Chapter 3 ~Rehabilitasi~

Pagi menyambut, dan kini Stella dihadapkan dengan dua orang laki-laki dan seorang wanita. Satu orang yang ia kenali sebagai 'pacar'nya dan satu lagi ia yakini adalah seorang Dokter, dan seorang wanita yang ia ketahui sebagai Ibu pacarnya.

"Kak Tella... Kak Tella... Selamat pagi," sorak seorang gadis kecil yang berlari ke arah Stella.

Stella bingung, tidak mengenal gadis itu. Tetapi, Stella tetap tersenyum dan membalas sapaannya.

"Selamat pagi juga," ucap Stella.

"Itu di tangan Kak Tella apa?" tanya gadis kecil itu sambil menunjuk jarum infus yang tertancap di punggung tangan Stella.

Stella mengerjap, lalu menatap jarum infusnya. Ia tidak tau harus menjawab apa karena dia sendiri tidak ingat dengan nama benda itu.

"Ah, Ini...–"

"Cia mau coba boleh?"

"Eh?"

"Cia mau coba, boleh ya... ya... ya...," ucap Alicia dengan nada penuh harap.

Stella yang polos mencoba mencabut jarum infus itu. Tetapi langsung dicegah oleh Rian.

"Jangan dicabut, Stella." Stella berhenti dan menatap ke arah Rian.

Rian memegangi pelipisnya lalu berjalan kearah adiknya. "Alicia, itu namanya jarum infus. Cia nggak boleh pakai itu," ucap Rian sambil berjongkok menatap Alicia.

"Kenapa?" tanya Alicia.

"Karena itu sakit banget," jawab Rian.

Alicia memiringkan kepalanya. "Benalkah? Mana lebih sakit jalum inpus dali pada di tinggal pas lagi sayang-sayangnya?" tanya Cia dengan polos ditambah nada cadel khasnya. Membuat semua orang di sana terkejut sembari geleng-geleng kepala.

"Bucin kamu! Siapa yang ngajarin?" tanya Rian sambil mengacak-ngacak rambut adiknya.

"Kakak" jawab Alicia sambil menunjuk Rian. Membuat semua orang menahan tawa kecuali Stella tentunya.

Rian menghela napas, lalu mengeluarkan lima buah permen di saku-sakunya. "Kalau kamu berhenti bucin, kakak beri kamu lima buah permen," ucap Rian.

Mata Alicia berbinar. "Iya, iya Cia janji nggak bilang itu lagi," ucapnya sambil merebut permen dari tangan Rian, lalu berlari ke arah Bundanya.

Rian berdiri dan menatap Stella yang sedari tadi kebingungan.

"Hari ini Rehab-nya akan dimulai," ucap Rian.

Stella mengernyit tidak mengerti.

"Setelah sadar, lo tidak pernah turun dari brankar ini, 'kan?" tanya Rian.

Stella mengangguk.

"Lo nggak lupa cara berjalan, 'kan?"

Stella diam sejenak, lalu menggeleng.

"Lo ingin bisa jalan lagi?" tanya Rian.

"Iya" jawab Stella dengan cepat.

Rian tersenyum lalu berbalik mengambil kursi roda yang sedari tadi dipegang oleh suster di belakangnya.

"Pertama, kamu harus duduk di kursi ini dulu," ucap Rian sambil menunjuk kursi Roda.

Stella mengangguk, ia berusaha turun dari brankar dibantu oleh Rian.

"Sekarang, ayo kita pergi ke ruang Rehabilitasi," ucap Rian sambil mendorong kursi roda Stella menuju ruang Rehabilitasi yang diikuti oleh Dokter, Suster, dan Bunda nya dari belakang.

"Rian" panggil Stella.

"Hm?"

"Rehabilitasi itu sakit?" tanya Stella sambil menatap pintu yang bertuliskan 'Ruang Rehabilitasi'.

Rian diam, tidak tau harus menjawab apa. Karena dia sendiri tidak tau apakah Rehabilitasi itu sakit atau tidak.

Rian tidak menjawab, ia hanya menepuk-nepuk pelan puncak kepala Stella sambil memberikan tatapan penuh arti.

"Mohon bantuannya, Dokter" ucap Rian sambil menyerahkan Stella pada Dokter Spesialis Rehabilitasi.

"Baiklah, Stella akan melakukan perawatan Fisioterapi terlebih dahulu. Anda bisa menunggu di sini," ucap Dokter bername-tag Dr. Hendri.

Rian dan Bundanya mengangguk. Mereka duduk di atas kursi yang sudah tersedia di sana sambil memperhatikan Stella yang dibawa oleh Suster untuk melakukan beberapa perawatan yang... entahlah Rian sendiri tidak tau apa itu, yang jelas untuk bisa membuat Stella berjalan lagi.

Tidak lama kemudian Stella keluar dari ruangan, gadis itu dibantu berdiri oleh suster untuk melakukan tahap terapi berikutnya. Yaitu, mencoba berjalan diantara Parallel Bars. Parallel Bars adalah alat khusus yang digunakan untuk terapi pasien yang memiliki masalah pada anggota gerak. Khususnya untuk pasien seperti Stella. Yang memiliki masalah pada kakinya setelah mengalami kecelakaan berat yang menyebabkannya kesulitan berjalan dengan normal.

