"Apa? Kau sudah gila ya?" teriakkan So-ra yang cukup kencang terngiang hampir ke seluruh sudut ruangan. Wanita berbadan subur itu menarik-keluarkan napasnya, berniat untuk menenangkan diri.
Oke, siapa yang tidak terkejut setelah mendengar sahabatnya akan menikah dalam waktu dekat hanya karena ingin membalas dendam pada seseorang?
"Tidak, kau tidak boleh melakukan itu Jung Ji-hyun. Aku akan mematahkan kakimu kalau kau melakukannya! Kau benar-benar,?ahh!"
Ji-hyun menumpu wajahnya pada kedua lengan di atas meja, kemudian menekuknya. "Aku sudah terlanjur menerima tawaran pria itu." Ia berhenti sebentar dan memasang wajah melas. "Aku tidak tahu apakah bisa membatalkannya atau tidak." lanjutnya pasrah.
"Tolong, kepalaku hampir pecah, tolong." So-ra memegangi kepalanya frustasi. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran Ji-hyun saat itu.
"Kwon So-ra, kau terlalu berlebihan."
So-ra menajamkan pandangannya ke arah Ji-hyun. "Berlebihan katamu? Kurasa kau sudah benar-benar gila. Bagaimana mungkin menikah dengan pria yang tidak kau kenal dengan baik bisa disebut biasa saja? Kau tahu, seharusnya responku lebih dari ini, hanya saja aku sedang lapar, jadi aku tidak melakukannya."
Ji-hyun membulatkan mulut setelah mendengar jawaban So-ra. Apakah yang ada dalam otak gadis ini hanya makan, makan, dan makan? Benar-benar membuat frustasi.
"Aku tidak mau tahu, kau harus membatalkan pernikahan itu." So-ra berdiri dan menarik dagu Ji-hyun agar menatap kedua matanya. "Lagipula, apa yang akan kau katakan pada ayah dan ibumu?" sahutnya sebelum Ji-hyun bergerak melepaskan diri.
Benar. Perkataan So-ra memang benar. Ji-hyun yakin kedua orang tuanya akan berpikir yang tidak-tidak saat mendengar putri sematawayangnya akan menikah. Mereka pasti mengira bahwa Ji-hyun menduakan Dae-han atau hamil di luar nikah dengan pria lain, karena sepengetahuan mereka, ia sedang menjalin hubungan dengan Dae-han, bukan Woo-bin.
Ji-hyun memutuskan panggilannya dengan So-ra. Gadis berambut hitam itu sudah berdiri tepat di depan pagar besi nan tinggi yang menutupi rumah mewah di dalamnya. Security?yang awalnya duduk manis pun bangkit begitu menyadari kehadiran Ji-hyun.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya?security?yang baru saja menghampirinya.
Ji-hyun menggigiti bibir bawah—salah satu kebiasaan yang selalu muncul ketika gugup—lalu membuka mulut. "Apakah... benar ini adalah rumah Choi Woo-bin? Aku sudah membuat janji dengannya."
Security?tadi mengeluarkan?walky talky?dari celana. Ia menghubungi seseorang, setelah bercakap selama beberapa detik, akhirnya?security?tersebut membukakan gerbang dan mempersilahkan Ji-hyun masuk.
Matanya langsung membulat takjub begitu melihat rumah Woo-bin dengan jelas. Ji-hyun merasa ingin pingsan sekarang. Ia tidak pernah melihat rumah sebesar dan sebagus ini sebelumnya.
Ia berpikir bahwa rumah seperti ini hanya ada dalam serial drama seperti?'Boys Over Flowers'?dan semacamnya. Tapi percaya tidak percaya, nyatanya rumah Woo-bin tidak jauh berbeda dengan rumah dalam serial drama tersebut.
Apakah Woo-bin adalah jelmaan Goo Jun Pyo di dunia nyata?
Ia masih terpesona pada bangunan berlantai dua yang kini terpampang jelas di hadapannya. Sekaya apa pria itu hingga bisa membuat rumah seperti istana? Benar, istana. Ji-hyun lebih suka jika menyebut tempat ini sebagai istana.
Ji-hyun berjalan pelan menikmati keindahan pada setiap sudut halaman rumah Woo-bin. Matanya benar-benar dimanjakan dengan bangunan megah tersebut, bahkan rumah Dae-han yang menurutnya sudah bagus-pun ternyata tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kediaman Woo-bin.
