Ji-hyun duduk cemas di bangku rumah sakit sembari menggesek-gesekkan kedua telapak tangan. Jantungnya berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya, keringat dingin seolah tak mau berhenti turun membasahi tubuh gadis itu. Tangannya saling bertautan, ia terus bergumam dalam hati, "Ya Tuhan, selamatkan wanita itu."
"Keluarga pasien?"
Ji-hyun langsung berdiri, ia menghampiri sang dokter yang baru saja keluar dari instalasi gawat darurat.
"Anda keluarga pasien?" tanya sang dokter sekali lagi.
Ji-hyun menggeleng pelan. "Bukan, saya bukan keluarganya."
"Bisa saya berbicara dengan keluarga pasien?"
Mendengar pertanyaan itu, rasa gundah kembali menerpa. Ji-hyun tidak tahu siapa dan di mana keluarga wanita berusia awal tujuh puluhan yang ia bawa ke rumah sakit beberapa waktu lalu. Yang ia tahu, wanita itu membutuhkan bantuan. Ia hampir mati tergeletak di pinggir jalan, sepertinya korban tabrak lari, dan Ji-hyun tidak mungkin membiarkannya begitu saja.
"Maaf dok, tapi saya tidak tahu siapa keluarganya. Saya menemukan beliau tergeletak di pinggir jalan dalam keadaan seperti itu." Ia berhenti sebentar, mencoba meyakinkan diri bahwa keputusannya memang benar, kemudian kembali bergumam, "Kalau boleh, saya bersedia mewakili keluarga pasien."
Dokter itu tersenyum. "Baiklah." Ia mengangguk. "Pasien mengalami patah tulang di kaki kanan serta kehilangan cukup banyak darah akibat kecelakaan tersebut. Saran saya, lebih baik beliau segera dioperasi. Apakah nona bersedia untuk membayar tagihannya?"
"Operasi?" Ji-hyun mendesis. Mendengar kata operasi membuatnya tegang. Ia tidak mungkin membiarkan wanita itu meninggal begitu saja, tapi di sisi lain, Ji-hyun sadar bahwa kemungkinan tabungannya jauh dari kata cukup untuk menanggung biaya yang dibebankan oleh rumah sakit. Tapi, mau bagaimana lagi? Ji-hyun tidak boleh menyerah begitu saja. Ia harus membantu wanita itu, entah bagaimanapun caranya.
Dengan sekali tarikan napas, Ji-hyun mengangguk mantap. "Baiklah, dok. Saya akan menanggung seluruh biaya perawatan wanita itu."
"Baiklah. Kalau begitu, nona bisa langsung pergi ke bagian administrasi dan mengisi beberapa dokumen terkait operasi ini. Saya permisi dulu."
Begitu mengucapkan kalimat barusan, sang dokter segera pergi, seolah tak ingin membuang-buang waktu dan segera menyiapkan operasi. Astaga, Ji-hyun benar-benar bingung sekarang. Tubuhnya lemas, ia bingung harus mencari uang dari mana. Ia tidak memiliki apapun untuk dijual. Ia benar-benar kacau.
Namun, jika Ji-hyun tidak menolong wanita itu, sungguh, betapa jahatnya ia sebagai seorang manusia. Bukankah kita harus saling membantu? Tapi bagaimana sekarang? Ia tidak memiliki cukup uang untuk membantu wanita itu.
"Jung Ji-hyun!"
Suara seseorang mengagetkan Ji-hyun. Ia menengok dan mendapati Park Dae-han—kekasihnya—sedang berlari. Pria itu terengah-engah. Ia hanya mengenakan sweater hitam dan celana jeans panjang bewarna biru tua.
"Kau tidak apa-apa, kan?" tanya Dae-han khawatir. Ia menenggelamkan Ji-hyun dalam pelukan dan mencium kening sang kekasih.
"Apa yang terjadi? Kau terluka?" tanyanya lagi sembari memeriksa tubuh Ji-hyun dari atas ke bawah.
