Memori Padang Rumput

Pertama kalinya dalam sejarah seorang Luna Hanzelara dibuat kesal oleh petugas keamanan komplek. Pasalnya, laki-laki hampir kepala tiga itu memanggilnya 'tante' saat Luna hendak membuang sampah di depan.

"Pagi, Tante." Sapa Pak Komang, —satpam baru di komplek dengan wajah cerianya.

Luna menoleh pada suara di belakangnya, "hah?"

Masih dengan cengirannya, Komang kembali berbicara, "saya Komang, Tante. Satpam baru di sini."

Luna menatap ketus pada laki-laki berwajah polos itu, "tolong jangan buat saya naik darah pagi-pagi ya, Pak!!" ucapnya datar.

"Maksud Tante?"

Luna memutar bola matanya malas, "pertama, saya masih dua puluh lima tahun jadi tolong jangan panggil saya Tante! Kedua, sebagai satpam baru di komplek ini, alangkah baiknya jika Bapak memanggil petugas kebersihan untuk segera membawa sampah yang udah menumpuk di depan rumah warga. Terimakasih."

Tanpa memberi celah untuk Pak Komang berbicara, Luna segera masuk kembali ke dalam rumah.  Sepanjang perjalanan menuju kamarnya, ia terus menggerutu sebal  karena kejadian di depan. Sudah cukup Ana yang setiap hari merusak ketenangan di hidupnya, sekarang malah bertambah satu lagi spesies yang hampir sama dengan adiknya itu.

Begitu ia membuka knop pintu kamar, ponselnya berdering kencang di atas kasur. 

"Ya, Ka." Luna merebahkan tubuhnya di kasur sambil menjawab panggilan telpon yang ternyata dari Ika, —sahabatnya.

"Sepuluh menit lagi gue sampe rumah lo."

Seolah lupa dengan agenda hari liburnya yang sudah tersusun rapi di buku catatan, dan juga karena ulah Ana yang tadi pagi sukses membuat awal harinya buruk, Luna berniat untuk bermalas-malasan dengan boneka babinya di kamar. "Mau ngapain?" 

"Eh, lo lupa ya? Hari ini kita kan mau dateng ke pameran lukisan." Terdengar sedikit teriakan di ujung telpon.

"Astaga... gue lupa." Luna langsung lompat turun dari kasur dan segera menuju lemari pakaiannya. "Yaudah, gue siap-siap dulu. Bye!"

TING!!

"Hai, Mbak Ika... mari masuk!" sapa Ana dengan lembut begitu pintu dibuka. "Mau ketemu Luna ya?" Ika hanya membalasnya dengan senyuman.

"Gak usah sok sopan gitu lo, biasanya juga barbar." Ujar Luna yang berjalan menuruni tangga.

"Suka-suka gue dong!" 

"Ih, ngejawab aja lo ya. Dasar bocil labil." Luna mencubit gemas pipi adiknya setelah sampai di bawah. Mana Mama?" tanyanya kemudian.

Ana menyedekapkan kedua tangannya di dada. "Gak tau! Nonton tv kali."

Luna menoleh pada Ika yang duduk di sofa, "bentar ya Ka, gue pamit nyokap dulu." 

"Siap." Ucap Ika sambil mengacungkan jempolnya.

Ana beringsut duduk di sofa, "sembari menunggu, Mbak Ika mau minum apa?"

"Gak perlu repot-repot An, bentar lagi langsung cabut kok." Tolaknya halus.

Ana mengangguk mengerti, namun rasa ingin tahunya terus memborbardir pikirannya untuk bertanya ke mana mereka akan pergi? 

"Mmpphhh, emang mau pergi ke mana, Mbak?" sayang sekali Ana tidak bisa mengontrol diri. Pertanyaan itu pun meluncur bebas dari mulutnya.

"Kepo!" 

Ika dan Ana menoleh kompak pada Luna yang telah berdiri di depannya. "Yuk, Ka! Cabut."

Ika pun ikut berdiri menyusul Luna yang telah keluar rumah terlebih dahulu. "Bye, Ana." Pamitnya singkat dengan sedikit berlari. Ana hanya membalasnya dengan lambaian tangan ke atas.

***

Pameran lukisan yang hanya diadakan setahun sekali kini mulai dipadati oleh pengunjung. Tak butuh waktu lama untuk mengantri, karena tiket masuk sudah dipesan mereka lewat online minggu lalu. Dengan rasa antusias yang tinggi, mereka berdua pun memasuki gedung tua itu. Ada satu hal yang mengharuskan Luna untuk mendatangi acara ini. Berharap maksud dan tujuannya kemari dapat membuahkan hasil.

