WebNovelCewekku!85.71%

Chapter 6

Akhir pekan....

Seperti yang dijanjikan, aku akan menemani Tiara. Meskipun aku belum tahu apa yang ingin dia lakukan di akhir pekan ini.

Setelah menunggu sekitar lima belas menit, Tiara akhirnya sampai di tempat yg dijanjikan.

"Maaf, Ryan. Aku harus membantu ibuku sebentar tadi" ucapnya dengan napas terengah-engah.

"Tidak apa-apa. Minumlah ini dulu" ucapku sambil memberikan kaleng minuman ke ke Tiara.

"Baiklah, terima kasih"

Tiara langsung meminumnya sampai habis.

"Ah~~segarnya. Tapi, kenapa kau bisa memiliki dua minuman?" tanyanya.

"Karena aku yakin kalau kau terlambat, kau pasti akan kelelahan saat tiba di sini" ucapku.

Kemudian, aku pun mengelap keringat di dahi Tiara dengan saputanganku.

*(Blush)

Tiba-tiba, wajah Tiara menjadi sangat merah.

"T-terima kasih" kata Tiara sambil menunduk.

"Huh? Sama-sama....?" ucapku yang kebingungan.

*Orang-orang di sekitar : "Imutnya.."

Kemudian, Tiara mengajakku ke dalam sebuah kedai kopi.

"Kedai kopi ini cukup sepi pembelinya. Padahal menurutku, kedai kopi ini sangat bagus" kataku.

Mau dilihat darimanapun, kedai ini seharusnya menjadi tempat berkumpul yang sangat bagus. Entah kenapa hanya sedikit yang datang ke sini.

"Ini adalah kedai kopi baru. Memang masih sepi untuk sekarang. Tapi, aku yakin nanti akan banyak yang datang ke sini. Aku mengajakmu ke sini untuk menemaniku mencobanya. Bagaimana? Enak, bukan?" tanyanya.

"Memang, suasana yang diberikan kedai ini sangat menenangkan. Kopi yang disajikan pun sangat enak. Dalam waktu dekat kedai ini pasti akan ramai" ujarku.

"Kau menyukainya, ya?" tanyanya sambil tersenyum.

"Bisa dibilang aku menyukainya" ucapku sambil meminum kopinya lagi.

"Begitu ya...hehehe~~~"

"Ah, aku baru ingat. Bisakah kau menemaniku ke suatu tempat?" tanyaku.

"Eh? Tempat apa?" tanyanya.

"Toko buku di dekat stasiun. Aku baru ingat penulis favoritku merilis buku barunya hari ini" jawabku.

"Oh ya? Aku jadi ingin ikut membacanya kalau itu buku dari penulis favoritmu" ujarnya.

"Baiklah, aku akan belikan juga untukmu"

"Eh?! Tidak perlu, Ryan! Aku bisa membelinya sendiri"

*(Menepuk kepala)

"Tenang saja, Tiara. Aku membelikanmu sebagai ucapan terima kasihku karena sudah membawaku ke kedai kopi yang enak ini" ucapku sambil menepuk kepala Tiara.

*(Blush)

Wajah Tiara seketika langsung berubah merah padam.

"Hm? Kau kenapa, Tiara? Wajahmu sangat merah. Apakah kau demam?" tanyaku sambil menyentuh dahinya.

"T-t-t-tidak apa-apa, kok! Sebaiknya kita segera bergegas!"

Tiara langsung keluar dari kedai dengan cepat.

"Ini tagihannya, Kak" ucap salah seorang pegawai kedai.

"Ah iya, ini bayarannya"

Aku pun menaruh uang tagihannya di atas meja.

"Maaf, Kak. Uangnya kelebihan" ucapnya.

Saking terburu-burunya aku, uang yang kuberikan ternyata sangat besar.

"Simpan saja. Itu tip dariku karena kopinya sangat enak. Terima kasih, ya"

Aku pun langsung bergegas keluar kedai.

"Tunggu, Kak!" teriaknya.

Langkahku pun terhenti.

"Iya, ada apa?" jawabku.

"Bisakah aku mengetahui nama kakak?" tanyanya.

Kurasa memberitahu namaku tidak ada masalahnya bagiku.

"Tentu. Namaku Destryan Putra Anggara , panggil saja Ryan!" ucapku yang langsung keluar dari kedai.

"Ah!....dia pergi....Ryan, ya? Hehe~~"

.

.

.

"Hei, Tiara! Kenapa kau tiba-tiba pergi seperti itu?" ucapku.

Akhirnya aku dapat mengejar Tiara. Saat aku memegang tangannya, dia berbalik ke arahku dengan wajah yang memerah.

