Woo-bin memarkir mobilnya di depan sebuah rumah berpagar putih. Tidak begitu besar, bahkan terkesan sederhana. Rumah itu tidak memiliki lahan yang cukup untuk sekedar memarkir mobil, terlebih lagi, jalan di sana tidak sebesar Seoul. Dengan adanya mobil Woo-bin, bisa dipastikan kendaraan besar akan cukup susah untuk lewat.
Seorang wanita dan pria berusia awal lima puluhan berdiri di teras, Ji-hyun langsung berlari menghampiri mereka dan meninggalkan Woo-bin yang mengekori di belakang. Jujur saja, hanya dengan melihat Ji-hyun memeluk kedua orang tuanya, Woo-bin tahu bahwa hubungan mereka begitu baik. Sangat berbeda dengan apa yang Woo-bin rasakan. Kedua orang tuanya selalu sibuk, mereka pergi tiap pagi dan pulang larut malam. Woo-bin bahkan tidak ingin kapan orang tuanya memeluk atau sekedar berbicara dari hati ke hati sebelum kepergian mereka.
Kesibukkan mereka membuat Woo-bin terluka. Babysitter yang seharusnya menjaga dan memperhatikan Dae-han malah membuatnya trauma. Sungguh, tiap mengingat kenangan buruk yang selalu menghantui malamnya. Woo-bin hanya bisa mengeram kesal.
"Kenapa lama sekali, sih?"
Suara protes Ji-hyun membuyarkan lamunan Woo-bin, gadis itu mendecakkan lidah dan menggerakkan kepala ke arah kedua orang tuanya. Woo-bin tak membuang waktu, ia segera mendekati orang tua Ji-hyun.
Jung Ha-jun—ayah Ji-hyun—tersentak dan melompat ke belakang hingga menabrak tembok karena tidak percaya pada sosok yang berdiri di hadapannya.
"K-au? Choi Woo-bin?" Jung Ha-jun berhenti sebentar dan menatap sang istri yang sama-sama sedang membulatkan mulut. Ini seperti mimpi, seorang pria kaya, pewaris salah satu perusahaan paling besar?di Korea datang melamar anak gadisnya!
"Maaf saya baru bisa datang sekarang." Woo-bin tersenyum ramah. "Benar, saya Choi Woo-bin. Sungguh menyenangkan bisa bertemu dengan orang tua gadis yang saya cintai."
"Pewaris Grub Zorus?" Jung Ha-jun dan istrinya berteriak bersama.?
Kenapa Ji-hyun tidak pernah bercerita bahwa calon suaminya adalah Choi Woo-bin? Kalau begini, tanpa basa-basi mereka pasti merestui rencana putrinya untuk segera menikah. Bahkan, Jung Ha-jun?bersedia menikahkan keduanya hari ini juga.
Woo-bin hanya tersenyum kecil dan mengangguk, sementara Ji-hyun meringis, berusaha menahan malu akibat perbuatan orang tuanya di depan Woo-bin. Mereka memang bukan orang kaya, namun Ji-hyun mensyukuri apapun yang ia miliki. Hanya saja, gadis itu tak pernah melihat kebahagiaan dalam wajah kedua orang tuanya akhir-akhir ini, tapi sekarang? Wajah mereka berseri seolah hidup kembali.
"Astaga, mari kita masuk. Ji-hyun akan memasak sesuatu untukmu." gumam Jung Ha-jun sambil merangkul pundak Woo-bin dan mengajaknya masuk ke rumah. Andai saja mereka tahu bahwa Woo-bin bukanlah pria normal, apakah mereka masih sebahagia ini?
"Jadi kalian berencana untuk menikah sesegera mungkin?" Jung Ha-jun menatap Woo-bin serius.
"Benar. Saya tidak ingin kehilangan Ji-hyun, dia terlalu berarti bagi saya." tukas Woo-bin yang berhasil membuat seulas senyum melebar di wajah Ha-jun.
