Keesokan harinya...
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Stella diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Saat ini, ia sedang berada di rumah Rian untuk tinggal beberapa waktu di sana.
"Ini kamar kamu, Stella" ucap Lisa sambil mempersilahkan Stella memasuki kamar khusus tamu.
Stella melangkahkan kakinya memasuki kamar itu. Ia tertegun melihat kamar bernuansa biru laut di padu dengan beberapa lukisan lumba-lumba di dinding menyambut kedatangannya.
Kamar itu cukup luas dan bersih, ada springbed ukuran sedang, dua buah lemari pakaian, dan satu set meja belajar lengkap dengan komputernya.
"Waahh sepertinya Rian yang merenovasi kamar ini. Lihat! sebelumnya nggak ada lukisan lumba-lumba di dinding," ucap Lisa sambil menatap lukisan lumba-lumba yang tentu saja di lukis oleh Rian.
"A... Anu...–"
"Kamu tau Stella?" Lisa memotong ucapan Stella. "Kamu yang dulu suka banget sama lumba-lumba loh. Waktu kecil kamu suka koleksi pernak-pernik lumba-lumba. Waahh lihat! semuanya serba biru disini. Tante berasa ada di pantai," ucap Lisa sambil menatap kagum kamar tamu yang dulunya amburadul tapi sekarang sudah di sulap menjadi kamar bernuansa pantai oleh putra pemalasnya.
Stella tersenyum. "Iya, bagus sekali. Terima kasih Tante, sudah mengizinkan Stella tinggal di sini," ucap Stella.
Lisa tersenyum lembut, lalu membawa Stella duduk di tepi ranjang. Ia mengusap kepala Stella yang masih dibalut perban dengan sayang.
"Tante tau ini sangat berat untuk kamu. Kamu tidak perlu memikirkan apapun, tetaplah menjadi diri kamu sendiri dan berjuang untuk bertahan hidup. Tuhan sangat menyayangi kamu, Stella" ucap Lisa dengan lembut.
Stella tersenyum lalu mengangguk.
"Tidak berubah, kamu masih murah senyum ya. Dan seperti biasa, senyuman kamu sangat menenangkan hati setiap orang," ucap Lisa sambil terbayang dengan wajah Stella yang dulu.
"Walaupun kamu hilang ingatan. Itu tidak akan membuat jati diri kamu menghilang. Kamu adalah kamu, Stella. Hiduplah dengan cara kamu sendiri. Setelah melihat senyuman kamu tadi. Tante yakin, kamu pasti bisa menghadapi semua cobaan ini," lanjut Lisa.
Stella terdiam, terharu mendengar ucapan Lisa. Mata Lisa yang berkaca-kaca dibaluti kasih sayang berhasil membuat hati Stella menghangat.
"Tante, bagaimana Stella dulu? Kenapa Stella bisa seperti ini?" Stella akhirnya mengeluarkan pertanyaan yang sedari dulu membelenggu hatinya.
Lisa tersenyum. "Masih terlalu cepat untuk kamu mengetahui semuanya. Kondisi kamu belum sepenuhnya pulih. Suatu saat, Tante yakin Rian akan memberitahu kamu semuanya," ucap Lisa.
Stella menunduk, sorot sendu tercetak jelas di matanya.
'Apakah masa lalu ku seburuk itu sehingga Tante Lisa tidak mau menceritakannya?' gumam Stella dalam hati.
"Ah, tapi kamu itu adalah anak yang baik kok. Tidak ada yang buruk dari kamu, dan kamu juga tidak pernah membuat kesalahan, semua orang sangat menyayangi kamu," ucap Lisa dengan cepat menghibur Stella yang terlihat sedih.
Stella mengangkat kepalanya, lalu tersenyum.
"Terima kasih, Tante" ucap Stella.
"Sama-sama, sayang" ucap Lisa sambil mengelus dengan lembut kepala Stella.