"Kau kenapa? Demam? Kalau kau sakit, lebih baik kita pulang saja. Aku tidak ingin apa-apa terjadi padamu" ucapku.

*(Blush)

"M-maaf, Ryan. Kurasa aku ingin istirahat di taman itu sebentar" katanya.

Aku pun membantu Tiara duduk di bangku yang kurasa paling nyaman.

"Bagaimana keadaanmu?"

"Tidak apa-apa, kok" katanya.

"Lebih baik kita sudahi saja hari ini. Aku tidak ingin membuat keadaanmu lebih buruk lagi"

Aku tidak bisa memaksa Tiara untuk menemaniku jika keadaannya seperti ini.

"Tidak! Tidak perlu! Aku akan baik-baik saja setelah beristirahat sebentar" katanya.

"Baiklah. Istirahatlah di sini dulu. Aku akan pergi membeli minuman untukmu" ucapku sambil pergi ke arah mesin minuman di dekat posisi kami.

Tidak lebih dari lima menit, aku kembali ke Tiara dengan dua minuman, satu untukku, dan yang satunya untuk Tiara.

"Minumlah ini" kataku memberikan minuman kepada Tiara.

"Terima kasih, Ryan"

Setelah beristirahat selama kurang lebih setengah jam, kami memutuskan untuk pergi ke toko buku yang aku sebutkan tadi.

Saat kami hampir tiba di toko buku, terlihat ada perkelahian di seberang jalan. Dari kejauhan terlihat seperti seorang pengawal yang sedang melindungi tuannya.

"Hei! Bukankah itu Putri Andinie?!" kata Tiara.

Ketika kulihat lebih jelas, ternyata orang yang dilindungi adalah Andinie. Dia sepertinya sedang diserang oleh seseorang.

Tanpa ragu aku langsung bergegas menghampirinya.

"Ah! Ryan, kau mau kemana?!" teriak Tiara.

"Diamlah di situ! Aku akan menolong Andinie dan pengawalnya!"

Ketika orang yang menyerang mereka mengeluarkan pistol, aku langsung lompat dan menendang orang itu hingga terpental jauh.

"Tepat waktu! Hei, kalian tidak apa-apa?" tanyaku.

"Kau?" kata Andinie yang terkejut melihatku.

"Hati-hati, Nak! Dia itu pembunuh bayaran!" kata pengawalnya.

Tidak lama setelah itu, orang itu kembali berdiri mengarahkan pistolnya kepadaku.

"Tch, dia masih bisa bangun rupanya" kataku.

Aku langsung maju menepis tangannya, memegang kerah bajunya, dan membantingnya ke tanah sekuat tenaga hingga pistolnya terpental.

"Cepat ambil pistolnya!" ucapku kepada pengawal Andinie.

"B-baiklah" ucap pengawal tersebut dengan sigap.

Aku langsung menahan pembunuh tersebut agar dia tidak bisa melawan lagi. Tak lama kemudian, Tiara datang menghampiri kami.

"Ryan! Polisi sedang menuju ke sini. Tahan dia lebih lama lagi" katanya.

Seperti yang dikatakan Tiara, polisi langsung datang ke tempatku sekitar sepuluh menit kemudian. Pembunuh bayaran itu langsung dibawa ke kantor polisi.

Pengawal Andinie yang terkena serangan juga sudah diobati oleh ambulans yang datang. Andinie yang merupakan target pembunuhan sedang memberikan kesaksian kepada polisi sama seperti yang sudah kulakukan. Sedangkan Tiara sedang menjelaskan kejadian tadi kepada Niendya yang menelepon.

"Destryan. Bisa aku bicara denganmu?" ucap Andinie yang menghampiriku.

"Panggil saja aku Ryan. Apa yang mau kau bicarakan?" tanyaku.

"Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih karena sudah menolongku tadi. Aku benar-benar tidak bisa melawan sama sekali" katanya.

"Tidak masalah. Menolong sesama itu memang kewajiban kita sebagai manusia. Syukurlah kau dan pengawalmu baik-baik saja"

Kemudian, Anindie mengeluarkan sebuah pisau kecil berwarna perak dengan lambang mawar biru.

"Sebagai ucapan terima kasih karena sudah menolongku, aku mengundangmu ke pesta di rumahku besok malam" ucapnya.

"Pesta? Pesta apa?" tanyaku.

"Pesta penyambutan kedatanganku di kota Nalechs.

Kau bisa datang bersama teman-temanmu. Kau adalah tamu kehormatan di pestaku nanti. Apa kau keberatan?"

