WebNovelCewekku!71.43%

Chapter 5

Keesokan harinya....

Berbeda dari kemarin, aku tiba di sekolah lebih lama karena harus membantu ibuku terlebih dulu. Saat tiba di depan gerbang, ada seorang siswa yang berjaga. Dari atributnya, sepertinya dia anggota OSIS.

"Hei, kau" katanya.

"Aku?" tanyaku.

Aku memastikannya karena ada beberapa siswa lain di sekitarku.

"Ya, kau. Cepat kemari" katanya.

Aku pun menghampirinya.

"Kau pasti murid yang populer itu"

Populer? Aku agak bingung dengan apa yang dikatakannya.

"Populer?" tanyaku.

"Benar. Nilai sempurna ujian masukmu itu membuatmu sangat populer di sekolah ini. Ditambah dengan penampilanmu, kau semakin bertambah populer. Terutama di kalangan para siswi. Lihat"

Dia menunjuk ke arah kerumunan siswi di belakangku. Aku pun menoleh ke arah itu.

"Kyaa!! Dia melihat ke sini!! Hai, Destryan!!!" teriaknya.

"Oh, hai"

Aku menyapanya kembali.

"Kyaa! Dia menyapaku!!"

Siswi-siswi itu pun melanjutkan perjalanannya ke kelas.

"Benar, kan? Kau memang populer, Destryan Putra Anggara" katanya.

"Aku bahkan tidak tahu itu. Omong-omong, apa yang ingin kau bicarakan?" tanyaku.

Dia agak tersentak saat aku berbicara.

"Wow, baru pertama kali ada yang bicara seperti itu padaku" katanya.

Aku bingung apa yang dimaksudkannya.

"Apa maksudmu?"

"Biasanya setelah orang-orang melihat lambang OSIS ini, mereka akan berbicara formal kepadaku. Padahal aku juga sama seperti mereka, murid sekolah ini"

"Begitu, ya. Bagiku semua orang itu memiliki kedudukan yang sama. Aku baru berbicara formal kalau memang itu yang diinginkan, dan diharuskan. Tadi, aku melihatmu tidak nyaman orang-orang berbicara seperti itu kepadamu, jadi aku memilih untuk berbicara seperti biasa saja" ujarku.

"Pintar dan baik hati. Kau memang benar-benar cocok" katanya.

Aku tidak mengerti apa yang dimaksudnya dengan cocok.

"Cocok? Apa ini berkaitan dengan yang ingin kau bicarakan denganku?" tanyaku.

Daritadi, dia masih belum mengatakan niat sebenarnya.

"Haha, kau cepat mengerti juga. Benar, ini berkaitan" katanya.

"Jadi?"

"Destryan. Kau diberi kesempatan untuk menjadi kandidat Ketua OSIS berikutnya" ujarnya.

Aku hanya bisa terdiam mendengar hal mengejutkan itu.

"Hah?! Apa maksudmu?! Aku masih kelas satu tapi sudah menjadi kandidat Ketua OSIS?!"

"Benar. Melihat dari performamu dalam ujian kemarin, kami Pengurus OSIS memutuskan untuk menjadikanmu kandidat Ketua OSIS yang kedua" jelasnya.

"Yang benar saja. Tunggu, apa kau baru saja bilang 'kedua'?"

Kalau aku adalah kandidat Ketua OSIS yang kedua, lalu siapa yang menjadi kandidat pertama?

"Kandidat Ketua OSIS pertama, Tuan Putri Andinie Sofya Lapiz"

Aku teringat sesuatu mendengar itu.

"Lapiz?....Oh! Putri itu rupanya!"

"Bahkan Putri Andinie juga kau perlakukan seperti itu? Tidak kuduga"

"Dia juga tidak mempermasalahkannya. Jadi, kembali lagi tentang kandidat itu. Apa aku boleh menolaknya?"

Memang hebat untuk mendapatkan pencapaian seperti itu. Tapi, aku kurang nyaman jika harus mengemban tanggung jawab sebesar itu.

"Menolaknya? Apa kau yakin? Kau bisa memiliki privilege yang banyak, lho? Meskipun nanti kau tidak terpilih, kau akan tetap mendapat posisi dalam Kepengurusan OSIS. Kau bisa menjadi sangat berkuasa, lho"

Seketika, aku langsung merasa muak dan kesal.

"Maaf, aku paling tidak nyaman dengan yang namanya privilege. Sejenak, kupikir kau mengerti tentang prinsipku, ternyata tidak sama sekali. Jika ini saja yang ingin kau bicarakan maka aku permisi dulu. Beberapa menit lagi bel masuk berbunyi"

"Eh? T-tunggu!"

Aku pun langsung masuk ke sekolah tanpa melihat ke belakang.

