Malam ini benar-benar memusingkan, bagimana tidak. Pikirannya selalu tertuju pada Mitha, wanita cantik yang mampu membuatnya jatuh cinta, selain Mira. Setelah sekian lama tak berjumpa nyatanya wanita itu kembali muncul.
"Apa jangan-jangan ini adalah sebuah tanda isyarat … agar aku menikahinya?" Pikir Atmaji memecahkan teka-teki.
Tanpa diminta otaknya kembali menyuguhkan moment kenangan wanita itu. Dia masih sama, cantik hanya saja sedikit lebih kalem. Jika sikapnya seperti itu terus maka akan terlihat seperti Mira. Bibirnya mengembangkan senyuman.
"Iya, sepertinya memang harus dinikahi. Jika tidak, lantas apa artinya kembali dipertemukan," ucap Atmaji senyum-senyum sendiri.
Ndari di ruang tamu asik menonton TV, hari-hari rutinitas ini selalu ia jalankan. Sebab, Miko tak sama seperti dulu. Dia terlalu sibuk memikirkan kuliah dan banyak kegiatan yang diikuti. Bahkan hanya memberi kabar di saat-saat tertentu saja, itupun saat dirinya ingat.
Anehnya, di saat ayah menyebalkan Miko selalu ada untuknya. Sekarang malah berbanding terbalik. Ya, setidaknya Tuhan masih memberikan Ndari teman di saat mengalami terpuruk.
"Ndari," panggil ayah yang mendekat ke arahnya.
Pandangannya teralihkan tertuju pada ayah yang duduk di sampingnya. Beliau tampak tersenyum, entah kabar apa yang disampaikan sepertinya membuat bahagia.
"Ada apa Yah?"
"Benar apa yang kamu bilang!" seru ayah antusias.
Ndari tergangga, tak mengerti maksud dari ayahnya. Kembali mulutnya mengunyah cemilan yang ada di tangan. Tak sabar menanti kelanjutan dari ucapan ayahnya.
"Mitha itu punya anak perempuan namanya Sinta. Katanya dia seumuran kamu, lho."
"Lantas, kenapa Yah?" Ekpresi wajahnya berubah heran.
Ayah meraih tangan anaknya. Mengengamnya hangat sembari tersenyum, "Itu kabar bagus artinya kamu bakal punya suadara tiri."
"Sudara tiri?"
Atmaji mengangguk-anggukan kepala. Ndari menarik kembali tangannya dan kini melipat di di atas perut. Mencoba mencerna kata-kata yang barusan terlontar. Bibirnya tersenyum nyengir, ada sedikit getir di hati.
"Ayah bertemu dengan Tante Mitha dan dia menjelaskan tentang anaknya. Bagaimana, kamu setujukan memiliki saudara tiri?" Atamaji bergegas bangkit mengusap lembut kepala putrinya sebelum pergi.
Ndari memegang kepalanya seperti mau lepas saja, "Arrgghhh! Ayah kenapa lagi sih."
Sepertinya Ndari sendiri harus turun tangan untuk menemui wanita itu. Tetapi harus bagimana? Tubuhnya bangkit, menuju kamar untuk mengambil ponsel dan menelpon Miko. Ah, benarkan. Selalu saja sibuk, tak bisa dihubungi.
"Sesibuk itu ya emang anak kuliah?" cibirnya kesal.
Ndari harus memecahkan masalah ini sendiri meskipun tanpa bantuan Miko. Alhasil saat menyadari ayah dikamar mandi dan ponselnya tergelatak di atas kulkas. Bergegas langsung mengeceknya, mencari nomor Tante Mitha.
"Yes, berhasil." Untung saja Ndari selalu mengamati kode sandinya ayah. Jadi, tak perlu waktu lama untuk membobolnya.
"Ndari," panggil ayah sontak membuatnya kaget.
Jantungnya seperti hampir copot, bergegas ia membalik badan dan nyengir. Bingung tak tahu apa yang harus dikatakan.
"Ngapain kamu di situ?"
Bagai tersambar petir untuk yang kedua kalin, Ndari bingung. Wajahnya terlihat cemas, "Anu … nunggu Ayah lagi, Ndari kebelet baung air kecil."
"Ohhhh …."
Atmaji bergegas pergi untuk mengambil ponselnya dan Ndari masuk ke dalam toilet. Haduh, degup jantungnya perlahan kembali aman. Untuk saja ayah tak curiga. Karena penasaran langsung dikirimkannya pesan.
Ndari keluar toilet kembali masuk dalam kamar dan tak mendapatkan balasan. Padahal cukup lama menunggu tetapi tak mendapat balasan. Beralih ke panggilan suara. Namun, nomor yang dicoba malah tidak aktif.