"Tenang saja, aku tidak keberatan. Baiklah, aku akan datang. Akan kukabari Niendya dan Qilla nanti. Terima kasih telah mengundangku" ucapku sambil mengambil pisau yang diberikan Andinie.

"Tidak apa-apa. Ini bahkan masih belum bisa dibilang ucapan terima kasih yang seharusnya. Aku akan memerintahkan pengawal pribadiku untuk menjemput kalian semua nanti"

"Oh, kau tidak perlu menjemputku. Aku bisa datang sendiri ke rumahmu" kataku.

"Kenapa? Kau tamuku, ingat?" tanya Andinie yang kebingungan.

"Aku harus pergi ke suatu tempat terlebih dahulu sebelum ke rumahmu. Jadi, lebih baik kau menjemput yang lain saja. Tapi, terima kasih untuk tawarannya"

"Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa besok malam, ya!" kata Anindie sambil kembali ke mobilnya.

*(Langkah kaki)

"Oh? Putri Anindie sudah pulang? Aku baru saja ingin menyapanya" kata Tiara yang selesai menelepon Niendya.

"Tenang saja. Kau bisa melakukannya segera" ucapku.

"Apa maksudmu?"

"Kita diundang ke pesta penyambutan di rumahnya"

"Kita?" tanya Tiara yang memiringkan kepalanya.

"Siapa lagi memangnya? Kau, aku, Niendya, dan Qilla" ucapku.

.

.

.

"EEEEEEEHHHH??!!" teriak Tiara.

Seketika Tiara langsung terkejut mendengar hal itu.

"Hei, kau menggangu orang lain jika berteriak seperti itu" ucapku sambil menutup kuping.

"Maksudku, ini Lapiz Grand Dukedom, kau tahu?! Orang bahkan rela melakukan pekerjaan sekecil apapun itu agar bisa menginjakkan kaki di sana! Dan kita diundang ke salah satu pestanya?! Siapa orang di dunia ini yang tidak terkejut mendengar hal itu?!" teriak nya.

"Aku?" ucapku.

"Kau ini...bagaimana bisa kau tidak terkejut ketika menerima undangan itu? Pokoknya, kita harus datang ke sana! Ini mungkin kesempatan sekali seumur hidup" ucap Tiara sambil mengepalkan tangannya.

"Ah, soal itu. Bisa kau beritahu Niendya dan Qilla? Aku masih harus ke toko buku, ingat?" kataku.

"Benar juga. Baiklah, akan kuhubungi mereka. Aku yakin mereka akan bereaksi sama sepertiku ketika mendengar hal ini. Aku tunggu di sini, ya!"

"Tentu!" ucapku sambil pergi ke toko buku yang ada di seberang jalan.

.

.

.

"Oh, kau sudah selesai, Ryan?" tanya Tiara.

"Ini, sudah selesai" ucapku sambil menunjukan buku yang kubeli.

"Hm? A Man's Memory II karya LsYA? Jadi kau membaca bukunya juga, Ryan?"

"Iya, saat aku masih d-maaf. Aku pernah membaca seri pertamanya. Dan aku sangat suka dengan ucapan tokoh utamanya saat ditanya tentang kehidupan"

"Oh, yang mana? Aku sudah lama tidak membaca seri pertamanya"

"For what purpose do we live? To get happiness? Gaining wealth? Or be useful to others? The reality is not like that. The purpose of living in this world is to survive the trials given in the form of happiness as well as grief. But, such a reality can also be wrong. Despite successfully going through the ordeal, we still have a chance to reach a bad end. So, what exactly is our purpose in living in this world? No one knows for sure the correct answer. Because the correct answer, it only exists after someone feels what a regret is" ucapku.

"Aku juga suka yang itu! Benar-benar sangat mengagumkan" kata Tiara.

"Benar. Aku langsung tertarik dengan bukunya"

"Oh iya! Kau mau berangkat bersama kami, Ryan? Aku, Qilla, dan Niendya memutuskan untuk berangkat bersama ke pesta penyambutan itu. Kau boleh ikut bersama kami kalau kau mau" ucapnya.

"Aku baru ingat belum memberitahumu soal transportasi kita. Kau, Niendya, dan Qilla akan dijemput oleh pengawal Andinie. Aku akan menyusul setelah urusanku selesai" kataku.

"D-d-d-dijemput?!?! Kita akan dijemput oleh pengawal Lapiz Grand Dukedom?!" ucap Tiara yang terkejut untuk kedua kalinya.

"Yap. Anindie bilang akan mengirimkan pengawal pribadinya untuk menjemput kalian semua"

"P-p-pengawal pribadi Putri Andinie?!?!! Apa kau gila, Ryan?!"