.

.

.

Setibanya di kelas, aku langsung menuju tempat dudukku dan langsung menaruh kepalaku di atas meja sembari menghela nafas. Aku agak merasa bersalah karena bersikap seperti anak kecil.

Tiara yang melihatku pun langsung menepuk pundakku.

"Hm? Ada apa?" tanyaku sambil mengusap mataku.

Oh iya, karena sering melihat Tiara akrab denganku, teman-teman sekelasku menjadi terbiasa dengan tindakan Tiara yang berbeda dari apa yang mereka bayangkan tentangnya.

"Kau tidak apa-apa? Barusan kau menghela nafas panjang sekali"

"Aku tidak apa-apa. Tadi, aku tidak sengaja marah kepada seseorang. Padahal aku baru saja mengenal dia" ujarku.

"Oh ya? Siapa memangnya?"

"Kalau diingat-ingat, aku belum menanyakan namanya. Tapi, yang jelas dia menggunakan atribut OSIS" ujarku.

Begitu mendengar aku menyebut nama organisasi itu, Tiara langsung terdiam.

"K-kau bilang OSIS?...kau memarahi salah satu anggota OSIS?" ucap Tiara dengan sedikit ketakutan.

"Oh, yang aku maksud memarahi itu bukan berarti aku berteriak padanya, lho. Aku hanya merasa kesal lalu meninggalkannya tanpa mendengar apa yang ingin dia katakan" kataku.

Bukannya tenang, dia malah tambah panik.

"L-l-lebih baik kau segera meminta maaf padanya. Kau masih mau bersekolah dengan tenang di sini, kan?" ucapnya.

"Tenang saja. Saat bertemu dengannya lagi, aku akan meminta maaf" ucapku untuk menenangkannya.

Tiara pun kembali tenang.

"Tapi, apa yang membuat anggota OSIS mengajakmu bicara?"

"Soal itu, sepertinya aku terpilih menjadi kandidat Ketua OSIS berikutnya" ucapku.

.

.

.

.

"APA?!?! KANDIDAT KETUA OSIS KATAMU?!?!!?"

Tiara spontan teriak ketika mendengar hal itu. Tentu saja, seisi kelas mengetahui hal itu juga.

"Ehem....lalu, apa responmu?"

Mengagumkan dia bisa kembali tenang secepat itu. Tetapi, karena teriakannya, sekarang seisi kelas terfokus padaku.

"Aku...memutuskan untuk menolaknya"

.

.

.

"APA?!?! MENOLAKNYA?!?!!"

Seisi kelas kompak berteriak mendengar jawabanku.

"BERISIK!!!! CEPAT KEMBALI KE TEMPAT DUDUK KALIAN!!!!"

Di tengah-tengah keributan itu, wali kelas kami datang untuk menenangkan kelas. Seketika, kelas sudah kembali seperti semula seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Wali kelas kami, Profesor Frederick Andrea Kencana, yang sering kami panggil Profesor Freak. Meskipun terlihat seperti seorang pemalas, dia adalah profesor yang kejeniusannya sudah diakui oleh dunia. Aku sendiri terkejut ketika mengetahui bahwa orang sehebat itu adalah wali kelasku.

"Huft....baiklah. Kalian mungkin masih baru beberapa hari di sini, tapi kalian sudah sangat akrab satu sama lain. Hal itu sangat bagus untuk acara akhir bulan ini" ucapnya.

"Acara? Apa itu, Pak Freak?" tanya salah seorang siswa.

"Festival Olahraga" jawabnya dengan santai.

"Acara seperti itu bukannya masih ada waktu sekitar dua bulan lagi diadakannya? Kenapa terburu-buru?" tanya siswa itu lagi.

"Meskipun dinamakan seperti itu, maksud sebenarnya adalah pencarian bakat"

"EH?!?!" teriak semua siswa.

"Hah? Kenapa kalian terkejut?"

"Tidak tidak tidak! Kenapa Profesor memberitahukan hal sepenting itu kepada kami?!"

Yang dikatakannya memang ada benarnya. Seharusnya hal sepenting itu tidak boleh seenaknya dibeberkan ke murid-murid.

"Hm? Oh, aku harusnya tidak memberitahu hal itu, ya? Kalau begitu, tolong rahasiakan, ya!" ucapnya dengan santai.

Bagaimana bisa orang seperti dia disebut orang paling jenius di dunia? Aku heran dengan orang-orang.

"Yah, pokoknya, aku sangat tahu kalian semua ini murid yang pintar. Jadi, kutinggalkan urusan siapa yang akan berpartisipasi kepada kalian"

Dengan mengatakan itu, dia pun pergi keluar kelas.

