Keesokan harinya...
Empat jam sebelum tengah hari, aku sudah sampai di rumah orang tuaku.
"Oh! Selamat datang, Ryan!" ucap ibuku yang membukakan pintu.
"Aku pulang!" ucapku.
Begitu aku masuk ke rumah, Ayah sudah menunggu di ruang tamu.
"Ayah! Hari ini tidak ada pekerjaan?"
Ayahku bisa dibilang sangat sibuk bahkan di hari libur sekalipun. Jadi, sedikit mengejutkan Ayah ada di rumah hari ini.
"Ibumu bilang kau diundang ke pesta, kan? Ayah akan mengajarimu hal-hal yang diperlukan" kata Ayah.
"Hei! Aku yang harus terlebih dahulu mengajarinya! Ayah nanti saja!" teriak ibuku sambil membawaku ke kamar Ibu.
"Eh? Ah, sampai nanti, Ayah!"
"Aku tidak pernah bilang akan mengajarinya lebih dulu, kan? Astaga" kata ayahku.
Di kamar Ibu, sudah banyak setelan pakaian yang akan kucoba.
"Apa yg ini? Ini? Ini? Atau yang ini? Ah! Atau yang berwarna gelap seperti ini?"
Ibuku sangat antusias sekali. Padahal bagiku pakaian yang nyaman dan sopan saja sudah sangat bagus.
"Ibu, yang terlihat sopan dan nyaman saja cukup bagiku" kataku.
"TIDAK BOLEH!" teriak ibuku.
Seketika, Ibu langsung menatap tajam dan berteriak ke arahku.
"I-iya baiklah, Bu" ucapku.
Setelah satu jam memilih-milih pakaian yang akan kupakai, akhirnya Ibu membuat keputusan.
"Sudah kuduga yang seperti ini lebih cocok denganmu. Setelan jas hitam seperti ayahmu memang yang terbaik" kata ibuku.
"Baiklah kalau menurut Ibu ini bagus. Terlebih lagi ini sangat nyaman. Terima kasih, Bu!" ucapku.
"Tidak masalah, Nak. Sekarang pergilah ke ruang kerja ayahmu. Ayah sudah menunggu di sana" kata Ibu.
Aku pun langsung pergi ke ruang kerja Ayah. Aku sama sekali belum pernah masuk ke dalam ruang kerja Ayah. Ayah selalu bilang kalau tidak ada yang menarik di ruang kerjanya. Saat aku tanya Ibu, Ibu hanya bilang ruangan itu sama seperti ruang kerja pada umumnya.
*(Mengetuk)
"Masuklah"
Aku pun masuk.
"Hai, Ayah. Apa yang ingin Ayah ajarkan padaku?" tanyaku.
"Tidak terlalu banyak. Tapi, Ayah yakin ini pasti akan sangat berguna untukmu"
Kemudian, ayahku menaruh sebuah pulpen hitam dengan tulisan "Anggara", dan lambang kepala singa berwarna merah.
"Kamu tahu apa ini, Ryan?"
"Sebuah pulpen?" jawabku.
"Itu memang benar. Tapi, dengan menunjukkan pulpen ini, orang-orang akan berusaha akrab denganmu dan menjadi sangat menjijikan"
"Menjijikan? Apa sebenarnya maksud, Ayah?"
"Ini adalah simbol keluarga kita, Keluarga Anggara. Dengan menunjukkan pulpen ini saja, kamu bisa melihat banyak orang-orang akan berusaha akrab denganmu. Ayah yakin kamu juga menerima benda seperti ini, kan?" kata Ayah.
"Benda seperti ini? Oh! Tunggu sebentar, Ayah!" ucapku sambil pergi ke ruang tamu.
Aku kembali ke ruang kerja Ayah dengan pisau yang diberikan Anindie.
"Maksud Ayah seperti pisau ini?" ucapku sambil menunjukkan pisau Andinie.
"Mengejutkan. Ayah tidak menyangka kamu benar-benar diundang oleh Keluarga Lapiz"
"Aku juga tidak menyangkanya, Yah"
"Tapi, biar Ayah beritahu kamu sesuatu. Jangan pernah menunjukkan dua benda ini. Kecuali kamu yakin untuk menunjukkannya, mengerti?" kata Ayah.
"Baiklah, Ayah. Lalu, apalagi yang ingin Ayah ajarkan?" tanyaku.
"Hm...oh iya. Jika ada orang yang membuatmu marah, tetaplah tenang dan tersenyum. Lalu...."