"Sampai kapan kau akan terpesona seperti itu, Nona Jung?"
Ji-hyun tersentak mendengar suara seorang pria. Fokusnya buyar, kemudian berusaha mencari asal suara tersebut. Woo-bin berdiri tepat di belakangnya dengan kemeja putih, kedua tangan pria itu di masukkan ke saku celana.
Ah...
Bahkan kharismanya memang memancarkan aura orang kaya.
"Ikutlah denganku, kita bicara di dalam." Woo-bin menggerakkan kepala ke arah rumah dan sedetik kemudian berjalan mendahului Ji-hyun.
Mereka masuk melalui pintu utama, sebuah air mancur kecil di tengah ruangan langsung menyambut keduanya. Astaga, kenapa dia menaruh air mancur di dalam rumah? Tapi, siapa yang peduli. Intinya, Ji-hyun menyukai dekorasi rumah ini.
"Apa kau belum pernah melihat yang seperti ini? Tapi tidak masalah, kau pasti akan terbiasa. Apalagi sebentar lagi kau akan tinggal di sini." Woo-bin melirik Ji-hyun sebentar dan berjalan ke arah air mancur tersebut.
Ji-hyun memicingkan mata. Ia tidak akan pernah tinggal di sini. Lagipula, kedatangannya hari ini bermaksud untuk embatalkan pernikahannya dengan Woo-bin.
"Aku akan mengajakmu berkeliling dulu." Woo-bin melanjutkan perjalanannya tanpa mau mendengarkan Ji-hyun. Terpaksa, gadis itu mendecak dan mengekori.
Mereka berhenti di ruang makan. Dua orang pria tengah menyiapkan makanan di sana, bukan hanya satu atau, namun banyak. Sangat-sangat banyak. Tunggu, apakah akan ada tamu?
"Setelah ini kau bisa makan. Aku tidak tahu makanan apa yang kau suka, jadi aku meminta mereka untuk memasak makanan dari beberapa negara."
Apa?
Apa lelaki itu gila?
Tidak, maksudku, dia benar-benar gila karena terlalu kaya!
Kenapa dia membuang-buang uang hanya untuk makanan?
Astaga, Ji-hyun tidak bisa membayangkan rasanya tinggal dalam rumah sebesar ini. Ditambah lagi, ia akan memiliki suami yang tampan. Benar-benar sempurna, bukan? Tapi, hei! Tujuannya ke sini bukan untuk itu. Ji-hyun harus membatalkan rencana mereka.
Seolah tak terhentikan, Woo-bin bergegas naik ke lantai dua, kemudian membuka pintu salah satu ruangan.
"Ini adalah kamarmu." Ia berhenti sebentar, kemudian menepi untuk memberikan ruang bagi Ji-hyun agar bisa masuk. "Jika kau tidak suka dengan dekorasi atau perabotan yang ada di sini, aku akan menggantinya."
"Apa?" Ji-hyun menggeleng. "Tidak, ruangan ini benar-benar sempurna."
"Baguslah kalau begitu." Woo-bin kembali mengajak Ji-hyun keluar. "Jadi, sekarang ikut ke ruanganku. Kita harus membicarakan pernikahan kita."
Pernikahan...
Setiap kali mendengar kata itu, entah mengapa seluruh tubuhnya bergetar hebat. Hati dan jiwanya bergejolak. Persepsi tentang indahnya pernikahan, kini berubah menjadi sesuatu yang kelam, terutama saat Ji-hyun teringat akan undangan Dae-han.
Kamar Woo-bin berkali-kali lebih besar dari kamarnya. Di dalam sana terdapat kasur, kursi, beberapa meja, lampu, televisi, dan perabotan lainnya, bahkan Woo-bin memiliki perapian kecil yang menjalar menjadi cerobong asap di dalam kamarnya.
Ji-hyun tidak duduk di sofa, ia tetap berdiri dan mengepalkan kedua telapak tangan, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengatakan maksudnya datang kemari.
"Choi Woo-bin."
Bagus, ia sudah berhasil mengeluarkan suara untuk memanggil pria itu.
"Ya?"
"Sebenarnya... sebenarnya maksudku datang ke sini... adalah untuk membatalkan rencana pernikahan kita."