Ji-hyun menggeleng dan melepaskan cengkeraman Dae-han pada kedua lengannya. "Aku tidak apa-apa." Ia berhenti sejenak dan menatap pintu ruang gawat darurat, kemudian kembali melanjutkan perkataanya, "Wanita di dalam sanalah yang sedang dalam bahaya. Aku menemukan wanita itu tergeletak di pinggir jalan. Sepertinya korban tabrak lari. Aku tidak mungkin meninggalkannya, jadi kubawa ke rumah sakit. Dokter berkata bahwa wanita itu harus segera dioperasi."
Dae-han berjalan ke depan pintu ruang gawat darurat dan mengintip dari balik kaca. Seorang wanita tua sedang terbaring lemah di dalam sana. Tak lama kemudian, ia kembali menghampiri Ji-hyun dan membelai lembut rambut gadis itu. "Kau adalah gadis yang baik Jung Ji-hyun. Kau tidak perlu khawatir, biar aku yang membayar seluruh biaya operasi dan perawatan wanita itu."
Ji-hyun membelalakkan mata. "Tapi, orang tuamu?"
Membayangkan amarah orang tua Dae-han sudah membuatnya takut setengah mati. Dari awal, hubungan mereka memang tidak disetujui. Ji-hyun sadar, ia memang berada dalam sisi yang berbeda dengan sang kekasih. Dae-han adalah seorang putra keluarga kaya dan terhormat, berbeda dengan Ji-hyun yang terlahir dari keluarga sederhana.
"Mereka tidak ada hubungannya dengan semua ini. Lagipula, aku tidak menggunakan uang mereka."
Ji-hyun menundukkan kepala. "Aku tidak ingin membuat ibumu semakin membenciku."
Dae-han mendecakkan lidah, teringat bahwa sang ibu telah mengatur perjodohannya dengan wanita lain. Seorang wanita yang menurut sang ibu jauh lebih hebat, terhormat, dan setara dengan keluarganya.
"Aku berjanji ibuku tidak akan tahu tentang hal ini."
"Tapi."
"Sstt." Dae-han meletakkan jari telunjuk di bibir Ji-hyun agar Ji-hyun berhenti protes, "Percayalah padaku, Jung Ji-hyun." pintanya.
Ia tidak punya pilihan selain menerima tawaran Dae-han. Setidaknya, untuk saat ini Ji-hyun harus berani mengambil risiko. Akhirnya, gadis itu mengangguk, kemudian mengajak Dae-han menuju bagian administrasi untuk membayar dan mengisi dokumen operasi agar wanita tadi bisa segera diselamatkan. Semoga saja pilihannya benar. Semoga saja Ji-hyun tidak akan menyerah di belakang. Semoga, segalanya akan berjalan baik-baik saja.
"Maaf Tuan, kami belum berhasil menemukan keberadaan Nyonya Kim." ujar seorang pria berjas hitam yang baru saja datang bersama dengan kelima rekannya.
Woo-bin menghempaskan tubuh ke kasur dan mengacak-acak rambutnya sendiri. "Apa yang kalian lakukan? Mencari keberadaan nenek saja tidak becus!" teriaknya, kemudian bangkit sambil berkacak pinggang.
"Maafkan kami, Tuan. Kami akan mencari Nyonya Kim sekali lagi. Saya akan membawa lebih banyak personil untuk mencarinya." balasnya lagi.
Woo-bin kesal. Wajahnya memerah, emosinya memuncak. "Aku tidak mau tahu, kalian harus menemukan nenek secepat mungkin! Apa kalian mau bertanggung jawab jika sesuatu terjadi padanya?!"
Takut, kelima pria tadi hanya menunduk. Namun, mereka tak bisa menghindar. Segera setelah mendengar perintah Woo-bin, kelima pria itu berbalik dan kembali mencari keberadaan Nyonya Kim.
"Sabarlah sedikit, kau terlihat kacau hari ini." ujar seorang pria yang sedari tadi mengamati Woo-bin dari sofa di ujung ruangan. Pria itu bangkit, kemudian duduk di samping Woo-bin dan mengusap punggungnya. "Aku yakin, nenekmu pasti akan segera ditemukan." gumamnya.