"Tapi, Tante. Kenapa orang tua Stella tidak menemui Stella?" tanyanya.
Lisa terkejut, ia meneguk lidah tidak tau harus menjawab apa.
"Ehmm... eng... itu...—"
BRAAAKK
Ucapan Lisa terpotong oleh Rian yang masuk tanpa mengetuk pintu. Membuat kedua perempuan itu terkejut dan mengalihkan atensi ke arah pemuda itu.
"Rian! Sudah berapa kali Bunda bilangin. Kalau masuk ke dalam ruangan ketuk pintu dulu!" teriak Lisa dengan kesal.
"Maaf, Bun" ucap Rian sambil membawa tiga tumpukan kotak besar dan meletakkannya di lantai.
"Itu kotak apa? Eh... tungu!! itu wajah kamu kenapa?!" tanya Lisa dengan panik melihat wajah anaknya yang babak belur.
Rian menghela napas setelah meletakkan kotak itu di lantai. "Habis ngeroyok sampah!" jawab Rian asal. Membuat Lisa dan Stella mengernyit bingung.
"Ini barang-barang, Stella" lanjut Rian.
"Eh?" kaget Stella. "Dari mana?" tanyanya.
Lisa dan Rian terdiam. Tidak mau mengatakan bahwa Rian pagi-pagi ke rumah Stella bertarung dengan ayahnya dan mengambil semua barang-barang gadis itu di sana.
"Bu-bukan dari mana-mana, kok. sekarang ayo beresin semua barang-barang lo. Perlu gue bantuin?" tawar Rian sambil mengelak dari pertanyaan Stella.
Stella diam sejenak lalu mengangguk pelan.
"Yasudah, kalau gitu Bunda keluar dulu. Jangan lupa obati wajah kamu, Rian" ucap Lisa sambil berjalan keluar kamar.
Hening, tidak ada yang membuka suara.
Rian menghela napas, lalu duduk di lantai sambil menyandarkan punggungnya ke dinding. Ia merasa sangat lelah. Semalaman ia tidak tidur karena sibuk mendekorasi kamar tamu yang akan di tempati Stella. Lalu paginya adu jotos dengan Ayah Stella karena harus mengambil barang-barang berharga milik gadis itu dari sana.
"A... Anu... Te-terima kasih sudah membawa barang-barang ku," ucap Stella sambil berjalan mendekati Rian dan berjongkok untuk menatap pemuda itu.
"Hn" jawab Rian dengan gumamam.
"A-aku bisa membereskan ini semua, kamu istirahat saja," lanjutnya dengan hati-hati.
Rian membuka matanya. "Lo ngomong kaku banget. Santai aja, kita pacaran jadi tidak perlu bicara formal," ucap Rian.
Stella mengerjap lalu mengangguk. Ia meraih kotak di depan Rian dan membukanya.
Isinya barang-barang pribadi Stella semua. Seperti pakaian, buku-buku, dan sekardus boneka lumba-lumba.
Stella heran, sebesar apa cintanya dulu pada lumba-lumba?
"Gue bantuin," ucap Rian mengambil kotak yang berisi buku lalu membawanya ke arah meja belajar dan menyusunnya di sana.
Sementara Stella mengambil kotak yang berisi pakaian dan menyusunnya ke dalam lemari.
"Rian" panggil Stella.
"Apa?" sahut Rian yang sedang sibuk menyusun buku-buku Stella.
"Ini semua boneka ku?" tanya Stella memastikan.
Rian menoleh ke belakang menatap boneka itu. "Iya" jawabnya, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya.
"Begitu, ya" ucap Stella sambil menatap boneka lumba-lumba dengan berbagai ukuran itu. Stella tersenyum, penasaran dengan dirinya yang dulu seperti apa. Kenapa ia menyukai lumba-lumba hingga mengoleksi boneka sebanyak ini? Tidak hanya itu, saat memasukkan baju ke dalam lemari tadi, ia melihat hampir seluruh bajunya bergambar lumba-lumba. Apakah dirinya yang dulu sangat maniak lumba-lumba?