Sementara itu, Ji-hyun menguping pembicaraan Woo-bin dan sang ayah dari balik lemari sambil menunggu sang ibu yang sibuk memasak. Mungkin ini aneh, tapi Ji-hyun memang tidak pandai memasak. Ketika di Seoul, ia hanya makan dengan lauk telur, ayam, atau mie instan. Bahkan tidak jarang Dae-han datang ke rumah dan memasak untuknya. Ah, sepertinya memang cuma Dae-han yang bisa melengkapi kekurangan gadis itu.
"Belajarlah memasak, kau harus membuktikan jika memang pantas untuk menjadi istri Woo-bin." Shin Min-young yang tiba-tiba menyiku lengan Ji-hyun langsung menyodorkan dua gelas coklat panas untuk Woo-bin dan Jung Ha-jun.
Ji-hyun segera menerima uluran ibu-nya dan mengangguk, walaupun sebenarnya yang ia pikirkan adalah seharusnya Woo-bin yang membuktikan bahwa dia memang pantas untuk menjadi suami Ji-hyun. Bukan sebaliknya.
"Setelah ini mama akan mengajarimu memasak. Kalian harus menginap malam ini."
Ibunya selalu membuat keputusan seenaknya sendiri. Menginap? Bagaimana kalau Woo-bin punya kesibukkan lain? Bagaimanapun juga, Woo-bin adalah seorang direktur yang tidak bisa pergi ke suatu tempat?seenaknya dan meninggalkan perusahaannya.
"Tapi Woo-bin."
"Tidak ada tapi-tapian, bukankah kalian berniat menikah Minggu depan? Mama tidak ingin kau mengecewakan Woo-bin nantinya."
Bukankah Woo-bin yang akan mengecewakan Ji-hyun?
Ji-hyun menyerah, ia tahu membantah perkataan sang ibu hanya akan berakhir sia-sia. "Baiklah, aku akan bicara dengannya."
Ji-hyun menggerakkan lehernya ke kanan dan kiri, pegal karena paksaan sang ibu untuk belajar memasak yang tidak membuahkan hasil sama sekali. Sudah berkali-kali mencoba, namun bukannya semakin baik, ada saja kesalahan yang terjadi.
Untungnya, sunyinya malam bersama alunan angin mampu membuat Ji-hyun sedikit lebih rileks, ia merebahkan tubuh ke lantai. Sampai akhirnya deringan ponsel membuatnya terganggu. Ah, rupanya Woo-bin. Ia sedang berusaha mencari sinyal. Rumah orang tua Ji-hyun bukanlah daerah pedalaman, hanya saja, salah satu tower operator sedang mengalami perbaikkan, dan kebetulan sekali Woo-bin adalah salah satu penggunanya.
"Apakah di sini benar-benar tidak ada sinyal?" gerutu Woo-bin yang masih fokus menggoyang-goyangkan ponsel.
"Towernya rusak."
"Ahh... kenapa tidak bilang dari tadi sih?" protes Woo-bin. Ia seperti orang bodoh yang berusaha mencari air laut di sungai tawar.
"Kau tidak bertanya." Ji-hyun mengambil ponsel. "Kau bisa memakai ponselku kalau mau."
Woo-bin mempertimbangkan tawaran Ji-hyun. Namun karena merasa terlalu lama, Ji-hyun berniat untuk menarik ponselnya kembali. Saat itu juga, Woo-bin dengan cepat merebutnya. "Setuju. Aku akan menggunakan ponselmu sementara ini." katanya, lalu masuk dan menghilang di balik pintu.
Ji-hyun hanya melengus, beberapa detik kemudian memutuskan untuk larut dalam sunyinya malam agar otaknya kembali segar. Ia menutup kedua mata dan bernapas sedalam mungkin, lalu mengeluarkannya perlahan. Mungkin sebagian orang mengatakan bahwa angin malam tidak baik bagi tubuh, tapi entah kenapa Ji-hyun sangat menyukainya.