Stella mencengkram erat kedua besi penyangga dan mencoba berjalan dengan pelan di tengah-tengahnya. Sesekali gadis itu terjatuh karena sendinya yang lemah.

Saat kecelakaan itu, Stella juga mengalami cedera pada kakinya. Untung saja tidak serius, dengan mengikuti Rehabilitasi secara rutin dan teratur. Stella pasti bisa berjalan seperti biasa kembali.

Rian menatap Stella dari kejauhan. Merasa iba dengan gadis itu yang tidak mengingat apa-apa. Tapi, menurut Rian, ini semua ada baiknya juga. Jika Stella kehilangan ingatan masa lalunya, Stella tidak akan merasakan rasa sakit lagi. Sudah cukup Stella menderita pada fisiknya, dia tidak ingin Stella menderita dan depresi jika teringat akan tragedi yang sudah terjadi.

Jadi, biarlah Stella kehilangan ingatannya.

Biarlah Stella melupakan orang-orang yang berarti baginya.

Tidak apa-apa. Asalkan itu bisa menciptakan senyum Stella kembali.

Tidak apa-apa.

Tapi, apakah benar tidak apa-apa?

Kenapa batinnya memberontak tidak terima saat Stella melupakan semuannya?

Rian menunduk menatap lantai. "Apa yang sudah gue lakukan?" gumam Rian pelan.

*******

Waktu terus berjalan dengan cepat seperti biasanya. Menit berganti menjadi jam, jam berganti menjadi hari, hari berganti menjadi minggu, dan minggu berganti menjadi bulan. Begitu seterusnya hingga tanpa sadar beberapa bulan sudah terlewati. Selama itu pula Stella berjuang dan mengikuti berbagai Rehabilitasi untuk memulihkan tubuhnya.

Kondisi Stella semakin membaik. Tetapi, tidak dengan ingatannya. Ingatannya tidak akan pernah kembali dan hanya akan tersimpan di dalam kotak kenangan orang-orang yang pernah menyentuh kehidupannya.

Ingatan yang sudah hilang, kita hanya perlu membuatnya lagi, 'kan? Meski tidak seindah dan sepahit kenangan di masa lalu. Setidaknya, masih ada kesempatan untuk memperbaiki dan membuatnya lebih indah dari kenangan yang sebelumnya.

"Rian mohon, Bunda. Izinkan Stella tinggal di rumah kita untuk sementara," ucap Rian untuk kesekian kalinya.

Bunda Rian yang bernama 'Lisa' menghela napas. Jika dihitung, mungkin ini sudah ke-10x nya Rian memohon dengan permintaan yang sama.

"Rian, jika kita membiarkan Stella tinggal di rumah kita. Kamu tau 'kan apa yang akan terjadi?" tanya Lisa sembari menatap putra sulungnya.

"Tapi, Bun. Stella tidak punya tempat tinggal. Dan aku juga tidak mau Stella kembali ke rumah ayahnya. Stella tidak akan aman di sana. Rian mohon, Bunda. Izinkan Stella tinggal di rumah kita untuk sementara waktu. Rian janji akan mencari tempat yang tepat untuk Stella dengan cepat," mohon Rian tak menyerah.

Lisa memijit pelipisnya yang terasa pening. Besok Stella diperbolehkan keluar dari Rumah Sakit. Gadis itu hidup sebatang kara. Ibunya meninggal tiga tahun yang lalu karena suatu penyakit, dan Stella juga tidak memiliki kerabat yang peduli dengannya. Meski ia masih memiliki seorang Ayah yang tidak bertanggung jawab. Tapi, sangat tidak mungkin Stella tinggal dengan Ayahnya. Rian tidak akan mengizinkan, mengingat Rian sangat menyayangi gadis itu.

"Rian mohon, Bunda." Rian menunduk dan bersujud di depan Lisa.

Lisa tertegun melihat Rian yang bersujud di depannya.

"Rian?!"

"Rian mohon, Bunda!" teriak Rian dengan lantang.

Lisa menghela napas.

"Baiklah, Bunda akan mengizinkan Stella tinggal di rumah kita," ucap Lisa akhirnya menyerah.

Rian mengangkat kepalanya, menatap wanita yang sudah melahirkan dan membesarkannya itu dengan tatapan berkaca-kaca.

"Tapi, hanya sampai Ayah mu pulang dari luar negeri saja. Setelah itu, Stella tidak bisa tinggal di rumah kita lagi," ucap Lisa.

Rian tersenyum tipis, lalu mengangguk.

"Terimakasih, Bunda. Rian janji, Rian akan mencarikan tempat tinggal untuk Stella sebelum Ayah pulang," ucap Rian dengan sungguh-sungguh.

Lisa menghela napas melihat kesungguhan anaknya. Ia tau Stella sangat berarti untuknya. Jadi, wajar saja jika ia mau melakukan apapun untuk gadis itu.

*****