"Aku tidak ingat ada penjaga Vast Na Syel La dalam buku yang aku baca" Benak Aiden terus bertanya-tanya sejak gadis itu memperkenalkan dirinya.
"Kalau begitu kau beruntung karena kau melihatnya secara langsung."
Flè Paradi, gadis yang ia temui ditempat itu. Dia bahkan mengatakan bahwa tempat itu adalah Vast Na Syel La, tanah surga yang telah hilang. Bagaimana mungkin?
"Simpan pertanyaanmu untuk nanti. Sekarang ada hal yang harus aku tunjukkan padamu." Ucap Flè Paradi.
Flè Paradi berhenti dan membuka lenteranya. Dia melepaskan seluruh kunang-kunang yang sedari tadi menerangi jalan mereka sehingga meninggalkan mereka dalam gelap. Tapi meski tanpa cahaya apapun Aiden masih bisa melihat siluet gadis itu didepannya. Flè Paradi mengambil sesuatu dari dalam keranjang kecil yang dia bawa. Ketika dia membuka genggaman tangannya sebuah batu dengan cahaya coklat keemasan bersinar redup disana.
"Golden Topaz?"
Flè Paradi tersenyum pada Aiden. "Bahkan dalam kegelapan sekalipun masih akan ada setitik cahaya, selama kau mengizinkannya."
Aiden menatap batu di tangan Flè Paradi yang terus berpendar keemasan. Cahaya redup itu seakan menarik Aiden untuk terus memandangnya. Membawa Aiden tenggelam dalam gurat keemasan yang tampak semakin terang. Saat cahaya itu semakin terang tanpa sadar Aiden menutup matanya menghindari cahaya itu.
"AIDEN .. AIDEN.."
Aiden membuka matanya terkejut. Dia menarik nafas sebanyak yang dia bisa seakan telah menahan nafas untuk waktu yang lama. Telinga Aiden berdengung keras dan kepalanya terasa sangat pusing. Dia tidak bisa mendengar apapun yang disekitarnya. Aiden hanya bisa menatap wajah panik dan terkejut Caleb disampingnya. Nathaniel terlihat mengatakan sesuatu namun Aiden sama sekali tak bisa mendengar suara mereka.
Aiden merasa kepalanya semakin pening melihat keributan disekitarnya. Akhirnya dia mengangkat tangannya dan membuat mereka semua berhenti.
"Aku tidak bisa mendengar kalian." atau setidaknya itulah yang coba Aiden sampaikan, karena ia juga tidak bisa mendengar suaranya sendiri.
Caleb dan Nathaniel tertegun. Keduanya saling menatap tak percaya. Mereka baru saja terlelap saat mendengar suara Aiden bergumam. Awalnya Caleb mengabaikannya, namuj samar-samar gumaman Aiden terdengar semakin jelas dan terasa bukan seperti bahasa mereka. Nathaniel yang juga mulai menyadari hal tersebut akhirnya mendekati Aiden dan menemukan bahwa pemuda itu dalam keadaan tak sadarkan diri dengan tubuh demam tinggi. Lalu kini saat dia sadar dia tak dapat mendengar apapun?
"Apa yang harua kita lakukan? Dia terlihat sangat kesakitan." Ucap Nathaniel melihat Aiden yang masih merintih.
Saat ini, Caleb adalah kandidat pengambil keputusan dirombongan mereka. Badai diluar masih belum reda, namun Aiden dalam keadaan kesakitan seperti itu. Satu-satunya pilihan yang mereka miliki adalah pergi ke Laterit.
"Rapikan barang kalian, kita ke Laterit sekarang."
"Tapi, bagaimana dengan Tuan Muda?"
"Aku akan membuat tameng air untuk pelindung dan Nathaniel akan membuat jalan untuk kita. Sedangkan kalian, lindungi Tuan Muda kalian."
Mereka semua mengangguk mendengar pengaturan Caleb dan segera bersiap. Menurut Nathaniel, jarak Laterit dengan gua tersebut tidak terlalu jauh, hanya berselang beberapa jam dengan berkuda. Kali ini Nathaniel akan menciptakan jalan pintas untuk memotong jalan dan bukit agar mereka segera tiba.
"Kau yakin mampu membuat tameng air saat ini?" Tanya Nathaniel tanpa menatap Caleb. Pemuda itu sedang bersiap dengan jubah dan lencana topaz digenggamannya untuk menciptakan jalan.
Caleb hanya menarik sudut bibirnya samar mendengar pertanyaan Nathaniel.
"Akan aku perlihatkan kemampuan Sonur Vatns"
Caleb mengeluarkan kalung dengan liontin Blue Zamrud miliknya dan mulai merapalkan mantra pelindung air. Air badai yang sedari tadi menggenang dibawah kaki mereka perlahan bergerak mendekat kearas Caleb. Caleb memejamkan kedua matanya dan terus bergumam pelan hingga seluruh air itu mwngelilinginya layaknya sebuah dinding tinggi.