Terkadang poninya tertiup angin, matanya yang lelah seakan dibius untuk segera terpejam dan melupakan segala masalah meski hanya sekejap saja. Ji-hyun tidak melakukan penolakkan, ia membiarkan rasa kantuk merasuki jiwa juga raganya, yang terus membawa hingga benar-benar terlena
Sudah pukul enam pagi, Lee Min-hyuk bersiap membuka?cafe dan menyuguhi pembeli dengan?breakfast?spesial yang hanya tersedia tiap hari Senin. Sepertinya hari ini akan lebih berat, pasalnya Ji-hyun meminta izin untuk libur bekerja. Entah apa yang sedang dilakukan oleh gadis itu, ia terlihat lebih sibuk akhir-akhir ini, dan terkadang tanpa alasan yang jelas, Ji-hyun meminta agar diizinkan pulang lebih awal.
Baru saja membuka pintu cafe, Min-hyuk terbelalak mendapati seorang pria yang tidak asing sedang tersungkur kedinginan di atas bangku. Ia mengenakan tuxedo, sepertinya baru pulang dari acara penting.
"Dae-han?" teriak Min-hyuk. Ia membopong tubuh Dae-han dan berusaha membuat pria itu berdiri dengan mengalungkan salah satu lengannya ke leher, lalu membawa pria itu ke dalam?cafe.
Min-hyuk membaringkan Dae-han di sofa ruang kerja. Ia begitu panik mendapati bibir Dae-han membiru. Apakah pria ini gila? Apa dia bermalam di depan?cafe? Apa dia tidak ingat kalau sekarang sudah memasuki musim dingin?
Min-hyuk cepat-cepat menyelimuti dan menyeduh teh untuk Dae-han. Berharap setelah meminumnya, Dae-han akan membaik.
"Minumlah, tubuhmu akan lebih hangat." Min-hyuk menyodorkan segelas teh hangat dan langsung diterima oleh Dae-han.
"Terima kasih,?hyeong." balas Dae-han pelan.
Terakhir kali, ia melihat Ji-hyun lah yang putus asa seperti orang kehilangan arah. Namun sekarang? Keadaan itu berubah drastis. Dae-han yang saat itu menyebabkan Ji-hyun sakit hati, kini malah terlihat lebih mengenaskan. Tunggu dulu, dari pakaian yang dikenakan, apakah ia baru saja kabur dari suatu acara? Bodoh, Min-hyuk ingat sekarang! Dae-han akan menikah dengan wanita pilihan.
Min-hyuk berjongkok. "Apa yang terjadi?"
Sorot mata Dae-han semakin redup. "Apa kau tau di mana Ji-hyun sekarang?"
Min-hyuk menggeleng, Dae-han tidak menjawab dan malah memberikan pertanyaan. "Kau kabur dari pernikahanmu?" sekali lagi, Min-hyuk mencoba bertanya dan berharap Dae-han mau menjawab. Ia benar-benar frustasi melihat kelakuan Ji-hyun dan Dae-han.
"Kami hanya... tidak, dia salah paham padaku. Dia mengira bahwa aku akan benar-benar menikah dengan wanita pilihan ibuku. Lalu... kemarin saat aku pergi ke rumahnya... hyeong?apa Ji-hyun akan menikah? Apa dia melupakanku secepat itu?"
Min-hyuk terkesiap. Ji-hyun akan menikah? Dengan siapa? Apa ini alasan di balik perubahan sikap Ji-hyun beberapa hari lalu?
"Menikah? Dia tidak mengatakan apapun."
"Benar. Aku yakin So-ra hanya mengada-ngada. Aku harus mencari Ji-hyun sekarang juga." Dae-han bangkit, tapi Min-hyuk menghalangi tubuh pria jakung itu.?
