Tanah, rumput dan pohon. Itulah yang kutemukan sepanjang pencarianku selama beberapa jam ini. Bahkan waktu tiga jam yang kuhabiskan hanya untuk mengelilingi hutan ini selama dua kali terasa sia - sia. Bukannya mengada - ngada, tapi sepertinya hasil hutan ini memang sudah habis diambil. Buktinya, sedari tadi aku tidak menemukan satupun buah segar yang tergantung diranting - ranting pohon disekitarku atau hewan pemakan rumput yang sedang berkeliaran dari ukuran terkecil hingga yang terbesar. Jangan heran, dihutan ini memang tidak terdapat hewan pemakan daging. Karena mereka hanya berada dihutan berkabut yang berada dibawah kekuasaan penyihir putih.
Aku mengerang kesal. Jika saja tadi aku tidak menerima tawaran Dareen dan kelompoknya untuk melihat para peri kecil yang menari di danau timur dan mengingat bahwa hari ini adalah hari dimana para penyihir hitam akan melakukan pengambilan hasil hutan secara besar - besaran, mungkin aku masih bisa mendapat setidaknya beberapa buah segar dan seekor kelinci liar untuk ibu dan Bibi Treva. Dan oh, Jangan tanya dimana ayahku. Dia sudah menghilang sejak peperangan lima tahun lalu. Bahkan sampai sekarang aku tidak tahu apa dia masih hidup atau tidak.
Dengan frustasi, aku terduduk disalah satu pohon besar dengan akar raksasa yang timbul dari bawah tanah. Dan untuk kesekian kalinya, perutku kembali mengeluarkan suara berisik, seolah memaksa untuk segera diisi.
Aku menghela nafas kasar dan segera bangkit dari dudukku. Samar - samar suara teriakan terdengar dari kejauhan.
"Elian!" Seorang lelaki bersurai hitam menghentikan larinya ketika sampai disampingku dengan nafas tersengal - sengal.
Aku hanya menatapnya datar sambil melipat tanganku didepan dada. "Kenapa kau berlari seperti itu? Apa kau menemukan sesuatu, Wern?"
Wern mengangguk cepat. "Tapi masalahnya itu berada diperbatasan." Dapat kudengar nada kekecewaan dari perkataannya barusan.
"Memangnya ada apa disana?" Tanyaku dengan sedikit penasaran.
"Lima pohon apel dan tiga ekor rusa bertanduk abu," jawabnya dalam satu tarikan nafas. Dan tanpa kusadari kedua mataku membulat setelah mendengar jawaban dari tetangga dekatku, Wern Eadweld.
"Ah, dan dua kelinci salju," tambahnya.
"Kita harus kesana!" Aku berteriak antusias. Bagaimana tidak, perkataan Wern baru saja memberikanku secercah harapan untuk mengisi perutku hari ini atau mungkin beberapa minggu kedepan.
Wern menahan tanganku sebelum aku sempat berlari menuju perbatasan antara hutan dengan Werstone, kota para penyihir putih. "Apa kau tidak ingat. Para pasukan kerajaan penyihir putih selalu berjaga disana, dan jika kau tertangkap, kau akan dibunuh El!" Ia menatapku dengan sorot mata yang penuh kekhawatiran.
Aku memutar bola mataku malas sambil berdecak sebal. "Wern, kalau kau tidak ingin aku kesana, kenapa kau memberitahuku mengenai hal itu, huh?"
Wern tampak berpikir sejenak sebelum membalas pertanyaanku, "Aku hanya ingin memberitahumu hal yang mengejutkan," jawabnya sambil menyengir kecil.
"Kau juga pergi kesanakan tadi?" Wern tersontak ketika mendengar tuturanku. Hah! Kena kau.
Sebenarnya aku ingin saja menertawai kekalahannya, tapi sepertinya ini bukan situasi yang tepat untuk melakukan itu.
Setelah itu keheningan terjadi cukup lama. Sampai - sampai aku hampir menguap bosan, jika saja Wern tidak berdeham cukup keras."Er..iya sih, tapi tadi aku hampir saja ketahuan jika aku tidak segera terbang dengan sapuku. Dan kau tidak membawa sapumukan saat ini. Jadi lupakan saja yang kukatakan tadi, oke?"