"Apa yang sedang dia lakukan?"
"Tuan Muda Winston sedang merapalkan salah satu mantra tersulit Mantra Vatnsveggur."
"Vatnsveggur?"
"Mantra dinding air, mantra ini sangat sulit dipelajari dan digunakan sebagai pertahanan disaat genting saja. Karena butuh pengendali elemen tingkat tujuh keatas untuk merapalkannya."
"Lalu dia?"
"Harusnya, di tingkat 6 akhir."
Nathaniel sedikit terkejut mendengarnya. Apa dia mencoba menggunakan mantra yang berada di luar batas kemampuannya? Tapi jika dia berani mengambil keputusan tersebut harusnya dia tahu dan sadar akan setiap konsekuensinya.
Dinding air yang mengelilingi Caleb terlihat semakin tinggi dan tebal. Caleb merentangkan kedua tangannya membuat dinding itu terdorong sejauh 5 meter menciptakan ruang yang cukup untuk mereka semua. Sedangkan mata pemuda itu yang tadinya hijau telah berubah menjadi biru. Caleb menggunakan tangan kirinya untuk menggerakkan air disekitarnya dan menciptakan dinding air lain diatas mereka.
"Ayo bergerak sekarang." Ucap Caleb.
Nathaniel mengangguk dan menghentakkan kakinya menciptakan jalan baru untuk mereka. Mereka berangkat menuju Laterit dibawah payung Dinding Air yang diciptaman oleh Caleb dan jalan batu buatan Nathaniel. Mereka semua bergerak dan berpacu dengan waktu untuk Aiden.
***
Aiden kembali tak sadarkan diri dan melihat dirinya sendiri masih mengikuti Flè Paradi yang berjalan ditepi danau.
"Kenapa aku kembali kemari?" gumamnya.
"Aku juga penasaran, kenapa kau kembali?"
Flè Paradi berjalan dengan beberapa kunang-kunang yang terbang disekitarnya membuatnya seolah dikelilingi cahaya keemasan. Sedangkan danau itu, sedikit berbeda dengan sebelumnya, ada riak tak beraturan ditepinya. Seakan ada yang mendorong air tersebut dari dalam.
"Kau seorang Healer bukan?" Gadis itu berbalik tiba-tiba. "Petiklah beberapa tanaman obat disebelah sana, sebaiknya obat untuk luka dalam." Lanjut gadis itu tanpa menunggu jawaban Aiden.
Aiden menatap kearah tempat yang dimaksud Flè Paradi, sebuah bukit kecil tak jauh dari tempatnya kini. Aiden sama sekali tak memahami gadis itu. Terlebih lagi bagaimana dia bisa berada di tempat itu.
"Pergilah."
Aiden menghela nafas pelan sebelum beranjak menuju bukit tersebut. Suasana malam yang gelap membuatnya harus berjalan sedikit hati-hati. Tanah yang sedikit licin dan berbatu membuat kakinya hampir tergelincir beberapa kali. Namun tak berapa lama beberapa kunang-kunang berterbangan disekitarnya. Awalnya hanya satu dua ekor hingga akhirnya ada puluhan kunang-kunang terbang mengelilinginya. Menerangi jalan yang ia lalui.
"Mereka yang akan menemani jalanmu." Aiden mendengar teriakan Flè Paradi di kejauhan. Tapi dia hanya mengangguk.
"Kau yakin ada tanaman obat disana."
"Kenapa? kau takut dengan jalan terjal itu? Hanya sebuah jalan. Lalui saja dulu baru lihat hasilnya."
Aiden mengabaikan Flè Paradi dan berjalan menuju bukit tersebut. Dari kejauhan bukit itu terlihat landai dan mudah didaki namun saat Aiden menyusuri tempat itu bukit itu seakan terasa sangat tinggi dan sulit dilalui. Beberapa kali Aiden berhenti untuk beristirahat sehingga beberapa kali dia juga menyadari bahwa kunang-kunang disekitarnya juga ikut behenti.
"Kalian yakin ingin menemaniku menuju puncak bukit ini?" Tanya Aiden menatap puluhan kunang-kunang disekitarnya.
Seakan memahami pertanyaan Aiden, puluhan kunang-kunang itu terbang mengitari Aiden dengan serentak. Aiden tersenyum melihatnya.
"Baiklah. Bukankah hanya sebuah bukit ayo kita lihat berapa banyak obat yang bisa aku bawa." Aiden melangkahkan kakinya dan sebuah guncangan terjadi ditanah itu membuat Aiden terjatuh tergelincir.
"AIDEN..."