Chapter 2 Couple

"Jung Ji-hyun, menikahlah denganku!"

Plakk!

Tangannya meluncur begitu saja. Dengan mulus dan tanpa halangan, Ji-hyun menampar pipi Woo-bin hingga pria itu meringis kesakitan. Lagipula, wanita mana yang tidak terkejut jika tiba-tiba dilamar oleh seorang pria yang baru sekali ia temui?

"Argh, apa maksudmu menamparku?" Woo-bin memegangi pipinya, nyeri akibat tamparan Ji-hyun.

Sementara gadis itu masih berusaha mengatur napas yang hampir terputus karena mendengar perkataan Woo-bin yang tidak masuk akal barusan. "Seharusnya aku yang bertanya padamu. Apa maksudmu berkata seperti itu?"

Woo-bin membuang muka, ia menghela napas panjang dan menyadari bahwa lamarannya barusan memang sangat mengejutkan. Ia bukan tipikal pria yang bisa bersikap wajar pada wanita. Maksudku, ia tidak pernah benar-benar bisa memperlakukan wanita dengan baik. Ia tidak menganggap bahwa wanita adalah pasangan dari seorang pria, dan ini semua karena trauma yang selalu menghantuinya.

Melihat Woo-bin yang nampaknya tengah tenggelam pada pikirannya, Ji-hyun mendecakkan lidah. Ia memutuskan untuk berhenti menunggu alasan dari pria di depannya. Ji-hyun menggigit bibir bawah, kemudian berbalik meninggalkan Woo-bin dengan perasaan tak karuan.

Awalnya, Woo-bin tidak menyadari bahwa gadis itu telah menjauh, namun, ketika tak sengaja menatap ke depan, tubuh gadis itu telah menghilang dan?ah, bodoh! Bagaimana mungkin dia bisa melamun sampai kehilangan gadis itu!

Lelah. Kata itu tentu tidak berlebihan untuk mendefinisikan keadaan Ji-hyun saat ini. Bahkan, bisa dibilang kurang. Segala hal yang terjadi beberapa hari belakangan benar-benar membuatnya depresi dan tidak tahu harus melakukan apa.

Mulai dari menyelamatkan seorang wanita tua, Dae-han yang akan menikah dan beberapa hari kemudian meninggalkannya, juga lamaran bodoh yang dilayangkan oleh pria?'gila'?barusan.

"Kau terlihat memiliki beban yang berat, Jung Ji-hyun?"

Suara Lee Min-hyuk—anak pemilik?cafe?bertema Eropa tempat Ji-hyun bekerja— membuatnya terpaksa mengangkat kepala dan menatap nanar pria?berkemeja putih tersebut.

"Ugh, hanya terlihat, bukan?"

Lee Min-hyuk menyipitkan mata. "Tidak. Aku yakin kau benar-benar memiliki beban yang berat."

Ji-hyun menaikan kedua pundak bersamaan dan tersenyum tipis. Ia tahu bahwa Min-hyuk adalah orang yang baik dan tepat untuk dijadikan tempat curhat. Namun, Ji-hyun harus berpikir dua kali untuk melakukan itu. Ia hanya tidak ingin dipandang lemah dan?cengeng.

"Kau selalu tertutup." Lee Min-hyuk berhenti, ia tak sengaja mendapati seorang pria berjaket kulit coklat sedang berdiri di depan?cafe. Tatapannya mengarah pada Ji-hyun. "Sepertinya ada yang ingin bertemu denganmu." lanjutnya sambil menggerakkan dagu ke arah pintu.

Ji-hyun mengikuti arah pandang Min-hyuk dan mendapati Dae-han telah menunggunya di sana. Pria itu menarik kedua ujung bibir dan melambaikan tangan kanannya pada Ji-hyun.

Ia buru-buru keluar dari balik meja kasir dan berlari ke arah Dae-han secepat mungkin, sebelum pria itu kembali meninggalkannya. Hatinya yang sempat bergejolak, juga mood yang tidak jelas karena Dae-han menghilang tanpa kabar, seolah hilang begitu saja. Astaga, tidak tahukah Dae-han bahwa Ji-hyun sangat bersyukur karena pria itu akhirnya menampakkan diri?

Begitu berdiri di depan tubuh Dae-han, Ji-hyun langsung menghambur dalam pelukan pria itu tanpa mempedulikan apakah Dae-han membalas pelukannya atau tidak. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanyalah rasa rindu juga harapan agar Dae-han tidak meninggalkannya.

"Kau ke mana saja? Aku sangat merindukanmu." adu Ji-hyun. Ia mencium sekilas dada Dae-han dan kembali menenggelamkan kepala dalam pelukkan hangat pria itu.

Dae-han tidak menjawab. Pria itu bahkan tidak membalas pelukan Ji-hyun. Ia hanya terdiam sambil menarik-keluarkan napas secara tidak teratur dan terkesan bingung.

Ada apa sebenarnya?

Apa ada yang salah?

Jangan-jangan...