Aku menatapnya malas. "Berapa banyak persediaan makananmu saat ini?"
Wern tampak berpikir sejanak. "Sepertinya hanya cukup untuk hari ini," cicitnya.
"Bagus, kalau begitu pinjamkan aku sapumu. Aku akan mengambilakan bagian untukmu dan keluargamu juga, jangan khawatir." Aku tersenyum meyakinkan sambil melepas tangan kanan Wern yang masih setia menggengam tanganku.
"Tidak, El. Ibumu akan membunuhku jika dia tahu kalau kau pergi keperbatasan karena aku. Jadi, sekarang kita pulang saja, oke?" Wern berkata tegas sambil menarik tanganku pergi menuju pemukiman kami. Tapi dengan gesit aku menepis tangannya dan segera mengambil sapu hitam kusam ditangan kirinya.
Wern berteriak memanggilku ketika aku mulai terbang menjauh dengan sapunya. "Kembali, El!"
Aku menoleh kebelakang sambil tersenyum tipis. "Aku akan kembali Wern, tenang saja!"
Wern terlihat sedang mengumpat ketika aku menoleh kebelakang untuk kedua kalinya. Tapi aku tidak menggubrisinya. Dan lagi - lagi kedua ujung bibirku terangkat membentuk lengkungan kecil, mengingat bahwa perut kosongku akan segera terisi penuh.
Perbatasan aku datang!
***
Bersembunyi sudah menjadi keahlianku sejak kecil. Buktinya, aku selalu memenangi permainan sembunyi dan temukan waktu kecil dulu.
Dan sekarang keahlianku itu tengah diuji. Karena saat ini aku sedang bersembunyi dibelakang pohon apel besar, tepat dimana salah satu penjaga perbatasan yang merupakan pasukan dari kerajaan penyihir putih sedang menyandarkan punggungnya.
Beberapa detik setelah mendengar kepergian penjaga perbatasan yang tadinya sedang bersandar dipohon tempat persembunyianku, karena dipanggil oleh penjaga perbatasan lain, aku kembali menaiki sapu Wern yang tadinya sempat kupinjam (dengan paksa) untuk menjangkau salah satu buah apel yang bergantung bebas diranting pohon.
Dengan hati - hati, aku memetik apel itu tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Dan...berhasil!!
Aku menatap apel itu dengan tatapan mengiurkan. Mengingat bahwa aku belum memakan apapun sejak tadi pagi jadi, aku memutuskan untuk mencicipi sedikit apel yang baru kupetik itu.
Ketika aku hendak mengigit apel itu, sebuah ulat besar tiba - tiba saja menggeliat keluar dari apel itu yang sontak membuatku memekik kaget sampai keseimbanganku hilang begitu saja. Alhasil, bibir suciku kini mencium tanah kotor yang bau.
Tapi itu tidak penting, karena saat ini suara langkah kaki para penjaga itu terdengar semakin mendekat kearahku, yang masih setia berbaring dengan nyeri diseluruh tubuhku. Tanpa memperdulikan kakiku yang terlihat membengkak, aku segera berdiri dari tiduranku.
"Siapa itu?!" Suara berat itu terdengar berteriak dari balik pohon, membuatku merinding ria.
Dengan segera aku mencari keberadaan sapu Wern yang ternyata terjatuh cukup jauh dari tempatku saat ini, membuatku berlari terseok - seok untuk mengambilnya.
Ketika aku hendak terbang pergi menggunakan sapu Wern, sebuah rantai panas menarik kakiku sampai aku terjatuh untuk kedua kalinya.
Aku meringis pelan ketika pelipisku mulai mengalirkan darah segar karena terhentak batu sebelumnya. Belum selesai dengan penderitaan dikepalaku, kaki kananku yang terikat rantai panas tadi mulai melepuh dengan perlahan.
Dengan sekeras mungkin aku mencoba untuk berdiri ketika para penjaga perbatasan itu mulai mendekat, tapi semua terasa sia - sia. Karena rantai panas itu seakan melumpuhkan kaki kananku.
Salah satu dari penjaga perbatasan itu tersenyum mengejek melihat keadaanku saat ini. "Mencuri apel, ya." Ia tampak berpikir sejenak. "George apa aku boleh membunuhnya sekarang?"
