Chapter 5 Yes

"Kalian sungguh-sungguh?" Kim Eun-sanng menatap mata Woo-bin dan Ji-hyun yang duduk tepat di depannya bergantian.

Ia tahu, pasti sang nenek merasa bingung karena Ji-hyun mau menerima lamarannya secepat it. Atau mungkin, neneknya mengira kalau Ji-hyun adalah gadis matrelistis yang rela menikah demi harta dan tahta saja.

"Iya, mungkin ini aneh tapi—"

"Baguslah." Kim Eun-sang menepuk kedua telapak tangan sebelum Woo-bin menyelesaikan perkataannya. Jujur, ia tidak peduli apa alasan Ji-hyun bersedia menikah dengan Woo-bin. Ia tidak peduli jika gadis itu terpaksa, menginginkan harta, atau apapun itu, yang penting Woo-bin memiliki kesibukkan lain sehingga perlahan-lahan bisa meninggalkan Samuel.?

"Aku senang mendengarnya." Ia menatap Ji-hyun yang terus diam sedari tadi. "Jadi, Ji-hyun akan tinggal di sini, bukan? Dan kapan kalian menikah? Besok? Minggu depan? Bulan depan? Lebih cepat lebih baik. Nenek ingin segera mengakhiri masa menyebalkan ini."

Woo-bin menekan pelipisnya, ia tahu yang dimaksud masa menyebalkan adalah hubungannya dengan Samuel. Sementara itu, Ji-hyun sedang berpikir harus menjawab pertanyaan yang keluar dari mulut Kim Eun-sang bagaimana.

Tidak ingin Ji-hyun terjebak dalam kebingungan, Woo-bin segera mengambil alih, walaupun pertanyaan itu tidak ditujukan untuknya. "Kami akan menikah minggu depan, Ji-hyun akan tinggal di sini seperti kemauan nenek, dan kami akan menikah dengan perayaan yang sederhana saja."

"Apa?" Kim Eun-sang tidak setuju. "Pesta pernikahan kalian harus meriah, biar nenek yang atur. Kau tidak bisa dipercaya untuk mengurus pernikahan, dan kalian juga bisa menambah daftar undangan selain mereka yang akan nenek undang. Oh ya, Woo-bin, jangan lupa undang Samuel di pernikahanmu."

"Apa?"

Tidak peduli pada ekspresi penolakan Woo-bin, Kim Eun-sang berdiri dan menarik lengan Ji-hyun, lalu mengajak gadis itu keluar. Ia perlu berbicara dengan Ji-hyun.

Mereka duduk di kursi taman belakang sembari menyaksikan ikan koi bewarna-warni yang asyik berenang di kolam. Menyadari ekspresi tegang dan bingung Ji-hyun sejak awal pertemuan mereka, Kim Eun-sang merasa sedikit resah. Ia tidak ingin gadis itu tertekan.

"Kau sudah tahukan jika Woo-bin sedikit berbeda?" Kim Eun-sang mengeluarkan suara, mencoba untuk mencairkan suasana.

"Maaf?"

"Woo-bin tidak tertarik pada wanita."

Hening. Pria itu tidak pernah menceritakannya pada Ji-hyun. Ia juga tidak pernah menuntut Woo-bin untuk bercerita, mengingat salah satu poin perjanjian mereka adalah tidak ikut campur pada urusan pribadi masing-masing.

Mendapati Ji-hyun hanya terdiam, Kim Eun-sang membuang napasnya berat. "Sudah kuduga, anak itu pasti tidak mengatakannya padamu. Dan lagi, apa dia memaksamu untuk menikah dengannya?"

"Dia... tidak memaksaku, sebenarnya kami."

"Kami adalah teman waktu kecil!"

Suara tegas seorang pria menyela ucapan Ji-hyun. Rupanya Woo-bin berdiri tidak jauh dari keduanya. Ia berjalan ke arah Ji-hyun dan sang nenek. "Ji-hyun adalah temanku ketika Sekolah Dasar, kami cukup dekat. Jadi, ketika aku mengajaknya menikah, dia tidak perlu waktu lama untuk berpikir." Kali ini Woo-bin menarik lengan Ji-hyun dan merangkulnya. "Kami harus membuat daftar undangan. Ji-hyun pasti ingin mengundang beberapa temannya." lanjut Woo-bin yang kemudian menyeret Ji-hyun untuk mengikuti langkahnya ke dalam rumah.