Ji-hyun menjauh, ditatapnya lekat-lekat kedua mata Dae-han. "Apa yang terjadi? Semua baik-baik saja, kan?" tanyanya khawatir.

Dae-han menggeleng. Ia mengeluarkan sesuatu dari balik saku jaket kiri dan memberikannya pada Ji-hyun.

"Maafkan aku Jung Ji-hyun, maafkan aku."

Dae-han menggigit bibir bawah. Ia bisa melihat perubahan ekspresi Ji-hyun ketika menyadari bahwa yang diberikan oleh pria itu adalah undangan pernikahannya dengan wanita pilihan sang ibu.

Hati yang semula membaik itupun kembali buruk. Perasaannya hancur, benar-benar hancur. Bagaimana mungkin Dae-han bisa melanggar janji yang ia buat sendiri? Jika tahu akhirnya seperti ini, Ji-hyun lebih memilih untuk tidak mengenal Dae-han selamanya.

Hatinya sakit.

Rapuh.

Napasnya tercekat.

Dan ia bisa mati jika terus seperti ini.

"Jung Ji-hyun kumohon, aku bisa menjelaskan semuanya." Dae-han berusaha menarik Ji-hyun kembali dalam pelukan. Namun gadis itu menolak.

Tentu saja! Siapa yang tidak sakit hati jika pria yang selama ini sangat ia cintai akan menikah dengan wanita lain? Wanita yang bahkan tidak pernah Ji-hyun tahu sebelumnya. Wanita yang entah baik atau tidak untuk Dae-han yang sanga ia cinta.

"Jangan sentuh aku!" Ji-hyun melepaskan tangannya dari genggaman Dae-han, mulutnya terisak kecil, namun gadis itu berusaha untuk menahannya."Kenapa kau menjanjikan sesuatu yang tidak bisa kau penuhi? Apa karena aku hanya gadis hingga kau bisa mempermainkan hatiku begitu saja?" Ji-hyun mencoba menahan air matanya, ia tidak bisa kelihatan lemah di depan Dae-han sekarang.

"Jung Ji-hyun, aku tidak pernah berbohong soal perasaanku padamu. Aku benar-benar mencintaimu, hanya saja."

"Hanya saja kau lebih mencintai gadis itu kan?"

Ji-hyun meraih undangan dalam genggaman Dae-han, kemudian membuangnya dengan penuh rasa kesal. "Kau lihat sekarang? Persetan dengan undangan ini, aku membencimu Park Dae-han. Sangat membencimu!"

Napasnya tercekat. Dae-han tidak pernah melihat Ji-hyun semarah ini sebelumnya. Dan hari ini... hari ini gadis itu menunjukkan kemarahan juga kekecewaannya yang begitu mendalam. Dae-han sadar bahwa ia adalah lelaki brengsek yang gagal menjaga keutuhan hubungan juga janjinya dengan wanita yang sangat ia cintai.

Gadis yang selalu menghiburnya akan pergi darinya...

Gadis yang menguatkan hari-harinya sangat kecewa padanya...

Gadis yang paling berharga dalam hidupnya telah membencinya...

Tidak ada wanita yang menginginkan hubungannya kandas dengan cara yang begitu menyakitkan, termasuk Ji-hyun. Apakah pada kehidupan sebelumnya, gadis itu melakukan kesalahan fatal hingga mendapatkan cobaan seperti ini?

Apa dosa besar yang telah ia lakukan?

Gadis itu duduk termenung di samping?cafe?sambil memandang kosong ke depan. Ia nampak linglung, layaknya manusia yang telah kehilangan semangat juga kebahagiaannya. Jujur, ia tidak tahu harus memikirkan apa. Yang terlintas dalam pikirannya hanyalah?'Dae-han jahat',?'Dae-han brengsek',?'Ia membenci Dae-han', dan kalimat umpatan lain yang ditujukan pada Dae-han.

"Kenapa kau tega melakukan ini padaku? Dasar, pria brengsek! Aku membencimu Park Dae-han! Aku membencimu, brengsek!"

Ji-hyun berteriak sekencang mungkin. Kedua tangannya memukul bangku batu yang ia duduki, kemudian menangis histeris. "Kenapa, Park Dae-han, kenapa?" suaranya lebih pelan sekarang. Tubuhnya terjatuh ke tanah. Ia sudah tidak mempedulikan orang lain. Hatinya sudah terlalu sakit untuk dirasakan.

Kalau Tuhan berniat untuk mencabut nyawanya, maka Ji-hyun sudah benar-benar ikhlas. Ia merasa bahwa semua harapan yang telah dibangunnya begitu keras, runtuh begitu saja. Ia tidak yakin bisa kembali berdiri tegak tanpa kehadiran Dae-han di sampingnya.

Woo-bin tidak menyerah. Ia duduk menyandar ke dinding rumah Ji-hyun sembari meringis mendengarkan omelan Samuel yang menyakitkan telinga. Pria itu sangat cerewet, terkadang Woo-bin kesal dibuatnya.