"Lalu?"
"...tersenyum, dan hujani mereka dengan sindiran-sindiran tentang hal-hal yang sedang mereka sembunyikan"
"Tunggu, Ayah. Kalau itu hal-hal yang mereka sembunyikan, bagaimana aku bisa tahu soal itu?" tanyaku.
Tidak lucu jika aku menyindir mereka tanpa mengetahui apa-apa.
"Itulah yang akan Ayah ajarkan padamu sekarang. Mungkin ini akan berguna di kehidupan sekolahmu apabila bertemu dengan anak-anak dari bangsawan itu"
Dari lemari di sebelah mejanya, Ayah mengambil tumpukan kertas yang sangat tebal. Seperti yang terlihat, kertas-kertas itu tampak seperti laporan pada umumnya.
"Periksa kertas-kertas itu, Ryan" kata Ayah.
"Ada apa dengan laporan-laporan ini, Ayah?" ucapku.
"Lihat dengan teliti"
Kalau aku perhatikan lagi, kertas-kertas ini berisi laporan tentang kegiatan-kegiatan ilegal yang dilakukan para bangsawan.
"Tunggu. Bagaimana Ayah bisa mendapatkan laporan-laporan ini? Bukankah ini seharusnya ada di kepolisian?"
"Kamu kenal dengan teman Ayah, Denny kan? Dia adalah kepala detektif dari Organisasi Intelejen White Rose. Ayah bekerja sama dengannya dalam mengerjakan laporan-laporan yang akan kau baca itu" kata Ayah.
"Aku tidak menyangka Paman Den yang selalu tersenyum itu ternyata adalah seorang kepala detektif organisasi yang hebat. Jadi, aku harus membaca ini semua, Ayah?"
"Benar. Baca dan ingat semua laporan itu dalam dua jam. Kamu tidak bisa berlama-lama di sini, bukan?"
"Benar juga. Kalau begitu akan kulakukan"
Aku langsung duduk, dan membaca laporan-laporan itu satu persatu. Laporan-laporan itu berisi tentang kegiatan-kegiatan ilegal bangsawan seperti, perjudian ilegal, perbudakan, perdagangan manusia, bisnis obat-obatan terlarang, penggelapan uang, dan masih banyak lagi. Dari sinilah aku merasa kalau Ayah, benar-benar orang yang sangat menyeramkan.
.
.
.
"Huft...aku selesai, Ayah" ucapku dengan menghela napas yang panjang.
"Bagus. Sekarang bawa pakaian yang disediakan ibumu ke rumah. Siapkan dirimu untuk pesta itu" kata Ayah.
"Baiklah, Ayah"
Lalu, aku mempersiapkan semua yang harus kubawa ke rumah. Setelah mengobrol sebentar dengan ayah dan ibuku, aku memutuskan untuk pulang.
"Kamu yakin ingin pulang sekarang?" tanya Ibu.
"Iya, Bu. Lagipula ini sudah tengah hari. Aku harus membersihkan rumah dan bersiap-siap untuk pesta malam nanti. Aku akan berkunjung lagi nanti. Sampai jumpa" ucapku.
"Hati-hati di jalan, Nak!" kata Ibu.
.
.
.
Setibanya aku di rumah, aku langsung menyiapkan hal-hal yang kubutuhkan di ruang tamu. Setelahnya, aku membersihkan rumahku sebentar.
*(Ponsel berdering)
"Hm? Siapa yang meneleponku?" ucapku sambil mengambil ponselku.
Saat kulihat siapa yang menelepon, ternyata itu adalah Andinie. Entah apa yang ingin dia katakan padaku kali ini.
"Halo, Andinie. Bagaimana kau bisa mendapatkan nomorku?" tanyaku.
Dari awal kita bertemu sampai kejadian kemarin, aku tidak ingat pernah memberikan nomor ponselku padanya.
"Kau ini meremehkan Keluarga Lapiz? Tentu saja aku bisa mendapatkan nomormu semudah ini"
"Hahaha. Jadi, ada gerangan apa, sampai Putri Andinie Sofya Lapiz meneleponku?" ucapku.
"Apa kau baru saja bersikap sarkastik kepadaku? Lupakan. Aku ingin memberitahumu kalau saat kau dan teman-temanmu datang, aku akan tempatkan kalian di ruang VIP. Kalian akan menunggu di sana hingga aku memperkenalkan kalian. Apa kau tidak masalah dengan itu?" tanyanya.