Woo-bin menatap pria di sampingnya, lalu mengusap pipi pria itu lembut. "Memang hanya kau yang bisa mengerti keadaanku, Sam." balasnya diselingi senyuman.
Pria yang dipanggil Sam barusan tersenyum. Ia memeluk pinggang Woo-bin dari samping. "Tentu saja. Aku kan kekasihmu. Sudah sewajarnya bagiku untuk mengerti keadaanmu, apalagi kita akan segera menikah." gumam Samuel yang kemudian menutup kedua matanya sambil menyandarkan dagu pada pundak Woo-bin.
Menikah?
Woo-bin dan Samuel adalah sepasang kekasih?homoseksual. Hubungan mereka telah berjalan selama dua tahun. Usia Samuel jauh lebih tua lima tahun dibanding Woo-bin. Awalnya, Woo-bin tidak tertarik dengan Samuel, namun pria itu selalu berusaha menarik perhatiannya dengan berbagai cara. Sehingga, pada akhirnya Woo-bin menyerah dan memutuskan untuk menjalin hubungan dengannya.
Ia sendiri juga tidak mengerti bagimana perasaan itu bisa muncul. Tidak, bahkan Woo-bin tidak yakin dengan perasaannya sendiri. Ia tidak tahu apakah perasaan ini memang benar-benar cinta, atau hanya sebatas nyaman belaka.
"Jadi, kapan kau akan melamarku?" Samuel menatap Woo-bin lekat-lekat, ia butuh jawaban pasti.
Woo-bin mengerutkan kening dan berpikir, apakah mungkin ia dan Samuel bisa menikah? Sungguh, sebesar apapun rasa cintanya pada Samuel, Woo-bin masih memiliki keinginan untuk membangun keluarga bersama seorang wanita. Tapi Woo-bin tahu, akan sangat susah baginya untuk bisa jatuh cinta. Entahlah, hati Woo-bin seolah mati sejak bertahun-tahun lalu. Ia terlalu takut untuk belajar menerima masa lalu dan membuka lembaran baru.
"Kita lihat saja nanti." jawabnya singkat.
Samuel membuang napasnya gusar. "Ah, baiklah."
Woo-bin bisa mendengar nada kecewa pada suara serak Samuel dengan jelas. Namun, mau bagaimana lagi? Ia belum yakin seratus persen untuk menikah dengan Samuel. Ya, pria itu memang baik, bahkan sangat baik. Hanya Samuel yang bisa menghancurkan tembok pertahanan Woo-bin selama ini. Hanya pria itu yang bisa membuat Woo-bin percaya dan mulai mengeluarkan keluh kesahnya.
Tring...
Ponsel Woo-bin bergetar. Ia buru-buru mengambil dan mengamati layar ponselnya, kemudian menyipitkan kedua mata. Panggilan dari nomor yang tak ia kenal.
"Yoboseo."
Terdengar suara seorang wanita dari seberang. Suara asing yang tak pernah ia dengar sebelumnya.
Woo-bin semakin bertanya-tanya, siapakah wanita itu? Dan ada urusan apa ia menghubungi Woo-bin?
"Apa benar bahwa ini adalah Choi Woo-bin, cucu dari Nyonya Kim Eun-sang?"
Woo-bin terbelalak begitu mendengar nama sang nenek disebut. Ia buru-buru menanggapi perkataan wanita itu. Semoga saja tidak terjadi sesuatu yang buruk pada neneknya. Semoga saja.
"Bagaimana?"
Ji-hyun mematikan ponsel dan membasahi bibirnya yang hampir kering setelah menjawab serentetan pertanyaan dari pria yang barusan ia hubungi. "Dia akan kemari, nek." Ji-hyun meringis. Ia bisa melihat ekspresi bahagia pada wajah wanita tua dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih itu. Wanita itu baru tersadar sekitar satu jam yang lalu setelah menjalani operasi kemarin malam.
"Syukurlah, kukira anak itu sudah tidak peduli padaku." celotehnya.
