Luna Hanzelara, anak sulung dari dua bersaudara yang memiliki perawakan nyaris mendekati sempurna. Tubuh tinggi, kulit putih, serta rambut hitamnya yang lurus terkadang menjadi pemicu konflik dengan Ana Safira, —adiknya.
Alunan musik klasik mengalun lewat piringan hitam di sudut kamar. Mendung di pagi hari selalu berhasil membuat Luna, —sapaan akrabnya betah berlama-lama menikmati kucuran air shower di atas kepalanya.
Tiga puluh lima menit berlalu, Luna masih asik dengan gelembung sabun di tangannya. Aroma wewangian itu membaur ke seluruh ruangan kamar mandi. Sesekali ia menyemprotkan air di penjuru lantai, sembari menggosok ubin yang sudah mulai berlumut.
Hari santai seperti ini memang jarang ia dapati. Tanggal merah berderet tiga digit ke samping kanan di kalender mejanya telah ia lingkari dengan lipstik merah. Tak lupa juga ia menulis beberapa agenda yang akan dilakukan selama ia libur di notebooknya. Kerja dengan target membuat Luna harus lembur setiap hari, tak terkecuali akhir pekan yang kadang mengharuskannya untuk tetap masuk kerja.
Layaknya hujan yang disertai angin kencang, selalu membuat penikmat dingin merasa khawatir. Seperti sekarang, di saat Luna sedang memanjakan dirinya, di situ selalu ada Ana yang selalu menjadi biang kerok.
"LUNA!! ... CEPET TURUN!!" teriak Ana dari lantai bawah. Suara musik di kamarnya memang tidak terlalu memekakan telinga, jadi Luna masih bisa mendengar jelas raungan sang adik saat memanggilnya.
Ana sudah tebiasa memanggil Luna tanpa embel-embel 'kakak'. Menurutnya, hal itu sangat menggelikan. Ia pikir, karena usia mereka hanya terpaut dua tahun jadi tidak masalah jika ia memanggil kakaknya dengan menyebut namanya langsung.
Rupanya hidangan untuk sarapan telah tersedia di meja. Kini tugas Ana memanggil satu anggota keluarga lagi untuk makan bersama.
Luna hanya tinggal dengan adik dan mamanya, —Sofia. Sedangkan ayahnya sudah lama meninggal karena serangan jantung. Satu rumah dihuni oleh tiga perempuan. Sudah bisa dibayangkan bagaimana kondisi mereka saat meributkan pakaian.
"Ck, Luna kebiasaan deh. Suka budeg kalo dipanggil." Gerutu Ana sambil meletakkan piring dan sendok di meja makan.
Sofia juga menyusul dengan membawa beberapa gelas. "Huuss... kalo ngomong itu dijaga dong, nak. Luna itu kakak kamu. Bisa-bisanya kamu bilang dia budeg."
Ana menengok ke arah tangga, menunggu kehadiran Luna di sana. Dua menit berlalu tanpa adanya tanda-tanda. Akhirnya Ana memutuskan untuk mendatangi kamar Luna.
Ia berjalan dengan sedikit berlari. Bunyi suara tangga yang terbuat dari kayu jati terdengar hingga ke teras depan rumahnya. Ana sudah memasang kuda-kuda bersiap untuk memarahi Luna yang selalu lamban dalam hal apapun.
Ana berdiri di depan pintu kamar Luna, tangannya sudah bersiap mengetuk pintu keramat itu. Namun sayangnya ia kalah cepat dengan Luna yang sudah membuka pintu kamarnya terlebih dahulu.
Luna menaikkan sebelah alisnya, "ngapain lo?" tanyanya.
Ana melotot tajam merasa kesal dengan manusia lamban di depannya itu, "lo kira-kira dong kalo mau semedi. Sekiranya gak nyusahin warga lainnya yang harus kelaparan hanya gara-gara nungguin elo gosokin daki di badan lo......" Ana terus mendumel panjang lebar di belakang Luna yang telah berjalan menuruni anak tangga.
"Pagi, Ma." Sapa Luna ke Sofia yang sedang menyendokkan nasi ke piringnya. "Makasih Mama cantik."
"Ada ya orang di bumi ini yang udah salah tapi gak sadar kalo dirinya itu salah?!" secara terang-terangan Ana berbicara di depan wajah Luna.
Merasa terganggu, Luna menyingkirkan kening Ana dari hadapannya, "sssttt.... berisik!" Ana mundur satu langkah dari posisinya.
"Udah, udah... ayo kita makan dulu." Sofia duduk di kursinya, "Ana... duduk!" pintanya kemudian.
Ana menengok sekilas sebelum akhirnya menyerah dan duduk berseberangan dengan Luna.
Tiada hari tanpa adu urat, Luna dan Ana memang seperti anjing dan kucing yang selalu meributkan hal-hal kecil. Sofia, selaku ibunya sudah paham betul bagaimana karakter masing-masing anaknya. Jadi ia tidak terlalu memusingkan jika Luna dan Ana memperdebatkan suatu hal. Karena itu tidak akan berlangsung lama. Mereka akan segera berbaikan, dan kemudian beradu lagi. Begitu pun seterusnya.