"Setidaknya, kau harus berganti baju dan sarapan. Kau bisa meminjam bajuku." gumam Min-hyuk, lalu berjalan ke lemari di ujung ruangan dan memilih baju yang sekiranya cukup untuk Dae-han.
Apa yang ia lihat pagi ini membuat niatnya untuk memukul Dae-han karena telah menyakiti Ji-hyun menghilang begitu saja. Min-hyuk sadar, bukan cuma Ji-hyun yang terluka, tapi Dae-han juga.
Sementara Min-hyuk masih sibuk memilih baju, Dae-han memandang tiga buah foto yang disusun membentuk segitiga berisi empat orang di dalamnya. Ji-hyun, Min Hyuk, dan dua pelayan?cafe?lain.
Matanya langsung menatap fokus gadis yang ber-sweater merah marun dan celana?jeans?pensil biru tua tersenyum lebar tanpa beban di sana. Ah... Dae-han merindukannya.
"She's pretty, right?"
Suara bariton Min-hyuk bergema di telinga. Dae-han langsung menyetujui ucapan pria itu.
"Aku masih tidak percaya jika gadis yang tidak bisa memasak ini diterima bekerja di cafe." gumam Dae-han tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun.
Min-hyuk tertawa. "Dia pintar mempromosikan cafe. Setidaknya itulah yang dikatakan ibuku saat aku bertanya kenapa Ji-hyun diterima." Ia berhenti dan menengok ke arah Dae-han. "Dia gadis yang baik, bahagiakan dia sebelum orang lain melakukannya."
Drrtt...
Drttt...
Drttt...
Ji-hyun menggeliat, matanya terbuka pelan dan kemudian menguap. Getaran yang berulang-ulang membuatnya terbangun, siapa yang menghubunginya pagi-pagi seperti ini?
Dengan mata yang masih setengah tertutup, Ji-hyun meraih ponsel dan melihat nama Dae-han tertera di layar, 20 panggilan – 40 pesan masuk.
Tunggu dulu. Sejak kapan Ji-hyun tidur di kasur? Dan ponsel ini, bukankah Woo-bin yang membawanya?
"Seseorang mencoba menghubungimu, aku hampir saja menekan tombol jawab karena kukira Samuel." Woo-bin yang entah bagaimana sudah berada di ambang pintu mendekati Ji-hyun. "Kau seharusnya tidak tidur di luar rumah. Kau mau bunuh diri, ya?"
Ji-hyun mendengus. Dari ucapannya barusan, kelihatannya Woo-bin-lah yang membawanya masuk. "Aku ketiduran, lagipula aku tidak senaif itu untuk bunuh diri." jawabnya acuh tak acuh.
Hening sesaat. Tidak ada interaksi apapun di antara mereka walaupun keduanya sedang berada dalam ruangan yang sama. Sibuk dengan pikiran masing-masing, Ji-hyun sibuk membaca pesan dari Dae-han, sementara Woo-bin dengan beberapa?e-mail?yang baru saja masuk dalam kotak pesannya.
"Bersiaplah, kita harus segera kembali ke Seoul."
Woo-bin yang tiba-tiba melontarkan perintah agar Ji-hyun segera bangun dan bersiap untuk kembali ke Seoul nampak sangat serius.
"Kenapa?"
"Nenekku ingin bertemu denganmu."
"Nenek?" Ji-hyun menggaruk leher dengan tiga jari. Apa yang dimaksud Woo-bin adalah wanita yang ia tolong tempo hari?
"Sekretarisku mengatakan bahwa nenek akan segera tiba beberapa jam lagi." ia menarik napas dalam-dalam, "dan nenek ingin kau tinggal bersama kami."
"Apa?"
"Tidak ada waktu lagi, aku akan menunggumu di depan."