Diamatinya gambar-gambar yang terpajang di tembok putih itu. Ada ratusan bahkan ribuan lukisan dan foto yang dipamerkan. Jika ada yang cocok, kita bisa membeli benda tersebut dengan harga yang sudah ditentukan. Tapi ada juga beberapa lukisan atau foto yang memang tidak untuk diperjual belikan.

"Udah ketemu?"

Luna menggeleng lemah. Ia masih menyisir satu per satu lukisan di tembok. Harapannya besar sekali untuk menemukan satu nama yang terus dinantinya.

"Kita cari sebelah sana!" tunjuk Ika pada sebuah ruangan kecil dekat lorong. Luna mengangguk seraya mengikuti langkah Ika di belakang.

"Lo cari dari ujung sana," tunjuk Ika ke arah samping kiri Luna. "Gue cari dari sini."

Tanpa menjawab Luna segera menghampiri lukisan paling ujung ruangan. Tatapannya tajam setiap membaca nama pelukis di ujung kanan bawah gambar.

Sepuluh menit berlalu. Namun mereka berdua masih belum menemukan nama orang yang tengah dicarinya. Ini sangat tidak sesuai dengan apa yang diharapkan Luna. Mencari satu nama tidaklah semudah apa yang ia bayangkan. Ika menatap Luna yang berdiri lemas hampir putus asa.

"Sabar ya, Lun." Ika merangkul bahu Luna dan berjalan meninggalkan ruangan.

"Sepertinya gak ada harapan deh, Ka." Ujar Luna tidak semangat. Mereka berdua terus berjalan melewati gerombolan orang-orang yang memadati ruangan.

Terlihat jelas raut wajah Luna yang kecewa karena tidak mendapatkan apa yang diinginkannya. Ia berjalan menunduk berusaha menerobos jalan yang mulai sempit. Sepotong ingatan masa lalu tiba-tiba terputar di benaknya. Saat kedua remaja yang sedang bermain di padang rumput yang begitu luas. Luna berusaha mencoba mengingat kembali kenangan-kenangan masa lalunya. 

'Hey, Lun… tunggu!'

'Luna…'

'Lunnnnaaaaa...'

Suara itu terus terngiang di pikirannya. Potongan gambar dua remaja memakai seragam sekolah yang masih terlihat buram memenuhi isi kepalanya. Ia kembali mencoba memperdalam ingatannya, dan suara itu terdengar lagi.

'Anak TK juga bisa kali gambar gunung. Coba deh lo gambarin gue.'

'Badan gemuk kek elo gitu ga cocok jadi model Lun.'

'Sembarangan lo. Liat aja, suatu hari nanti gue bakal jadi model paling terkenal.'

'Jangan ngimpi, hey!'

'Ih... jahat banget sih lo. Udah ah gue pergi.'

'Hey, Lun… tunggu!'

'Luna…'

'Lunnnaaaa...'

Tak terasa air matanya menetes saat wajah laki-laki itu terpatri jelas di ingatan kenangannya beberapa tahun silam. Kedua remaja itu ialah dirinya… dan orang yang tengah ia cari keberadaanya sekarang.

"Luna, are you okay?" Ika berdiri di depan Luna, memastikan sahabatnya itu baik-baik saja. Luna hanya mengangguk mengiyakan agar Ika tidak khawatir dengannya. Mereka pun kembali berjalan ke arah pintu keluar.

Sekali lagi, memori padang rumput itu tiba-tiba kembali terlintas.

'Lun, entah cepat atau lambat gue akan pergi.'

'Apasih, itu terus yang dibahas.'

'Kenapa setiap gue bilang soal ini lo sewot sih, Lun?'

'Ya… gak penting aja. Udah. Gak usah dibahas.'

'Gue gak penting ya...?'

Luna berhenti berjalan di samping ruangan kecil dekat toilet. Ia sedikit mengintip ke dalam untuk melihat isinya. Kaki Luna gemetar saat tahu apa yang dicarinya kini ada di ruangan kecil itu. 

Lukisan berukuran besar yang tertempel di tembok menampilkan potret dirinya saat sedang bermain di padang rumput beberapa tahun lalu. Lengkap dengan seragam sekolah san kondisi badannya yang masih agak berisi. Kedua bahunya merosot seakan beban yang dipikul perlahan terangkat. Dengan hati-hati ia masuk ke dalam ruangan dan melihat nama pelukis di gambar itu.

Janu Sadawira

Luna menggigit ujung kuku-kuku jarinya, takut semua yang dilihatnya ini tidak nyata. Sekuat tenaga ia menahan agar air matanya tidak jatuh kembali. Namun sayangnya gagal… karena saat ini ia sedang terisak kencang di pelukan Ika.