"Kurasa teman-temanku tidak ada masalah dengan itu. Hanya saja, kau tidak perlu repot-repot seperti itu untukku. Aku akan menunggu di aula pesta saja" jawabku.
Kalau aku muncul dari ruang VIP, sudah pasti akan sangat mencolok. Karena itu lebih baik aku menunggu di aula seperti orang biasa.
"Sudah kuduga. Lalu, kali ini apa alasanmu menolaknya?" ucap Andinie.
"Aku hanya tidak menginginkannya saja. Lagipula, bukankah akan lebih menyenangkan apabila kau memperkenalkan tamu kehormatanmu yang ternyata selama ini sudah ada di tengah pesta sejak awal?" ujarku.
"Pfft-hahahahaha. Kau bisa membuatku mati karena tertawa, kau tahu? Lalu, apa kau benar-benar tidak butuh transportasiku?"
"Tidak perlu. Maaf sudah menolak banyak tawaran darimu"
"Hahaha. Tidak apa-apa. Ini pertama kalinya aku bertemu seseorang yang menolak tawaran dariku. Ah, aku baru ingat. Selamat bersenang-senang, Ryan!" ucap Andinie sebelum menutup teleponnya.
"Huft. Aku benar-benar tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Hm, mungkin aku akan memesan beberapa alat dapur baru dulu sebelum bersiap-siap. Tapi, aku tidak yakin uang yang kusimpan akan cukup"
Di saat aku berpikir seperti itu.....
*(Ponsel bergetar)
...ada yang mengirimkan pesan kepadaku. Di saat aku mengecek pesan tersebut....
"Apa ini? 'Selamat anda telah menerima kiriman uang sebesar satu miliar rupiah'? "
....isinya adalah pesan bahwa aku telah menerima kiriman uang.
"S-S-S-SATU MILIAR?!?! Siapa yang mengirimkan uang sebanyak ini kepadaku?" ucapku sambil terkejut.
*(Ponsel bergetar)
"Ah, ini dari Ayah. 'Ayah lupa kalau kamu belum mendapatkan hadiah karena berhasil masuk ke SMA Indragiri dari Ayah. Jadi, Ayah harap ini dapat menggantikannya'. Ini terlalu cukup dari yang seharusnya, Ayah!" ucapku sembari mengirimkan balasanku.
Tidak kusangka akan mendapatkan uang sebanyak ini dalam sekejap.
"Lebih baik segera kugunakan sekarang"
.
.
.
Malam di kediaman Andinie.....
Tepat satu jam setelah matahari terbenam, Qilla, Niendya, dan Tiara sudah tiba di rumah Andinie.
"Hai, Semua!" kata Niendya.
"Hai" ucap Tiara.
"Fufu~kalian semua sangat cantik. Niendya dengan gaun birunya, dan Tiara dengan gaun kuningnya" kata Qilla yang menghampiri Niendya dan Tiara.
"Dan kau lebih cantik daripada kami semua dengan gaun hitam yang elegan itu, Qiella" ucap Tiara.
"Fufufu~~kalian ini"
*(Langkah kaki)
"Selamat datang, Shaqilla Rahmawati, Aniendya Suratman, Tiaraniya Sukma Candraka" ucap Andinie yang menghampiri mereka.
"Selamat malam, Tuan Putri"
"Tidak perlu membungkuk. Kalian adalah teman-teman Ryan, bukan? Kalau begitu kalian adalah temanku juga. Jadi, kalian bisa bersikap biasa saja kepadaku" katanya.
"Haha....meskipun Putri bilang begitu, akan sangat sulit bagi kami untuk tiba-tiba melakukannya" kata Niendya.
"Begitukah? Baiklah. Kalian akan terbiasa karena kalian akan sering berkunjung ke sini"
"Eh?"
"Rendy, Sinsa. Antar mereka ke ruangan yang sudah kusediakan" ucap Andinie.
"Baik, Tuan Putri!"
Niendya, Qilla, dan Tiara mengikuti pengawal pribadi Andinie ke ruang VIP yang sudah disediakan.
"Sena" panggil Andinie.
"Saya, Tuan Putri"
"Saat Ryan tiba, aku ingin kau menjemputnya lima belas menit sesudah dia berada di aula"
"Mengapa harus menunggu terlebih dahulu, Tuan Putri? Bukankah lebih baik saya langsung menjemput setibanya dia di sini?" kata Sena.