Tanpa mempedulikan ekspresi terkejut Ji-hyun, Woo-bin menyelesaikan ucapannya dan memilih menunggu gadis itu di luar. Pria berwatak?koleris?seperti Woo-bin memang menyebalkan. Seenaknya sendiri memerintah dan memutuskan sesuatu tanpa persetujuan orang yang bersangkutan.
Tapi apalah daya Ji-hyun sekarang, ia sudah setuju untuk menikah dengan Woo-bin, dan itu artinya Ji-hyun harus menerima konsekuensi tersebut. Tapi ini bukanlah hal yang berat. Ji-hyun lebih baik tinggal dan hidup bersama dengan sikoleris?daripada terus terjebak dalam kisah cinta penuh drama yang membuatnya sakit hati karena pria berwatak?plegmatis?seperti Dae-han.
Ia juga tidak mengerti kenapa Dae-han menghubungi, bukankah pria itu sudah menikah dengan gadis lain? Kenapa masih menghubungi Ji-hyun? Dan satu lagi, jika dia memang berniat untuk mencari Ji-hyun, seharusnya pria itu melakukannya dari dulu. Bukannya sekarang, saat semuanya telah berubah. Lagipula, Ji-hyun bukanlah gadis bodoh yang hanya karena 'cinta' akan melupakan segalanya, kemudian saling bertemu dan bersikap seolah-olah pria itu masih miliknya.
"You're too late, babe." gumam Ji-hyun lirih, lalu bangkit dan segera bersiap sebelum Woo-bin kembali membuat panas telinganya.
Salah satu kelebihan Ji-hyun adalah ia tidak membutuhkan waktu lama untuk bersiap seperti kebanyakan wanita seusianya. Rasanya aneh ketika ia masih menggunakan tas lengan kecil dari Dae-han sebagai hadiah anniversary mereka. Bukannya apa, hanya saja tas itu selalu mengingatkan kenangan pahit yang sempat ditorehkan Dae-han. Ketika rasa cintanya sudah memuncak, pria itu malah pergi bersama wanita lain dan meninggalkan Ji-hyun dalam kerapuhan.
"Berhati-hatilah di jalan." gumam ibu Ji-hyun sambil memeluk anaknya. "Kalian bisa mengurus pernikahan sendiri? Yakin tidak butuh bantuan mama?" lanjut Shin Min-young skeptis.
Ji-hyun tersenyum simpul. "Mama tidak perlu khawatir, lagipula aku dan Woo-bin hanya merencanakan pernikahan sederhana dengan beberapa tamu saja." balas Ji-hyun.
"Sopir saya akan menjemput paman dan bibi ketika mendekati hari pernikahan." Woo-bin meraih tangan kanan Ji-hyun hingga gadis itu terbelalak, namun kedua orang tua Ji-hyun tidak menyadari ekspresi putrinya, mereka lebih fokus pada Woo-bin. "Mulai saat ini, Ji-hyun akan tinggal di rumah saya. Apa paman dan bibi menyetujuinya?"
"Tinggal serumah?"
Kedua orang tua Ji-hyun saling bertatapan dan membulatkan mulut. Apakah yang dimaksud Woo-bin adalah mereka akan bersikap seperti suami-istri? Bahkan sebelum menikah?
"Paman dan bibi tidak perlu khawatir. Saya berjanji tidak akan menyentuh Ji-hyun sebelum kami benar-benar sah menjadi suami-istri."?Atau bahkan tidak akan menyentuhnya sekal-pun. Woo-bin berusaha meyakinkan kedua orang tua Ji-hyun bahwa ia adalah pria baik-baik.
Awalnya, tidak ada tanda-tanda bahwa kedua orang tua Ji-hyun akan menyetujuinya. Namun, tanpa disangka Jung Ha-jun—ayah Ji-hyun—mengangguk dan menyetujui permintaan Woo-bin. Ji-hyun bisa memaklumi, ayahnya pasti mengira bahwa yang dilakukan Woo-bin semata-mata karena tidak ingin kehilangan Ji-hyun, tapi... sebenarnya tidak seperti itu. Andai saja ayahnya tahu.
