadernya, si juara umum sekolah yang suka gonta-ganti posisi dari tahun ke tahun itu. Selain sebagai saingan, kami juga seringkali bertukar pikiran. "Wah, jadi ngiri deh pasti lo pada masuk ke SMA Anjiman. SMA terfavorit di daerah kita itu lho?" begitu kata gue. "Nggak tahu, ya..." Cita dari kelas 9F yang menjawab. "Gue juga," kata Andra dan Andini si kembar yang beda kelas itu. "Si Cipto mana sama Yanti?" kata gue lagi. "Gak tahu pada kemana, pada ngilang?" Andini menanggapi. "Iya nih, lima besar kok pada ngilang?" Resky ikut ngedumel juga. "Lo rangking berapa Res? @AlferesbukanAlfabet" Cita nanya. "Oh, gue rangking 10. Sayang banget, kan?" gue jujur-jujuran aja. "Beruntung banget ya, mereka yang masuk lima besar...," Andini nampak ngiri. "Kasihan aja lho, yang punya mimpi muluk dan tinggi banget itu keknya harus terhenti di sini," Andra nampak nyindir. "Gak papa lah, gak guna juga. Sekolah bukan tolak ukur orang buat sukses," gue membela diri.


Kepala sekolah sudah naik mimbar dengan seorang anak perempuan dari anggota OSIS tahun ini, yang membawa baki penuh dengan sepuluh medali. "Siap-siap, yuk!" kata Yanti. "Nanti kita lanjut lagi, deh...," ujar Andra diketikkan. "Oke," kata gue. Dan dua orang sisanya hanya menjadi silent reader. Secara berurutan kami pun dipanggil beliau satu persatu termasuk, lima orang yang sok sibuk itu. Masing-masing diberi hadiah, dikalungi dua medali sebagai siswa berprestasi dan perwakilan angkatan tahun ini. Tak lupa juga pastinya harus menyampaikan pidato pendek bergilir sambil memotivasi rekan sejawat serta, pemanjatan rasa syukur juga terimakasih kepada para guru dan staf sekolah. "Anak-anak sekalian..., rekan kalian ini akan langsung sekolah salurkan ke SMA favorit di daerah kita. Tepuk tangan semua!" kata ibu kepala sekolah. Mereka berdiri dan memasang wajah ramah, lantas bertepuk tangan dengan suka rela. Lalu, kami turun setelah mengikuti momentum pembagian penghargaan tersebut.


Gue yang nyampe tempat duduk duluan berinisiatif buat buka lagi lapak obrolan di grup, "Kalian rencana mau lanjut kemana, nih?". "Gue kek nya sama kayak si Eky ke SMK aja deh," ujar Andra. "Yang baru dibangun itu?" jawab gue. "Ya, katanya biayanya murah meskipun bukan negeri. Ya kan, Ky? Setuju gak? @ReskyisRezeki" kata Andra lagi. "Yoi. Lo gimana?" Resky nanya balik. "Gue belum ada plan sih, targetnya ke SMA Anjiman soalnya," terus terang saja. "Ya udahlah terima aja, bukan rezeki kita kali. Lagian semua sekolah sama aja Res," kata Yanti. "Iya kamu bener... @Yantis," gue bales dia. "Oh iya, Cita sama Andini kemana nih?" kata Yanti lagi. "Gue konsul dulu sama orang rumah," tulis Cita. "Gue mau konsultasi lagi ke guru BK," balas Andini. Itu adalah obrolan terakhir di grup sebelum satu persatu memutuskan untuk keluar.


Telepon berdering, ibu segera mengangkat telepon itu di lantai bawah. Nampaknya ada pengiriman paket semacam berkas sebab, isinya hanya berupa amplop coklat. Gue cuman nengokin dari lantai atas karena penasaran.  "Ini buat anak saya atau siapa?" kata ibu. "Ya, ini buat anak Ibu," kata kurir tersebut. "Makasih, ya...," menerima paket itu lalu menandatanganinya. "Eh, saya yang tanda tangan ini?" ibu pun memastikan karena dia terus dipandangi secara tajam. "Iya, siapa aja juga boleh Bu. Asal ada bukti penerimaan aja," jelas kurirnya. "Ya udah, makasih ya...," memberikan pulpen ke pengirim barang tersebut. Si kurir pun langsung gaspol, ngibrit naik motor tanpa menoleh lagi. "Aneh banget deh, tu kurir," pikir gue sebelum masuk lagi ke kamar.


"Fer, Feri...! Ada paket nih, taro dimana?" ibu memanggil-manggil. "Taruh aja di meja Ma, nanti Feri turun," meletakkan ponsel di atas kasur. Gue bergegas turun dan ya, amplop misterius itu benar-benar berada di atas meja. "Oke, biar gue buka," menarik nafas dalam-dalam. "Paket apa tuh, Fer?" bokap nimbrung aja sambil baca koran di halaman rumah. "Nggak tahu, belum dibuka Pa," jawabku sambil terus sibuk membolak-balik berkas di dalam amplop sekalian menerka isinya. 'Kepada ananda tercinta, Alferes Susetyo di rumah. Selamat kamu telah bergabung ke sekolah kami, SMA Anjiman jalan Berma Logam kecamatan Berlayam desa Campah Cahang dan seterusnya. Semoga dengan datangnya surat ini memberikan kegembiraan kepada setiap calon siswa yang menerimanya karena, kamu adalah orang yang terpilih dan berhasil mengalahkan para pesaing di luar sana. Sekian dan terima kasih.' bukannya happy, gue malah shock karena gak pernah nyangka bisa keterima di sana. "Mimpi apa gue semalem?" menampar-nampar pipi sendiri. "Mana bisa gue yang rangking sepuluh umum jadi bagian siswa di sekolah itu? What?" terheran-heran saat itu. "Gue harus ngasih tau yang lain dulu, minimal ke temen-temen gue itu," beranjak dari tempat duduk menuju kamar.


"Guys! Lo pada udah nentuin mau lanjut ke sekolah mana?" gue langsung ngetik pas nyampe kamar. Belum ada balasan juga meskipun udah agak lama, gue langsung kirim foto pakai caption 'tuh gue dapat ginian, kalian juga?'. Tetep gak ada yang jawab padahal, udah nyaris seharian. Gue chat lagi tengah malemnya, "Rangking lima besar kita kemana ini? Apa cuma gue aja yang lolos penyaluran sekolah apa gimana?" masih gak ada yang jawab sampai gue akhirnya ketiduran. "Pagi Bro and Sist, kok belum pada bales sih? Pada kemana, sesibuk itu ya lo pada?" masih gak ada yang bales sampe kesel sendiri. Oke deh, ini chat penutup, "Emang SMA favorit itu dah turun pamor apa gimana, sih? Kok gue keterima, padahal gak mungkin banget dong,". Dan akhirnya sampai lewat berhari-hari  pun gak ada satupun yang bales chat gue di grup.