Woo-bin tertawa kecil dan memegang keningnya sebentar. "Lelucon macam apa ini? Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi." Woo-bin berdiri dan hendak menarik lengan Ji-hyun, namun sungguh sayang, gadis itu sudah lebih dulu berlari keluar kamar.
Tak ingin kehilangan kunci emasnya. Woo-bin menyuruh semua?bodyguard untuk menangkap Ji-hyun, namun tidak ada satupun dari mereka yang berhasil. Hingga akhirnya Woo-bin berpura-pura terjatuh dan kesakitan ketika Ji-hyun hendak melangkahkan kaki keluar rumah.
"Arggh! Jantungku, kepalaku, aku bisa mati!"
Ji-hyun menghentikan langkahnya ketika mendengar teriakan Woo-bin. Ia berbalik dan mendapati pria itu tersungkur di lantai. Tanpa pikir panjang, Ji-hyun buru-buru menghampiri Woo-bin dan memindahkan kepala pria itu ke atas pahanya.
"Kumohon Jung Ji-hyun, menikahlah denganku?ahhh." kalimatnya terputus, Woo-bin mencoba meraih tangan Ji-hyun dan menggenggamnya erat. "Aku... aku menderita?wealth loss phobia,?jadi menikahlah denganku!"
Apa?
Apa katanya barusan?
Phobia macam apa itu!
Ji-hyun menggeleng. "Mana ada phobia seperti itu!"
Woo-bin menggerutu. "Aku yang merasakan phobianya, jadi aku tahu kalau phobia seperti itu memang ada." gumamnya lalu kembali merintih kesakitan.
Ji-hyun membuang napas berat. Ia tahu betul bahwa menolak permintaan Woo-bin sama saja menyiksa pria itu dengan membiarkannya kehilangan semua aset keluarga Choi. Namun, jika ia benar-benar melanjutkan pernikahan gila ini, apa yang harus Ji-hyun katakan pada kedua orang tuanya?
"Jung Ji-hyun, kumohon." Woo-bin menempelkan kedua telapak tangan, memohon pada Ji-hyun sepenuh hati. Matanya berkaca-kaca, Ji-hyun bagaikan satu-satunya harapan yang telah lama hilang. Astaga, bagaimana sekarang?
Woo-bin bangkit dan duduk tepat di depan Ji-hyun. "Aku benar-benar membutuhkanmu, Jung Ji-hyun. Hanya kau yang nenek inginkan. Aku berjanji akan memberikan apapun yang kau mau jika kau setuju menikah denganku."
Ji-hyun menggigit kecil bibir bawahnya mendengar setiap kata yang keluar dari mulut sang ibu melalui telepon.
"Kenapa mendadak sekali? Kau tidak melakukan hal negatif, kan? Apa kau selingkuh dari Dae-han dan—"
"Mama!"
Telinganya sudah panas mendengar sang ibu bergumam tanpa henti. Bagaimana tidak? Sedetik setelah Ji-hyun mengatakan keinginannya untuk menikah dengan Woo-bin, sang ibu langsung mengatakan hal-hal yang tidak Ji-hyun mengerti.
"Aku tidak hamil, aku tidak berselingkuh. Lagipula, Dae-han juga akan menikah. Kami sudah putus sejak lama dan setelah itu aku berpacaran dengan Woo-bin."
"Apa? Lama apanya? Baru dua bulan lalu kalian datang ke rumah. Kau dan Dae-han."
Ah, benar...
Ji-hyun lupa soal itu.
"A-apa? Itu... Bukankah itu sudah terjadi empat bulan yang lalu? Mama pasti lupa."
"Jung Ji-hyun."
Ji-hyun mendesah berat. "Ayolah ma, aku berani bersumpah bahwa Woo-bin seribu kali lebih baik daripada Dae-han!"?Setidaknya, Woo-bin bukan type pria yang tiba-tiba menghilang dan kembali dengan membawa undangan pernikahan
Shin Min-young akhirnya menyerah. Ia mendengus dan kembali berbicara.?"Baiklah, kalau begitu bawa dia ke rumah. Oke?"
Ji-hyun menganggukkan kepala. "Baiklah ma, aku akan mengajaknya ke rumah." jawab Ji-hyun yang kemudian memutuskan panggilan.
"Apa kata ibumu?" So-ra yang baru saja kembali dari dapur segera duduk di samping Ji-hyun.