"Aku ingin lihat cara Ryan menangani para bangsawan itu. Bukankah itu akan lebih menyenangkan? Hahahaha"
"Haah....sesuai keinginanmu, Putri" ucap Sena.
.
.
.
Tepat setengah jam setelahnya, aku tiba di rumah Andinie. Aku berangkat dari rumahku menggunakan taksi ke sini. Cukup menyenangkan melihat ekspresi sopir taksi tadi ketika mendengar tempat tujuanku.
"Bukankah ini lebih tepat dibilang sebuah mansion daripada sebuah rumah?" tanyaku.
Betapa besarnya rumah Andinie, hingga aku harus mengangkat kepalaku untuk melihat atapnya. Setelah mengagumi rumah Andinie, aku langsung masuk dan menuju aula.
"Hei, siapa orang biasa itu? Bagaimana bisa orang sepertinya ada di pesta ini?" bisik seorang wanita bangsawan.
Seperti yang kuduga. Setelah menginjakkan kakiku ke aula ini, para bangsawan yang hadir mulai membicarakanku. Setelah melewati bisikan-bisikan itu, aku bersandar di dinding yang jauh dari keramaian aula.
*(Langkah kaki)
Tiba-tiba ada pria yang sepertinya adalah seorang bangsawan menghampiriku.
"Aku bertanya-tanya. Kenapa ada orang rendahan sepertimu yang berpakaian rapi datang ke pesta yang mewah ini?"
Tepat sesudah perkataannya padaku, semua mata yang tadinya mengabaikanku kini melihat ke arahku. Dan dilihat dari nada bicaranya, orang ini dapat dipastikan seorang bangsawan. Dengan lambang ular hitam di dadanya, orang ini pasti berasal dari Keluarga Sharlester.
"Maaf jika saya mengganggu pemandangan Anda, Tuan Sharlester. Tapi, saya hanya orang biasa yang beruntung untuk diundang ke pesta mewah ini" ucapku dengan senyum lebar.
"Tch. Apa-apaan kau ini? Jika kau sudah sadar dengan statusmu, pergilah!"
Setelah perkataan itu, aku mendekat ke arahnya dan membisikkan sesuatu.
"Apa Anda yakin? Jika saya pergi, semua orang di sini akan mendapatkan pemasukan seperti yang Anda dapatkan dari Jl. Akusteka 8"
"K-kau?!"
"Jadi? Anda ingin saya pergi? Saya dengan senang hati pergi meninggalkan tempat ini jika Anda mau"
Lenden Sharlester. Melakukan kegiatan perjudian, dan perbudakan untuk mendapatkan uang. Dan semua kegiatan terlarang itu, dilakukan di gedung yang berada di Jl. Akusteka 8.
"Kuh....baiklah! Kau boleh tetap di sini! Jangan sampai kau mengganggu pemandanganku lagi!" ucapnya sambil pergi meninggalkanku.
"Hei, sangat tidak sopan sekali makhluk itu"
Bisikan-bisikan para bangsawan itu semakin dipenuhi dengan hinaan terhadapku.
Tidak lama kemudian, ada seorang wanita menghampiriku. Dengan lambang tulip hitam itu, semuanya pasti tahu kalau dia adalah Lerafica Narassastima von Russend, penerus tunggal Keluarga Russend.
"Kau. Berani juga untuk membuat Lenden yang angkuh itu pergi meninggalkanmu"
"Terima kasih, Nona Russend"
"Jangan sombong dulu, Anak Rendahan. Kau masih belum diterima di sini" katanya.
Selesai satu, datang satu lagi.
"Kau seharusnya tahu ini bukan tempatmu berada. Jadi, kenapa kau tidak pulang dan menangis di pelukan ibumu? Hahaha"
Para bangsawan yang tadinya ragu berbicara mulai menertawakan dan menghinaku lebih terang-terangan.
"Nona Russend. Bolehkah saya menanyakan sesuatu?" kataku.
"Baiklah. Aku akan menjawab setidaknya satu pertanyaan dari orang sepertimu"
Aku mendekat dan membisikkan sesuatu.
"Bagaimana kabar adik Anda? Saya dengar Nona Luredafica Alikrast von Russend sedang dalam kondisi buruk akhir-akhir ini. Jadi, saya agak khawatir dengan keadaannya" ujarku.
"B-bagaimana kau bisa mengetahuinya?!"