Sifat mereka—Woo-bin dan neneknya begitu mirip. Sama-sama suka menyeret orang semaunya. Tapi tunggu dulu, sebegitu miripnya sifat Woo-bin dengan sang nenek membuat Eun-sang tahu kalau Woo-bin sedang berbohong. Mereka bukanlah teman masa kecil. Eun-sang tahu karena hidung Woo-bin berkedut ketika mengatakannya. Ah, pria itu benar-benar pembohong yang buruk.

"Apa yang dikatakan nenek padamu?" Woo-bin menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Ia mengamati Ji-hyun yang kini duduk di atas ranjang.

"Tidak banyak, hanya fakta bahwa kau tidak tertarik pada wanita, lalu kau datang."

Benar. Ia belum bercerita pada Ji-hyun mengenai hal itu. Apa setelah ini Ji-hyun akan merubah keputusannya untuk menikah dengan Woo-bin? Tidak! Woo-bin tidak akan membiarkannya terjadi!

"Lalu? Setelah kau mendengar itu, apakah kau akan membatalkan pernikahan kita? Jangan bermimpi, aku tidak akan membiarkannya terjadi."

"Apa aku mengatakan sesuatu?"

Ji-hyun menajamkan matanya ke arah Woo-bin. Pria itu nampak ketakutan jika ia membatalkan pernikahan. "Bukankah dengan kenyataan bahwa kau tidak tertarik pada perempuan adalah suatu keuntungan bagiku? Jadi, aku tidak perlu takut kau akan melakukan sesuatu yang tidak-tidak."

Skak mat. Woo-bin tidak bisa membalas perkataan Ji-hyun. Paranoid yang menggerayangi perasaannya langsung menghilang begitu saja.

"Ah, sudahlah. Lupakan saja."

Ji-hyun memutar bola matanya. "Omong-omong, tadi nenekmu berkata bahwa aku bisa mengundang temanku ke pernikahan kita."

Pernikahan.

Sesungguhnya mengatakan hal itu membuat Ji-hyun bergidik ngeri.

"Tentu saja, kenapa?"

Apakah Ji-hyun ingin mengundang teman sekampusnya? Atau mungkin semua tetangganya?

"Aku ingin mengundang beberapa orang."

"Beberapa?"

Ji-hyun mengambil ponsel dan mengetik sesuatu, kemudian memberikannya pada Woo-bin. Tertulis beberapa nama di sana, seperti; Kwon So-ra,?Mrs. Han, Lee Min-hyuk, dan yang terakhir, Park Dae-han.

"Kwon So-ra, aku sudah mengenalnya. Lalu siapa yang lain?" Woo-bin bertanya penasaran. Apakah mereka adalah orang-orang yang telah membuat Ji-hyun sakit hati?

"Bukankah kita sudah berjanji tidak akan mencampuri urusan pribadi masing-masing?"

Woo-bin mendengus pelan. "Baiklah. Lupakan saja."

Bukannya kesal, Ji-hyun malah tertawa. Entah kenapa menyurutkan rasa penasaran Woo-bin dengan menolak pria itu bisa membuat Ji-hyun senang. Ji-hyun suka melihat Woo-bin dengan kening mengerut seperti tadi. Tidak, Ji-hyun tidak jatuh cinta pada Woo-bin, ia bahkan tidak merasakan getaran apapun pada pria itu.

"Kau benar-benar lucu Choi Woo-bin." Ji-hyun berusaha menahan gelak tawa dengan kedua telapak tangan. "Kau telalu serius.?Mrs. Han adalah bos besar di cafe?tempatku bekerja, sementara Lee Min-hyuk adalah anaknya. Dia bertanggung jawab untuk mengelola cafe tempatku bekerja. Dan Park Dae-han, dia adalah mantan kekasihku."

Woo-bin hanya mengangguk-anggukkan kepala ketika mendengar penjelasan Ji-hyun, hingga akhirnya gadis itu menyebut nama yang terdengar tak asing di telinga. "Park Dae-han... aku merasa pernah mendengar nama itu sebelumnya."