"Stella?" panggil Rian.
Stella menoleh. "Ya?"
Rian diam sejenak lalu menghela napas. "Apa lo masih ingin bebas, seperti lumba-lumba?" tanya Rian. Membuat kening gadis itu mengernyit bingung.
"Ma-maksudnya?" tanya Stella.
Rian tersenyum tipis masih dengan posisi membelakangi Stella. "Nggak apa-apa. Lupakan pertanyaan gue tadi," ucap Rian.
Stella menatap punggung Rian dalam diam. Sepertinya ada sesuatu yang ingin Rian sampaikan.
20 menit kemudian
"Sudah selesai semuanya, 'kan?" tanya Rian sambil menatap sekeliling ruangan yang sudah di isi dengan barang-barang Stella.
"Iya" jawab Stella.
Rian menghela napas sambil mengelap keringat. Dia benar-benar lelah sekali.
"Te-terima kasih" ucap Stella.
Rian mengangguk sambil mengusap puncak kepala gadis itu, lalu berjalan ke arah pintu. Sementara Stella hanya diam memperhatikan.
"Jangan lupa bersih-bersih. Setelah itu turun ke bawah untuk makan malam," ucap Rian sambil berlalu tanpa menatap Stella.
"Iya" ucap Stella.
Stella POV
Tidak bisa mengingat apapun memang menyedihkan ya? Apapun yang ku lihat semuanya terasa asing. Bahkan diri ku sendiri sangat asing bagi ku.
Di depan orang lain aku tidak tau harus bersikap seperti apa. Bahkan saat berbicara pun aku sering kehilangan kosa kata.
Untuk saat ini, aku tidak tau harus melakukan apa. Jika benar aku mengalami kecelakaan berat dan hampir mati. Kenapa Tuhan masih membiarkan ku tetap hidup? dengan mengambil ingatan ku dan mengganti nya dengan perasaan kehilangan yang menyesakkan ini.
Ya, di hati ku ini. Entah kenapa terasa begitu sesak. Aku merasa kosong dan kehilangan, seperti ada sesuatu yang berharga pergi meninggalkan ku.
Apa itu?
Aku sangat ingin tau apa itu?
Memikirkannya membuat ku ingin menangis.
Apa yang sudah ku lepaskan?
Ingatan berharga apa yang sudah ku lupakan?
'Kamu adalah kamu, Stella. Hiduplah dengan cara mu sendiri'
Ucapan Tante Lisa kembali berputar di benak ku.
Benar, walaupun aku tidak bisa mengingat apapun. Aku tetaplah aku. Aku tidak akan menjadi orang lain. Aku akan tetap menjadi diri ku sendiri.
Dan aku akan berusaha mengingat masa lalu ku dengan cara ku sendiri.
****
Pukul 19:34 WIB
"Stella gimana? Kamu suka masakan Tante?" tanya Lisa.
Stella tersenyum. "Iya, Tante. Enak banget," ucap Stella dengan jujur.
Sekarang Lisa, Rian, Alicia, dan Stella sedang makan malam di meja makan.
Lisa tersenyum bangga. "Sudah Tante duga kamu bakalan suka. Itu makanan kesukaan kamu loh," ucap Lisa sambil menunjuk Ayam kecap di depan Stella.
Stella tersenyum melihat Lisa yang senang. "Te-terima kasih, Tante" ucap Stella.
"Sama-sama sayang. Ayo cepat di makan," ucap Lisa dengan lembut.
"Mungka kakak kenapa?" tanya Alicia sambil menunjuk wajah Rian yang terlihat sangat lesu. Membuat Lisa dan Stella mengalihkan atensi ke arah pemuda itu.
