The Lost City of Laterit

Hari itu akan menjadi hari yang tidak akan pernah di lupakan seluruh penduduk Laterit. Hari dimana tanah mereka hampir sirna dan di tenggelamkan oleh alam. Hari dimana mereka mungkin akan menjadi Vast Na Syel La berikutnya. Hari ketika The Earthens hampir terusir dari wilayahnya sendiri.

Ketika badai mulai tenang para penduduk mulai berkumpul. Mengatupkan kedua tangan mereka sambil memejamkan mata. Bahkan tanpa arahan siapapun mereka duduk berjajar dan mulai berdoa. Memohon pada alam agar melepaskan tanah mereka.

Saat petir menyambar, getar terasa di seluruh dada mereka. Menyebarkan rasa ngeri saat mereka melihat kilatan cahaya itu menghantam puing puing istana mereka. Namun mereka masih enggan pergi. Bersikukuh duduk dan diam di sana berharap bencana akan sirna.

Hingga akhirnya petir terakhir tiba, seakan melepaskan seluruh amarahnya. Alam memancarkan cahaya biru kemerahan yang kuat dan menyambar untuk waktu yang lama sebelum akhirnya semuanya sirna. Benar-benar sirna.

Awan mendung dan hujan badai. Petir dan banjir. semuanya menghilang.

Air mata perlahan menetes di pelupuk mata mereka semua. Menyaksikan alam telah memaafkan mereka.

"The Earthens selamat... " sorak salah seorang penduduk. Diikuti riuh penduduk lain yang mulai berbahagia. Saling memeluk dan mengucap selamat atas berakhirnya bencana.

"The Earthens bebas... " sekali lagi sorakan kegembiraan yang sama. Ketika satu persatu penduduk yang tidak terluka berlarian menuju kota. Memeriksa sisa rumah mereka yang masih dapat dilihat mata.

Nathaniel memicingkan mata melihat beberapa penduduk berlarian turun bukit dan menuju ke arah mereka. Raut gembira jelas terlihat di wajah mereka. Tapi, apakah semudah itu? Maksud Nathaniel, secepat ini bencana itu selesai?

"Apa yang kau pikirkan?" suara Aiden memecah lamunan Nathaniel.

"Tidak ada." balasnya.

Ahh, mungkin hanya perasaannya saja. Jangan terlalu banyak berpikir.

***

Laterit adalah daratan hijau dengan bukit subur dan gurun Deze sebagai pembatasnya. Namun sepanjang yang terlihat oleh Florian hanya genangan air luas yang hampir menyerupai sebuah danau. Inikah yang dimaksud oleh adiknya?

Florian membawa Falcon kearah Laterit dan menemukan kota itu telah porak poranda. Bahkan istana mereka telah hancur tak bersisa.

Bagaimana mungkin? Apa yang terjadi disini? Batinnya.

Florian melihat sekeliling dan tidak menemukan seorangpun disana. Florian memutuskan turun dari Falcon dan melihat sendiri lebih dekat.

"Pergilah berkeliling dan lihatlah apakah ada orang lain disini." ucap Florian sambil membelai lembut kepala Falcon. Elang itu mengangguk samar lalu melesat terbang dengan cepat. Sedangkan Florian dia memilih berjalan mengelilingi Laterit sendirian.

Setelah berjalan selama beberapa saat Florian tak kunjung menemukan apapun di sana. Hanya puing-puing yang berserakan dan tanah basah setelah tersapu banjir.

"AIDEN... " Florian berusaha berteriak memanggil adiknya. Namun tak ada balasan.

"AIDEN.. Keluar kau... " teriak Florian lagi. Hanya terdengar desau angin di telinga Florian.

Florian menarik nafas dalam dan berhenti sejenak dalam pencarian. Kota sebesar ini dan dia mencari seorang diri adalah tindakan terbodoh yang dia lakukan. Florian melihat Falcon yang masih terbang berputar mengelilingi Laterit tanda tak menemukan apapun.

"Lihat saja kau, saat aku menemukanmu nanti kau akan tahu akibatnya karena telah membuat kakakmu berjalan di atas lumpur ini. " gumam Florian sambil membersihkan sepatunya.

Florian mengambil seruling putih miliknya dan mulai meniupnya.

Sebuah cahaya kuning keluar disekitar tubuh Florian. Diikuti dengan alunan merdu serulingnya yang memecah kesunyian Laterit. Florian memejamkan matanya dan fokus pada nada-nada yang ia mainkan. Ada satu yang Florian takutkan, adiknya mampu mendengarkan namun tak mampu mengirim jawaban.

***

Kepala Aiden tersentak pelan saat ia mendengar nada familiar di telinganya. Hvitur Tonn?

Florian? Apa yang dia lakukan disini?

Aiden mencari asal nada itu disekitar mereka. Namun sepanjang mata memandang tidak ada seorangpun di sana selain mereka bertiga.

"Apa yang kau cari?" tanya Caleb. Tenaga pemuda itu mulai pulih meski masih ada beberapa luka yang tersisa.

"Kau mendengarnya?" Namun sedetik kemudian Aiden menggeleng. "Kau tidak akan bisa mendengarnya. "

"Ada apa? kenapa kau tampak kebingungan seperti itu?"

Aiden memilih diam. Dia terus berkeliling dan mencoba mencari asal nada yang dia dengar. Namun semakin lama Nada itu terdengar semakin jauh. Itu artinya dia berjalan ke arah yang salah.