Ia mengamati Ji-hyun dengan seksama hingga membuat gadis itu salah tingkah. "Kau masih sangat muda. Apa kau tidak kuliah atau bekerja?" tanya Eun-sang.
Ji-hyun terkekeh, "Saya masih kuliah, dan kebetulan hari ini sedang libur. Namun, sebentar lagi saya harus pergi ke?cafe?untuk bekerja."
Eun-sang mengangguk-anggukkan kepala. Menarik. Wanita mandiri dan pantang menyerah, sangat cocok untuk Woo-bin. "Lalu, di mana orang tuamu?"
"Mereka tinggal di luar kota. Saya merantau sendiri karena mendapatkan beasiswa."
Ah, beasiswa. Sepertinya dia gadis yang pintar. Bisa dibilang sebuah paket lengkap. "Jujur, aku hampir tidka pernah bertemu dengan gadis sepertimu. Kukira, semua orang di dunia ini telah dibutakan oleh ego masing-masing hingga tidak cukup hati untuk menolong orang lain."
Ji-hyun tersenyum tipis. Ia tidak tahu apakah itu suatu pujian atau kritikan dari Kim Eun-sang untuk orang di sekitar mereka.
"Kau sudah memiliki kekasih, nak?"
Lehernya menegang. Kekasih? Dae-han adalah kekasihnya. Namun, apakah hubungan yang tidak memiliki restu dari orang tua bisa dikatakan sebagai hubungan yang baik? Bukankah percuma jika terus melanjutkan hubungan seperti itu? Ingin mengakhiri, namun hati berkata bahwa mereka masih saling cinta. Ingin melanjutkan, namun terlalu jelas jika pada akhirnya mereka tidak akan bisa bersama.
Krek...
Seorang pria muncul dari balik pintu. Ekspresinya dingin, bahkan terkesan datar. Ia menghembuskan napas berat, lalu menghampiri Kim Eun-sang yang masih tergeletak lemas di ranjang.
"Kenapa nenek melakukannya?"
Setelah melayangkan pertanyaan tersebut, pria itu menengok ke kiri dan melihat Ji-hyun. Ia menggerakan kepala, memberi tanda supaya Ji-hyun meninggalkan mereka.
Ah, benar-benar menyebalkan. Pria itu bahkan tidak mengucapkan terima kasih. Ji-hyun berdiri, ia melangkah cepat, kemudian berhenti di balik pintu sambil mencibir. Aneh sekali orang itu. Pantas saja tadi sang nenek bersyukur karena pria itu masih peduli padanya.
Ji-hyun memainkan jari-jari lentiknya pada wajah Dae-han yang sedang memejamkan mata dalam pangkuannya. Menikmati pemandangan Sungai Han bersama malam yang bertabur bintang, ditambah pantulan cahaya dari lampu warna-warni di sekitar mereka yang semakin membuat suasana menjadi lebih sempurna.
Park Dae-han. Seorang pria yang sangat ia cintai sejak satu setengah tahun lalu. Pria yang berhasil mengubah hati kerasnya menjadi begitu lembut. Pria yang membuat harinya menjadi bewarna. Juga pria yang telah membuatnya mengerti beratnya perjuangan cinta mereka.
"Bagaimana keadaan nenek kemarin?" Dae-han masih menutup mata. Ia menarik tangan Ji-hyun ke atas dadanya.
"Sudah sadar, cucunya juga sudah datang." Ji-hyun membuang napas lega.
"Aku akan menikah dengan wanita pilihan ibuku Minggu depan."
Jantung Ji-hyun seakan berhenti begitu mendengar Dae-han mengatakan kalimat barusan. Menikah minggu depan? Apa-apaan ini?
Apa pria itu bercanda?
Ji-hyun benar-benar tidak dalam mood untuk melakukannya.
Dae-han membuka mata, ia bangkit dan memegang kedua pipi Ji-hyun, kemudian menangkup kedua pipi gadis itu agar menatapnya lekat-lekat. Ia tidak ingin kehilangan Ji-hyun. Ia hanya menginginkan Ji-hyun.
Bagaimanapun, hanya ada Ji-hyun dalam hatinya. Dae-han tidak berniat memberikan hatinya pada yang lain.
