Debat Hebat

"Ndari," lirih Mitha nyaris tak terdegar.

Ndari masih diam mengamati wanita itu, ekspresinya benar-benar datar. Sedangkan Mitha sendiri bingung dengan maksud kedatangan anak itu. Hening untuk sesaat, tak ada suara di antara keduanya.

"Boleh masuk?" Pertanyaan itu Ndari lontarkan dengan tatapan mata tajam. Pemilik rumah menganggukan kepala.

Mata Ndari masih saja fokus melihat sekeliling atas, bawah, dan samping. Rumah yang kecil, sederhana, dan tak menarik sama sekali. Tiba-tiba tercium aroma gosong. Mitha kaget dan berlari ke dapur.

"Ya Tuhan!" serunya panik.

Mendengar suara itu, Ndari turut dalam dapur. Bibirnya nyengir, ternyata lauk yang digorengnya gosong. Pasti wanita itu panik karena kedatangannya dan lupa jika tengah mengoreng sesuatu.

Ndari mengembuskan napas, kakinya melangkah ke sana kemari. Matanya terus menyelidik mengamati ruang dapur, meja makan, dan tolet di ujung. Simpel dan sederhana tata letak di rumah ini.

Karena kedatangan tamu, Mitha tak melanjutkan masak. Ndari kembali ke ruang tamu, sejenak duduk di sofa tua. Entah seberapa tua umurnya yang jelas debu di sofa itu sampai menempel. Sepertinya sulit dihilangkan jika tak disikat dengan tenanga yang kuat.

"Hemm." Ndari kaget.

Wanita itu sudah berdiri tak jauh dengan membawa napan berisikan dua gelas teh. Perlahan mendekat, meletakan gelas-gelas itu di atas meja, "Silakan diminum."

Tuan rumah mengembalikan napan dan kembali duduk. Keduanya saling berhadapan. Ndari masih saja diam tak mengeluarkan sepatah kata apa-apa. Suasana kembali hening. Hanya detak jam berani mengeluarkan suara di antara mereka.

Embusan napas terdengar jelas di telinga keduanya. Mata mereka kembali saling pandang, "Silakan diminum."

"Sudah berapa lama tinggal di sini?" sahut Ndari malah melontarkan pertanyaan.

"Baru … belum ada setengah tahun."

"Ohhh, belum lama ya?" ulang Ndari memastikan apa yang didengar tidak salah.

"Iya."

Ndari mengembuskan napas, menarik garis senyum di bibirnya dengan paksa. Apa yang disimpulkan berarti tidak benar. Berarti wanita ini sebelumnya memiliki rumah, apa jangan-jangan rumah lama disita? Atau mungkin dijual.

"Rumah lama di mana dan kenapa pindah kemari?"

"Dijual."

"Untuk … bayar utang?" tanya Ndari dengan sedikit mengejek.

Mitha menarik napas, anak Atmaji sepertinya bukan remaja yang mudah ditaklukan. Masih mending berhadapan dengan Sinta.

"Untuk persiapan biaya kuliah," sambungan menahan marah.

"Ooo … untuk anak semata wayangnya, ya?"

"Sekarang gilaran aku bertanya, ada apa kemari dan dari mana tahu tempat tinggalku?"

Ndari melirik genit ke arah Mitha. Sesekali bibirnya menarik senyum meremehkan, "Santai dong Tan, jangan melotot begitu. Saya takut, lho hehe."

"Tolong jaga sopan satun kamu, apa ibumu tak pernah mengajarkan sopan santun sedikitpun," geram Mitha.

"Ohhh tentu. Ibuku sangat mengajarkan hal itu! Akan tetapi ini bukan masalah sopan santun, lebih tepatnya tentang apa yang kita tanaman. Anda menamankan kebencian, dan aku tak suka itu."

"Bicaralah yang jelas."

"Jauhi Ayahku. Jelas, bukan?"

Mata mereka saling beradu di satu titik. Tak ada yang ingin mengalah, Mitha merasa diremehkan oleh anak kecil. Dagunya sedikit diangkat, menandakan lawannya bukanlah apa-apa.

"Jangan berlagak sok di hadapanku. Ingat itu!"

"Seperti yang kamu bilang, tentang apa yang kita tanaman. Aku tak bisa menghargai orang yang tidak menghargaiku." Mitha tampak sadis mengatakannya.

Ndari merubah cara duduk dengan menumpangkan salah satu kaki. Bibirnya sedikit menarik garis senyum, manis tetapi menakutkan. Kepalanya sedikit menunduk, menatap Mitha dengan mata menyipit meremehkan.