Woo-bin membungkukkan badan hingga sembilan puluh derajat sebagai ungkapan terima kasih. "Kalau begitu kami pamit dulu." Woo-bin masih menggenggam tangan Ji-hyun. "Terima kasih atas kepercayaannya." lanjutnya disertai seulas senyum manis di bibir.
Mereka tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Woo-bin segera menginjak gas dan mengendarai mobil untuk kembali ke Seoul. Mereka pergi ke rumah Ji-hyun, membantu gadis itu berkemas dan membawa barang-barangnya untuk dibawa ke rumah Woo-bin.
Ia teringat menitipkan kunci rumah pada So-ra. Semoga saja gadis itu tidak kelayapan dan meninggalkan ponselnya sekarang. Kalau sampai itu terjadi, mereka terpaksa menunggu So-ra di depan rumah sampai kembali.?
Awalnya, Ji-hyun mengira bahwa mereka akan pulang kemarin malam, makannya ia menitipkan rumah dan kuncinya pada So-ra. Apalagi gadis itu belum mendapat kontrakan baru.
Dengan kepindahannya ke rumah Woo-bin, berarti Ji-hyun akan meninggalkan rumah yang telah dibayarnya untuk tiga tahun tersebut. Lalu siapa yang akan tinggal di sana? Sepertinya bukan suatu masalah jika Ji-hyun membiarkan So-ra menempatinya.
"Kenapa dia lama sekali?"
Woo-bin yang sudah uring-uringan menunggu So-ra yang tak kunjung datang itupun mulai mengeluh. Sudah satu jam mereka menunggu di depan rumah dan gadis itu tak muncul juga.
"Bersabarlah." Ji-hyun mencoba menenangkan, matanya menerawang ke depan dan melihat sosok wanita berlari ke arah mereka. Tidak salah lagi, itu pasti So-ra. "Itu dia!" seru Ji-hyun senang sambil menunjuk gadis di ujung sana.
Woo-bin mengikuti telunjuk Ji-hyun dan memandang seorang gadis berbadan subur dengan napas terengah-engah yang berada tak jauh dari mereka.
"Ahh." So-ra menumpu kedua tangan di lutut sembari berusaha mengatur napas. "Maafkan aku. Ini, ambilah kuncinya." Ia menyodorkan kunci pada Ji-hyun dan langsung disahut oleh gadis itu.
?"Terima kasih." jawab Ji-hyun ringan, kemudian masuk ke rumah
Ketika napasnya sudah mulai stabil, So-ra kembali berdiri tegak dan mendapati seorang pria sedang bersandar di mobil, sementara Ji-hyun sibuk di dalam rumah. Ia mengerjap-kerjapkan kedua mata, seolah tak percaya pada apa yang ada di depannya.
Apakah orang ini yang akan menikah dengan Ji-hyun? Choi Woo-bin? Benar-benar Choi Woo-bin?
So-ra memang hanya melihat Woo-bin di internet. Ia tidak tahu kalau Woo-bin jauh lebih tampan dari yang terlihat di foto. Pria itu tidak memandangnya sama sekali. Ia menatap rumah Ji-hyun, tepatnya ke kaca jendela di mana Ji-hyun sedang berseliweran lalu menggaruk kepalanya seperti orang kebingungan.?
Apa yang akan mereka lakukan? Pikir So-ra curiga.
Namun pertanyaan itu terjawab ketika Ji-hyun akhirnya keluar sambil membawa sekoper pakaian dan satu tas berukuran sedang yang entah apa isinya.
"Aku akan tinggal di rumah Woo-bin." Ji-hyun memegang lengan So-ra. "Kontrak rumah ini masih berlaku satu setengah tahun lagi. Aku tidak mungkin meninggalkannya begitu saja, kau maukan tinggal di sini?" tanya Ji-hyun tanpa ragu.