"Ah, aku lupa. Yang aku maksud itu adalah siapa yang berpartisipasi dalam apa. Karena kalian semua diwajibkan mengikuti acara itu. Sampai jumpa!"

Dia pun pergi lagi.

"Hm? Hei, sejak kapan Profesor menulis kertas-kertas itu?" tanya seorang siswa sambil menunjuk ke tumpukan kertas di meja guru.

Memang benar-benar jenius. Dia bahkan menyiapkan kertas sebanyak itu saat sedang berbicara dengan kami.

"Ah, akan kubagikan"

"Terima kasih, ya!" ucap seorang siswa.

Aku pun maju dan membagikan selembaran kertas itu ke semua murid di kelas.

"Apa isinya?" tanya Tiara.

"Sepertinya ini daftar kategori yang akan dilombakan nanti. Apa ada lomba yang ingin kau ikuti, Tiara?"

Kategori yang dilombakan antara lain adalah, lari tiga kaki, lari estafet, sepakbola, bola voli, bulutangkis, kavaleri, dan bola basket. Karena prinsip kesetaraan yang dipegang di sekolah ini, hampir semua kategori lomba bisa diikuti oleh siapapun tanpa peduli apapun gendernya.

"Kupikir aku akan-"

Sebelum Tiara menyelesaikan kalimatnya, seorang siswi berteriak ke arah kami.

"AH! AKU PUNYA IDE!" teriaknya.

"Ide?" ucapku dan Tiara sambil memiringkan kepala.

"Bagaimana kalau Ryan dan Tiara, ikut dalam masing-masing lomba? Mereka berdua sangat atletis kan? Kalau mereka ikut semua lomba, mungkin kelas kita akan jadi juaranya!" ujarnya.

"Uh, aku setuju dengan idemu. Tapi, apa baik-baik saja meminta mereka mengikuti semua lomba? Mereka pasti akan sangat kelelahan, kan?" sahut salah seorang siswa.

Mengikuti semua lomba sekaligus tentu akan menguras banyak energi. Tapi, kalau dibarengi dengan waktu istirahat yang cukup, hal tersebut bisa diatasi.

"Ah, aku tidak apa-apa dengan hal itu. Memang akan sedikit lelah tapi aku yakin bisa mengatasinya. Tapi, aku tidak yakin dengan Tiara" ujarku.

"Asalkan kalian tetap membantu, mungkin aku bisa mengikuti semuanya" ucap Tiara.

"Baiklah! Kita sudah dapat persetujuan dari pasutri favorit kita. Jadi, yang tersisa hanyalah anggota tim yang akan membantu!"

"Pasutri? Ahahaha bisa saja kalian" ucapku sambil tertawa.

Seketika suasana kelas sunyi tanpa suara sama sekali. Mereka semua menatapku penuh keheranan.

"Huh? Ada apa? Kenapa kalian seperti melihat sesuatu yang belum pernah kalian lihat?" tanyaku.

"Uh...bukannya kalian udh berpacaran?" tanya salah satu murid.

Huh? Apa kami memang terlihat seperti itu?

Kami memang selalu bersama akhir-akhir ini, tapi aku tidak menyangka kalau mereka melihatnya seperti itu.

"Kalian salah sangka. Aku ini tidak berpacaran dengan Tiara atau apapun. Aku hanya teman dekat dengannya"

.

.

.

"EH?!?!!"

Seketika seisi kelas langsung ramai kembali.

"Apa maksudmu tidak berpacaran?! Bukankah kalian selalu bersama setiap saat?!"

Sudah kuduga karena hal itu.

"Itu karena kami sama-sama penggemar buku, jadi kami sering mengobrol bersama. Itu bukan seperti yang kalian pikirkan" ujarku.

"Benar-benar hanya itu?"

"Apa aku perlu bersumpah dan memberikan darahku agar kalian percaya?" ucapku dengan maksud mengerjai mereka.

"Hei, jangan bercanda seperti itu. Baiklah, kami percaya"

.

.

.

Setelah keramaian tadi mereda, kami mulai mendiskusikan siapa yang akan membantuku dan Tiara dalam festival. Sedikit mengejutkan melihat murid-murid yang berisik tadi, menjadi berbeda disaat mereka benar-benar serius.

"Baiklah, sudah diputuskan!"

Seperti yang sudah disepakati tadi, aku dan Tiara akan mengikuti seluruh lomba. Sisanya adalah murid-murid yang bisa dibilang cukup ahli dalam olahraga.

"Dalam hal ini, ada dua orang yang harus kita waspadai kemampuannya" ujar murid yang memimpin diskusi.