Sungguh, Woo-bin yakin jika ia memang pernah mendengar nama itu jauh sebelum bertemu dengan Ji-hyun. Entah kapan, tapi ia pernah mendengarnya.

"Sudah kuduga, kau pasti pernah mendengarnya." Ji-hyun mendekati Woo-bin dan melepaskan dasi yang melingkar di leher pria itu.

Terkejut. Woo-bin hampir melompat ketika kedua tangan Ji-hyun menyentuh dasinya. "Dasi yang kau kenakan ini adalah salah satu produk dari perusahaan keluarga Dae-han." Ji-hyun membalik dasi tersebut, terlihat logo bertuliskan?Parkey'z?di sana. "Bukan hanya itu. Rumah Sakit tempat nenekmu dirawat juga milik perusahaan keluarga Dae-han."

Woo-bin memutar otak dan teringat akan sesuatu. Ia pernah bekerja sama dengan perusahaan tersebut. Kalau tidak salah, nama perusahaannya adalah?'SP Corp'?atau 'Star Parks' Corporation'

"SP?" Woo-bin menaikkan alisnya.

Ji-hyun mengangguk sambil tersenyum puas. "Sudah kuduga, kau pasti mengetahuinya."

"Kami pernah bekerja sama beberapa tahun lalu, beberapa supermarket di daerah Incheon adalah hasil kerja sama kami."?Ia berhenti sebentar. "Kalau tidak salah, Park Chul-soo adalah presiden direktur perusahaan itu. Dan seingatku, berita terakhir mengatakan kalau dia sedang sakit parah."

"Kau benar, itu adalah salah satu penyebab kenapa ibu Dae-han tidak merestui hubungan kami. Ia ingin Dae-han meneruskan perusahaan, namun Dae-han lebih memilih menjadi dokter. Konsekuensi dari keputusannya membawa Dae-han pada perjodohan yang tak bisa dihindari"

"Tunggu dulu." Woo-bin menghentikan ucapan Ji-hyun. Ia bergegas ke meja kerja dan mencari sesuatu, yapi Woo-bin lupa menaruh benda itu di mana, padahal ia baru saja mendapatkannya beberapa hari lalu. Benar-benar payah.

Meja ini terlalu berantakan dengan semua dokueman yang berserakan. Ia harus menggunakan matanya dengan ekstra, dan hei! Itu dia. Woo-bin tersenyum dan mengambil sesuatu, lalu menunjukkannya pada Ji-hyun.

"Aku ingat menerima undangan pernikahan dari perusahaan itu, Park Dae-han dan Choi Ha-neul." jelas Woo-bin bersemangat.

Sebenarnya...?

Melihat undangan itu untuk yang kedua kali berhasil membuat hatinya kembali bergejolak. Bukannya Ji-hyun egois, tapi melihat potret Dae-han tengah tersenyum ke arah gadis itu benar-benar menusuk jantungnya. Ia masih tidak menyangka, bagaimana mungkin Dae-han mengingkari janjinya sendiri? Apa semua lelaki memang seperti itu? Banyak berjanji tanpa ada bukti?

"Ternyata kau juga menerimanya." ujar Ji-hyun pendek. Ia tersenyum tipis. Bukan senyum bahagia, melainkan perih yang membawanya kembali pada kenangan manis masa lalu.

Benar memang, sesuatu yang paling jauh dari kita adalah masa lalu. Kenapa? Karena kita tidak bisa mengulang kejadian itu kembali.

"Aku akan menjemputmu jam lima. Jangan sampai membuatku menunggu." Woo-bin menurunkan kaca mata dan menatap Ji-hyun yang mengerucutkan bibir.

"Kau benar-benar menyebalkan, Choi Woo-bin." Ji-hyun membuka pintu mobil dan melangkah keluar. "Lagipula aku bisa pulang sendiri, kau tidak perlu menjemputku."

Woo-bin menggeleng, ia tidak menerima segala jenis penolakan untuk mengantar-jemput gadis itu. "Tidak, tidak, tidak." Woo-bin mengibas-kibaskan jari telunjuk. "Untuk yang satu ini, kau tidak boleh menolak."