Lerafica Narassastima von Russend, bukanlah penerus tunggal dari Keluarga Russend. Tepat setelah ibunya, Rielaria Uslaiy von Russend meninggal dunia, ia mengasingkan adiknya agar tidak diketahui oleh publik sehingga dia dapat dianggap sebagai penerus tunggal. Tentu saja, sang kepala keluarga, Rendalf Bartelise von Russend tidak mengetahui tindakannya itu dan menganggap kalau Luredafica sedang bersekolah di luar negeri.
"Berani-beraninya kau tidak sopan terhadap Nona Russend!"
Tiba-tiba seorang pria datang dan hendak memukulku.
*(Mengepalkan tangan)
Tepat saat dia ingin memukulku, seorang wanita datang dan berkata kepadanya.
"Hentikan apa yang ingin Anda lakukan itu"
*(Terkejut)
"N-Nona Sena?! Kenapa Anda menghampiri kami yang rendah ini?" kata pria itu sambil membungkuk.
Sungguh menyenangkan melihat mereka mencoba terlihat baik di mata wanita itu.
"Ada hal apa sampai Anda hampir membuat keributan di pesta Tuan Putri? Apa Anda ingin mengacaukan pesta ini?" tanyanya.
"T-t-tidak, Nona Sena. Saya hanya ingin mengajari orang rendahan ini untuk sadar diri dan segera meninggalkan pesta ini, Nona" ujarnya.
"Hm?"
*(Melirik)
"Apa itu benar?" tanyanya sambil melirik ke arah kumpulan bangsawan.
"B-benar, Nona Sena!"
"I-iya! Kami hanya ingin memberinya pelajaran!"
Di saat mereka merasa bahwa situasi sudah memihak mereka, di situlah sesuatu yang tidak mereka inginkan terjadi.
"Begitu. Yah, lebih baik kalian bersiap-siap" ujarnya.
"B-bersiap-siap? Untuk apa, Nona?"
"Untuk sesuatu yang akan mengejutkan kalian sebentar lagi"
*(Pintu terbuka)
"Tuan Putri Andinie Sofya Lapiz, memasuki aula pesta!"
Dari pintu itu, Andinie, Qilla, Tiara, dan Niendya mulai memasuki aula pesta.
"Ditemani oleh, teman-teman terhormat Putri Andinie, Shaqilla Rahmawati, Tiaraniya Sukma Candraka, dan Aniendya Suratman!"
Aku tidak menyangka mereka akan berteman secepat itu.
"Selamat datang, Semuanya. Terima kasih sudah datang di pestaku yang sederhana" ucap Andinie dengan gaun merah mawar miliknya yang mempesona.
Ucapan Andinie tersebut dibalas dengan tepuk tangan yang meriah dari para tamu yang hadir.
"Sebelum itu, biar kuundang tamu kehormatanku untuk menemaniku di sampingku, Destryan Putra Anggara!" ucapnya sambil mengarahkan tangannya kepadaku.
"Sudah kuduga ini perbuatannya" ucapku sambil menaiki anak tangga ke tempat Andinie berada.
"Orang di sampingku ini adalah laki-laki yang menyelamatkanku, dan Sena, dari percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh pembunuh bayaran"
"A-apa?! Dia menyelamatkan Tuan Putri?!!"
"T-tunggu. Dia berasal dari Keluarga Anggara?! Maksudmu keluarga yang menguasai setengah perekonomian negara ini?!"
Raut wajah terkejut memenuhi aula pesta.
"Satu hal lagi. Siapapun yang berada di belakang percobaan pembunuhan ini, Keluarga Lapiz tidak akan mengampuninya!" kata Andinie.
*(Menepuk bahu)
Aku mengisyaratkan sesuatu pada Andinie untuk membiarkanku berbicara.
"Ehem. Izinkan aku berbicara sebentar. Aku, Destryan Putra Anggara, akan turut membantu pencarian dalang percobaan pembunuhan ini, dan menghukumnya, serta semua pihak yang memiliki koneksi dengannya!" teriakku.
*(Melirik)
"Bagaimana?" kataku kepada Andinie.
"Tidak buruk" ucapnya sambil tersenyum lebar.
Seperti dua orang yang sudah saling mengenal sangat lama, aku dan Andinie bisa mengerti tujuan tindakan masing-masing.
"Sekarang, mari kita mulai pesta penyambutannya!" teriak Andinie.
Dengan begitu, pesta penyambutan yang penuh kejutan ini, dimulai.
To Be Continued...