OHM 7

Beberapa hari berlalu.

Raydan sudah mengemas barang-barangnya. Dia juga sudah siap dan akan keluar dari kamarnya seraya menyeret kopernya. Sebelum keluar dari kamar, Raydan melihat ke arah tempat tidur. Bayangan apa yang pernah dia dan Clarie lakukan di sana muncul begitu saja. Sesak sekali rasanya.

Raydan menutup pintu kamarnya dan menguncinya. Setelah itu, dia melihat ke seluruh ruangan apartemennya. Di sana banyak sekali kenangan-kenangan bersama Clarie. Lima Tahun mereka menjalin hubungan dengan pertemuan intens, tentu bukan waktu yang singkat. Begitu banyak kenangan manis bersama Clarie. Canda tawa Clarie, semuanya itu begitu melekat di hati Raydan.

Raydan menghela napas panjang, seketika bayangan yang Clarie lakukan dengan pria lain muncul dipikirannya.

"Menjijikan!" geram Raydan.

Raydan bergegas menyeret kopernya, dia keluar dari apartemennya.

Pandangan Raydan tertuju pada pintu apartemen Clarie, pintu itu tertutup dia tak melihat Clarie dan mungkin untuk selamanya takan melihat Clarie lagi. Dia merasa kecewa pada Clarie, Clarie benar-benar telah menghancurkan perasaannya.

Dengan langkah pasti, Raydan melangkahkan kakinya menuju lift. Begitu pintu lift terbuka, munculah Clarie. Sepertinya, Clarie selesai jogging, dia hanya memakai stelan jogging dan tubuhnya sedikit mengkilap mungkin karena bekas keringat.

Mereka berpapasan, saling tatap sesaat kemudian Raydan masuk ke dalam lift.

Sebelum pintu lift tertutup, Clarie menahan pintu lift hingga tetap terbuka.

"Ray!"

Raydan mengalihkan pandangannya. Dia menyingkirkan tangan Clarie yang menghalangi lift dan pintu lift tertutup. Raydan tak melihat Clarie sama sekali hingga pintu lift benar-benar tertutup.

Raydan pergi menuju Bandara, hingga waktu berlalu dan pesawat mulai take off Raydan kembali teringat pada pengkhianatan Clarie.

'Ini mungkin terakhir kalinya aku datang ke sini,' gumam Raydan.

Raydan memejamkan matanya. Mungkin, pria kerap kali tak menunjukan rasa sakit dan sedihnya. Namun, begitu pria merasa kecewa karena seseorang yang begitu dia cintai, maka lukanya tak pernah main-main. Begitupun dengan Raydan, sepanjang hidupnya, inilah luka terdalam dirinya ketika dikhianati oleh orang yang dia cintai.

****

Raydan sampai di Jakarta. Dia pergi ke apartemennya dan menghempaskan tubuhnya di tempat tidur.

Raydan membuka ponsel, laptop, dan menghapus semua foto Clarie, bahkan video kebersamaannya bersama Clarie pun tak luput dia hapus. Raydan berharap, semua tentang Clarie menghilang bersama hilangnya foto-foto Clarie.

Raydan membuka instagramnya, dia menghapus semua foto-foto Clarie yang ada di sana. Dia juga memblokir akun instagram Clarie.

"Done," ucap Raydan begitu tak tersisa satupun foto tentang Clarie.

Raydan memejamkan matanya. Tubuhnya lelah dan dia terlelap.

***

Keesokan harinya.

Raydan bangun lebih pagi ketika mendengar dering panggilan masuk. Terlihat kontak sang papa di layar ponselnya. Raydan pun menjawab panggilan itu.

'Hm ... Ya, Pa,'

'Bang, baru bangun tidur?' tanya sang papa.

'Iya. Ada apa, Pa?' tanya Raydan.

Raydan merubah posisinya, dan duduk bersandar di kepala tempat tidur.

'Di mana sekarang?' tanya papa.

'Di apartemen,' ucap Raydan.

'Sudah selesaikah urusannya?' tanya papa.

'Sudah. Lebih cepat dari perkiraan,' ucap Raydan.

'Syukurlah. Datanglah ke rumah, Bang. Kita sudah lama tak bertemu. Kamu terlalu sibuk bekerja,' ucap papa.

'Ya, nanti Abang datang,' ucap Raydan.

'Papa tunggu,'

Telepon itu berakhir. Raydan beranjak dari tempat tidur. Dia masuk ke kamar mandi, dan membersihkan tubuhnya. Semalam dia tak sempat membersihkan tubuhnya karena terlalu lelah.

Begitu selesai mandi, Raydan bersiap menuju kediaman sang papa. Jika dipikir-pikir, benar juga dia sudah jarang bertemu dengan kedua orangtuanya. Dia terlalu sibuk bekerja dan tak memiliki banyak waktu.

****

Di kediaman Orangtua Raydan.

Raydan melihat sang papa dan sang mommy tengah duduk di tepi kolam renang. Mereka tengah berbincang. Manis sekali rasanya ketika Raydan melihat pemandangan tersebut. Kedua orangtuanya memang selalu seperti itu, di mana ada sang papa maka di sana ada sang mommy. Mereka seakan tak terpisahkan, bahkan mungkin mengalahkan romeo dan juliet.

"Pa, Mom!"

Sang papa dan sang mommy melihat Raydan dan tersenyum. Raydan mencium pipi sang mommy dan duduk bergabung di sana.

"Bagaimana kabar kalian?" tanya Raydan.

"Seperti yang Abang lihat. Bagaimana kabar Abang? Pekerjaan bagaimana?" tanya sang papa.

"Baik, sangat baik," ucap Raydan tersenyum.

"Baguslah," ucap sang papa.

Raydan tersenyum.