Orang yang dipanggil George itu terbahak, entah apa yang lucu. "Tentu saja." Ia menyeringai kearahku sebelum melemparkan belati kecil kepada penjaga yang bertanya tadi.
Oh, tidak. Ini buruk.
Terkutuklah diriku ini yang begitu bodoh karena tidak mendengarkan apa yang Wern katakan tadi, dan sekarang aku sungguh sangat menyesal. Tapi, setelah dipikir - pikir kembali yang seharusnya disalahkan adalah ulat sialan yang tiba - tiba muncul begitu saja yang membuatku memekik kaget dan akhirnya ketahuan.
Sudahlah, itu tidak penting. Karena yang terpenting saat ini adalah memikirkan bagaimana cara agar aku dapat melarikan diri dari penjaga - penjaga perbatasan ini.
Sebelum sempat berpikir lebih, penjaga itu mulai bersiap untuk menusukku dengan belati kecil yang ia pegang. "Tenang saja, ini tidak akan menyakitkan." Ia menyeringai seram.
Mengingat sihir yang pernah diajarkan Mole--ketua kegiatan penyelamatan diri--Tanpa pikir panjang aku langsung mengarahkan tangan kananku kearah penjaga yang sedang mengarahkan belatinya kearahku. Ia tampak kebingungan sedangkan aku hanya bisa tersenyum miring melihatnya.
Aku membacakan mantra untuk membuat bola api didalam hatiku dan sedetik kemudian penjaga pembatasan yang tadinya menghunuskan belati kearahku terpental menabrak pohon apel besar dibelakangnya hingga pohon itu retak dan hancur begitu saja.
Aku menerjapkan mataku tidak percaya, maksudku Mole pernah berkata bahwa bola api hanya akan menyebabkan luka ringan bila kita mengenainya tapi bagaimana bisa bola api yang kubuat tadi membuat penjaga perbatasan itu sampai terlempar cukup jauh.
George menatapku bingung. "Bagaimana bisa kau mengeluarkan sihir tampa tongkat?"
Tanpa menggubrisi pertanyaan George, aku segera memotong rantai panas dikaki kananku dengan pisau yang selalu kubawa kemana - mana, dengan bantuan sedikit sihir hitamku tentunya.
Setelah terbebas dari rantai panas itu, aku segera mengambil sapu Wern dan terbang menjauh secepat mungkin meninggalkan George yang masih mematung disana.
Sebernarnya, aku juga masih bingung kenapa aku bisa mengeluarkan sihir tanpa menggunakan tongkat sihir, tapi aku tidak peduli karena saat ini yang terpenting adalah terbang sejauh mungkin dari area perbatasan.
***
Setelah terbang cukup jauh, aku mendarat dengan perlahan dibawah pohon rindang yang cukup besar untuk menyembunyikan tubuhku. Bukannya aku tidak ingin langsung kembali kepemukiman, tapi aku yakin bahwa mereka sekarang pasti sedang menuju kesana. Mereka disini maksudku adalah para penjaga perbatasan tadi. Jadi, lebih baik aku bersembunyi sementara ditempat yang berlawanan dengan jalur menuju kepemukiman. Jangan bingung, aku tahu mengenai hal ini karena Bella, anak tetanggaku, dia tertangkap tiga tahun yang lalu ketika para penjaga perbatasan datang mencarinya dipemukiman kami. Dan dari hari itu, kami semua tahu bahwa para penjaga perbatasan akan datang mencari para penyihir hitam yang melanggar peraturan sampai kepemukiman. Kecuali kalau kau belum bertatapan langsung dengan para penjaga perbatasan mereka tidak akan mencarimu, seperti Wern tadi. Dia pasti sudah kabur sebelum para penjaga melihat wajahnya.
Baiklah, kembali kekeadaanku sekarang.
Aku menghirup udara dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan, berusaha menetrelisir detak jantungku yang masih berpacu cepat. Ketika jantungku mulai berdetak normal, perutku kembali meraung minta diisi. Aku hanya bisa mengambil kantong airku yang kuikat disebelah kanan pinggangku dan berharap bahwa seteguk air dapat mengisi sedikit perut kosongku.