"Ti-tinggal di rumah Woo-bin?" So-ra tergagap dan memandang sekilas pria yang kini sedang menyilangkan kedua lengan itu, lalu kembali menatap Ji-hyun. "Baiklah. Aku akan membayar biaya sewa rumah padamu." lanjut So-ra.
"Apa? Tidak-tidak, kau tidak perlu membayarnya. Lagipula aku akan sering ke sini nanti. Aku pasti merindukanmu So-ra-ya." Ji-hyun menarik So-ra dalam pelukkannya. "Jaga dirimu baik-baik."
"Tentu saja, kau juga. Jangan sampai sakit." So-ra membalas pelukkan Ji-hyun. Setelah ini, pasti harinya akan sepi. Ji-hyun pindah bersama Woo-bin dan kemudian menikah. Itu berarti, besar kemungkinan bahwa Ji-hyun juga akan berhenti kuliah.?
Jika menyadari hal ini sejak awal, So-ra bersumpah tidak akan berkata bahwa tidak ada salahnya Ji-hyun mencoba menikah dengan Woo-bin.
"Kau benar-benar membuat nama keluarga tercoreng!" Kang Eun-hee—ibu Dae-han—mencoba menahan emosi. "Apa yang ada dalam otakmu, Park Dae-han? Kau kabur dari pernikahan dan mencari gadis itu? Sudah kubilang, dia tidak sebanding dengan keluarga kita!" tambahnya.
Dae-han meringis menahan sakit karena dihajar oleh anak buah ibunya. Ia menolak ketika mereka berusaha membawanya pulang. Bukan hanya itu, bagaimana caranya mereka tahu kalau Dae-han berada di?tempat Ji-hyun bekerja? Ia yakin, setelah Ji-hyun kembali, gadis itu akan dipecat oleh?Mrs. Han—Ibu tiri Lee Min-hyuk—karena sudah membuat keributan di?cafe?tersebut—ya, walaupun sebenarnya keributan itu disebabkan oleh Dae-han.
"Sudah kubilang, aku tidak ingin menikah dengan Ha-neul. Aku tidak peduli pada kenyataan bahwa dia adalah teman masa kecilku." jawab Dae-han dingin.
"Kaupikir jika tidak menikah dengannya, hidup kita akan terus seperti ini? Berpikirlah lebih dewasa, ayahmu sudah sekarat Park Dae-han, kemungkinan hidupnya tinggal sepuluh persen. Kalau kau dari awal tidak memilih untuk menjadi dokter, maka kejadiannya tidak akan seperti ini."
Dae-han terdiam, yang dikatakan ibunya memang tidak salah. Tapi bukankah memperjuangkan cita-cita adalah suatu kewajiban? Dae-han selalu mengingat ucapan ayahnya ketika masih kecil. Beliau selalu memberi nasihat 'Jika kau menyukai sesuatu dan memutuskan untuk menjadikan itu sebagai cita-citamu, kejarlah. Apapun yang terjadi. Bahkan jika kau berada dalam masa sulit sekalipun.'
"Aku berjanji perusahaan tidak akan hancur."
Kang Eun-hee menekan pelipisnya. "Kau tidak seharusnya berjanji seperti itu, dokter." Setelah menyelesaikan ucapannya, Eun-hee memilih untuk pergi daripada semakin stres karena Dae-han.
Sementara itu, Choi Ha-neul—calon istrinya—yang sedari tadi hanya diam menguping pembicaraan Dae-han dan sang ibu, kini memberanikan diri untuk masuk.
"Seharusnya kau tidak melawan ibumu, Park." Ha-neul duduk di samping Dae-han sambil membawakan air es untuk mengobati memar di wajah pria itu.
"Bukankah kau juga tidak menginginkan pernikahan ini?" Dae-han menimpali.