"Pertama, murid yang satu angkatan dengan kita, Tuan Putri Andinia. Kalian pasti sudah tahu tentangnya. Selain sempurna dalam hal akademik, kemampuannya dalam olahraga tidak dapat dibiarkan saja. Untuk itu, kalian harus dapat berkoordinasi dengan baik saat berhadapan dengannya"

Dari yang kudengar, meskipun dia adalah seorang putri, dia sangat sempurna hampir dalam segalanya. Tapi, untuk menangani hal itu, aku sudah menemukan caranya. Jika ditanyakan alasannya, mungkin karena aku sudah bertatapan langsung dengannya.

"Uhh...yang kedua...siapa tadi?"

Sudah pasti itu Niendya.

"Oh! Yang kedua adalah Kak Shaqilla"

"QILLA?!" teriakku dengan terkejut.

"Em....ada apa, Destryan?" tanyanya.

"Ah, maaf. Silakan, lanjutkan kembali"

Kenapa bukan Niendya?

"Ehem.... akan kulanjutkan. Dia memang terlihat seperti kutu buku biasa, tapi kemampuan fisiknya sangat luar biasa. Dia adalah pemenang tahun lalu. Dari itu saja, kita sudah tahu betapa hebatnya dia, kan?. Untuk menghadapinya, kita akan menyusun strategi khusus saat pertandingan akan dimulai nanti"

"Oh!!! Dengan begini kita pasti menang!"

Kelas pun kembali riuh seperti sebelumnya. Tapi, tidak denganku. Mengetahui hebatnya Niendya, aku harus tetap waspada padanya.

"Uh....permisi, semuanya" ucapku sambil mengangkat tangan.

Seisi kelas terdiam dan menatap ke arahku.

"Apa hanya mereka berdua yang perlu kita awasi?" tanyaku.

"Hm? Iya, hanya mereka berdua"

"Kalian salah. Di angkatan kita, ada satu orang lagi yang perlu kita waspadai" ujarku.

"Benarkah? Siapa itu?"

"Kelas 1-B, Aniendya"

.

.

.

.

.

"Bwuahahahahaha!"

Bukannya serius, seisi kelas tertawa mendengarku.

"Aniendya? Maksudmu murid yang kemarin tidak mau ikut pelajaran PE itu? Mana mungkin dia harus diwaspadai, Destryan!" ucapnya sambil tertawa.

Tidak mau ikut? Aku harus menanyakan hal itu padanya nanti.

"Terserah kalian saja. Yang jelas, saat kita berhadapan dengan Niendya, aku dan Ryan yang akan menghadapinya" ucap Tiara yang berdiri untuk membelaku.

"Baiklah, akan kami serahkan pada kalian berdua"

Dengan begitu, diskusi akhirnya selesai. Kami pun lanjut ke pelajaran selanjutnya.

...

Sepulang sekolah.....

Mendengar bel pulang sekolah telah berbunyi, kelas pun berakhir. Selesai membereskan barang-barangku, aku langsung menuju ke perpustakaan. Tiara bilang padaku kalau ia akan bergabung dengan klubku, tapi ia harus meminta izin ke guru dan orang tuanya terlebih dahulu.

Aku pun tiba di perpustakaan.

"Selamat sore, Qilla" ucapku.

Setelah membuka pintu, aku melihat Qilla yang sedang duduk di meja Komite sambil membaca buku.

"Eh, selamat sore, Ryan" jawabnya sambil tersenyum.

*(Terkejut)

Lagi-lagi aku terkejut dengan senyumannya.

"Hm? Ada apa, Ryan? Kau terlihat agak terkejut" tanyanya.

"T-tidak apa-apa"

Setelah meletakkan tasku, aku mengambil buku dari rak lalu duduk di samping Qilla. Sesekali aku melihat ke arah Qilla yang sedang membaca. Tanpa kusadari, seperti yang dikatakan orang-orang, Qilla benar-benar sangat cantik.

*(Menoleh)

Menyadari tatapanku, Qilla langsung menoleh ke arahku.

"Fufu, sampai melihatku seperti itu. Apa di wajahku ada sesuatu? Atau....wajahku terlihat sangat menawan bagimu?"

"Hkssk?!??!"

Aku sangat terkejut ketika Qilla tiba-tiba menatap ke arahku.

"Hahahaha. Kenapa? Apa wajahku menang benar-benar menawan? Fufufu"

"Huh? Benar kok. Wajahmu memang benar-benar menawan bagiku"

.

.

.

.

.

*(Blush)

"R-R-R-Ryan?!?!! K-kau tidak boleh bicara seperti itu pada seorang gadis, kau tahu?!"

"Eh? Ah, maafkan aku" ucapku.

Sore itu, bersandingan dengan pemandangan yang indah, wajah Qilla benar-benar sangat menawan.

To Be Continued...