Caleb dan Nathaniel masih memandang Aiden dengan raut tidak mengerti. Keduanya hanya berdiri di atas puing bangunan sambil memandang Aiden yang semakin menjauh.

"Tetaplah disini, aku yang akan mengikuti Aiden." Ucap Nathaniel lalu bergegas menyusul Aiden.

Hvitur Tonn, adalah nada pemanggil milik kakaknya. Dia sendiri yang menciptakan nada penyembuh itu untuk keluarganya saja. Jadi hanya dia dan ayahnya yang akan mengerti nada itu. Tidak mungkin ada orang lain. Namun mengapa ia tidak bisa menemukan sosok kakaknya, sedangkan nada itu terdengar semakin jelas saat ini.

Aiden telah berada di pusat kota Laterit. Sebuah tanah lapang dengan lumpur basah di sekelilingnya. Dari tempat ini dia bisa melihat ke arah puing istana The Earthens , dia bahkan bisa melihat Caleb yang berdiri sambil mengawasinya. Dia juga bisa melihat ke arah gerbang timur dan selatan yang lurus mengarah ke tempat itu. Sedangkan bukit-bukit tinggi tempat penduduk mengungsi juga terlihat jelas dari sini, meski dia tidak bisa menemukan mereka.

Alunan nada itu berhenti.

Aiden diam menunggu.

Jika dia benar kakaknya, Florian, maka akan ada satu nada terakhir yang ia mainkan. Benar saja, ada sebuah alunan lain yang terdengar tak lama setelah Hvitur Tonn berhenti.

Aiden mengambil serulingnya dan mengulang nada yang sama. Alunan Hvitur Tonn yang sama.cahaya putih melingkupi Aiden. Cahaya itu kemudian menyebar dan mengelilingi tempat Aiden berada.

Batin Aiden tampak bingung, karena itu artinya kakaknya juga berada disana.

Tapi tidak ada seorangpun di tempat itu selain dirinya.

***

Florian yakin dirinya tidak salah dengar. Nada yang sama dengan yang dia mainkan baru saja mulai mengalun. Adiknya, Aiden ada di sana. Namun kenapa dia tidak bisa menemukannya?

Florian kembali memainkan Hvitur Tonn, dan sekali lagi cahaya putih keluar disekitarnya. Namu tidak seperti sebelumnya dimana cahaya itu menyebar, kali ini cahaya itu hanya mengelilingi Florian.

"Aiden.."

Florian mencoba memanggil adiknya. Namun masih tidak ada jawaban. Tapi cahaya itu masih berpendar di sekitarnya.

Mungkinkah Aiden berada di ranah dimensi lain? Tapi bagiamana bisa? Jika demikian, bagaimana cara Florian bisa masuk ke sana? Tidak, bukan itu, bagaimana cara Florian bisa berkomunikasi dengan adiknya.

Florian mengamati Falcon yang mulai terbang memutar di atas puing istana The Earthens. Sepertinya burung itu menemukan sesuatu. Florian segera berlari menuju tempat itu. Jaraknya tidak cukup jauh dari tempatnya tadi. Namun karena struktur Laterit adalah kota di atas perbukitan maka hal itu cukup membuat Florian kelelahan.

Florian mencapai ujung tangga menuju istana The Earthens dan menemukan bangunan itu telah hancur sepenuhnya. Namun satu kejanggalan yang Florian baru sadari, selain tidak menemukan adiknya dia juga tidak menemukan satu orangpun penduduk Laterit di sana.

Lalu dimana semua orang itu berada? Dimana Adiknya berada?

Sebuah pemikiran tiba-tiba melintas di kepalanya. Tapi Florian segara menggeleng. Tidak mungkin. Tapi keadaan Laterit membuatnya ragu.

Florian memasuki reruntuhan istana dan melihat sekelilingnya. Dia tidak tahu harus mencari dari mana jadi hanya berjalan sesuai kemana kakinya membawanya. Lalu langkah kakinya membawanya ke sisi kiri halaman istana dimana terdapat sebuah bekas sambaran petir disana. Tanah di tempat itu hangus terbakar dengan sisa abu berwarna biru gelap.

Namun kenapa hanya di satu titik? Batin Florian memandang bekas sambaran petir yang terlihat aneh itu.

Florian memandang dengan seksama. Setiap sisa sambaran petir. Harusnya petir menyambar tanah itu lebih dari sekali. Karena ada begitu banyak guratan halus di atas tanah itu.

Tunggu.

Florian melangkah mundur dan beralih mencari tempat yang lebih tinggi. Dia memanjat puing istana dan mencoba melihat ke arah tanah hangus itu. Hal yang Florian lihat selanjutnya bukanlah hal yang menyenangkan bagi siapapun.

Karena Florian melihat guratan dalam tanah itu membentuk sebuah gambar.

"Sepertinya, Laterit baru saja menyinggung seseorang." gumam Florian pada Falcon. Burung itu telah turun dan berada tak jauh dari Florian.

"Lihat, simbol itu. Itu adalah guratan Naga Air. Masuk akal bila kita melihat Kota sebesar ini bisa hancur."

Florian mengehela nafas pelan. Dia membelai bulu Falcon dan bersandar pada burung itu. Tidak ada yang bisa dia lakukan sekarang selain menunggu ayahnya.

"Kau tahu, sepertinya adikku mencampuri sesuatu yang bukan urusannya. Jika kita tidak segera menemukan mereka, Laterit akan menjadi tanah hilang kedua setelah Vast Na Syel La."