Tentu saja, selama ini ia selalu kurang tidur. Hal itu sangat berdampak pada wajah tampannya.
"Habis di putusin pacal ya?" tanya Alicia lagi.
Rian berdecak. "Ngomong 'R' aja suka keseleo malah ngerti pacar-pacaran kamu. Siapa yang ngajarin, ha?" tanya Rian sambil mencubit pipi Alicia dengan gemas.
"Dali kakak" jawab Alicia dengan polos.
"Ha? Kapan?" tanya Rian.
"Pas Cia mau bangunin kakak pagi-pagi. Kakak seling ngigau tlus bilang, 'Pengen punya pacal lima belas,'" ucap Alicia sambil mengangkat ke-sepuluh jarinya.
Membuat semua orang di sana ternganga mendengarnya.
"Ah, kulang lima jali. Bunda, pinjam jali nya dong," ucap Alicia sambil menarik tangan Bundanya hingga jari mereka yang digabungkan menjadi lima belas.
"Kakak tenang aja. Suatu hali pasti ada yang mau sama kakak kok. Kakak nggak jelek kok, kan Bunda? cuma kakak lagi nggak laku aja sekalang," ucap Alicia lagi.
Stella kebingungan, Lisa tertawa, sementara Rian memijit kepalanya yang sakit. Kenapa adiknya ini bisa berbicara seperti itu? ini pasti karena efek keseringan diajak nonton drakor oleh Bundanya.
Rian berdiri dan pergi ke kamarnya tanpa mengucapkan sepatah kata. Terlalu lama di sana semakin membuat kepalanya pusing.
"Kak Ian ngambek ya, Bun?" tanya Alicia.
Lisa terkekeh. "Nggak kok. Cuma lagi meratapi nasib aja," ucap Lisa asal. Ia mengambil baki ke dapur dan meletakkan makanan Rian yang sama sekali belum tersentuh ke atas nampan.
"Stella, nanti setelah makan bisa kamu anterin ini ke kamar Rian?" tanya Lisa.
Stella mengangguk. "Bisa, Tante"
10 menit kemudian.
Tok Tok Tok
"Masuk" sahut Rian.
Pintu terbuka dan tampaklah Stella yang sedang membawa nampan berisi makanan. Rian yang melihat itu langsung menghampiri Stella dan mengambil nampan itu darinya.
"Bunda yang suruh, ya?" tanya Rian.
Stella mengangguk. "Kenapa pergi sebelum makanan kamu habis?" tanya Stella.
Rian meletakkan nampan ke atas nakas. "Gue malas ngomong sama bocah bucin," ucap Rian.
Stella mengernyit. "Bucin?" tanyanya.
Rian menggeleng. "Lupakan" ucapnya, jelas sekali tidak mau menjelaskan apa itu bucin pada Stella.
"Yasudah, kalau gitu aku pergi keluar dulu," ucap Stella
"Tunggu!" cegah Rian.
Stella berbalik. "Ada apa?" tanya Stella.
"Lo nggak lupa sama baca dan tulis, 'kan?" tanya Rian.
Stella diam sejenak, lalu menggeleng.
Rian tersenyum. "Syukurlah, dua hari lagi di sekolah gue akan ada penerimaan siswa baru. Lo bakalan sekolah di sana bareng gue," ucap Rian.
"Sekolah?" tanya Stella.
"Lo nggak lupa apa itu sekolah, 'kan?" tanya Rian.
Stella menggeleng. "Nggak kok. Tapi kenapa aku harus sekolah?"
"Lo mau jadi bego terus?"
Stella menggeleng.
"Yaudah, kalau gitu lo harus sekolah," ucap Rian.
Stella diam sambil meremas kedua tangannya. "Aku... Aku tidak punya uang untuk biaya sekolah," ucap Stella.
"Masalah uang sekolah lo nggak perlu khawatir. Biar gue yang urus itu semua," ucap Rian.