"Lantas mau dihargai berapa kamu. Atau tahu yang kamu perlukan harta, bukan?"

"Mulutmu itu apa tak pernah disekolahkan."

"Yang terucap dari mulut ini adalah fakta."

"Aku akan membuatmu menyesal, lihat saja."

"Oke, tampaknya peperangan ini akan segera kita mulai." Ndari bangkit begitu juga dengan Mitha yang mengikutinya.

Dengan hati dongkol Ndari memilih pergi. Namun, saat langkahnya sampai di ambang pintu tiba-tiba berhenti. Di sana ada mobil Ayah, "What, ngapain Ayah kemari?"

Benar saja Atmaji keluar dari mobil dengan membawa sesuatu di tangan. Raut wajahnya tampak begitu bahagia dan tiba-tiba kaget. Melihat putrinya sendiri berada di di dalam sana.

Ndari tersenyum melangkah mendekat dan berbisik, "Ayah tahu Ndari di sini. Hore ini buat aku'kan. Makasih Ayah."

Dua bungkusan tas yang etnah apa isinya, diambil paksa oleh Ndari. Atmaji tak bisa berkutik apa-apa. Anaknya langung menyalakan sepeda montor dan melesat pergi. Mitha keluar dan kaget, "Lho, Mas Maji kok di sini?"

"Mitha … itu tadi Ndari, bukan?"

"Iya Mas. Entahlah dia tahu alamatku dari mana. Mas Maji sendiri kok tahu alamat rumah saya?"

"Kan kamu waktu itu yang memberiku alamat," sahutnya langsung.

"Ohhh iya ya Mas. Hehe … maaf lupa, sini ayo masuk."

Dipersilakan tamu itu untuk duduk. Di sana masih ada dua teh yang belum diminum, "Mau minum apa? Biar saya buatkan."

"Tak usah. Aku kemari hanya …." Atmaji tak bisa melanjutkan perkataan. Ingin memberi sesuatu tetapi bingkisan yang dibawa malah digondol anaknya. Mitha malah bingung dengan pria itu yang tampak gelisah.

"Mas kenapa sih," Perlahan dirinya mendekati, "Sakit kepala, ya?"

Tangan Atmaji memang tak lepas dari kening yang dipijet. Rasa bersalah dan bingung bercampur aduk. Matanya menatap wanita cantik di sebelahnya, cukup lama. Perlahan tangannya memberanikan diri untuk mengenggam.

"Mitha jawablah jujur. Kamu mau menikah denganku?"

"Tapi Mas, kan Ndari enggak setuju dengan hubungan kita."

"Masalah itu bisa diatur. Lagian dia anak kecil pasti sangat membutuhkan orang tua. Nanti Mas akan bilang baik-baik ke dia."

Mitha tersenyum tak bisa ditutupi kebahagian yang dirasakan. Dengan setuju menikah tentu ia tak harus repot-repot jualan online lagi. Kebutuhan kuliah Sinta pasti juga bakal terjamin. Baguslah, sepertinya ini adalah jalan yang tepat untuk dicoba.

"Tapi … tetap saja Ndari bagaimana?"

"Kamu wanita baik Mitha. Tetap memikirkan perasaan orang lain, terima kasih ya. Pokoknya kamu tenang saja, semua akan beres."

"Biaklah, Mitha mau."

Atmaji langsung memeluknya. Mitha cengar-cengir sebab bangga telah menang sebelum peperangan dimulai. Ndari pasti akan disingkirkan oleh ayahnya jika tak menurut.

"Besok aku kembali untuk jemput kamu. O ya, bawa juga anakmu. Aku ingin mengenalnya."

"Dia kuliah. Mungkin hari libur aku bisa membawanya main ke rumah, Mas."

"Biaklah. Aku pulang dulu, maaf tak membawa apa-apa kemari."

"Enggak usah bawa apa-apa. Mas datang Ndari sudah senang," sahutnya malu-malu.

"Terima kasih, Mira."

"Mira?" ulangi Mitha kaget mendengar nama lain disebut pria itu.

"Mitha," ralat Atamaji dengan senyuman.

Ndari kesal bukan main sampai lupa tujuan awalnya membeli obat sakit kepala. Namun, setelah berdebat dengan wanita jahat tadi. Sakitnya malah hilang yang tersisa malah rasa dendam.

"Pokoknya Ayah tak boleh menikah dengan wanita jahat, itu. Dia adalah wanita gila harta dan tentunya sangat berbahaya."