"Hm ... Debby Prysila. Kamu lulusan salah satu Universitas di Singapura?" tanya Raydan.
"Betul, Pak." wanita itu menjawab seraya tersenyum. Raydan melihat wajah wanita bernama Debby Prysila itu sekali lagi, wanita berkulit kuning langsat itu memiliki alis yang cukup tebal, berambut panjang, hitam dan lurus. Wajah Asianya begitu lekat. Usianya 25 tahun setelah Raydan melihat data diri wanita itu. Lebih muda dan usianya satu tahun di bawah Raydan.
"Sebelumnya, kenapa keluar dari pekerjaanmu yang dulu?" tanya Raydan.
Wanita itu sebelumnya pernah bekerja di Perusahaan Penerbangan juga sebagai sekretaris Direktur di sana.
"Kontrak kerja selama 1 tahun di sana sudah selesai. Karena itu, Saya berhenti bekerja di sana," ucap Debby.
"Mereka tak memperpanjang kontrakmu? Apa kamu membuat masalah sebelumnya?" tanya Raydan penuh curiga.
"Tidak, Pak. Tolong dicek sekali lagi riwayat pekerjaan Saya," ucap Debby.
Raydan mengerutkan dahinya, dia kembali mengecek berkas riwayat milik Debby. Ternyata di sana masih ada selembar kertas. Raydan membaca isi dari kertas tersebut. Nyatanya, Debby yang menolak perpanjangan kontrak.
"Kenapa ditolak?" tanya Raydan.
"Kebetulan, saat itu ada hal yang tak memungkinkan Saya untuk bekerja lagi di sana. Dan kini, Saya membutuhkan pekerjaan," ucap Debby.
Raydan mengangguk. Semua kualifikasi sekretaris yang Raydan inginkan ada pada Debby setelah dia selesai membaca seluruh isi berkas milik Debby.
Raydan mengambil sebuah note. Dia memberikannya pada Debby.
"Silakan bawa itu, besok pagi kembali ke Kantor dan mulailah bekerja. Sebelum itu, pelajari semua yang ada di dalam note yang Saya berikan," ucap Raydan.
"Baik, Pak. Terimakasih," ucap Debby dan mengambil note.
Debby tersenyum, Raydan pun ikut tersenyum.
"Masih ada lagi, Pak?" tanya Debby.
"Tidak ada. Saya harap, kamu datang ke Kantor tepat waktu. Saya tak suka orang yang tak di siplin," ucap Raydan.
"Baik, Pak. Kalau begitu, Saya permisi," ucap Debby.
Raydan mengangguk, Debby beranjak dari duduknya dan keluar dari ruangan Raydan.
Raydan terdiam sesaat, melihat wajah Debby membuatnya teringat pada seseorang. Dia beranjak dari duduknya dan keluar dari ruangannya.
***
Di sisi lain.
Demian mengantar Ralisya ke Rumah Sakit. Hari itu dia menyempatkan waktunya mengantar Ralisya sekaligus ingin mengobati rasa rindunya. Demian sibuk setelah lamaran dengan Ralisya, dia belum sempat menemui Ralisya lagi.
Sebelum sampai di Rumah Sakit, Demian dan Ralisya memilih sarapan terlebih dahulu. Mereka memilih sebuah Kafe kecil yang suasanya begitu kekinian. Tempat itu cocok sekali bagi anak-anak muda yang ingin menghabiskan waktu di sana.
"Dem!"
"Ya."
Demian melihat Ralisya, Ralisya memanggilnya di tengah berlangsungnya sarapan.
"Apa pernikahan harus terjadi dua bulan lagi? Apa tak bisa dipercepat saja?" tanya Ralisya.
"Kenapa memangnya? Kita sudah menentukan tanggal yang baik untuk pernikahan," ucap Demian merasa bingung.
Ralisya terdiam sejenak.
Demian memegang tangan Ralisya, membuat lamunan Ralisya seketika buyar.
"Ada apa? Apa ada masalah?" tanya Demian.
Ralisya menghela napas, dia teringat ketika Raydan menciumnya beberapa hari lalu. Dia benar-benar merasa bersalah pada Demian. Namun, Ralisya pun enggan memberitahu kejadian itu pada Demian, dia takut Demian kecewa padanya. Demian bahkan tak pernah tahu jika Raydan adalah mantan kekasih Ralisya, Demian hanya tahu Raydan adalah kakak dari istri Kevano, calon kakak ipar Demian.
"Katakan saja, jangan diam," ucap Demian.