Tanpa menunggu respon Ji-hyun, Woo-bin segera menutup pintu dan menjalankan mobilnya ebelum gadis itu mengeluarkan kalimat-kalimat lain untuk protes. Belum lagi, sekarang sudah pukul 9 lebih. Ia harus buru-buru pergi menemui Samuel sebelum pria itu marah dan mendiamkan Woo-bin hingga berhari-hari.

Entah berapa lama mereka tidak memiliki waktu untuk bertemu dan saling bertegur sapa. Mungkin tiga atau empat hari. Entahlah, akhir-akhir ini Woo-bin merasa memorinya sedikit tidak berfungsi karena banyaknya kejadian yang dialami.

Begitu sampai di?cafe?yang biasa mereka kunjungi, perasaan Woo-bin sedikit berubah. Entah kenapa otaknya mulai terbiasa dengan Ji-hyun dan meruntuhkan Samuel. Namun, di sisi lain, dalam hatinya yang cukup dalam, Woo-bin tentu masih peduli pada pria itu.

Sesaat setelah menyadari kehadiran Woo-bin, ekspresi Samuel berubah. Ia tersenyum pahit dan mengangkat sesuatu di tangan kanannya. Apa terjadi sesuatu?

Woo-bin berjalan mendekati Samuel hingga bisa melihat jelas apa yang sedang dipegang pria itu sekarang. Ia mengangkat tablet, menunjukkan laman berita berjudul?'Pewaris Utama Grup Altair Akan Segera Menikah.—Sial. Siapa yang menyebarkan berita ini?

"Jadi ini alasannya?" Samuel menaruh tablet-nya dengan kasar ke meja.

"Aku bisa menjelaskan semuanya, ini tidak seperti yang kau pikirkan!"

"Pembohong." Samuel menarik salah satu ujung bibirnya, lalu mengeluarkan pistol dari saku celana kanan. "Siapa gadis itu? Apa aku harus membereskannya dengan tanganku sendiri?"

Ugh.

Dari mana Samuel mendapatkan benda seperti itu?

Apa dia sudah gila?

Woo-bin tidak akan membiarkan Samuel menyakiti Ji-hyun dengan alasan apapun, entah itu cemburu atau bahkan benci setengah matipun

"Hentikan, Sam. Aku tidak akan membiarkanmu menyakitinya." gumam Woo-bin tegas. Ia tahu betul akan sifat Samuel yang mudah terbawa emosi dan perasaan. Pria itu bisa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan, termasuk saat ia berusaha mendapatkan Woo-bin. "Pernikahan kami hanyalah sandiwara. Jika aku tidak melakukannya, maka aku tidak akan mendapatkan warisan keluarga sedikitpun." Woo-bin berhenti sebentar, berusaha mengambil pistol yang ada di tangan Samuel dengan lembut. "Kumohon, percayalah padaku. Bukankah kau tahu bahwa aku hanya mencintaimu? Aku tidak mungkin jatuh cinta pada gadis itu."

Samuel menggeleng. "Tapi kau seorang pria Choi Woo-bin. Menikah dengan gadis itu sama halnya dengan memberimu kesempatan untuk mengawali perselingkuhan dan meninggalkanku. Aku tidak ingin hal itu terjadi, aku tidak sanggup kehilanganmu. Kenapa kau tidak mengerti sama sekali?"

Sialan!

Ucapannya benar-benar membuat Woo-bin bergetar. Ia takut Ji-hyun akan melihatnya sebagai pria biasa dan mulai jatuh cinta. Ia takut jika hati rapuh Ji-hyun tiba-tiba terjerat dalam pesonanya. Dan yang paling menakutkan, Woo-bin takut bila tak bisa memilih satu di antara mereka.

"Kenapa kau diam? Atau jangan-jangan kau sudah mulai jatuh cinta pada gadis itu?" Samuel kembali melontarkan pertanyaan.

"Tidak, aku tidak jatuh cinta padanya." Woo-bin menggeleng, ia berusaha untuk meyakinkan Samuel bahwa keduanya tidak memiliki perasaan sama sekali. "Aku tidak akan jatuh cinta pada gadis itu, aku berjanji."

Tidak ada yang mereka lakukan selain terdiam dan memandangi mata satu sama lain. Keduanya tidak bisa saling berpelukkan atau sekadar bergandengan.