"Dia menyuruhku mengajak Woo-bin ke sana." Ia menghempaskan punggung pada badan sofa. "Aku tidak yakin Woo-bin mau melakukan itu." lanjutnya cemas.
"Bukankah Woo-bin sendiri yang bilang bahwa dia akan memberi apapun kalau mau menikah dengannya? Seharusnya dia mau menemui ibumu."
Ji-hyun mengerutkan kening. "Tunggu dulu, bukankah kau kemarin tidak merestuiku menikah dengan Woo-bin?"
So-ra mengibaskan telapak tangan kirinya. "Tidak. Aku bukannya merestuimu menikah dengan Woo-bin, tapi setelah kupikir-pikir... tidak ada salahnya kau menikah dengan pria itu, lagipula siapa tahu kau bisa benar-benar jatuh cinta pada Woo-bin dan melupakan Dae-han."
Ji-hyun sedikit terkejut mendengar perkataan So-ra tentang jatuh cinta pada Woo-bin dan melupakan Dae-han. Tidak, ia tidak akan pernah jatuh cinta pada Woo-bin. Namun, untuk melupakan Dae-han, Ji-hyun berharap hal itu akan terjadi.
Ji-hyun mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja kecil di samping sofa, kemudian menekan kontak dan mencari nama Woo-bin.
To: Choi Woo-bin
"Temui aku di depan toko dekat pertigaan rumah pukul 3 sore. Jangan bawa bodyguard-mu. Penting."
"Jadi apa?" Woo-bin memandang Ji-hyun yang telah duduk di sampingnya.
"Kau tidak membawa?bodyguard, kan?" Ji-hyun menggerakkan kepala ke kanan, kiri, depan, dan belakang, takut jika Woo-bin tidak menepati janji.
Woo-bin mendengus dan memegang kepala Ji-hyun agar gadis itu berhenti bergerak tak jelas. "Aku sudah bilang tidak akan membawa?bodyguard. Jadi kita mau apa?"
Ji-hyun melepaskan tangan Woo-bin dari kepalanya. Pria ini selalu bersikap semaunya sendiri. Pantas saja tidak ada satupun gadis yang mau menikah dengannya. Pria itu memang sangat menyebalkan.
"Kita harus pergi ke Busan untuk temui orang tuaku. Aku tidak akan menikah denganmu kalau kau tidak melakukannya."
"Apa?"
Waktu berjalan lambat, Dae-han telah mengenakan dasi kupu-kupu dan sepatu hitam mengkilat. Seorang pria berusia sekitar dua tahun lebih tua darinya berdiri di ambang pintu. Pria itu menggerakkan kepala, memberi tanda agar Dae-han segera keluar.
Hidup memang tidak adik. Pakaian dan penampilan Dae-han sangat bagus, bertolak belakang dengan hatinya. Sungguh, ia belum siap untuk menikah dengan gadis pilihan sang ibu.
Choi Ha-neul—Gadis yang menawan, pintar, dan berkharisma. Walaupun pada Ha-neul adalah teman masa kecil dan bahkan salah satu gadis yang pernah membuatnya jatuh cinta, Dae-han tetap tidak bisa menerima perjodohan ini.
"Belum terlambat, kau bisa menghentikan pernikahan ini dan meminta maaf pada kekasihmu." Park Jae-hyun—sepupunya—menepuk pundak Dae-han. "Kau tidak boleh menyesal sepertiku. Perjodohan ini hanya akan menyiksamu." gumam Jae-hyun.
Yah, perjodohan bukanlah hal aneh dalam keluarga Park. Hampir semua generasi dalam keluarga ini menikah dengan cara itu. Kestabilan, kehormatan, serta kekayaan adalah faktor penting dalam kehidupan mereka.
Dae-han menggeleng. "Aku tidak punya pilihan lain?hyeong, aku tidak bisa melakukan itu."
"Bukannya tidak punya pilihan, kau yang tidak bisa melihat pilihan itu!"
Dae-han menunduk. "Tapi perusahaan ayah membutuhkanku,?hyeong."
Jae-hyun memijit pelipisnya sebentar dan kembali menatap Dae-han. "Percayalah padaku. Kau masih memiliki adik. Siapa tahu adikm—"
"Cheon-sa? Apa kau berpikir bahwa Cheon-sa yang harus melanjutkan perusahaan? Kau sudah gila! Dia bahkan tidak bisa berdiri dengan kakinya sendiri! Bagaimana mungkin Cheon-sa bisa menumpu perusahaan!"