Stella sedikit kaget mendengar itu. "Ta-tapi... Aku nggak mau menyusahkan kamu lebih dari ini," ucap Stella.
Rian tersenyum tipis.
'Penolakan, lagi?' batinnya, lalu berjalan ke arah Stella.
"Lo anggap gue ini siapa?" tanya Rian sambil terus berjalan ke depan, membuat gadis itu berjalan mundur hingga punggungnya menyentuh dinding.
Rian berhenti di depan Stella dan mengurungnya dengan menggunakan satu tangan.
Rian mendekatkan wajahnya sambil menatap iris hitam pekat Stella dengan lekat. "Gue pacar lo, Stella" ucap Rian dengan menekan setiap kata.
"Gue bakalan lakuin apapun demi kebaikan lo. Jangan anggap gue seperti orang asing, lagi!" lanjutnya, kali ini dengan nada sedikit membentak.
Stella terkejut melihat Rian yang tiba-tiba marah.
"Dari dulu, lo selalu memperlakukan gue seperti orang asing. Gue tau gue berandalan. Tapi, apakah gue tidak pantas mendapatkan cinta dari lo, Stella?" ucap Rian sambil menatap Stella dengan tajam.
Tubuh Stella bergetar karena takut, napasnya mulai tidak beraturan. Kenapa tiba-tiba saja Rian marah dan menjadi orang yang berbeda?
Deg
Rian tersadar, lalu menjauh dari Stella. Sementara Stella merosot ke lantai sambil mengatur napasnya.
'A-apa yang sudah gue lakukan?' batin Rian.
"Ma-maaf Stella. Gue hilang kendali," ucap Rian sedikit panik.
Ya, karena banyak beban pikiran ia tidak bisa mengontrol perasaannya dan tanpa sadar melampiaskan semuanya pada Stella.
Sungguh pikiran Rian sangat kacau saat ini.
Rian berjongkok, tangannya bergerak untuk menyentuh gadis itu. Tapi dengan cepat Stella menepisnya, membuat Rian terkejut.
Rian tersenyum pahit.
"Ma-maaf" cicit Stella sambil menatap Rian dengan takut-takut.
"Tidak perlu minta maaf. Lo pantas memperlakukan gue seperti ini, Stella. Tapi, gue mohon sama lo. Tetaplah percaya sama gue. Gue akan melakukan yang terbaik untuk lo, gue nggak mau kehilangan lo lagi, Stella" ucap Rian dengan sungguh-sungguh. Matanya berkaca-kaca, jelas sekali ia sangat menyayangi Stella.
Stella diam, ia tidak tau harus berkata apa. Ia masih shock melihat amarah Rian tadi.
"Maafin gue. Lo takut ya?" tanya Rian.
Stella tidak menjawab.
Rian menghela napas. "Gue yang keluar atau lo yang keluar dari sini?" tanya Rian.
Stella masih tidak menjawab.
Rian berdiri mengambil jaket dan kunci motornya, lalu berjalan ke arah pintu.
"Gue pergi, lo jangan lupa minum obat," ucap Rian sambil memegang ganggang pintu.
Rian menghela napas melihat Stella yang masih diam tidak berani menatapnya. "Maaf" ucapnya sekali lagi, lalu keluar dari kamar meninggalkan Stella sendirian di sana.
Sementara Stella masih terkejut. Tetapi, ia merasa bersalah pada Rian. Ia sendiri tidak tau kenapa bisa bereaksi seperti itu.
Stella menunduk. "Maaf, Rian" gumamnya.
Lagi-lagi perasaan itu memberitahu Stella. Bahwa ia sudah melupakan hal yang paling penting, perasaan berharga yang seharusnya tak dilupakannya.
Tapi apa itu?
Stella memeluk lututnya, dan menenggelamkan kepala di sana.
"Andaikan aku tau jawabannya, hal penting apa yang sudah ku lupakan?"