"Jadi sekarang kau di mana? Kenapa baru menjawab teleponku? Kenapa kau tidak membalas pesanku? Kau selingkuh ya?"

Woo-bin menggaruk kening. "Aku sibuk Sam. Kau tahu kalau aku adalah satu-satunya harapan nenek? Aku tidak bisa selalu berada di sampingmu." dustanya.

"Benarkah? Kau tidak selingkuh kan? Apa ada pria lain yang membuatmu tertarik selain aku?"

Pria lain...

Separah itukah Woo-bin...

"Tidak, kau bisa percaya padaku. Kau paham bahwa aku tidak mudah jatuh cinta."

"Tentu saja, dengan susah payah aku berusaha mendapatkan hatimu, Choi Woo-bin."

Woo-bin bisa mendengar helaan napas panjang Samuel. "Ada apa denganmu?"

"Aku... merindukanmu."

"Ah." Woo-bin menangkap bayangan seorang gadis mendekat ke arahnya. Ia berdiri dan berkata lagi, "Aku akan menghubungimu lagi nanti. Ada hal penting yang harus kulakukan." gumamnya kemudian memutuskan panggilan.

"Jung Ji-hyun, akhirnya kau kembali juga."

Ji-hyun menolak tawaran Lee Min-hyuk untuk mengantarnya pulang. Ia lebih memilih berjalan dengan lunglai sembari meratapi setiap kisah sedih dalam hidupannya yang kini benar-benar tak bisa terbendung lagi.

Sepanjang jalan membentang, setiap belokan yang ia lalui, bayangan Dae-han beserta kenangan indah juga menyakitkan itu terus saja menggerogoti. Kalau saja ia bisa membalas Dae-han agar pria itu juga merasakan apa yang ia rasakan, kalau saja ia bisa memberi pelajaran pada Daehan, kalau saja ia sekuat itu. Namun, Ji-hyun hanya seorang gadis biasa yang tidak memiliki harta ataupun kekuatan untuk membalaskan dendamnya.

"Aku berjanji ibuku tidak akan mengetahuinya, Jung Ji-hyun."

"Aku akan menikah dengan wanita pilihan ibuku minggu depan."

"Menikahlah denganku, Jung Ji-hyun. Aku akan membawamu keluar negeri."

"Tidak apa-apa. Aku akan mencari cara lain untuk membatalkan pernikahan ini. Kau tidak perlu khawatir, Jung Ji-hyun."

"Maafkan aku Jung Ji-hyun, maafkan aku."

"Jung Ji-hyun kumohon, aku bisa menjelaskan semuanya."

"Jung Ji-hyun, aku tidak pernah berbohong soal perasaanku padamu. Aku benar-benar mencintaimu, hanya saja."

"BULLSHIT!"?Ji-hyun melemparkan sekaleng soda dalam genggamannya. Semua ingatan tentang Dae-han membuatnya muak. Seharusnya, ia sadar sejak awal bahwa hubungan mereka memang tak akan pernah berakhir bahagia.

Seharusnya, dari awal Ji-hyun tidak pernah mengenal Dae-han atau bahkan melihatnya. Seharusnya, Ji-hyun tidak usah pergi ke Seoul dan memilih untuk bekerja bersama kedua orang tuanya. Ya, seharusnya Ji-hyun berpikir seperti itu.

Ji-hyun mencoba melanjutkan perjalanan, sungguh, ia tidak boleh menyerah sekarang. Dae-han bukan akhir dari segalanya, tapi pria itu adalah awal dari kehancuran yang akan dihadapi Ji-hyun.

Ia sampai di depan pagar rumah. Alisnya tertarik ke atas ketika menyadari pria tadi masih berada di sana. Astaga, apa dia benar-benar sudah gila?

Pria itu menyilangkan kedua lengan, tubuhnya kedinginan, sembari menatap Ji-hyun penuh harap.

Apakah mungkin?

"Jung Ji-hyun." Pria itu membuka mulut, kemudian mendekati Ji-hyun perlahan. "Aku hanya ingin meminta bantuanmu untuk menikah denganku. Kau tidak perlu menganggapku sebagai suamimu. Kumohon, semua hal yang kuinginkan ada di tanganmu."

Bibirnya bergetar. Ji-hyun menelan ludah, tenggorokkannya sudah mulai kering. Ia menatap pria di depannya tajam. Mungkin saja Tuhan memberinya kesempatan untuk balas dendam. Tidak, mana mungkin Tuhan membantunya untuk melakukan kejahatan. Ah, atau mungkin setanlah yang mengirimkan pria ini padanya?

Tidak masalah. Ji-hyun akan menggunakan kesempatan ini dengan baik.

Ia mengangguk, kemudian bergumam. "Aku akan menikah denganmu, asal kau juga bersedia membantuku."

Woo-bin menarik salah satu ujung bibirnya, lalu mengulurkan tangan kanan. "Deal, kita bicarakan apa yang kau inginkan dan kemudian menikah secepatnya."