Ha-neul menggeleng, ia mengobati luka Dae-han dengan lembut. "Tidak Park, aku berbohong padamu." Ha-neul menatap ke dalam manik mata Dae-han. "Aku sangat senang ketika mendengar bahwa kita akan menikah. Kau adalah orang yang kusukai sejak kecil. Tapi melihat ekspresimu, kau seolah menolak dan terpaksa melakukan pernikahan ini. Sejak saat itu, kuputuskan untuk berbohong dan berkata bahwa aku tidak ingin menjadi pengantinmu."
Dae-han tidak percaya pada apa yang didengarnya barusan. Ia sudah percaya pada gadis ini, dan ternyata apa yang ia dapat? Suatu kebohongan!
"Park, kumohon jangan batalkan pernikahan kita. Apa kau tidak kasihan pada kedua orang tuamu? Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Pernikahan kita adalah yang terbaik."
"Tidak Ha-neul-ssi,?hanya diri sendiri yang bisa menentukan apa yang terbaik. Bukan orang lain."
"Lalu, apa yang akan kau lakukan? Adikmu memang pintar, tapi apalah dayanya ketika orang tuamu bahkan mencoba menyembunyikan Cheon-sa?"
Dae-han terdiam. Perkataan Ha-neul sangat tepat. Selama ini, kedua orang tuanya tidak pernah menunjukkan Cheon-sa dan mengatakan bahwa Dae-han adalah satu-satunya anak mereka. Park Cheon-sa adalah adik Dae-han yang masih berusia dua puluh tahun, ia tidak bisa berjalan dan melihat dengan baik. Itulah sebabnya kenapa orang tua Dae-han selalu berusaha menyembunyikan Cheon-sa yang dianggap sebagai aib keluarga.
"Park, pikirkanlah baik-baik. Ini untuk masa depanmu, masa depan adikmu, dan masa depan kita semua. Apakah kau tega melihat keluargamu menderita?" Ha-neul memegang lengan Dae-han.
"Tidak, aku tidak ingin mereka menderita, tapi—"
"Ssstt." Ha-neul buru-buru menutup mulut Dae-han dengan jari telunjuk. "Kalau kau tidak bisa menikah denganku karena tidak mencintaiku, maka menikahlah karena masa depan adikmu. Kau tentu tidak ingin ibumu semakin membenci Cheon-sa karena hal ini."
Habis sudah. Dae-han berada di batas kemampuannya untuk bertahan. Ia sangat menyayangi Cheon-sa dan rela melakukan apapun demi adiknya, tapi... jika harus menikah dengan Ha-neul, apakah Dae-han bisa?"
"Lagipula, aku adalah wanita dewasa yang tumbuh dengan cantik, pintar, dan mengagumkan. Aku bahkan telah menolak banyak pria untukmu, Park. Apa kau juga tega menyakitiku yang telah berusaha memperjuangkanmu?"
Sial. Dae-han benar-benar tidak bisa melihat wanita bersikap seperti ini. Jika ia kasihan pada perasaan Ha-neul, lalu bagaimana dengan perasaannya sendiri?
"Park, jawab aku."
Ha-neul memegang kedua pipi Dae-han dan menuntun pria itu menatapnya. Tidak ada penolakkan kali ini, Dae-han pasrah pada apa yang dilakukan Ha-neul dan berusaha memandang kedua mata gadis itu.
Ia laki-laki. Ia harus memiliki pendirian. Ia harus bisa memutuskan yang terbaik meski menyakitkan.
"Baiklah. Kita akan menikah. Aku berjanji tidak akan ada peristiwa kabur dari pernikahan lagi." gumam Dae-han serius.
Ha-neul tersenyum puas mendengar jawaban Dae-han. Seperti yang ia tebak, sedikit sabar, perhatian, dan info terhangat, maka Dae-han akan jatuh dalam pelukannya.