"Apa jangan-jangan Tante Mitha ganti nomor? Aishhh, sialan."
***
Atmaji berulang kali memanggil-manggil anaknya untuk bangun. Namun, tak mendapat sahutan, "Ndari bangun. Jangan lupa sholat subuh, kamu enggak mau masak apa?"
Tok … tok… tok.
Berulang-ulang kali pintu diketuk. Padahal Ndari sudah bangun hanya saja rasanya malah untuk bangkit. Seperti ada lem yang menempel di sekujur tubuh yang membuatnya lengket dengan kasur.
"Sabar Yah. Sebentar lagi," sahutnya menahan kantuk yang akan menguasai dirinya kembali.
Pintu kembali diketuk oleh sontak Ndari bangkit dan membukanha. Oke, sepertinya memang tidak baik tidur terlalu lama. Perlahan kakinya melangkah dan memutar kenop pintu.
"Cepet sholat setelah itu masak."
Tanpa menunggu sahutan, ayah langsung bergegas melangkah, membuat secangkir kopi hitam. Ya, begitulah kebiasaannya sebelum menjalankan aktivitas. Setelah selesai sholat, Ndari membuka kulkas, ada sawi dan berapa bahan sayur lain. Langsung saja dicomot dan disulap menjadi tumis.
"Ayah sarapan sudah siap," teriak Ndari memberitahu.
Ayah menyusul ke ruang makan. Dengan lahap menikmati masakan anak perempuan satu-satunya. Enak! Ndari sudah mulai pintar dalam menakar bumbu. Sebab sering kali dirinya mendapati anaknya membuka youtube, membuka tutorial masak.
"Enak, Yah?" tanya Ndari disela-sela makannya.
"Terbaik," sahut ayah sembari mengancungkan jempol.
Keduanya tersenyum senang dengan tanggapan puas. Tak lama Atmaji berangkat, Ndari melambaikan tangan mengamati mobil itu lenyap dari hadapan. Bergegas ia masuk ke kamar ayah. Tentunya untuk mencari tahu, informasi tentang Tante Mitha.
"Tak ada apa-apa," keluh Ndari yang malah bingung.
Kakinya melangkah mendekat meja yang biasanya digunakan ayah bekerja. Menyadari dirinya tak akan mendapat apa-apa kembali melangkah ke luar. Ndari malah nyut-nyutan, kepalanya terasa pening.
"Sepertinya aku harus ke warung membli obat sakit kepala," ujarnya yang bergegas mengambil kunci sepeda montor.
Tak disangka di tengah jalan, lagi-lagi Ndari melihat Tante Mitha. Bergegas langsung membuntuti dan tibalah di depan rumah sederhana.
"Ohhh jadi itu rumah Tante Mitha … kok sederhana banget ya, beda jauh dari penampilannya yang gelamor."
Ndari memarkirkan sepeda montor agak jauh dari sana. Perlahan mendekat pintu pagar yang tak dikunci. Dia berhasil masuk dan sekarang berada di depan terasnya. Matanya terus mengamati rumah itu, "Masak sih, Tante Mitha yang gelamor itu tinggal di sini."
Tentu saja Ndari tak percaya. Untuk percaya pun sulit, "Apa jangan-jangan karena Tante Mitha miskin jadi mendekati Ayah?"
Mitha langsung membersihkan sayuran yang barusan dibeli dari pasar. Tak perlu masak terlalu banyak sebab Sinta akhirnya memilih ngekos. Artinya dia tinggal sendiri di rumah ini.
Ndari masih bingung antara mengetuk pintu atau hanya sekadar ingin tahu. Namun, jika tak jelas apa yang dicari tentu semakin menambah beban pikir. Alhasil Ndari memberanikan diri mengetuk pintu.
"Siapa ya?" ucap Mitha sebab selam tinggal di sini belum pernah ada tamu.
Bergegas dirinya mencuci tangan dan menunda masaknya. Melangkah ke depan, tentu sangat penasaran dan memutar kenop pintu.
"Siapa ya …" tegur Mitha saat pintu terbuka, tiba-tiba tercekat.
Ndari membalik badan dan Mitha terbelalak, kaget bukan main. Dari mana anak itu bisa mengetahui tempat tinggalnya. Apa jangan-jangan Ndari adalah teman Sinta? Dengan begitu dia bisa mengetahui keberadaannya.
"Hemmm." Mata Ndari masih mengamati wanita itu dari atas sampai bawah. Nyatanya, Tante Mitha terlihat biasa menggunakan pakaian daster. Padahal sebelumnya mengira wanita itu adalah janda kaya.