"Tidak, aku masih waras"

"Bukan itu!! Ini pengawal pribadi Putri Andinie, kau tahu! Bukan pengawal keluarganya, tapi pengawal pribadinya!!"

"Memang apa bedanya? Bukankah mereka sama-sama pengawal?" tanyaku.

"Sangat berbeda! Satu pengawal pribadi Putri Andinie saja sudah memiliki posisi yang sangat tinggi di masyarakat. Lalu kau bilang mereka yang akan menjemput kami?!"

"Tenang saja. Aku yakin kalian akan baik-baik saja. Jadilah seperti diri kalian masing-masing" kataku sambil menepuk kepala Tiara.

"B-baiklah, aku mengerti"

"Lebih baik kita pulang saja sekarang. Hari sudah mulai sore. Aku tidak ingin kau pulang malam. Bagaimana?" tanyaku.

"Iya, aku setuju. Aku juga harus mempersiapkan diriku untuk pesta besok. Ayo kita pulang" kata Tiara.

"Ayo"

Aku pun mengantarkan Tiara sampai ke halte bis. Kami menaiki bis yang berbeda tujuan. Jadi, Tiara naik bis lebih dulu daripada aku. Karena bis yang akan kunaiki masih agak lama.

.

.

.

Sesampainya di rumah baruku, aku pun langsung mandi. Selesai mandi, aku langsung menyiapkan makan malamku. Inilah alasan aku bersyukur minta diajarkan Ibu cara memasak. Meskipun tidak seberapa, masakanku bisa dibilang sangat enak.

"Ah! Aku harus memberitahu Ayah dan Ibu tentang pesta itu"

Aku pun menelepon mereka.

"Halo, Ryan? Ada apa menelepon malam-malam begini?" kata ibuku.

"Aku hanya ingin memberitahu Ibu tentang sesuatu"

"Ada apa, Nak? Sampai harus menelepon Ibu seperti ini. Oh iya, ayahmu sedang dalam perjalanan pulang ke rumah sekarang. Karena itu ayahmu belum bisa berbicara denganmu" kata ibuku.

"Tidak apa-apa, Bu. Jadi, hari ini aku mendapat undangan pesta dari teman satu sekolahku" ucapku.

"Oya? Siapa orang beruntung ini yang mengundangmu ke pestanya?" tanya ibuku.

"Hm...kalau tidak salah, Andinie Sofya Lapiz? Entahlah kurasa itu nama lengkapnya" kataku.

*(Jatuh)

"Halo? Ibu? Suara apa itu barusan? Apa Ibu baik-baik saja?" tanyaku yang bingung mendengar suara tersebut.

"A-ah Ibu tidak apa-apa kok. Tapi, Ibu terkejut. Orang beruntung ini ternyata adalah Putri Andinie. Bagaimana kamu bisa diundang olehnya?" tanya ibuku.

"Tadi siang, aku melihat dia dan pengawalnya diserang oleh seseorang. Aku langsung segera bergegas untuk menolong mereka"

"Ya ampun! Apa kamu baik-baik saja? Keadaan mereka bagaimana?"

"Aku baik-baik saja, Bu. Mereka juga baik-baik saja. Meskipun pengawalnya terluka sedikit. Tenang saja, Bu" ucapku.

"Syukurlah. Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan terkait pesta itu?" tanya ibuku.

"Soal itu, aku tidak tahu apa yang harus kupersiapkan untuk datang ke pesta itu. Jadi, aku ingin minta saran dari Ibu" kataku.

Jujur saja, aku belum pernah sekalipun datang ke pesta seperti ini. Apalagi pesta dari orang ternama seperti Andinie.

"Hm....Ibu bisa membantumu soal pakaianmu. Tapi, untuk yang lainnya, lebih baik kamu tanyakan ke ayahmu" jawab Ibu.

"Begitu rupanya. Baiklah. Besok aku akan ke rumah dan menanyakannya langsung pada Ayah dan Ibu. Aku mungkin akan tiba di pagi hari. Terima kasih, Bu"

"Sama-sama, Nak. Selamat malam, ya"

"Selamat malam, Bu"

Melihat waktu masih pukul delapan malam, aku pun memutuskan untuk mengecek hal-hal yang berkaitan dengan pesta yang digelar para bangsawan. Mulai dari etika, cara berbicara, dan lain-lain.

.

.

.

"Huft. Lebih baik aku tidur sekarang. Kuharap pesta besok akan sangat menyenangkan"

Dengan begitu, hari yang penuh kejutan pun berakhir.

To Be Continued....