"Menikahlah denganku, Jung Ji-hyun. Aku akan membawamu keluar negeri." Dae-han menatapnya melas, berharap bahwa Ji-hyun akan menerima lamarannya. Namun, apakah itu mungkin?
Hening. Ji-hyun tak tahu harus berkata apa. Ia memang mencintai Dae-han, namun untuk menikah??Come on, Ji-hyun masih berusia dua puluh satu tahun sekarang. Sifatnya masih sangat kekanakan. Ia belum siap untuk menjadi seorang istri.
"Kau tidak mau, ya?" sambar Dae-han lagi. Seulas senyum pahit tergambar jelas pada wajah polos yang sarat akan kekecewaan tersebut.
Tidak, Ji-hyun bukannya tidak ingin menikah dengan Dae-han, dia hanya belum siap. Mungkin jika Dae-han bertanya 3 tahun lagi, Ji-hyun pasti akan menjawab 'Ya' tanpa banyak berpikir.
Namun, keadaannya berbeda. Ia masih sangat belia, begitupula dengan Dae-han. Pria itu baru menginjak usia dua puluh empat tahun. Mereka masih memerlukan kebebasan. Mereka masih harus melalui jalan panjang untuk menemukan jati diri.
Namun, di sisi lain, ibu Dae-han telah merencanakan pernikahan putranya dengan gadis lain. Oleh akrena itu, satu-satunya cara agar pernikahan Dae-han tidak terwujud, Ji-hyun harus menerima pinangan Dae-han dan menikah secepatnya. Tapi Ji-hyun tidak bisa. Ia benar-benar tidak bisa.
"Maafkan aku."
Ji-hyun merasa bersalah. Ia juga sedih, mengapa hubungan mereka harus dihadapkan pada cobaan yang begitu berat? Harapan Ji-hyun untuk menikah dengan Dae-han lima tahun lagi seolah hancur begitu saja.
Dae-han mengusap wajah Ji-hyun dengan kedua tangan dan mendaratkan sebuah ciuman manis di kening wanita itu, kemudian mengacak rambutnya pelan. "Tidak apa-apa, aku akan mencari cara lain untuk membatalkan pernikahan itu. Kau tidak perlu khawatir, Jung Ji-hyun."
Woo-bin tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Dalam keadaan mendesak seperti ini, ia masih bisa berkata pada Ji-hyun bahwa ia akan mencari cara lain agar pernikahan itu tidak terjadi.
Mencoba untuk mengalihkan pembicaraan, Dae-han menatap jam tangan dan bangkit dari kursi. "Sudah pukul sepuluh, aku akan mengantarmu pulang. Kau ada kelas kan besok pagi?"
Ji-hyun mengangguk. Ia membiarkan tubuhnya ditarik dengan kedua lengan panjang pria itu, kemudian merangkul pundaknya. "Besok aku akan pulang terlambat. Tidak apa-apa kan kalau aku tidak bisa mengantarmu ke cafe?" tanya Dae-han lagi.
Ji-hyun memaklumi kesibukan Dae-han sebagai seorang mahasiswa jurusan Kedokteran. Ia sangat mendukung cita-cita Dae-han, melihat pria itu berjas putih dan membantu mereka yang tengah kesusahan adalah suatu bayangan paling sempurna dalam kepalanya.
"Ttidak perlu khawatir, dokter Park. Aku akan menjaga diri dengan baik." Ji-hyun mangacungkan ibu jari ketika mengucapkan kalimat tersebut hingga membuat Dae-han tertawa.
Yah, setidaknya hal itu bisa membuat keadaan emosional mereka sedikit membaik. Meskipun nyatanya mereka masih berada dalam pilihan sulit antara kabur bersama atau membiarkan Dae-han menikah dengan gadis pilihan ibunya.
Semenjak malam itu. Benar, malam di mana Ji-hyun dan Dae-han menghabiskan waktu di sungai Han, tidak ada lagi pertemuan di antara mereka sampai sekarang. Sudah tiga hari berlalu dan Dae-han tidak pernah membalas pesan, telepon, bahkan e-mailnya.