"Baiklah." Samuel akhirnya mengeluarkan suara. "Aku akan memegang janjimu, Choi Woo-bin."

Drrttt...

Ponsel Woo-bin bergetar. Pria itu buru-buru merogoh saku celana dan melihat nama Ji-hyun tertera di layarnya. Ah, dia mengirim sebuah pesan.

"Dari gadis itu?" lugas Samuel ketika melihat kening Woo-bin mengerut.

Woo-bin mengangguk. "Pasti ada sesuatu yang tidak beres." Ia berhenti sebentar dan melihat jam tangan, lalu buru-buru pamit pada Samuel. "Aku harus pergi untuk memastikan tidak ada hal buruk terjadi padanya. Kau bisa mengerti, kan? Aku akan menghubungimu lagi nanti." lanjut Woo-bin, lalu berbalik dan meninggalkan Samuel.

From:?Ji-hyun

"Bisakah kau menjemput sekarang? Aku di dalam Mini Market di depan kampus."

Woo-bin buru-buru menancap gas dan melaju ke kampus Ji-hyun. Kenapa dia tidak menelepon saja? Kenapa hanya mengirim pesan? Pasti ada yang tidak beres. Begitu selesai memarkir mobil di pinggir jalan, Woo-bin segera mencari Ji-hyun.

Benar, Ji-hyun menulis bahwa ia tengah berada di dalam Mini Market. Namun kenapa Woo-bin tidak melihat batang hidungnya sama sekali? Tak berputus asa, Woo-bin bertanya pada kasir yang sedang berjaga.

"Permisi, apa anda melihat seorang gadis berkemeja abu-abu dengan rambut panjang bewarna hitam-kecoklatan, tingginya sekitar 165 centi, dan... ia cukup cantik?"

Sang kasir berpikir sebentar, tidak lama kemudian mengangguk. "Aku teringat seorang gadis yang terburu-buru masuk ke sini, lalu mengambil sekaleng minuman, namun tidak lama kemudian dia pergi sambil berlari."

"Apa terjadi sesuatu padanya?"

"Entahlah, tapi dia nampak cemas."

Woo-bin menggigit bibirnya pelan, lalu mengucapkan terima kasih pada sang kasir Mini Market. Ia harus menemukan Ji-hyun! Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada gadis itu? Apalagi berita tentang pernikahan mereka baru saja tersebar di internet.

Dengan kemajuan teknologi seperti sekarang ini, tidak butuh waktu lama bagi orang-orang jahat untuk mencari tahu siapakah gadis yang akan menikah dengan Pewaris Grup Altair dan menjadikannya sasaran.

Woo-bin mencoba menghubungi Ji-hyun, namun tidak ada jawaban. Hanya terdengar bunyi panggilan tersambung, tanpa diangkat sama sekali. Ah, gadis itu benar-benar membuatnya frustasi!

Pada akhirnya, Woo-bin menyerah dan meminta bantuan?bodyguard-nya. Ia tidak ingin sang nenek bertanya mengenai keberadaan Ji-hyun dan Woo-bin tidak bisa menjawabnya. Sementara itu, sambil menunggu kabar dari para?bodyguard-nya, Woo-bin mengelilingi Seoul sembari berharap menemukan jejeak keberadaan gadis itu.

Ia melintasi jembatan yang membentang di atas indahnya Sungai Han, ramainya Myeongdong, bahkan sempat berpikiran untuk mencari Ji-hyun ke Incheon. Namun, Woo-bin membatalkan niatnya dan memilih untuk berhenti di depan rumah lama Ji-hyun.

Astaga, di mana gadis itu sekarang?

Apa yang sebenarnya terjadi?

Kenapa perasaan Woo-bin tiba-tiba terasa tak enak?

Drrttt...

Ponselnya berbunyi. Apakah dari Ji-hyun?

Woo-bin segera merogoh saku celana dan terkesiap begitu melihat nama Ji-hyun tertera di layar. Kali ini, gadis itu tidak sekedar mengiriminya pesan, melainkan langsung menelepon.

"Jung Ji-hyun, kau di mana?" Tanpa basa-basi, Woo-bin langsung menanyakan keberadaan gadis itu.

"Maafkan aku. Aku berada di Namsan Tower."