"Lalu, kapan Abang akan membawa calon menantu kami ke sini?" tanya sang mommy.

Raydan terdiam dan hanya menyunggingkan senyum tipis.

"Itu, siapa Pa namanya?" tanya sang mommy pada sang papa.

"Clarie, gadis Jerman yang memikat hati Abang," ucap sang papa terkekeh.

Raydan terdiam, seketika dia kesal mendengar nama Clarie.

"Dia bukan siapa-siapa Abang lagi," ucap Raydan.

"Apa? Bagaimana bisa?" tanya sang papa dan mommy bersamaan.

"Hm ... Sudahlah, tak perlu membahas dia lagi!" ucap Raydan sedikit kesal.

Sang papa dan mommy terdiam, mereka saling tatap.

"Abang belum sarapan, Moms. Ikut sarapan di sini, ya," ucap Raydan.

"Ya, sana sarapan. Kasihan sekali anak Mommy, tak ada yang mengurus. Mau Mommy suapi?" tanya mommy terkekeh.

Raydan memutar bola matanya.

"Ayolah. Abang bukan anak-anak lagi," ucap Raydan dan beranjak dari duduknya.

"Ya sudah, cepatlah menikah agar kami merasa lega," ucap Dania.

Raydan hanya tersenyum. Pernikahan, kata yang paling malas dia dengar. Apalagi setelah pengkhianatan Clarie. Raydan pergi menuju meja makan. Dia sarapan di sana.

Sementara kedua orangtuanya masih terdiam larut dalam pikiran mereka masing-masing.

"Apa Abang sedang patah hati?" tanya Dania pada Randy.

"Hm ... Mungkin saja," ucap Randy. Nada bicara Randy tampak santai. Wajar saja pria mengalami hal seperti itu.

"Kenapa kamu diam saja?" tanya Dania.

"Lho ... Memangnya aku harus bagaimana?" tanya Randy bingung.

"Dia anakmu, dia sedang sedih. Lakukan sesuatu yang bisa menghiburnya," ucap Dania.

"Apa? Kenapa harus begitu? Dia sudah dewasa, dia tahu yang terbaik untuknya," ucap Randy.

"Hm ..." Dania terdiam.

Memang betul, Raydan sudah dewasa dan bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Hanya saja, sebagai seorang ibu, Dania tentu cemas. Apalagi Raydan sudah dewasa dan belum juga menikah. Akan sangat menyenangkan, ketika melihat anak prianya itu segera menikah.

"Tante!"

Dania dan Randy melihat ke arah datangnya suara perempuan. Dania tersenyum melihat wanita itu yang tak lain adalaj Ralisya. Ralisya membawa sebuah paper bag yang dia jinjing di tangannya.

"Eh, Sya." Dania beranjak dari duduknya dan menghampiri Ralisya. Mereka bercipika-cipika.

"Ini, dari Mama." Ralisya memberikan paper bag tersebut pada Dania.

"Apa ini?" tanya Dania.

"Itu, Mama masak. Katanya, ingin memberinya pada Besannya," ucap Ralisya tersenyum.

"Ya, ampun ... Repot-repot sekali. Nanti Tante datang ke rumah Besan, ya," ucap Dania tersenyum.

Ralisya mengangguk dan tersenyum melihat Randy. Randy pun membalas dengan senyuman.

Ralisya melihat ke arah meja makan. Dia mengerutkan dahinya melihat Raydan di sana.

"Oh, Raydan di sini, Tan," ucap Ralisya.

"Iya. Baru sampai. Ayok, kita coba masakan Besan Tante," ucap Dania dan mengajak Ralisya menuju meja makan. Ralisya duduk di hadapan Raydan yang masih memakan sarapannya.

"Oh, Sya ..." sapa Raydan.

Ralisya hanya tersenyum.

"Apa itu, Moms?" tanya Raydan penasaran melihat kotak makanan cukup besar.

"Ini, dari Mamanya Ralisya. Baik, ya Besan Mommy," ucap Dania tersenyum.

Raydan ikut tersenyum, begitupun Ralisya.

"Ya, karena itu anaknya juga baik," ucap Raydan tersenyum menatap Ralisya dengan tatapan penuh arti seraya memakan sarapannya.

Ralisya lagi-lagi tersenyum.

"Aku pamit, ya, Tan. Maaf sekali tak bisa lama di sini," ucap Ralisya tersenyum.

"Aku akan mengantarmu," ucap Raydan dan akan beranjak dari duduknya.

"Tak perlu. Aku bersama Demian. Dia sudah menunggu di luar. Aku permisi, ya," ucap Ralisya dan bergegas keluar dari kediaman Dania.

Raydan mengurungkan niatnya, dia terdiam dan kembali duduk mendengar nama Demian, dia melihat kepergian Ralisya. Dia pikir, Ralisya datang sendiri.

Sang mommy memperhatikan ekspresi Raydan yang seketika berubah begitu Ralisya pergi dari sana. Entah apa yang ada dipikiran Raydan, tetapi Dania yakin anaknya itu tengah memikirkan sesuatu tentang Ralisya.

Dania pun tersenyum. Setelah itu dia bernyanyi-nyanyi pelan membuat dahi Raydan berkerut. Mommy-nya itu benar-benar seperti anak muda saja.

Selesai sarapan, Raydan beranjak dari meja makan dan pergi menemui sang papa. Mereka berbincang di tepi kolam renang. Membahas tentang pekerjaan, begitupun dengan keinginan sang papa agar suatu saat nanti Raydan dapat menggantikan posisinya, mengambil alih bisnis sang papa. Karena bagaimana pun, sang papa sudah seharusnya diam dan tak perlu bekerja lagi. Dia sudah cukup bekerja keras selagi usianya masih muda. Dia butuh masa pensiunnya.