Belum sempat aku meneguk setetespun air dari kantong airku, sebuah panah melesat cepat mengenai tangan kananku, membuat kantong air yang tengah kupegang terjatuh begitu saja. Semua terjadi begitu cepat sampai aku tidak menyadari bahwa seorang lelaki beriris biru laut sudah berdiri didepanku dengan tatapannya yang begitu tajam sambil menghunuskan tongkat putihnya didepan wajahku.
"Diam, atau mati." Ia berkata dengan dingin dan penuh penekanan membuatku berusaha sekeras mungkin untuk tidak menelan ludah.
Aku melirik sapu Wern yang terbaring disamping kananku sebelum menendang kaki lelaki itu. Tidak perduli dia terjatuh atau tidak, intinya aku harus segera pergi.
Tapi ketika aku hendak mengambil sapu Wern, lelaki itu terlebih dahulu mencengkram tanganku sebelum aku sempat menyentuh seujung jaripun sapu Wern yang masih terbaring disamping kananku.
Lelaki itu menghantamkan tangan kiriku yang sedang ia cengkram kebatang pohon diatas kepalaku, membuatku meringis pelan.
Ia menatapku tajam. "Jika kau memberontak lagi, aku tidak segan - segan membunuhmu sekarang, mengerti?"
Aku hanya bisa mengangguk pelan. Lelaki itu mengambil sapuku dan melemparnya sejauh mungkin, sebelum melepaskan cengkramannya ditangan kiriku.
Belum selesai dengan penderitaan ditangan kiriku aku kembali meringis melihat keadaan tangan kananku yang masih tertancap panah itu, kini mengeluarkan darah segar. Lelaki beriris biru laut itu duduk disampingku, lebih tepatnya diatas akar besar yang menonjol dari bawah tanah. Aku hanya bisa menatapnya penuh tanda tanya.
Ia hanya menatap datar tangan kananku yang mengenaskan. "Sebaiknya kau melepas perban hitam itu," katanya.
"Tidak perlu." Aku membalasnya dengan nada sedingin mungkin. Sebernarnya aku bukan tidak mau melepasnya, tapi tanda aneh yang kudapat sejak lahir itu yang membuatku enggan untuk melepasnya.
Ia berdecak sebal kemudian menarik tangan kananku. Aku hanya menatapnya bingung dan menarik kembali tangan kananku. Tapi sebelum aku sempat melakukannya, ia terlebih dahulu menarik keluar panah yang menancap ditanganku dengan cepat, membuatku mengerang kesakitan.
Darah segar mengalir keluar tanpa jeda dari luka tusukan itu. Lelaki itu melepas perban hitam yang membalut tangan kananku tanpa sempat aku cegah karena sakit ditangan kananku yang membuatku terbungkam.
Ia tampak kaget ketika melihat tanda pentagram yang tampak menonjol ditanganku. "Apa ini asli?"
Aku menatapnya tajam. "Bukan urusanmu," jawabku sambil setengah meringis, berusaha menahan sakit yang teramat di tangan kananku.
Dia hanya menatap tanda pentagram ditanganku untuk beberapa saat sebelum mengoyakkan sedikit ujung bajunya dan membalutkannya diluka tusukanku. Aku hanya bisa melongo bingung. "Kenapa kau melukaiku kalau akhirnya kau juga mengobatiku?"
Dia ini bodoh atau apa sih.
Lelaki itu hanya menatapku datar. "Itu hanya untuk membuatmu diam." Ia berkata dengan dingin sebelum berdiri dari duduknya. Aku hanya bisa cengo mendengar jawabannya.
Setelah itu, lelaki itu berdiri dari duduknya sambil mengambil sapunya yang berwarna putih perak dan menaikinya dengan perlahan. "Ayo naik."
Aku hanya bisa berdecak sebal dan menaiki sapunya.
Sebenarnya aku bisa saja kabur saat ini, tapi dengan keadaan kaki kananku yang terlalu mengenaskan untuk dipaksa berlari aku hanya bisa pasrah mengikuti perintah lelaki menyebalkan didepanku ini sebelum dia mencoba untuk membunuhku lagi karena tidak menurutinya.
Dan sekarang aku hanya bisa berdoa supaya para penyihir putih mau mengampuniku kesalahanku dan membiarkanku pulang dengan selamat.