"Aku hanya takut," ucap Ralisya.
"Kenapa takut?" tanya Demian bingung.
"Entahlah. Aku sendiri tak mengerti," ucap Ralisya.
"Hm ... Kamu tahu, semua orang yang akan menikah mengalami hal itu. Itu wajar, terkadang bahkan selalu ada godaan dalam langkah menuju pernikahan. Satu hal yang harus kita perkuat, yaitu keyakinan kita. Jangan terlalu banyak berpikir, semua akan baik-baik saja," ucap Demian mencoba menenangkan Ralisya.
Bukannya tenang, Ralisya semakin gelisah. Ada rasa yang dia sendiri tak mengerti. Ketika kejadian di mana Raydan menciumnya kembali setelah 6 tahun mereka putus hubungan, semenjak saat itu Ralisya tak bisa tidur tenang. Kenangan bersama Raydan selalu muncul setiap kali dia akan memejamkan matanya di malam hari. Apalagi setelah lelah bekerja, dipikiran Ralisya selalu hadir semua tentang Raydan. Bahkan kenangan manis, setiap ucapan manis Raydan dulu kembali hadir di pikirannya setelah bertahun-tahun dia berusaha keras melupakan segala tentang Raydan.
'Mungkin benar, ini cobaan menuju pernikahan,' batin Ralisya.
Ralisya juga pernah mendengar hal itu dari teman-temannya yang sudah menikah. Ketika itupun teman kuliahnya dulu pernah bercerita selalu terjadi masalah saat dirinya sudah bertunangan dengan sang kekasih. Bahkan sempat hadir rasa ragu untuk menikah, dan juga sempat ada pemikiran untuk membatalkan pernikahan. Ralisya mencoba mengerti sekarang, mungkin semua itu memang yang kini dia alami. Dia berpikir mungkin dia juga tengah mengalami masa di mana temannya pernah merasakan hal yang sama ketika akan menikah dulu.
"Sudah, Sayang. Jangan banyak berpikir," ucap Demian tersenyum.
Ralisya mengangguk, dia tersenyum di tengah kegelisahan hatinya.
Selesai sarapan, Demian melanjutkan mengatar Ralisya menuju Rumah Sakit. Dia tak mampir terlebih dahulu karena harus pergi ke Rumah Sakit tempatnya bekerja.
Ralisya memasuki Rumah Sakit. Pertama kali dia menyapa bagian resepsionis.
"Selamat pagi, Dok. Ada tamu di ruangan Dokter," ucap resepsionis.
"Oh, ya? Apa dia pasien?" tanya Ralisya.
"Betul. Dia pasien yang ingin berkonsultasi dengan Dokter."
"Hm ... Baiklah. Terimakasih," ucap Ralisya dan pergi menuju ruangannya.
Sesampainya di ruangan kerja, Ralisya melihat punggung seseorang yang tengah duduk di kursi di meja kerjanya. Ralisya mendekati orang tersebut.
"Selamat pagi, ada yang bisa Saya bantu?" tanya Ralisya tersenyum dan mulai duduk di kursi kerjanya.
Ralisya membulatkan matanya melihat orang tersebut.
"Banyak, Dok. Banyak sekali yang ingin Saya konsultasikan dengan Dokter," ucap orang itu.
Ralisya menelan air liurnya, seketika jantungnya berdegup kencang melihat orang yang kini berada di hadapannya.
"Sedang apa kamu di sini?" teriak Ralisya.
Orang itu terkejut mendengar teriakan Ralisya. Dia tak menyangka Ralisya akan merespon kedatanganya seperti itu.
"Hei ... Tenanglah, kenapa berteriak?" ucap orang itu yang tak lain adalah Raydan.
Ya, Raydan yang berada di ruangan Ralisya. Dia teringat Ralisya setelah melihat wajah Debby di Kantor tadi. Beberapa hari setelah kejadian dia mencium Ralisya pun membuatnya tak tenang.
"Lancang sekali! Kenapa kamu datang ke sini?" geram Ralisya.
"Lho ... Ini Rumah Sakit, bukankah siapa saja bebas datang ke sini?" ucap Raydan.
Ralisya mengepalkan tangannya. Dia beranjak dari kursinya dan mendekati Raydan. Dia menarik tangan Raydan memaksa Raydan untuk bangun.
"Keluar dari sini! Sudah kukatakan, aku tak ingin melihatmu!" geram Ralisya.
Raydan mengempaskan tangan Ralisya. Dia menatap Ralisya dengan bingung.