Sebenarnya, ada apa dengan lelaki itu?
Kenapa dia bersikap seperti ini?
Apa gadis yang akan dijodohkan dengannya ternyata jauh lebih cantik dan menarik daripada Ji-hyun?
Mengapa Dae-han bisa mengubah hatinya begitu cepat?
Jika memang begini akhirnya. Seharusnya, dari awal Dae-han tidak perlu berjanji untuk berusaha melepaskan diri dari perkawinan yang tinggal menghitung hari tersebut.
"Pria macam apa dia! Seenaknya sendiri meninggalkamu seperti ini." So-ra yang muncul bersama setoples roti kering dan beberapa minuman kaleng. Ia langsung duduk di samping Ji-hyun. "Lupakan saja dia, masih banyak pria yang mau denganmu, Jung Ji-hyun."
Ji-hyun tersenyum pahit, kemudian menggeleng. "Aku tidak bisa melakukannya Kwon So-ra."
"Why?"
Ji-hyun menaruh ponselnya. "I don't know,?I just can't." Ia berhenti sejenak dan melihat jam dinding. "Aku harus bekerja. Kau mau pulang atau tetap di sini?" sambungnya.
So-ra menggerutu kecewa. Ia baru mengambil makanan dan Ji-hyun sudah mengusirnya. Kenapa gadis itu benar-benar tidak pengertian sih?
Tapi, pada akhirnya So-ra menyerah dan menutup kembali toples yang barusan ia ambil, kemudian berkacak pinggang. "Kau benar-benar tidak bisa melihatku senang, Jung Ji-hyun." protesnya.
Ji-hyun meringis, lalu buru-buru mengambil tas lengan bewarna putih—pemberian Dae-han ketika mereka merayakan aniversarry. Ah, bagi Ji-hyun, melihat barang itu sama saja dengan melihat Dae-han. Menyakitkan, tapi melegakan.
Setelah mengunci pintu dan melambaikan tangan pada So-ra yang baru saja melajukan mobil, Ji-hyun menaikan resleting jaketnya, berharap bahwa hujan tidak turun malam ini. Ia khawatir jika harus menginap di?cafe?tempatnya bekerja karena malas membawa payung.
Jam menunjukkan pukul enam, ia harus segera pergi sebelum bosnya marah dan memutuskan untuk memotong gaji gadis itu. Tentu saja, Nyonya Han selalu mengancam akan memotong gaji karyawan yang sering terlambat.
Kakinya baru melangkah sebanyak tiga kali ketika seseorang menepuk punggung gadis itu. Ji-hyun berbalik, matanya membelalak ketika mengetahui bahwa orang yang sedang berada di depannya adalah cucu dari wanita yang pernah ia tolong dulu.
"Jung Ji-hyun, menikahlah denganku!"
Woo-bin menggaruk kepalanya frustasi. Mendengar perkataan sang nenek barusan benar-benar membuatnya ingin mengucapkan sumpah serapah begitu saja.
"Tapi nek."
"Tidak ada tapi-tapian, keputusan nenek sudah bulat. Jika kau benar-benar menginginkan harta warisan keluarga Choi, maka kau harus berhenti berhubungan dengan Samuel dan mendapatkan hati gadis yang telah menolongku beberapa hari lalu!"
Kim Eun-sang menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut dan berbalik membelakangi Woo-bin. Ia terpaksa bersikap seperti itu karena sudah tidak tahan lagi jika harus melihat sat-satunya cucu yang ia punya menjalin hubungan dengan sesamanya.
Woo-bin sangat tampan dan berpendidikan, tapi hatinya tidak. Ia terlalu polos, penuh rasa takut, dan kebingungan hingga terperangkap dalam traumanya sendiri. Masa kecil yang menyakitkan membuat pria itu menolak dan selalu menolak kasih sayang wanita.