***
Aku benar - benar muak dengan suasana ini. Maksudku, kami sudah terbang selama lima belas menit dan dari tadi lelaki ini tidak berkata sepatah katapun. Dan saat ini aku merasa sangat sangat sangat canggung.
Tapi setelah dilihat lagi, ternyata lelaki ini tidak memakai pakaian yang sama seperti para penjaga perbatasan tadi. Seingatku penjaga perbatasan tadi memakai pakaian ala pasukan kerajaan dengan sebuah jubah panjang dan sebuah topi penyihir yang berwarna senada dengan pakaiannya, putih. Sedangan lelaki didepanku memakai baju seperti seragam sekolah dengan jubah sepingggang tanpa topi penyihir.
Apa dia sebernarnya memang bukan penjaga perbatasan, ya? Tapi kenapa dia menyuruhku menaiki sapunya dan membawaku ke Werstone, aneh.
Berbagai pertanyaan membingungkan mulai merasuki benakku. Dan pada akhirnya aku memutuskan untuk bertanya sebelum kepalaku meledak karena beribu tanda tanya yang tidak akan terjawab jika aku terus - terusan bungkam. "Kau ini sebenarnya siapa?" tanyaku setengah berbisik.
Dapat kulihat ekor matanya melirik kecil kearahku. "Ethan Delacroix," kata lelaki itu.
Aku hanya mengernyit bingung. "Hei, aku tidak bertanya nama lho. Lebih tepatnya siapa kau sebenarnya?" koreksiku.
Ethan menghela nafas. "Apa kau pernah belajar sejarah?" Walaupun dia sedang memungguniku, tapi aku yakin pasti dia sedang memutar matanya malas saat mengucapkan pertanyaan barusan.
Aku berdecak sebal. Apa dia sedang mengejekku? "Tentu saja pernah, memangnya apa hubungannya coba?" tanyaku dengan nada sesarkastik mungkin. "Lagipula kita mau kemana? Kau juga bukan penjaga perbatasan, bukan?" tambahku.
"Kau akan tahu nanti. Dan kita sudah sampai," katanya bertepatan dengan mendaratnya sapu putih yang sedang kami naiki, beberapa meter didepan sebuah pintu gerbang raksasa, yang sepertinya merupakan jalan masuk kedalam kastil kerajaan.
Ethan berjalan dengan cepat kearah pintu gerbang raksasa itu, tanpa memperdulikan usaha kerasku untuk menyusulnya dengan jalan terseok - seok.
Setahun ketika aku akhirnya sampai dipintu gerbang itu, Ethan terlihat sedang berbincang dengan salah satu penjaga disana. Entah apa yang mereka perbincangkan tapi dari raut wajah mereka, jelas sekali terlihat bahwa mereka sedang serius.
Oh, astaga. Jangan - jangan mereka sedang memikirkan hukuman apa yang pantas diberikan kepada pencuri apel sepertiku. Sekarang aku hanya bisa berdoa semoga mereka tidak memberikanku hukuman yang aneh - aneh.
Sebelum sempat berpikir lebih, Ethan menarik tangan kiriku mendekat kearahnya. "Jangan berpikir untuk kabur," katanya dengan penuh penekanan.
Aku mendecih kesal. "Aku tidak pernah berpikir begitu, asal kau tahu."
Ethan menatapku datar, "Bukannya tadi kau mencoba kabur dariku?" celutuknya.
Aku mendengus, tapi ketika aku hendak membalasnya salah satu penjaga yang tadinya sedang berbincang dengan Ethan tiba - tiba berkata,"Jadi, dia 'Yang Diramalkan'?"
Ethan mengangguk disampingku.
Tunggu, siapa yang mereka maksud 'Yang Diramalkan'?
Aku menoleh kebelakang dan tidak ada siapapun disana. Disini jelas hanya ada aku, Ethan dan dua penjaga itu. Pertanyaan membingungkan kembali datang menghantuiku.
Tapi itu tidak bertahan lama, karena semua itu buyar begitu saja ketika Ethan menarik tangan kananku yang masih diperban robekan bajunya dan menunjukannya ke penjaga yang bertanya tadi. Penjaga itu membelalak.
"Ya, dia 'Yang Diramalkan'."[]
.
.
.
Tb