"Itu adalah salah satu kelemahanmu. Kau tidak pernah melihat kelebihan adikmu. Yang kau tahu, dia lumpuh dan dia tidak bisa melakukan apapun. Hatimu sudah benar-benar buta, Park Dae-han!"
Dae-han memukul tembok. Perkataan Jae-hyun menusuk hatinya. Ya, pria itu memang benar. Ia selalu menganggap Park Cheon-sa tidak bisa melakukan apapun. Ia selalu ingin melindungi sang adik. Ia selalu berpikir bahwa Cheon-sa membutuhkan bantuannya.
Ia benar-benar tidak ingin membebani adiknya. Walaupun Dae-han tahu bahwa Cheon-sa jauh lebih berbakat untuk meneruskan perusahaan. Tapi... mau bagaimana lagi? Dae-han tetap tidak mau mengakuinya.
"Jadi sekarang bagaimana? Kau akan tetap di sini atau pergi?" Jae-hyun memegang kedua lengan Dae-han dan menarik pria itu agar berbalik.
Untuk sejenak, Dae-han bergeming. Ia tak punya banyak waktu. Sekarang atau tidak samasekali. "Aku akan pergi,?hyeong. Katakan pada ibu bahwa aku menolak pernikahan ini."
Setelah mengatakannya, Dae-han langsung berlari meninggalkan Jae-hyun untuk keluar melalui pintu belakang. Kemudian, pria memanjat dinding karena tak mungkin pergi melalui gerbang. Banyak pengawal yang sedang berjaga di sana, ia tidak ingin mengambil risiko.
Dae-han berlari sekuat tenaga menuju halte bus dan berniat menemui Ji-hyun. Ia harus meminta maaf pada gadis itu. Tiga puluh menit berlalu, pria itu berhasil menginjakkan kaki di depan rumah Ji-hyun, namun ada yang aneh. Kenapa sepi sekali? Apa gadis itu sedang pergi?
Dae-han mengetuk pintu rumah Ji-hyun pelan. Tubuhnya gemetar, takut jika Ji-hyun akan marah setelah melihatnya.
Klekk...
Jantungnya berdebar kencang. Dae-han tidak bisa membayangkan respon Ji-hyun ketika melihatnya berdiri di depan rumah dengan pakaian seperti ini. Namun, ketika seorang gadis keluar dari balik pintu, Dae-han membulatkan mulut.
Kenapa So-ra yang membukakan pintu? Di mana Ji-hyun?
"Park Dae-han?" Gadis itu tergagap ketika mendapati Dae-han berdiri di sini. "Apa yang kau lakukan? Kenapa kau memakai pakaian seperti itu?"
Dae-han menggerakkan kepala ke dalam rumah. "Di mana Ji-hyun? Aku harus menemuinya."
Bukannya menjawab, So-ra malah mendorong Dae-han menjauh. "Kuberitahu padamu, jangan pernah mencari Ji-hyun lagi. Dia akan segera menikah dengan pria yang seribu kali lebih baik darimu."
"Apa? Tidak, Kwon So-ra, apa maksudmu? Dia akan menikah dengan pria lain? Kau tidak serius, kan?"
So-ra tersenyum kecil. "Semenjak kau meninggalkan dan berniat untuk menikah dengan wanita lain, Ji-hyun telah kehilangan semangatnya. Namun, ia bertemu seseorang yang jauh lebih sempurna dan mereka akan menikah."
"Tidak mungkin! Kamu baru berpisah lima hari lalu."
"Lalu kenapa kalau baru lima hari? Terserahmu saja. Yang penting aku sudah mengatakannya. Jadi, lebih baik kau pergi dari sini, atau kau akan menyesal karena melihat Ji-hyun bersama pria lain."
Tanpa permisi, So-ra menutup pintu rumah Ji-hyun. Tunggu, apakah dia serius? Kekasihnya? Jung Ji-hyun? Gadis itu akan menikah dengan pria lain? Tapi bagaimana mungkin, mereka bahkan baru berpisah beberapa hari lalu. Dae-han yakin bahwa So-ra sedang membuat alasan agar ia tidak mendekati Ji-hyun lagi.