Dulu, saat Woo-bin pertama kali mengakui hubungannya dengan Samuel pada Eun-sang, wanita itu hampir erkena serangan jantung. Eun-sang memang tidak menyalahkan Woo-bin atas trauma serta ketakutan yang selalu menghantui pria itu, tapi Eun-sang telah melakukan segala cara agar trauma tersebut bisa teratasi. Namun, tetap saja usaha tersebut sia-sia karena Woo-bin tidak memiliki niat untuk mengubah cara pandang serta menerima masa lalu sebagai bagian dari hidupnya,
"Tapi aku tidak mengenalnya, nek." Woo-bin memelas.
"Aku tidak peduli. Gunakan otakmu untuk menarik hati serta mengenalnya. Kau bisa dengan mudah menarik hati seorang pria, seharusnya, akan lebih mudah bagimu untuk menarik hati seorang wanita, Choi Woo-bin."
Cukup sudah. Woo-bin tidak bisa mengelak perkataan Kim Eun-sang. Ia memilih untuk mengalah dan melakukan apa yang wanita itu inginkan. Ia tidak bisa membiarkan seluruh harta keluarga Choi disumbangkan pada badan amal tanpa meninggalkan sepeserpun aset baginya.
Woo-bin menutup pintu kamar Kim Eun-sang dan menatap Samuel yang telah menunggu di luar ruangan. Pria itu memasang wajah cemas, layaknya seorang kekasih pada drama-drama romantis.
"Kau tidak apa-apa kan?" tanyanya sembari mengelus pelan lengan Woo-bin.
Woo-bin menggeleng dan memandang lengan kekar pria itu, lalu melepasnya. "Aku tidak apa-apa." Ia tersenyum. "Aku ada urusan. Kau bisa pulang sendiri, kan?"
Samuel mengangguk. "Tentu saja. Jika sudah selesai, segera hubungi aku, Choi Woo-bin." Samuel mencium sekilas pipi Woo-bin, kemudian bergegas pergi.
Sedangkan, Woo-bin mematung. Ia sibuk memikirkan cara untuk menemukan siapa dan di mana gadis yang dimaksud sang nenek berada. Ia tidak memiliki sedikitpun informasi mengenai gadis yang menolong sang nenek beberapa waktu lalu. Ia bahkan tidak sempat mengucapkan terima kasih ataupun memberikan imbalan pada gadis itu.
Tapi, tiba-tiba sebuah ide cemerlang melintas. Kenapa Woo-bin tidak langsung bertanya pada staff administrasi rumah sakit? Bukankah saat itu yang membayar operasi sang nenek adalah gadis itu? Benar sekali. Kau memang cerdas Choi Woo-bin.
Woo-bin buru-buru berjalan ke bagian administrasi dan meminta seorang perawat untuk mencari nama gadis yang membayar operasi sang nenek. Awalnya, perawat tersebut menolak, namun dengan alasan membalas budi, akhirnya Woo-bin berhasil mendapatkan data diri gadis itu.
Jung Ji-hyun, tinggal tidak jauh dari Sungai Han, berusia dua puluh satu tahun. Masih sangat muda.
Tapi baiklah, Woo-bin harus segera menemui gadis itu. Ia harus berusaha sekuat mungkin untuk membuatnya tertarik demi harta warisan keluarga Choi. Lalu, bagaimana dengan Samuel? Entahlah. Woo-bin tidak ingin memikirkan hal itu sekarang. Ia pasti bisa mendapatkan alasan tepat untuk menjelaskan segalanya pada Samuel nanti.
Woo-bin buru-buru meluncur ke alamat gadis itu. Semoga saja ia tidak tersesat ataupun kebingungan.
Ia berhenti di samping sebuah rumah kecil berpagar kuning. Dilihatnya seorang gadis keluar dari rumah. Semoga saja Woo-bin tidak salah. Semoga saja gadis itu adalah Jung Ji-hyun.
Sebelum gadis itu pergi, Woo-bin berjalan mengikuti Ji-hyun dari belakang. Kemudian, ia menepuk punggung gadis itu dan berkata dengan bodohnya, "Jung Ji-hyun, menikahlah denganku!"
Bodoh! Choi Woo-bin bodoh! Bagaimana mungkin ia melamar gadis itu secepat ini?