Woo-bin menghela napas lega. Ia melirik sebentar jam tangannya, lalu mengerutkan kening. "Malam-malam begini? Jangan ke mana-mana sampai aku tiba di sana."

Setelah mengucapkan kalimat barusan, Woo-bin segera memutuskan panggilannya dengan Ji-hyun dan pergi menyusul gadis itu sebelum ia pergi lagi. Jung Ji-hyun, apa yang sebenarnya terjadi padamu? Kenapa kau bisa pergi ke sana?

Ji-hyun meneguk sekaleng kopi dingin. Saat cuaca sedingin ini, ia malah mengeluarkan banyak keringat. Tentu saja hal itu terjadi bukan tanpa alasan. Tadi, saat ia baru sampai di kampus, empat orang pria berbadan tinggi-besar menghampiri dan berniat untuk menculiknya. Entah karena alasan apa, tapi dengan sigap Ji-hyun melawan ke-empat pria tersebut, dan sekarang ia benar-benar bersyukur karena memegang sabuk hitam Taekwondo.

Setelah berhasil melepaskan diri dari empat orang aneh tadi, ia bersembunyi di dalam Mini Market dan mencoba untuk menghubungi Woo-bin sambil membeli sekaleng minuman. Tapi, sialnya, baru beberapa menit Ji-hyun bisa bernapas lega, sekelompok pria tadi menyadari keberadaannya. Sehingga, mau tidak mau Ji-hyun harus melarikan diri menggunakan taksi dan sampailah ia di tempat ini.

Ia duduk termangu di depan loket?cable car, memikirkan kejadian yang benar-benar membuatnya frustasi. Baru saja ia berencana untuk menikah dengan Pewaris Grup Altair dan sudah ada penjahat yang berniat menyuliknya. Sekarang ia tahu kenapa Woo-bin memiliki banyak?bodyguard, dan itu berarti, setelah menikah dengan Woo-bin, Ji-hyun harus bersiap diikuti oleh dua atau lebih?bodyguard?demi keamanannya

Samar-samar terlihat Woo-bin sedang berlari ke arah Ji-hyun dari kanan. Ia bisa melihat tatapan khawatir Woo-bin yang tergambar begitu jelas di wajahnya.

"Kau!" Woo-bin meraih lengan Ji-hyun dan menggenggamnya, tidak lama kemudian duduk di samping gadis itu. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi. Ke mana saja kau? Kenapa pergi sebelum aku sampai di Mini Market?"

Ji-hyun terkekeh pelan. Ia melepaskan lengan dari cengkeraman Woo-bin yang membuatnya sedikit, ya, gugup—atau apapun itu—terserahlah.

"Ceritanya panjang." Ia berhenti sebentar dan bangkit dari bangku besi, kemudian membeli satu cup kopi panas dari mesin kopi otomatis. "Minumlah. Cuacanya sangat dingin, Choi Woo-bin." gumamnya sambil menyodorkan kopi pada Woo-bin.

Tidak ada penolakan dari Woo-bin, ia menerima cup kopi tersebut dan meneguknya pelan. Omong-omong, Woo-bin baru sadar kalau Ji-hyun memegang sekaleng kopi dingin. Apa dia sudah gila?

"Kau meminum kopi dingin di saat cuaca seperti ini?"

Ji-hyun tahu betul bahwa Woo-bin sedang menyindirnya. "Sudah kubilang, ceritanya panjang. Kau mau kuceritakan sekarang?"

Woo-bin menggeleng. "Tidak." Sekali lagi, ia meraih lengan Ji-hyun dan menyeret gadis itu mendekat pada loket?cable car.?"Ceritakan padaku di atas kereta." ujar Woo-bin, lalu membeli dua tiket?cable car untuk mereka.

Dalam satu?cable car?hanya ada Woo-bin dan Ji-hyun. Apakah pria itu sengaja? Baiklah. Untuk orang sekelas Woo-bin, tentu saja apapun yang dipilihnya harus dikhususkan untuknya. Ia pasti tidak ingin?cable car?yang disewa harus dinaiki oleh banyak orang.

Sepanjang perjalanan, Ji-hyun menceritakan apa yang terjadi padanya hingga bisa sampai di?Namsan Tower. Woo-bin mendengus kesal, was-was ketika mendengar cerita yang keluar dari mulut Ji-hyun. Ia tidak bisa membiarkan Ji-hyun keluar seorang diri lagi, pasti akan ada banyak penjahat di luar sana yang mengincar gadis itu.

"Kalau begitu, mulai besok aku akan menugaskan beberapa?bodyguard untuk menjagamu, dan aku akan mencari tahu siapa orang yang mengejarmu beserta tujuan mereka."

Tepat seperti yang dipikirkan oleh Ji-hyun. Pria itu pasti akan menyuruh beberapa?bodyguard?untuk mengikuti Ji-hyun, dan ia benci diikuti.

"Sebenarnya... kau tidak perlu menyuruh?bodyguard-mu untuk mengikutiku. Aku bisa melindungi diriku sendiri, Choi Woo-bin." sela Ji-hyun.

Woo-bin menggeleng. "Tidak. Aku tidak akan membiarkan kejadian seperti ini terulang lagi. Kau tahu kan betapa bahayanya di luar sana? Kau bisa—"

"Bukankah kita sudah berjanji untuk tidak saling ikut campur dalam urusan pribadi masing-masing?" Ji-hyun menyela kalimat Woo-bin yang belum selesai.

"Apa?" Woo-bin mendecak.?"Demi Tuhan! Bagaimana mungkin aku bisa mentoleransi hal ini?"

"Choi Woo-bin, kumohon."

Tidak ada jawaban dari Woo-bin.

"Ayolah... Aku bisa menjaga diri. Buktinya, tadi aku berhasil lolos dari para penjahat itu."

Masih belum ada jawaban dari Woo-bin.

"Choi Woo-bin, jawab aku atau pernikahan kita batal!"

Sialan!

Gadis itu mengeluarkan kartu AS-nya dan berhasil membuat Woo-bin kalah.

"Baiklah. Tidak ada?bodyguard, tidak ada perlindungan dari anak buahku. Kau puas?"

Ji-hyun sumringah. Ia menengok ke kiri dan melihat gemerlapnya Seoul pada malam hari. Perasaan hangat dan nyaman menyeruak begitu saja, berusaha memenuhi setiap bagian dalam jiwa juga raganya.

Ia tidak tahu atas dasar apa hal itu terjadi. Apa karena pemandangan yang indah? Atau karena kehadiran Woo-bin? Atau mungkin... perpaduan antara keduanya? Benar-benar aneh.

"Jung Ji-hyun."

Suara?bariton?Woo-bin membuat Ji-hyun memutar kepalanya. "Ya?"

"Berjanjilah padaku."

Ji-hyun menaikkan kedua alis bersamaan. "Janji?"

Woo-bin menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya dengan perlahan. "Berjanjilah untuk tidak jatuh cinta padaku."

Ji-hyun terdiam. Bibirnya terasa kaku. Ucapan Woo-bin seolah mengunci mulutnya untuk mengeluarkan suara sekecil apapun. Ia seolah berhenti hidup selama beberapa detik dan kemudian tersadar kembali. Kata-kata Woo-bin menusuk setiap bagian tubuhnya, membuat rasa hangat yang tadinya sempat memenuhi, kini dingin seolah tak pernah dihuni.

"Kau bisa melakukannya, kan?" Woo-bin kembali mengeluarkan suara yang kali ini terdengar begitu menyakitkan di telinga Ji-hyun.

Tidak. Ini salah. Seharusnya Ji-hyun tidak menanggapi pertanyaan Woo-bin dengan sikap yang seperti ini. Namun kenapa hatinya terasa sakit? Ia tidak mungkin jatuh cinta pada Woo-bin hanya dalam beberapa hari. Ini salah dan Ji-hyun harus segera membenarkan kesalahannya. Ia harus sadar bahwa Woo-bin bukanlah pria yang tertarik pada wanita, dan mungkin saja perasaan nyaman dalam dirinya hanyalah ilusi belaka akibat rasa sakitnya.

Ji-hyun menutup mata sebentar dan menggigit bibir bawahnya. Sepersekian detik kemudian, ia berusaha memaksa kedua ujung bibirnya untuk tertarik ke samping hingga menciptakan suatu senyuman.

"Ya. Aku berjanji. Aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu, Choi Woo-bin."